• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhir-akhir ini, teknik bioremediasi banyak digunakan untuk penanganan pengolahan limbah di industri. Teknik bioremediasi dinilai efektif dan ekonomis untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekalsitran, senyawa kimia. Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegredasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sendimen dari kontaminan terutama senyawa organik (Yani et al. 2003), teknik teknologi rendah, mudah diterima masyarakat dan bisa digunakan dimana saja (Kamuludeen et al. 2003).

Biodegradasi umumnya dilakukan oleh kelompok utama mikroorganisme tanah (fungi, bakteri dan actynomycetes) yang dapat secara mudah menyesuaikan diri atau mendegradasi pestisida melalui proses oksidasi, pemutusan-ester, hidrolisis ester, dan amida, oksidasi alkohol dan aldehida, dealkilasi, hidroksilasi, dehidrogenasi, epoksidasi, dehalogenasi, reduksi dan dealkilasi (Matsumura 1973, Strong & Burges 2008). Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi yang lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme (Onshiro et al. 1996). Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Dalam proses degradasi, kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.

Bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam organik,

biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula (Citroreksoko 1996). Berbagai bahan pencemar umumnya senyawa senobiotik (asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit didegradasi) sehingga memiliki ketahanan yang tinggi di alam.

Manfaat lain dari bioremediasi selain mendegradasi polutan, juga dapat menjerap bahan-bahan logam dan mineral serta memisahkan zat-zat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi dalam industri (US-EPA 1998). Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ dan ex situ. In situ

yaitu bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar (contohnya pengggunaan kompos dan penambahan mikroorganisme yang sesuai langsung pada tanah tercemar), sedangkan ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar

lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru bioreaktor yang dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik, misalnya penggunaan biofilter untuk reduksi limbah cair di bidang pertanian (Citroreksoko 1996). Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia termasuk pestisida.

Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif untuk mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tidak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (US-EPA 1999; Gray etal. 1999; Baker & Bryson 2002). Bakteri aerob dari kompos seperti Pseudomonas sp,

Alcaligenes sphingomonas, Rhodococcus dan Mycobacterium, mampu mendegradasi pestisida, hidrokarbon, senyawa alkana dan poliaromatik (fenol, benzoate, benzene dan turunannya), bakteri ini menggunakan kontaminan sebagai sumber karbon dan energi (Haigler etal. 1992; Vidali 2001).

Kompos limbah pertanian dan kotoran ternak dapat mengurangi DDT dari tanah tercemar di atas 600 ppm DDT (1.1.1-trichloro-2.2-bis (p-chlorophenyI ethan) menjadi kurang dari 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu, tanpa dihasilkan DDD (1.2 dichloro-2.2-bis (p-chlorophenyl ethan) dan DDE (2.2-bis (p-chlorophenyl) 1.1 dichloroethylene) (Bernier et al. 1997). Tanah yang tercemar lebih dari satu senyawa nitro seperti TNT (trinitrotoluene), RDX (hexahydro-1.3.5 trinitro-1.3.5 triazine) dan HMX (octahydro-1.3.5.7 tetranitro-1.3.5.7 tetrazocine) dengan konsentrasi di atas 20.000 ppm, konsentrasinya berkurang 90% dengan menggunakan kompos campuran (Moser et al. 1999). Selanjutnya menurut Gray et al. (2000) bahwa kompos limbah pertanian berhasil mengurangi konsentrasi khlorin dari tanah tercemar senyawa klorin (methoxychlor) 600 ppm berkurang menjadi 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu.

Kompos digunakan untuk memperbaiki tanah yang terkontaminasi dengan berbagai polutan organic (Fermor et al. 2001). Kompos juga digunakan untuk bioremediasi limbah hidrokarbon, mampu mendegradasi minyak pelumas 75% (Suortti et al. 2000); minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak 88.25% (Munawar et al. 2007). Bakteri yang ditemukan pada tanah yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus alvei, B. macerans, B. laterosporus, B. larvae, B. megaterium, Pseudomonas putida, Micrococcus roseus,

dan bakteri yang terdapat dalam kompos dari sampah kota, yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Micrococcus agalis, M. roseus, Mycobacterium sp., Nocardia sp., (Pagoray 2009).

2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Biodegradasi

Mengingat mikroorganisme sangat berperan penting dalam proses degradasi, maka kondisi lingkungan yang maksimal mendukung aktifitas mikroorganisme akan memaksimalkan proses biodegradasi. Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktifitas enzim dalam mikroorganisme. Kemudian aktifitas mikroorganisme dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen yang sesuai. (Vidali 2001).

Keberadaan oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob dan merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase (Vidali 2001). Tingkat keasaman (pH) juga merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Umumnya bakteri tumbuh baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5), seperti P. aeruginosa yang tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran pH 5.6–8.0. Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi mikroorganisme selama proses degradasi. Pertumbuhan efektif untuk mikroorganisme berkisar antara 45o– 59oC (US-EPA 1994).

Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel. Menurut Boopathy (2000), kemampuan mendegradasi tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keanekaragaman populasi dan aktifitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), serta faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi). Selain itu struktur molekul dan konsentrasi kontaminan berpengaruh sangat kuat dalam proses bioremediasi. Bakteri pendegradasi diazinon, Serratia sp. mampu memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan fosfor pada keadaan pH 7.0- 8.0 dan degradasi terhambat pada pH 5, 6 dan 9, 10. Bakteri ini juga mampu mendegradasi diazinon secara sempurna dalam waktu 11 hari pada suhu 25o-30oC, tetapi dalam waktu 13 hari pada suhu 20oC (Amer 2011).

Dokumen terkait