• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, kelompok kontrol menunjukkan pertambahan bobot badan yang sangat besar setiap harinya hingga akhir perlakuan. Berbeda dengan kelompok kontrol, kelompok lainnya yang diberikan injeksi doksorubisin 4 mg/kg BB sekali seminggu selama empat minggu menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertambahan bobot badan. Kelompok DXR menunjukkan pertambahan bobot badan yang paling kecil setiap harinya, sedangkan kelompok DXR+Andro20 menunjukkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dan berbeda secara signifikan dibandingkan kelompok DXR dari hari ke-4 sampai hari ke-28. Kelompok DXR+Andro100 pada hari ke-4 sampai hari ke-16 menunjukkan pertambahan bobot badan yang lebih baik dan berbeda signifikan dibandingkan kelompok DXR, selanjutnya setelah hari ke-16 hingga akhir perlakuan terjadi penurunan bobot badan. Data rataan bobot badan

14

tikus setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 1, sedangkan perbandingan ukuran tubuh tikus dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 1 Data rataan bobot badan tikus setiap kelompok perlakuan

Hari Ke- Kelompok Perlakuan

Kontrol DXR DXR+Andro20 DXR+Andro100

0 97.00±2.34a 91.40±4.33a 92.60±6.34a 96.60±2.79a 4 114.40±3.28a 94.40±8.01b 108.20±5.54a 1 07.20±4.14a 8 123.60±7.53a 101.60±8.98c 112.20±7.15b 109.20±5.49bc 12 147.40±8.01a 106.40±8.41b 114.40±3.57b 114.20±7.25b 16 172.00±8.51a 109.00±12.94c 125.20±4.32b 124.60±3.64b 20 191.20±13.98a 114.00±16.50c 131.20±4.65b 111.20±9.65c 24 213.80±13.62a 117.80±27.63c 143.80±5.80b 115.25±14.17c 28 228.40±15.19a 113.60±21.27c 147.40±6.30b 118.60±16.19c Perbedaan huruf pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05; n=6).

Gambar 4 Perbandingan ukuran tubuh tikus pada hari ke-28

Pengamatan terhadap persentase tikus hidup dan rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada hari ke-28 disajikan pada Tabel 2. Terlihat bahwa pada kelompok yang diberikan injeksi doksorubisin menunjukkan adanya angka kematian hewan coba, dengan angka kematian tertinggi ditunjukkan oleh kelompok DXR+Andro100. Kelompok kontrol menunjukkan persentase tikus hidup sebesar 100 %, sedangkan persentase tikus hidup pada kelompok DXR+Andro100 hanya sebesar 50 % sampai akhir pengamatan. Data bobot jantung pada kelompok DXR menunjukkan bobot yang paling rendah dan berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol dan DXR+Andro20. Kelompok DXR menunjukkan penurunan bobot jantung sebesar 45.65 % bila dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 dan kelompok DXR+Andro100 masing-masing menunjukkan penurunan bobot jantung sebesar 19.56 % dan 30.39 %. Rasio bobot jantung terhadap bobot badan pada kelompok DXR dan DXR+Andro20 tidak berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro100 menunjukkan nilai rasio bobot jantung terhadap bobot badan yang tinggi dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol.

15 Tabel 2 Persentase tikus hidup dan rasio bobot jantung terhadap bobot badan

pada hari ke-28

Kelompok Perlakuan

Kontrol DXR DXR+Andro20 DXR+Andro100

Tikus hidup (%) 100 87.5 87.5 50

Bobot Badan/BB (g) 228.40±15.19a 113.60±21.27c 147.40±6.30b 118.60±16.19c Bobot Jantung/BJ (mg) 920.00±83.66a 500.0±141.42c 740.0±167.33b 640.33±54.77bc BJ/BB (mg/g) 4.16±0.26a 4.85±1.36ab 4.54±1.12ab 5.77±1.03b

Ket: Perbedaan huruf pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05; n=6).

Penurunan bobot badan dan bobot jantung pada kelompok yang diberikan injeksi doksorubisin disebabkan oleh aktivitas doksorubisin yang menginduksi kematian sel secara apoptosis dan nekrosis, serta terbentuknya radikal bebas secara bersamaan. Tacar et al. (2013) melaporkan efek biologis yang ditimbulkan akibat penggunaan doksorubisin yaitu terjadinya proses apoptosis, nekrosis, dan autofagi pada sel dan jaringan normal. Apoptosis merupakan mekanisme penting yang menyebabkan hilangnya sel-sel miokardium dan disfungsi jantung (Nakamura et al. 2000). Molekul p53 memiliki peranan penting dalam kejadian kardiotoksisitas dan pembentukan stress oksidatif yang diinduksi doksorubisin, p53 merupakan regulator penting yang mengatur kematian dan pembentukan sel (Shizukuda et al. 2005).

Andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB pada kelompok DXR+Andro20, dapat menghambat efek penurunan bobot badan dan bobot jantung akibat doksorubisin. Apoptosis dan radikal bebas yang distimulasi oleh DXR kemungkinan dihambat oleh aktivitas antioksidan andrografolid. Neha et al. (2007) melaporkan andrografolid memiliki efek antioksidan yang kuat dengan meningkatkan enzim katalase, superoksida dismutase, dan glutathione-S transferase yang akan mengkatalisis pengurangan tingkat oksidasi yang bermanfaat dalam pemulihan kerusakan sel.

Kelompok perlakuan yang diberikan injeksi doksorubisin umumnya menunjukkan kematian hewan coba yang terjadi pada minggu ketiga dan empat setelah pemberian doksorubisin. Kelompok DXR+Andro100 menunjukkan tingkat kematian hewan coba paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hal tersebut diduga akibat efek toksisitas yang diakibatkan oleh pemberian doksorubisin dan semakin diperparah dengan pemberian andrografolid dosis tinggi. Diduga dosis andrografolid yang diberikan melebihi dosis terapeutik, sehingga dapat menyebabkan terjadinya respon hipersensitivitas hingga menyebabkan kematian pada hewan coba. Huojun et al. (2007) telah melaporkan adanya reaksi hipersensitivitas (shok anafilaksis) pada manusia akibat injeksi andrografolid pada 87 kasus di Cina.

16

Pemeriksaan Histopatologi Jantung

Analisis histopatologi jaringan jantung terhadap pewarnaan Hematoksilin Eosin, kelompok kontrol menunjukkan struktur miokardium yang kompak dengan serabut otot yang jelas dan tidak ditemukan adanya lesio. Kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100 menunjukkan lesio berupa multifokal nekrotik yang ditandai dengan peradangan interstitial berupa infiltrasi sel radang makrofag, selain itu ditemukan juga hemoragi, degenerasi hingga nekrotik sel, serta atropi miokardium. Pada kelompok DXR+Andro20 ditemukan lesio dengan tingkat keparahan yang lebih ringan bila dibandingkan kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100. Lesio yang ditemukan tersebar pada miokardium baik pada vetrikel kiri mapupun ventrikel kanan jantung. Foto mikrografi jaringan jantung dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, menunjukkan struktur miokardium yang normal, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan fokus nekrotik ditandai dengan infiltrasi sel radang interstitial, hilangnya inti sel, dan atropi sel otot jantung (Pewarnaan HE).

Aplikasi DXR menunjukkan efek kardiotoksisitas yang ditunjukkan dengan lesio histopatologi pada Gambar 5. Temuan serupa dilaporkan oleh Arozal et al. (2014) yaitu terjadinya inflamasi interstitial yang ditandai dengan infiltrasi sel limfosit dan makrofag, fokus nekrotik, dan kejadian fibrosis di daerah perivaskular dan interstitial jantung pada kelompok tikus yang diberikan doksorubisin dengan dosis total 15 mg/kg BB. Tacar et al. (2013), doksorubisin menyebabkan peningkatan ekspresi nuclear factor-Kappa Beta (NF-κB) sehingga

terjadi peningkatan inflamasi dan nekrosis jaringan jantung, pada tahap lanjut dapat terjadi kardiomiopati. Pemberian doksorubisin juga menyebabkan

17 peningkatan level ROS dan teraktivasinya cascade apoptosis oleh cytochrome c

sehingga terjadi apoptosis kardiomiosit (Childs et al. 2002).

Hamza et al. (2008) lebih lanjut telah melaporkan terjadinya peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis setelah pemberian doksorubisin dosis tunggal 10 mg/kg BB secara IP. Kelompok doksorubisin menunjukkan peningkatan secara signifikan jumlah sel apoptosis dan mencapai empat kali lipat dari jumlah sel apoptosis pada kelompok kontrol. Perhitungan jumlah sel yang mengalami apoptosis tersebut dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang positif terhadap TUNEL (terminal deoxynucleotidyl transferase mediated dUTP nick end labelling).

