• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Hasil dan Pembah asan

5.2. A Blowing Wind and an Open Window: Pergeseran Globaldan Masalah

Pada akhirnya pembenaran-pembenaran bagi urgensi dan visibilitas konsolidasi kajian MNCS-INGOs dalam suatu kajian yang integratif dan mandiri disediakan oleh pergeseran-pergesaran global yang diusung globalisasi dalam mengatrol arti penting masalah tatakelola lintas batas dewasa ini. Tidak hanya menyediakan dunia yang lebih terbuka, globalisasi dalam perkembangannya juga sebuah peru-bahan sosial mendasar yang membawa serrta masalah-masalah organisasional baru. Dalam kaitan itu, kemerosotan otoritas publik hanyalah salah satu contoh, sementara sisanya adalah meningkatnya arti penting tata kelola lintas batas.

Walaupun tidak mudah untuk mendapatkan definisi globalisasi yang merepresentasikan inti per-debatan konseptualnya dewasa ini, sebuah rumusan dari Anthony Giddens (1990) yang menghu-bungkan globalisasi dengan konsekuensi-konsekuensi tak terhindarkan dari perluasan modernitas nampaknya relevan untuk dikemukakan kembali. Sebagai nama lain dari intensifikasi hubungan-hubungan sosial mendunia di mana peristiwa yang berlangsung di suatu lokalitas dapat mempe-ngaruhi lokalitas lain yang terpisahkan sedemikian rupa jauhnya, globalisasi merupakan tantangan langsung bagi organisasi sosial yang mendasarkan diri pada kemutlakan ruang dan waktu.

Negara atau negara-bangsa tidaklahsteril dari pengaruh-pengaruh relativisme sosial globalisasi itu. Sebagai konsepsi modern organisasi sosial yang mendasarkan pada ‗monopoli

penggunaan alat-alat kekerasan dalam suatu wilayah‘ (Weber, 1948: 77-78), negara dan sistem sosial yang mendasarkan pada sentralitas peran negara secara umum juga dihadapkan pada dilema eksistensial yang tidak mudah. Sebagiannya muncul sebagai konsekuensi tantangan globalisasi atas hubungan-hubungan spesial negara dengan suatu wilayah atau

dampak lebih lanjut dari tantangan globalisasi atas mono-poli penggunaan alat kekerasannya yang goyah, sementara sebagian lainnya muncul dalam bentuk yang lebih sistematik lagi: yakni kemerosotan otoritas publik dalam sistem-sistem sosial utama.

Sistem internasional sebagai sistem yang mendasarkan pada peran negara atau negara bangsa sebagai unsur penting pembentuknya tidak juga luput dari persoalan kemerosotan ini. Setelah untuk beberapa saat bekerja keras mengembangkan suatu pranata internasional yang mengemban fungsi-fungsi interlokutor kepublikan utama di aras lintas negara-bangsa, sistem internasional harus meng-hadapi kenyataan bahwa pranata-pranata keprivatan yang juga bergerak di aras yang sama dalam beberapa hal justru tumbuh lebih cepat melampaui dirinya. Sebagai konsekuensinya, alih-alih me-ningkat dalam arti penting, keberadaan pranata-pranata kepublikan internasional yang masih em-brional itu justru mengalami kemerosotan secara relatif. Merujuk pada tipologi Hall dan Biersteker (2002: 3-22), kemerosotan otoritas kepublikan secara relatif itu secara internasional berhubungan dengan pada naiknya arti penting tiga pranatakeprivatan utama: otoritas pasar, otoritas moral dan otoritas illicit.

Berbeda dengan otoritas publik internasional yang ditegakkan dalam keutamaan keterwakilan dan otonomi, otoritas privat secara konsisten bergerak dalam keutamaan performa dan efisiensi. Dalam pengaruh globalisasi yang mendorong integrasi vertikal di satu sisi namun juga fragmentasi hori-sontal di sisi lain, peluang-peluang bagi kelangsungan arti penting performa dan efisiensi secara komparatif lebih terfasilitasi ketimbang kelangsungan arti penting keterwakilan dan efisiensi. Dalam struktur globalisasi yang mencairkan sekat-sekat kebekuan interaksi,kelangsungan arti penting oto-nomi tentu tertantang oleh keuntungan yang mungkin diperoleh dari pertukaran terbuka, sementara dalam skema globalisasi yang memimpikan setiap orang adalah representasi bagi dirinya sendiri, yang tersisa tinggal arti penting performa,

Secara ekonomi, emansipasi otoritas privat ini menemukan bahan bakar yang diperlukan dalam kaitan erat globalisasi dan paham neoliberalisme selama ini. Selain memberikan ruang yang lebih leluasa pada pranata-pranata yang mengedepankan arti penting individu dan kreativitas privat, neo-liberalisme globalisasi secara agresif bahkan mendesak mundur otoritas-otoritas publik dari wilayah-wilayah sosialnya yang klasik. Pada saat sama, kecenderungan integrasi vertikal dan ekspansi orga-nisasi ekonomi yang berkembang masif dalam globalisasi membuka peluang bagi konsentrasi eko-nomi luar biasa yang tidak saja menjadikannya sangat mampu mengelola operasi-operasi bisnis lintas negara tetapi juga melampaui negara dalam performa-performa akumulasi kapitalnya.

