• Tidak ada hasil yang ditemukan

3

(cm

Bahan

Volume

(gram)

bahan

Berat

kamba

Densitas

100

kemasan

l

Bobot tota

ikan

l

Bobot tota

kemasan

Efisiensi

</ </ ?/ * + (

Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pemingsanan secara bertahap, yaitu dengan cara menurunkan suhu air media ikan dengan kecepatan tertentu (bertahap/ ) hingga tercapai suhu yang dapat membuat ikan berada dalam keasaan pingsan. Pada beberapa titik – titik suhu tertentu dalam proses pemingsanan, secara umum ikan mengalami beberapa fase sebelum ikan tersebut pingsan.

Pada awal penurunan suhu, kondisi ikan masih terlihat normal dan beberapa saat kemudian ikan terlihat lebih tenang, tidak banyak berenang, dan respon menurun. Semakin menurunnya suhu air, pada beberapa titik suhu tertentu ikan bergerak tidak tentu arah, terkejut – kejut, dan terlihat kehilangan keseimbangan (limbung). Ikan yang berada dalam kondisi tersebut menunjukkan ikan telah memasuki fase panik. Menurut Nitibaskara . (1997) kepanikan tersebut terjadi karena adanya gangguan pada saat dalam kondisi yang tertekan. Apabila kepanikan tersebut reda, maka ikan akan menjadi tenang kembali.

Pada beberapa titik suhu di bawahnya, ikan kembali tenang, berenang pasif, dan respon sangat berkurang atau sangat lemah. Pada saat ini ikan lebih sering berdiam diri di dasar atau di tengah ketinggian air. Kerena responnya yang sangat lemah, maka jika ada rangsangan fisik dari luar ikan hanya bergerak sedikit dengan hanya menggoyangkan bagian ekor dan kepalanya saja. Pada kondisi seperti ini ikan sudah tidak mampu untuk berenang atau bergerak dengan mengatur gerakan sirip – siripnya. Pada kondisi tersebut, ikan dinyatakan telah melewati fase panik dan berada dalam fase pingsan ringan ( ).

Pada beberapa titik suhu di bawahnya setelah ikan mengalami fase pingsan ringan, ikan berada dalam keadaan tergeletak di dasar air dan reaktifitas terhadap rangsangan fisik dari luar tidak ada, sehingga bila disentuh dan diangkat dari dalam air ikan hanya diam. Pada kondisi tersebut, ikan telah berada dalam fase pingsan berat ( ). Fase pingsan berat merupakan kondisi yang tepat untuk pengangkutan ikan, karena pada kondisi ini aktifitas ikan relatif terhenti. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya respon terhadap rangsangan dari luar. Pada kondisi ini konsumsi O2dari tiap – tiap ikan hanya berada pada kadar

yang terendah dari metabolisme basal, yang dibutuhkan ikan hanya untuk kelangsungan hidupnya saja (bukan untuk beraktifitas) (Mc Farland, 1959).

Dalam kondisi pingsan, laju konsumsi O2pada ikan berada dalam keadaan yang terendah dari laju konsumsi O2standar atau laju metabolisme basal. Ketika dalam keadaan laju metabolisme basal, dihasilkan sejumlah energi yang hanya cukup untuk menggerakkan fungsi organ – organ fital seperti pada jantung, alat pernafasan, otak dan sistem syaraf yang berelaksasi, hati, dan ginjal. Laju metabolisme basal terjadi ketika suatu mahluk hidup sedang beristirahat dan alat pencernaan dalam keadaan kosong (sistem pencernaan sedang tidak aktif bekerja), tetapi dalam keadaan sadar (Winkipedia, 2008).

Laju metabolisme basal (BMR) atau energi metabolime basal (EMB) merupakan jumlah energi minimum yang dibutuhkan untuk melakukan proses8 proses tubuh vital, di mana tanpa berlangsungnya kegiatan tersebut tidak mungkin terjadi kehidupan, karena metabolisme itu sendiri merupakan kehidupan. Pengeluaran energi basal termasuk pengeluaran untuk pernafasan, sirkulasi, kegiatan kelenjar (thyroid, adrenal, pancreas dan pituitary), dan tonus otot. Laju metabolisme basal dapat diukur ketika sistem pencernaan tidak sedang bekerja (keadaan post8absorpsi), istirahat mental dan fisik, dan dalam keadaan sadar (tidak tidur). Pada manusia (umumnya pada orang dewasa) laju metabolisme basal pada waktu tidur 10% lebih rendah dibandingkan dengan laju metabolisme basal pada waktu istirahat dengan posisi berbaring (Williams, 1988).

