• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. TEORI TERKAIT

4. Budidaya Daphnia sp

Salah satu metode kultur Daphnia sp. yang sering digunakan adalah metode pemupukan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik

dan anorganik. Menurut Boyd dalam Casmuji (2002), pupuk organik lebih efektif dibandingkan dengan pupuk anorganik. Pupuk organik dapat berfungsi sebagai sumber makanan secara langsung untuk Daphnia sp. dan organisme makanan ikan lainnya atau diuraikan oleh bakteri menjadi bahan-bahan organik yang merangsang pertumbuhan fitoplankton dan zooplankton. Umumnya kolam yang dipupuk dengan pupuk organik dan anorganik dapat meningkatkan produksi makanan alami ikan yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi ikan.

Pupuk organik yang biasa digunakan untuk kultur Daphnia sp. adalah kotoran ayam, kotoran sapi, kotoran babi, kotoran kambing/domba dan kotoran kuda. Namun, dari berbagai jenis kotoran tersebut menurut Kadarwan dalam Casmuji (2002) kotoran ayam dianggap lebih baik dari pada kotoran kandang lainnya. Seperti dicantumkan oleh Kadarwan dalam Casmuji (2002) pada tabel 2.1, terlihat bahwa kotoran ayam mengandung unsur hara yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kotoran kandang lainnya. Kadar nutrisi kotoran ayam berdasarkan analisa proksimat adalah protein 11,25%, lemak 0,78%, serat kasar 4,71%, air 0% dan abu 54,20% (Chumaedi dan Djajadiredja, 1982).

Tabel 2.1 Kandungan Unsur Hara pada Beberapa Pupuk Kandang Jenis

Kadar (%)

Nitrogen Phospor Kalium Bahan Organik

Kotoran ayam 4 3.2 1.9 74 Kotoran Kambing 2.77 1.78 2.88 60 Kotoran domba 2 1 2.55 60 Kotoran babi 1 0.75 0.85 30 Kotoran kuda 0.7 0.34 0.52 60 Kotoran sapi 0.7 0.3 0.65 30 Sumber : Kadarwan (1974)

Kusumaryanto (2001) menyatakan bahwa laju pertumbuhan dan puncak populasi tertinggi diperoleh pada Daphnia sp. yang diukur dalam media kotoran ayam yang menggunakan konsentrasi 2,4 g/l dengan padat penebaran awal 18 ekor/l.

5. Kotoran Ayam

Tinja masih mengandung banyak komponen zat makanan setelah keluar dari saluran pencernaan tanpa sempat dicerna atau belum diserap sepenuhnya. Kandungan zat makanan dalam tinja tergantung dari : 1. kondisi fisiologi ayam, 2. ransum yang diberikan, 3. lingkungan kandang (suhu dan kelembaban udara). Komposisi fisik dipengaruhi oleh daya cerna, kandungan protein, kandungan serat kasar dan energy metabolism,

serta karakteristik lainnya (Sheppard dkk dalam Subagyo, 1981). Menurut laporan Smith dan Whecler dalam Subagyo (1981) tergantung pada ransum yang dimakan, pengumpulan dan pengolahan.

Smith dalam Subagyo (1981) mengatakan bahwa nitrogen yang dieksresikan lewat urine 75%, sedangkan lewat tinja hanya 25%. O’Dell dkk dalam Subagyo (1981) menganalisa nitrogen dalam urine ayam dan melaporkan hasil analisanya bahwa terdapat N-urea 4,5%, N-NH3 10%, N-asam amino 2,2%, N-asam urat 80,7% dan N-lainnya ada 2,1%. Produk lainnya itu terdiri dari base nitrogen, nitrogen, dan dikemukakan 90% nitrogen dalam tinja ayam adalah N-protein sejati. Menurut Scaible dalam Subagyo (1981) tinja ayam mengandung protein kasar 16–35% dengan protein sejati 10–11%. Kandungan N-protein total akan menurun dengan semakin tingginya temperatur atau lamanya pemanasan (Sheppard dkk dalam Subagyo, 1981).

6. Dedak

Dedak padi merupakan limbah pengolahan padi menjadi beras dan kualitasnya bermacam-macam tergantung dari varietas padi. Dedak padi adalah hasil samping pada pabrik penggilingan padi dalam memproduksi beras. Dedak padi merupakan bagian kulit ari beras pada waktu dilakukan proses pemutihan beras. Dedak padi digunakan sebagai pakan ternak, karena mempunyai kandungan gizi yang tinggi, harganya relatif murah, mudah diperoleh, dan penggunaannya tidak bersaing dengan manusia.