Pemberian andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB menunjukkan adanya efek protektif terhadap kardiotoksisitas akibat doksorubisin. Hal tersebut terlihat dari perubahan histopatologi yang ditimbulkan lebih ringan dibandingkan kelompok DXR dan DXR+Andro100. Efek protektif andrografolid dimungkinkan karena aktivitas andrografolid sebagai agen antiinflamasi dan antioksidan, sehingga kerusakan jantung dapat ditekan. Aktivitas antiinflamasi andrografolid dilakukan dengan menekan aktivasi NF-κB pada sel endothelial yang terstimulasi

(Xia et al. 2004). Selain itu andrografolid juga dilaporkan dapat menekan apoptosis sel dengan menghambat produksi sitokin interferon gamma (IFN- ) dan interleukin-2 (IL-2) (Burgos et al. 2005). Penghambatan apoptosis sel oleh andrografolid juga dilakukan dengan menekan produksi ROS (Shen et al. 2002). Aktivitas andrografolid sebagai antioksidan juga telah dilaporkan oleh (Batran et al. 2013) pemberian andrografolid dosis 10 dan 20 mg/kg BB pada tikus, secara signifikan dapat meningkatkan enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx) bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan andrografolid.

Pemberian andrografolid dosis tinggi 100 mg/kg BB dalam studi ini menunjukkan hasil yang kurang baik bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/kg BB. Zhonghui et al. (2009) melaporkan injeksi andrografolid dosis tinggi dalam waktu singkat dapat menyebabkan nephrotoksisitas, hal tersebut berhubungan dengan potensi toksisitas atau reaksi alergi yang ditimbulkan andrografolid. Konsentrasi tinggi andrografolid yang dikombinasikan dengan obat yang menyebabkan nephrotoksisitas dapat menyebabkan gagal ginjal. Zhang et al. (2014) lebih lanjut telah melaporkan kejadian acute kidney injury pada 26 kasus dimanusia yang diberikan andrografolid dosis tinggi secara intravena. Berdasarkan pemaparan diatas, maka kejadian serupa diduga juga dapat terjadi pada organ jantung penelitian ini.

Luas Jaringan Ikat di Jantung

Pengamatan terhadap luas jaringan ikat jantung dilakukan dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. Akumulasi jaringan ikat (fibrosis) ditunjukkan dengan adanya deposit kolagen secara abnormal yang ditunjukkan dengan warna biru pada Gambar 6. Deposit kolagen ditemukan di daerah interstitial dan perivaskular baik pada ventrikel kiri maupun ventrikel kanan jantung. Deposit kolagen tersebut banyak dijumpai pada kelompok perlakuan DXR dan DXR+Andro100 yang ditunjukkan dengan tanda panah.

18

Gambar 6 Foto mikrografi jantung (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan deposit kolagen berwarna biru (Pewarnaan MT).

Secara kuantitatif, analisis terhadap persentase luas jaringan ikat jaringan jantung pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 7. Terjadi peningkatan luas jaringan ikat jantung secara signifikan pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 menunjukkan persentase luas jaringan ikat jantung yang tidak berbeda signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol.

Gambar 7 Luas jaringan ikat. (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar menunjukkan standar deviasi.

19 Peningkatan luas jaringan ikat yang terbentuk pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 disebabkan akibat stres oksidatif jantung yang memicu terjadinya fibrosis dengan meningkatkan ekspresi transforming growth factor-beta 1 (TGF-β1), kemudian meningkatkan proliferasi miofibroblas dan sintesis kolagen jantung, serta menekan degradasi kolagen (Zhao et al. 2008). Pemberian andrografolid dosis rendah 20 mg/kg BB efektif dalam menekan terbentuknya jaringan ikat dan fibrosis jantung. Zhu et al. (2013) melaporkan adanya efek protektif andrografolid dalam menekan terjadinya fibrosis dengan menekan produksi TGF-β1 dan α-SMA mRNA, epithelial mesenchymal transition, serta inaktivasi NF-κB. TGF-β1 merupakan sitokin profibrotik yang memiliki peranan

yang sangat penting dalam perkembangan fibrosis jantung (Leask 2007). Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi α-SMA

Antibodi α-SMA digunakan untuk mendeteksi keberadaan sel miofibroblas. Sel miofibroblas berperan dalam menghasilkan kolagen pada proses pembentukan fibrosis (Hinz et al. 2007). Pada studi ini, sel yang imunoreaktif terhadap antibodi

α-SMA ditunjukkan dengan warna cokelat berbentuk oval hingga memanjang, dan banyak diamati pada daerah nekrotik dan fibrotik. Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi α-SMA dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA (Pewarnaan IHK).