Pada penelitian ini, ikan yang telah dipingsankan kemudian ditempatkan di rak – rak ! yang tersusun di dalam kotak ! . Pada setiap rak – rak ! tersebut, ikan dialasi dan ditutupi oleh busa yang lembab dan dingin. Sehingga di dalam kotak ! terdapat susunan rak dan di setiap rak tersusun lapisan busa – ikan – busa. Setiap rak tersebut terdapat 10 ekor ikan. Pola penempatan dan penyusanan ikan di dalam kemasan kotak ! dapat dilihat pada Lampiran 5 hingga Lampiran 8.

</ </ A/ ' ( - % * + &%' * *

Suhu pemingsanan optimum adalah suhu yang dapat menyebabkan ikan berada dalam kondisi pingsan, tetapi tidak menyebabkan kematian ketika ditransportasi menggunakan kontainer pendingin. Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak biasa.

Untuk menentukan suhu pemingsanan optimum, maka ditentukan beberapa titik suhu setelah ikan diperkirakan telah memasuki fase pingsan ringan. Pada tahap ini dilakukan prosedur sebagai berikut:

1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap selama 1 jam dari suhu normal hingga tercapai suatu titik suhu pemingsanan ikan (3, 4, 5, dan 6).

2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu pemingsanan tersebut.

3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan dipertahankan pada suhu 100C. 4) Ikan kemudian ditransportasi (statis) selama 1 jam. Suhu pemingsanan yang

menghasilkan nilai SR paling tinggi setelah ikan disadarkan, maka suhu tersebut ditetapkan sebagai suhu pemingsanan optimum.

5) Jika dari perlakuan diatas dapat dihasilkan nilai SR 100%, maka lama waktu transportasinya dinaikkan mulai dari 3 jam. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa lama nilai SR 100% dapat dipertahankan pada saat ikan ditranportasi.

</ </ @/ ' ( - % : *% &%' * *

Suhu penyimpanan merupakan suhu dalam kemasan yang tetap dipertahankan stabil selama dilakukannya transportasi. Suhu penyimpanan optimum adalah suhu yang dapat mempertahankan ikan tetap dalam kondisi pingsan, namun tidak menyebabkan kematian pada ikan tersebut. Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak biasa.

Untuk menentukan suhu ruang penyimpanan optimum, maka akan dilakukan prosedur sebagai berikut:

1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap selama 1 jam dari suhu normal hingga tercapai suhu pemingsanan optimum.

2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu pemingsanan tersebut.

3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan ke dalam peti kemas. Jika suhu penyimpanan 100C dengan lama traportasi 3 jam (tahap sebelumnya) tidak menghasilkan nilai SR 100%, maka suhu penyimpanannya dinaikkan menjadi 120C, 140C, 160C, 180C, dan 200C. 4) Jika terdapat nilai SR 100% setelah suhu penyimpanannya dinaikkan, maka

lama waktu transportasinya dinaikkan mulai dari 6 jam. Suhu penyimpanan yang menghasilkan nilai SR paling tinggi merupakan suhu penyimpanan optimum.

</ </ !/ + $ - 9 (' % * + ' $- ) % ,

Waktu pemingsanan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu air dari suhu normal (± 270C) sampai pada suhu pemingsanan ikan. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai waktu pemingsanan (2, 4, 6, dan 8 jam) terhadap tingkat kelulusan hidup (( . /SR) ikan maskoki selama transportasi (statis) sistem kering.

Lama waktu pemingsanan yang berbeda – beda tersebut diatur dengan cara mengatur volume media air yang terdapat di dalam bak pemingsanan ikan. Dengan volume air yang berbeda – beda, maka beban panas pada air yang terdapat di dalam bak pemingsanan ikan juga berbeda – beda pula. Dengan beban panas yang berbeda – beda tersebut, maka lama waktu yang dibutuhkan alat

untuk mencapai suhu pingsan ikan akan berbeda – beda pula. Sehingga dengan mengatur volume air yang terdapat di dalam bak pemingsanan ikan, lamanya waktu pemingsanan ikan dapat dikontrol sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.

Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak biasa. Untuk megetahui pengaruh berbagai waktu pemingsanan terhadap nilai SR, maka dilakukan prosedur sebagai barikut:

1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai waktu pemingsanan (2, 4, 6, dan 8 jam) hingga tercapai suhu pemingsanan optimum.

2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu pemingsanan tersebut.

3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak biasa bermedia pengisi busa lembab dan dingin, lalu kemasan tersebut dimasukkan ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan merupakan suhu penyimpanan optimum.

4) Pengaruh berbagai waktu pemingsanan terhadap nilai SR dapat diketahui setelah ikan ditransportasi (statis) selama 6 jam. Waktu pemingsanan yang menghasilkan nilai SR tertinggi merupakan waktu pemingsanan optimum.

</ </ ;/ + $ - % $ (& '$ ' $- ) %

Laju konsumsi O2 oleh ikan akan menurun seiring dengan menurunnya kandungan O2 terlarut di dalam air, sehingga akan menurunkan laju metabolismenya (Fry, 1957). Penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan diharapkan dapat mengurangi laju metabolisme ikan yang dikemas di dalamnya. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai penurunan konsentrasi O2 (menjadi 21% (kontrol), 15%, 10%, dan 5%) di dalam kemasan terhadap tingkat kelulusan hidup (nilai SR) ikan maskoki selama transportasi (statis) sistem kering. Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah jenis kemasan rak berisi udara.

Konsentrasi O2dapat diatur dengan mengatur konsentrasi CO2dan N2dalam volume suatu ruang. Pada penelitian ini penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan dilakukan dengan cara menaikkan konsentrasi N2 di dalam kemasan, sedangkan konsentrasi CO2 dibiarkan tetap pada kisaran 0.03% (konsentrasi normal). Sehingga bila konsentrasi O2 di dalam kemasan diturunkan menjadi 15%, maka konsentrasi N2 di dalam kemasan naik menjadi 84.97% dan

konsentrasi CO2 tetap pada kisaran 0.03%. Begitu pula bila konsentrasi O2 di dalam kemasan turun menjadi 10%, maka konsentrasi N2 naik menjadi 89.97% dan konsentrasi CO2tetap pada kisaran 0.03%. Pada penurunan konsentrasi O2di dalam kemasan menjadi 5%, maka konsentrasi N2 naik menjadi 94.97% dan konsentrasi CO2tetap pada kisaran 0.03%. Sedangkan untuk kontrol, konsentrasi O2 di dalam kemasan tidak diturunkan atau tetap pada kisaran 21%, sehingga konsentrasi N2dan CO2di dalam kemasan tersebut pun tidak berubah atau tetap pada konsentrasi 78% dan 0.03% (konsentrasi normal).

Pengaturan konsentrasi O2 di dalam kemasan dilakukan dengan cara memasukkan udara dengan konsentrasi O2yang telah diatur sebelumnya, setelah udara awal di dalam kemasan disedot keluar (divakumkan terlebih dahulu). Pengaturan konsentrasi O2 pada udara yang akan dimasukkan ke dalam kemasan dilakukan dengan menggunakan $ . Udara dengan konsentrasi O2yang telah diatur tersebut, dimasukkan ke dalam kemasan sebanyak ±10 l. Kemasan yang digunakan pada tahap ini adalah kemasan rak berisi udara.

Untuk mengetahui pengaruh berbagai penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan, maka dilakukan prosedur sebagai berikut:

1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan lama waktu pemingsanan optimum.

2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu pemingsanan tersebut.

3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak berisi udara bermedia pengisi busa lembab dan dingin. Setelah udara awal di dalam kemasan disedot keluar, udara dengan konsentrasi O2 yang telah diatur dimasukkan ke dalam kemasan sebanyak ±10 l. Kemasan yang telah diisi udara tersebut lalu dimasukkan ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan merupakan suhu penyimpanan optimum.

4) Pengaruh berbagai berbagai penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan terhadap nilai SR dapat diketahui setelah ikan ditransportasi (statis) selama 6 jam. Tingkat penurunan konsentrasi O2 yang menghasilkan nilai SR tertinggi merupakan tingkat penurunan konsentrasi O2optimum.