Konsolidasi horisontal dan emansipasi vertikal seperti yang terjadi dalam ranah ekonomi dijumpai juga dalam ranah moral. Secara sosial, globalisasi tidak hadir tanpa nilai. Sebaliknya, globalisasi acap-kali hadir dengan bagasi penuh nilai. Merujuk pada Giddens (2002), kehadiran globalisasi adalah ke-hadiran kosmopolitanisme dalam bentuknya yang lebih terintegrasi dengan karakter universal kapi-talisme selama ini. Sebagai akibatnya,ketegangan dan kontestasi ulang di antara sistem-sistem nilai sosial seringkali tak terhindari. Dalam beberapa kesempatan, kompromi dan penyesuaian baru ter-capai sementara dalam beberapa kesempatan yang lain ketegangan dan kontestasi itu acap harus berujung konflik nilai. Konsolidasi horisontal dan emansipasi vertikal dalam banyak hal merupakan pilihan tak terhindarkan dari kebutuhan-kebutuhan kontestasi ini.

Meningkatnya fundamentalisme dan bentuk emansipasi keagamaan era globalisasi merupakan contoh menonjol. Akan tetapi akan salah-kaprahtentunya jika mendefinisikan pasang otoritas moral ini se-batas revivalisme keagamaan saja. Meningkatnya arti penting organisasi non pemerintah yang ber-gerak lintas nasional adalah bagian dari emansipasi ini.Seiring dengan meningkatnya arti penting mereka, sebentuk otoritas privat --mengutip

Lipschutz dan Fogel (2002)—tumbuh melalui setidak-nya tiga cara. Pertama, otoritasnya dalam agenda setting isu-isu internasional utama. Kedua, otoritas-nya dalam kompetensi kebidangan mereka. Ketiga, otoritasnya sebagai kekuatan progresif-normatif dunia. Organisasi-organisasi non-pemerintah internasional, dengan kekuatan jaringan dan penga-laman mereka dalam pemanfaatan media telah tumbuh menjadi juru reka-agenda yang strategis, se-mentara kekhususan dan kedalaman pengetahuan mereka terkait suatu subyek berikut keterlibatan mareka yang panjang dalam advokasi kebijakannya mengukuhkan posisi strategisnya sebagai nara-sumber otoritatif utama dalam kaitannya.

Selain mendorong emansipasi otoritas privat yang mengumpul di sekitar garis persinggungan pasar dan moral,globalisasi dalam bentuk kontraproduktif juga mengakselerasi perkembangan otoritas-otoritas illegal atau illicit. Di tengah kemudahan akses internasional yang meroket dalam globalisasi,absennya otoritas publik dengan kemampuan monopoli kekerasan di tingkat internasional, mening-galkan sebuah power-vacuum di beberapa tempat. Semakin lemah suatu negara dalam menegakkan otoritasnya, semakin besar pula power-vacuum yang ditimbulkannya. Dalam banyak kesempatan, wilayah perbatasan, daerah konflik dan wilayah lautan bebas adalah daerah subur bagi tumbuhnya otoritas illicit ini. Maraknya pembajakan di wilayah perairan Somalia atau masih banyaknya peradilan liar di Afganistan merupakan contoh nyata dari pertumbuhan otoritas privat ini. Tetapi, pertumbu-han otoritas illicit ini tidak selamanya merupakan monopoli negara lemah atau negara konflik. Riset Williams (2002) terhadap pertumbuhan jaringan dan organisasi kejahatan transnasional di Russia, misalnya, menunjukkan bahwa pertumbuhan otoritas ini bukanlah monopoli negara kecil dan lemah.

Dari sana setidaknya dua hal bisa disimpulkan terkait tantangan dan peluang yang disediakan globa-lisasi dalam hubungannya dengan pasang otoritas privat ini. Pertama, bahwa pasang

otoritas privat baik dalam bentuknya yang bersumberkan pasar, moral maupun klaim-klaim illegal selainkan menun-jukkan dinamika internal yang khas, juga beroperasi dalam logika-logika transnasional yang saling terkait. Mengikuti identifikasi Hall dan Biersteker (2002: 3-22), misalnya, logika itu bisa dirunut dari kegagalan institusi-institusi Weberian modern dalam dalam merespon tantangan-tantangan trans-nasional globalisasi, peluang-peluang otonomi kelompok dan konsolidasi vertikal yang disediakan globalisasi dan pada akhirnya adalah munculnya problematika illegal sebagai konsekuensi absennya legitimasi kepublikan dalam operasi otoritas-otoritas privat ini. Pertumbuhan otoritas privat dari yang berbasis pasar ke moral dan berkonsekuensi lanjut pada tumbuhnya otoritas-otoritas illicit yang illegal sepenuhnya mengkonfirmasi logika transnasionalisme tersirat ini.