Secara kuantitatif, jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA disajikan pada Gambar 9. Terlihat bahwa kelompok DXR dan kelompok DXR+Andro100 menunjukkan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi α -SMA lebih tinggi dan berbeda signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok DXR+Andro20 menunjukkan terjadinya sedikit penigkatan

20

jumlah sel imunoreaktif terhadap α-SMA, namun tidak berbeda secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.

Gambar 9 Jumlah sel positif α-SMA, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar

menunjukkan standar deviasi.

Desmouliere et al. (1993) melaporkan bahwa pemberian TGF-β1 secara

subkutan pada tikus dapat menyebabkan peningkatan ekspresi miofibroblas yang

mengekspresikan α-SMA. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian injeksi doksorubisin menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi TGF-β1. Pemberian andrografolid dosis rendah pada kelompok DXR+Andro20 terbukti dapat menekan jumlah sel imunoreaktif terhadap antibodi α-SMA. Hal tersebut dikarenakan aktivitas andrografolid dalam menekan produksi sitokin fibrogenik TGF-β1.

Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi ED1

Pemeriksaan jaringan jantung menggunakan antibodi ED1 dilakukan untuk mengetahui aktivitas fagositosis oleh makrofag. Antibodi ED1 (anti CD-68) merupakan antibodi spesifik untuk mengidentifikasi makrofag tipe eksudatif (Yamate et al. 2002). Sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 ditunjukkan dengan warna cokelat dengan bentuk sel yang bulat dan oval dengan sitoplasma yang bergranul. Sel makrofag yang terdeteksi dengan antibodi ED1 ditemukan tersebar pada miokardium dan terkonsentrasi pada daerah-daerah nekrotik. Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi ED1 dapat dilihat pada Gambar 10.

. Peningkatan ekspresi ED1 menunjukkan adanya aktivitas makrofag dalam memfagosit sel-sel yang telah mengalami apoptosis dan sel-sel debris pada awal kejadian inflamasi. Aktivasi makrofag mengindikasikan adanya respon inflamasi (Pincott dan Burch 2011). Makrofag yang teraktivasi terlibat dalam berbagai

21 proses patologis penyakit seperti fibrosis organ, asma, dan penyakit granulomatosa (MacKinnon et al. 2008). Makrofag dilaporkan mampu menghasilkan TGF-β1 dalam jumlah besar pada area luka dan fibrosis (Yamate et al. 2002). Selain itu, makrofag CD68+ juga menginduksi miofibroblas melalui TGF-β1 (Yamamoto dan Nishioka β00β). Makrofag memegang peranan yang penting dalam semua tahapan proses inflamasi seperti fibrosis, perbaikan dan penyembuhan jaringan. Sekresi sitokin proinflamasi oleh makrofag distimulasi oleh lipopolisakarida yang menginduksi inducible NO synthase (iNOS) dan menyebabkan peningkatan produksi nitric oxide (NO). Pada studi ini, pemberian andrografolid dosis rendah dapat menekan aktivasi dan migrasi makrofag pada kondisi peradangan, hal tersebut ditunjukkan dengan pemberian andrografolid dapat menekan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap ED1. Efektivitas andrografolid sebagai antiinflamasi dilakukan dengan menghambat lipopolisakarida dalam menginduksi diproduksinya NO dan ekspresi proteiniNOS pada makrofag murine (Chiou et al. 2000).

Gambar 10 (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 (Pewarnaan IHK).

Secara kuantitatif, jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 disajikan pada Gambar 11. Terlihat bahwa pada kelompok perlakuan yang diberikan injeksi doksorubisin terjadi peningkatan jumlah sel yang imunoreaktif terhadap antibodi ED1 dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah sel imunoreaktif terhadap ED1 yang tertinggi ditunjukkan pada kelompok DXR+Andro100, sedangkan pada kelompok DXR+Andro20 menunjukkan nilai yang paling mendekati kelompok kontrol.

Keberadaan makrofag memiliki berkontribusi besar terhadap inflamasi dan fibrosis jantung yang diinduksi oleh doksorubisin. Pemberian injeksi doksorubisin menyebabkan teraktivasinya sel inflamasi makrofag, kemudian makrofag bermigrasi menuju fokus peradangan, mensintesis dan mensekresikan berbagai

22

sitokin, mediator peradangan, protease, dan ROS (Todd at al. 2013). Teraktivasinya mediator peradangan tersebut menyebabkan proliferasi sel miofibroblas dan peningkatan produksi kolagen dalam jaringan sehingga terbentuk fibrosis jantung (Zhu et al.2013). Pengembangan fibrosis jantung yang terjadi pada studi ini, dapat diakibatkan oleh adanya interaksi antara makrofag dan sel miofibroblas.