</ </ 5 / ' ( 9 (' '$ %&$' ' ' &%' * *

Pada tahap 8 tahap sebelumnya diperoleh perlakuan – perlakuan optimum, seperti: suhu pemingsanan optimum, suhu penyimpanan optimum, waktu pemingsanan optimum, serta tingkat penurunan konsentrasi O2 optimum. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui seberapa lama ikan dapat ditransportasikan dengan tingkat kelulusan hidup (nilai SR) tertinggi, setelah diberi perlakuan – perlakuan optimum tersebut. Untuk mengetahui waktu transportasi optimum, maka dilakukan prosedur sebagai berikut:

1) Ikan dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan lama waktu pemingsanan optimum.

2) Setelah tercapai suhu pemingsanan, ikan ditahan selama 5 menit pada suhu pemingsanan tersebut.

3) Pada kondisi pingsan, ikan dengan cepat dikemas ke dalam kemasan rak berisi udara bermedia pengisi busa lembab dan dingin. Kemasan tersebut kemudian diisi udara sebanyak ±10 l dengan tingkat penurunan konsentrasi O2optimum. Gas tersebut diisi setelah udara awal pada kemasan tersebut dikeluarkan (divakumkan). Kemasan yang telah diisi gas tersebut lalu dimasukkan ke dalam peti kemas. Suhu di dalam kemasan merupakan suhu penyimpanan optimum.

4) Ikan kemudian ditransportasikan (statis) selama beberapa selang waktu tertentu (6, 12, 18, 24, 28 jam). Selang waktu transportasi yang dapat menghasilkan nilai SR paling tinggi, merupakan waktu transportasi optimum pada transportasi ikan maskoki hidup sistem kering.

4/

=/ 5/ + # &( ' ) +

Hasil pengamatan terhadap kondisi ikan pada pengujian toksisitas media pengisi selama 1 x 24 jam disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

7 , / & ) ( * (&( % ) % + # '&( ' * ) % +

Jam ke8 Kondisi ikan

0 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir 8 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir 16 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir 24 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa tidak ada ikan yang berlendir, sekarat, atau mati selama waktu pengamatan. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa busa tersebut tidak bersifat toksik bagi ikan ketika digunakan sebagai media pengisi. Menurut Berka (1986), ikan yang dalam keadaan sehat dan baik mempunyai tanda – tanda diantaranya yaitu ikan dapat berenang normal, bergerak aktif terhadap ransangan fisik dari luar, dan tidak terdapat luka pada tubuhnya.

Menurut Affandi dan Tang (2002), ketika suatu bahan pencemar (polutan) baik yang berupa senyawa organik atau pun senyawa anorganik dalam bentuk padat atau cair, yang masuk ke dalam suatu perairan dalam jumlah tertentu, maka akan mempengaruhi kondisi kualitas air. Kondisi kualitas air tersebut akan mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut, yang direfleksikan oleh adanya perubahan baik pada tingkat sel maupun pada tingkat organisme. Jika suatu bahan pencemar terdeteksi oleh sistem sensori (reseptor) dari ikan yang berada pada perairan yang tercemar, dan bahan pencemar tersebut dikenal ikan sebagai hal yang berbahaya, maka ikan tersebut akan segera keluar dari kawasan tersebut dan melarikan diri menuju perairan yang bebas dari bahan pencemar tersebut. Namun apabila ikan tersebut tidak memungkinkan untuk keluar dari kawasan tersebut, maka ikan tersebut akan berupaya memperkecil

kontak permukaan luar tubuhnya dengan cara memproduksi mukus (lendir) yang banyak dan berusaha menyelimuti tubuhnya termasuk bagian insangnya.

Adanya bahan toksik di media hidup ikan dalam waktu yang singkat (dalam hitungan menit hingga beberapa hari) dapat menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan biokimia di dalam tubuhnya (misalnya: aktivitas enzim, sintesis protein, sistem lemak, dan lain – lain). Jika penurunan kualitas air tersebut berjalan terus dan berada pada kondisi kronis, maka akan menyebabkan gangguan fisiologis yang berujung pada penurunan laju pertumbuhan dan keberhasilan reproduksi pada tingkat individu. Penurunan kualitas air yang berujung pada perubahan kondisi ekologis dapat menyebabkan penurunan populasi, komposisi komunitas, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan perubahan fungsi ekosistem perairan.