Kedua, bahwa dalam kaitan kesimpulan pertama, selain membukakan peluang bagi penyelidikan in-tegratif dan mandiri atas persoalannya, arti strategis bagi tantangan-tantangan yang dimunculkannya membutuhkan kerangka teoretik yang memadai bagi upaya pemahaman komprehensif atas keseja-jaran maupun keunikan persoalan yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, selain membukakan pe-luang bagi penyelidikan integratif atas logika-logika umum yang mendasari operasi INGOs maupun MNCs, globalisasi secara tidak langsung juga meningkatkan perhatian teoritik terhadap penelusuran hukum-hukum transnasionalitas ini. Terkait problematika persoalan masing-masingnya yang khas, ini memang bukan tugas yang mudah, belum lagi ditambah upaya sektoral pendekatannya yang ber-langsung selama ini. Akan tetapi jika beberapa terobosan studi-studi stratejik atas globalisasi diper-timbangkan dalam kaitan ini, peluang-peluang bagi konsolidasi itu dapat dibukakan kembali.

Berbeda dengan tradisi studi ilmu politik yang fokus pada arti penting kebijakan dan juga studi ilmu ekonomi yang berpusat pada arti penting keputusan, studi-studi stratejik globalisasi

meletakkan perhatian utamannya pada arti penting strategi. Berbeda dengan domain kebijakan yang seringkali terbatas pada ruang publik atau domain keputusan yang bersifat privat, domain strategi merentang dari soal publik maupun privat. Bicara strategi adalah bicara tentang suatu konsep yang relevan baik secara publik maupun privat. Meski pada mulanya muncul sebagai kosakata militer, istilah strategi saat ini telah juga dikenal luas sebagai kosakata ekonomi. Bahkan dalam tradisi studi manajemen stratejik, oleh sebab daya rentang dan keluwesan relevansi lintas sektoralnya, arti penting strategi bahkan hampir melampaui arti penting manajemen itu sendiri.

Untuk beberapa saat, studi tentang strategi memang berkembang sebatas unit-unit nasional atau perusahaan. Tetapi dewasa ini, seiring dengan makin kompleksnya tantangan globalisasi, studi-studi strategi yang secara umum fokus pada pengembangan prinsip-prinsip dan pemahaman atas per-soalan ‗tata-kelola lintas batas‘ berkembang semakin maju. Mengutip

Ghemawat (-), ironi besar globalisasi adalah bahwa sebagai sistem ia tumbuh tidak atas dasar persamaan tetapi perbedaan. Oleh karena absennya otoritas yang ekivalen negara di tingkat global, perhubungan dan pertukaran dalam globalisasi harus diselenggarakan dalam modus

‗lintas-batas nasional‘. Dari sana perbedaan kutur, pemerintahan dan sejenisnya memainkan peranannya sendiri. Dari sana pemahaman umum terhadap logika-logika dasar yang menggerakkan tata-kelola lintas batas layak mendapatkan perhatian khusus yang memadai.

Dari sinilah kemudian istilah global strategy atau strategi global muncul dan memantapkan ciri pendekatannya yang unik di bandingkan strategi-strategi lainnya. Jika strategi nasional maupun strategi perusahaan berangkat dari pemahaman tentang kesamaan dan kesatuan unit, strategi global sebaliknya berangkat dari perbedaan dan disparitas unit-unit. Strategi nasional maupun strategi perusahaan mengasumsikan keberadaan suatu unit dengan kemampuan untuk membuat kebijakan maupun keputusan yang setidaknya mengikat secara internal,

tetapi dalam konteks tumpang tindih dan absennya otoritas serupa di tingkat internasional, strategi global harus berfikir sebaliknya. Tetapi justru karena itu, melalui pendekatan tata-kelola lintas batas ini, strategi global selain relevan dengan problematika otoritas-otoritas privat internasional yang merentang dari MNCs sampai INGOs juga menempatkannya mereka dalam satu altar kajian sama. Selain membukakan peluang bagi konsolidasi kajian keduanya, kekhasan pendekatan tata-kelola lintas batas di atas dalam banyak hal juga me-nyediakan rasionalitas dan justifikasi kuat bagi kemandirian studinya.

Bab 6

Dokumen terkait