• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan (BSN 1992). Biskuit terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman. Bentuk crackers pipih, rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.

Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992

Karakteristik Syarat Mutu

Air Maksimum 5 %

Protein Minimum 9 %

Lemak Minimum 9,5 %

Karbohidrat Minimum 70 %

Abu Maksimum 1,5 %

Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5 %

Energi (Kal/100 g) Minimum 400

Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

2.8.1 Bahan Baku

Bahan-bahan utama dalam pembuatan biskuit adalah gula, lemak, tepung, dan air. Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah terigu, susu, air dan putih telur. Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula, margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).

1) Tepung terigu

Tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan pendistribusi bahan lain tersebut agar merata serta berperan sebagai pembentuk cita rasa dalam adonan kue (Matz dan Matz 1978). Tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu. Tepung yang cocok untuk biskuit dan kue-kue kering adalah jenis tepung

soft protein (8-9%), karena sifat gluten yang dimilikinya kurang baik sehingga cocok untuk biskuit, cake dan kue kering yang tidak menghendaki terbentuknya gluten (Labib 1997).

Terigu mengandung protein sebesar 7-22%. Minimal terigu tersusun dari lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang larut dalam alkohol 70-90% dan glutenin yang larut dalam asam atau basa tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema 1996). Adanya air dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat

ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible

maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno 1997). Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang maka dipilih tepung terigu berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang baik, elastis tetapi lengket (Fennema 1996).

2) Gula

Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel terus pada cetakan, biskuit menjdi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz 1978).

3) Telur

Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dan lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan chepalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

4) Mentega

Mentega merupakan lemak hewani yang biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fungsi seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta flavour (Matz dan Matz 1978). Mentega dan margarin merupakan emulsi air dalam minyak (W/O). margarin atau lemak nabati dapat memberikan volume biskuit yang rendah dan membentuk butiran yang kasar.

5) Susu

Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, pembentukan flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978).

6) Bahan Pengembang

Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leaving agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat (soda

kue). Menurut Wheat Associates (1981) diacu dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2

lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartat, fosfat dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0,47% dan dengan rentang antara 0,04% sampai dengan 1,77%. Sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam resep biskuit, dan rata-rata digunakan antara 0,18% sampai dengan 1,92%.

7) Garam

Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formulasi biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah pelarutannya (Matz dan Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang relatif rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak.

8) Air

Dalam pengolahan produk, air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan, air juga berfungsi untuk membentuk adonan dan mempengaruhi tekstur produk.

2.8.2 Proses pembuatan biskuit

Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim

(creaming methode) dan all in methode. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan

essence, dimasukkan susu, diikuti penambahan garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Pada metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang (Whiteley 1971).

Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari gula, lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food processor

berkecepatan tinggi sampai mengembang, setelah mengembang ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo 1985).

Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya. Lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40 0C (Manley 1998).

Alat yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi. Alat pengaduk (mixer) sangat berperan terhadap sifat reologi dari adonan dan biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara lain: vertical spindle mixers, high speed mixers, weigh mixers, cotinuous mixers, small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis biskuit yang akan dibuat (Manley 1998).

Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo1985).

Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan. Kondisi

pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1% (Whiteley 1971).

Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang diantara 25 menit sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204 0C). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada suhu 220 0C dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak (Sunaryo 1985).

Setelah proses pemanggangan selesai, proses selanjutnya adalah pendinginan yang bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Pendinginan juga dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley 1998).

Dokumen terkait