=/ / : $ % $ ) +

Hasil pengukuran terhadap daya serap oleh air busa sebagai media pengisi, dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

7 , </ : $ % $ * ) % + 7

Daya serap air Ulangan ke8 Berat kering

(gram)

Berat basah

(gram) % Berat kering (Bk) % Berat basah (Bb) 1 12.46 25.7 106.3 51.5 2 12.55 32.6 159.8 61.5 3 12.52 30.5 139.6 58.95 Rata 8 rata 135.23 57.32

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 3 di atas, diketahui daya serap air oleh busa sebagai media pengisi adalah rata – rata 135.23% berat kering dan 57.32% berat basah. Dari hasil pengukuran Prasetiyo (1993) diketahui bahwa daya serap air oleh sekam padi adalah 75% berat kering dan 42.9% berat basah, serbuk gergaji adalah 113% berat kering dan 53.1% berat basah,

serutan kayu adalah 75% berat kering dan 42.9% berat basah, sedangkan # laut adalah 290% berat kering dan 74.4% berat basah.

Untuk lebih jelasnya, hasil pengukuran Prasetiyo (1993) terhadap daya serap air pada beberapa media pengisi tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

7 , =/ : $ % $ 7 7 $ % * ) % + $ ' :&2 5;;<

Daya serap air No. Jenis bahan pengisi

% Bk % Bb

1 Sekam padi 75 42.9

2 Serbuk gergaji 113 53.1

3 Serutan kayu 75 42.9

4 # laut 290 74.4

Pada penelitian yang dilakukan oleh Muslih (1996), pengukuran daya serap air terhadap sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu sebagai bahan pengisi, dilakukan dengan cara menambahkan/memberikan air laut sebanyak 100% dari bobot kering sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu tersebut. Dari hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa daya serap air oleh sekam padi sebesar 49.44% berat basah, serbuk gergaji sebesar 50.60% berat basah, dan serutan kayu sebesar 42.22% berat basah.

Sedangkan pengukuran daya serap air terhadap rumput laut # sp. dan # sp. dilakukan dengan cara merendam rumput laut tersebut hingga beberapa jam. Dari hasil pengukuran tersebut didapatkan bahwa rumput laut # sp yang direndam selama 12 jam dan kemudian dilakukan penirisan selama 1 jam, memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu perendaman dan waktu penirisan yang lainnya. Sedangkan rumput laut #

sp yang direndam selama 4 jam dan kemudian dilakukan penirisan selama 1 jam, memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu perendaman dan waktu penirisan yang lainnya. Kadar air paling tinggi pada rumput laut#

sp. adalah sebesar 85.06% berat basah, sedangkan kadar air paling tinggi pada rumput laut# sp. adalah sebesar 70.43% berat basah.

Untuk lebih jelasnya, hasil pengkuran Muslih (1996) terhadap daya serap air sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan hasil pengukuran terhadap daya serap air rumput laut # sp. dan# sp. dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

7 , ?/ : $ % $ 7 7 $ % * ) % + , -2 5;;A

Kadar air media pengisi (% Bb) Penambahan

air laut (%)* Sekam padi Serbuk gergaji Serutan kayu

100 49.44 50.60 42.22

* Persentase dari bobot kering

7 , A/ : $ % $ * ) % + $ *% ' , ' , -2 5;;A Kadar air (% Bb) Lama perendaman (jam) Lama penirisan (jam) # sp. # sp. 0 0 13.45 11.22 1 83.57 70.76 4 2 3 4 82.79 84.22 83.01 68.96 67.53 64.95 8 1 2 3 4 83.35 84.11 83.17 82.15 70.35 67.94 66.96 62.87 1 85.06 70.43 12 2 3 4 84.46 83.73 83.06 69.00 66.17 65.85 16 1 2 3 4 84.27 84.12 83.28 83.92 69.93 39.38 66.89 63.99 20 1 2 3 4 84.46 83.69 83.48 83.35 70.01 69.87 66.56 66.73

Dari data – data yang diperoleh pada Tabel 5 dan 6 di atas, ditunjukkan bahwa busa yang merupakan media pengisi yang digunakan pada penelitian ini, memiliki daya serap air yang lebih tinggi dari pada sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu seperti yang terlihat pada data – data hasil pengukuran oleh Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Sehingga berdasarkan daya serap airnya, busa memiliki kapasitas panas yang lebih besar dari pada sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu. Busa yang telah dilembabkan dan didinginkan tersebut akan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari pada bahan pengisi sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu yang telah dilembabkan dan didinginkan.