Gambar 11 Jumlah sel positif ED1, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6). Error bar

menunjukkan standar deviasi.

Pemeriksaan Imunohistokimia terhadap Antibodi Galectin-3

Galectin-3 merupakan karbohidrat β-galaktosida yang berikatan dengan protein lectin, terlibat dalam proses peradangan dan digunakan untuk mendiagnosis fibrosis jantung (Sharma et al. 2004). Galectin-3 memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan fibrosis di jantung, terbentuknya fibrosis jantung dikarenakan galectin-3 mampu mengaktivasi berbagai faktor profibrotik, proliferasi dan transformasi fibroblas, serta produksi dan deposit kolagen I (Li et al. 2014). Pembentukan fibrosis dapat menyebabkan disfungsi ventrikel jantung dan terkait dengan peningkatan risiko gagal jantung (Ho et al. 2012; Sharma et al. 2004).

Juniantito et al. (2012) lebih lanjut melaporkan bahwa galectin-3 yang merupakan faktor fibrogenik TGF-β1 diekspresikan oleh miofibroblas dan

makrofag CD68+, CD 163+, dan MHC class II+. Galectin-3 dilaporkan memiliki korelasi yang tinggi (r=0.9065, P<0.05) dengan sel makrofag CD68+ pada proses penyembuhan luka (Juniantito et al. 2011). Galectin-3 diduga mengalami peningkatan saat terjadinya diferensiasi sel monosit menjadi makrofag dan sewaktu proses fagositosis berlangsung (Seno et al. 2003). Pemeriksaan imunohistokimia terhadap antibodi ED1 dapat dilihat pada Gambar 12,

23

Gambar 12 (a) Kontrol, (b) DXR, (c) DXR+Andro20, (d) DXR+Andro100. Tanda panah menunjukkan sel makrofag dan atau sel miofibroblas yang imunoreaktif terhadap antibodi galectin-3 (Pewarnaan IHK). Penggunaan antibodi galectin-3 pada pewarnaan imunohistokimia imunoreaktif terhadap sel makrofag dan miofibroblas. Pada studi ini, sel yang imunoreaktif terhadap galectin-3 ditunjukkan dengan sel berwarna cokelat dengan bentuk bulat, oval, hingga memanjang. Sel yang mengekspresikan galectin-3 terdistribusi di interstitial sel otot jantung dan banyak ditemukan pada fokus nekrotik dan area fibrosis terutama pada kelompok DXR dan DXR+Andro100. Analisis jumlah sel yang imunoreaktif terhadap ED1 disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Jumlah sel positif galectin-3, kelompok perlakuan: (A) Kontrol, (B) DXR, (C) DXR+Andro20, (D) DXR+Andro100. Superscripts

24

berbeda menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05; n=6).

Error bar menunjukkan standar deviasi.

Berdasarkan data pada Gambar 13 diketahui ekspresi galectin-3 pada kelompok DXR+Andro20 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok DXR dan DXR+Andro100 menunjukkan ekspresi galectin-3 yang lebih besar dan berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Kim et al. (2007) melaporkan bahwa pada tikus normal, keberadaan 3 di organ jantung, otak, dan pankreas sangat sedikit, sebaliknya galectin-3 ditemukan banyak pada organ limpa, paru-paru, uterus, dan ovarium. Peningkatan konsentrasi galectin-3 pada jantung berhubungan dengan tingginya risiko kejadian gagal jantung hingga kematian (Sharma et al. 2004). Peningkatan ekspresi dan sekresi galectin-3 menunjukkan terjadinya aktivasi alternative macrophage, sebaliknya aktivasi classical macrophage akan menghambat ekspresi dan sekresi galectin-3 (MacKinnon et al. 2008).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Studi ini menunjukkan bahwa pemberian andrografolid dosis rendah (20 mg/kg BB) dapat berperan sebagai kardioprotektif terhadap efek toksik doksorubisin.

2. Penggunaan andrografolid dosis tinggi (100 mg/kg BB) tidak memberikan efek protektif dan cenderung memperparah kerusakan jaringan jantung pasca aplikasi doksorubisin.

Saran

Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dosis optimum penggunaan andrografolid dalam menangani kondisi kardiotoksisitas akibat pengunaan doksorubisin.

Dokumen terkait