Daya serap air oleh media pengisi berhubungan erat dengan karakteristik fisik media pengisi tersebut. Karakteristik fisik busa yang memiliki pori – pori kecil yang sangat banyak, sangat halus, dan homogen di seluruh lapisan pada setiap satuan dimensinya, memungkinkan menyerap air lebih banyak dan menahannya lebih baik. Air yang terserap pada busa dapat tertahan di dalam busa tersebut karena adanya tegangan permukaan dari setiap butiran – butiran air yang terperangkap pada setiap pori – pori kecil yang terdapat pada busa tersebut. Serbuk gergaji juga mempunyai daya serap air yang baik karena bentuknya yang berupa partikel – partikel kecil yang relatif halus sehingga memiliki permukaan yang luas untuk menyerap dan menahan air. Serutan kayu memiliki karakteristik fisik berupa lembaran – lembaran yang menyebabkan penyerapan dan pengikatan air kurang sempurna.

Luas permukaan serutan kayu lebih kecil dibandingkan dengan serbuk gergaji, sehingga menyebabkan kemampuannya untuk menyerap dan menahan air lebih kecil dari pada serbuk gergaji. Sedangkan karakteristik fisik pada sekam padi yang berbentuk menyerupai kantong dapat berfungsi untuk menyimpan air, meski pun hanya sementara. Sekam padi mempunyai luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan serutan kayu, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan serbuk gergaji, sehingga air yang dapat diserap dan ditahan oleh sekap padi tersebut lebih besar dari pada serutan kayu dan lebih kecil dari pada serbuk gergaji.

Akan tetapi data – data di atas juga menunjukkan bahwa daya serap air oleh rumput lebih besar dari pada daya serap air oleh busa. Sehingga rumput laut yang telah dilembabkan dan didinginkan tersebut memiliki kapasitas panas yang lebih besar dan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari pada bahan pengisi busa. Daya serap air rumput laut yang besar tersebut dipengaruhi oleh komponen kimiawi penyusunnya. Komponen penyusun utama rumput laut adalah polisakarida yang mempunyai banyak sekali gugus hidroksil yang bertanggung jawab atas afinitas air dan berpotensi tinggi membentuk ikatan hidrogen (Angka dan Suhartono, 2000). Hal tersebut yang menyebabkan rumput laut dapat bersifat higrokopis, sehingga dapat menyerap dan menahan air lebih banyak dari pada busa.

Pada penelitian yang dilakukan Prasetiyo (1993), pengamatan terhadap media pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan, # sp. mulai menimbulkan bau basi dan berlendir setelah 48 jam digunakan. Sedangkan bau khas ketiga media pengisi lainnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan. Seperti pada sekam padi, bau khas sekam berkurang setelah dilakukan pengemasan. Begitu pula pada serbuk gergaji dan serutan kayu, bau khas damarnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan. Hasil pengamatan Prasetiyo (1993) terhadap bau yang ditimbulkan oleh media pengisi setelah pengemasan, lebih jelas dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.

7 , @/ , % + * ' ' $- ) % 7 * ) % + $ ' :&2 5;;<

Bau No. Jenis bahan

pengisi Sebelum direndam Setelah direndam Setelah dikemas kerusakan

1. Sekam padi Bau khas

sekam

Bau sekam kurang

Bau sekam

kurang 8

2. Serbuk gergaji Bau khas damar

Bau damar kurang

Bau damar

kurang 8

3. Serutan kayu Bau khas

damar Bau damar kurang Bau damar kurang 8 4. # sp. Bau khas rumput laut Bau khas

Pada penelitian yang dilakukan Muslih (1996), pengamatan terhadap media pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan selama 15 jam, media pengisi

Dokumen terkait