Produksi dedak padi di Indonesia cukup tinggi per tahun dapat mencapai 4 juta ton dan setiap kwintal padi dapat menghasilkan 18-20 gram dedak. Proses penggilingan padi dapat menghasilkan beras giling sebanyak 65% dan limbah hasil gilingan sebanyak 35%, yang terdiri dari sekam 23%, dedak dan bekatul sebanyak 10%. Protein dedak berkisar antara 12-14%, lemak sekitar 7-9%, serat kasar sekitar 8-13% dan abu sekitar 9-12% (Rasyaf dalam Casmuji 2002).

Dedak padi merupakan bahan pakan yang telah digunakan secara luas oleh sebagian peternak di Indonesia. Sebagian bahan pakan yang berasal dari limbah agroindustri. Dedak mempunyai potensi yang besar sebagai bahan pakan sumber energi bagi ternak. Kelemahan utama dedak padi adalah kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi, yaitu 13,0% dan adanya senyawa fitat yang dapat mengikat mineral dan protein sehingga sulit dimanfaatkan oleh enzim pencernaan. Inilah yang merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam penyusunan ransum. Namun, dilihat dari kandungan proteinnya yang berkisar antara 12-13,5 %, bahan pakan ini sangat diperhitungkan dalam penyusunan ransum unggas. Dedak padi mengandung energi termetabolis berkisar antara 1640–1890 kkal/kg. Kelemahan lain pada dedak padi adalah kandungan asam aminonya yang rendah, demikian juga halnya dengan vitamin dan mineral (Rasyaf dalam Casmuji 2002).

Sebagai bahan pakan, dedak padi mempunyai beberapa karakter yaitu mempunyai struktur yang cukup kasar, mempunyai bau khas wangi

dedak, berwarna coklat dan tidak menggumpal. Dedak padi umumnya tidak tahan disimpan dan cepat menjadi tengik. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak. Dedak padi ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh waktu atau musim. Pakan ini merupakan bahan yang bersifat mudah rusak selama penyimpanan jika disimpan melebihi waktu tertentu (Rasyaf dalam Casmuji 2002).

7. Kualitas Air a. Suhu

Kehidupan Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain temperatur, oksigen terlarut dan pH. Daphnia sp. dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan lingkungannya karena termasuk dalam kategori hewan yang eritropik. Daphnia sp. tahan terhadap fluktuasi suhu harian ataupun tahunan. Kisaran suhu yang ditolerir Daphnia sp. bervariasi dengan umur dan adaptasinya pada suhu tertentu. Daphnia magna yang telah diadaptasikan pada suhu 29– 32,5 OC menjadi lebih tahan lama pada suhu 37–39,5 OC, sedangkan adaptasi pada suhu rendah memungkinkan spesies ini hidup pada suhu 3OC di bawah nol. Yuliati (1985) dalam Subagyo (1981) menyatakan bahwa untuk kultur Daphnia sp. umumnya digunakan suhu antara 24– 28 OC, sedangkan untuk kultur massal Daphnia sp., suhu optimum yang digunakan berkisar antara 25–30OC (Geavskaya dalam Kusumaryanto, 2001). Pennak (1953) dalam Firmandus (2014)

mengatakan bahwa umur Daphnia magna bergantung pada suhu lingkungan. Pada suhu 28 OC, 18 OC, 8OC masing-masing dapat mencapai umur 26, 42, 108 hari.

Siklus hidup Daphnia sp. sangat bervariasi tergantung spesies dan lingkungannya. Djarijah (1995), menyatakan suhu air media yang rendah antara 14–17OC akan menghasilkan individu jantan, di mana kondisi tersebut akanmengubah metabolism Daphna sp. sehingga dapat mempengaruhi mekanisme kromosom. Daphnia sp. akan mencapai reproduksi tertinggi pada suhu 21OC.

b. pH

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktifitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Umumnya Cladocera dapat hidup pada kisaran pH antara 6,5–8,5 (Pennak, 1953) dalam Firmandus (2014). Hal ini dikuatkan oleh Innes (1966) dalam Kusumaryanto (2001) yang menyebutkan bahwa jenis-jenis Cladocera yang hidup dalam perairan asam tidak dapat mencapai populasi besar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Zarinskaya; Rodiana; Ivleva (1973) dalam Casmuji (2002), yang menyatakan bahwa lingkungan perairan netral dan relatif basa yaitu pada kisaran nilai pH 7,1–8,0 lebih baik untuk pertumbuhan

Daphnia sp. Selanjutnya Mudjiman (1985) dalam Kusumaryanto (2001) menyatakan bahwa pada lingkungan yang ber-pH antara 6,6– 7,4 Daphnia sp. telah menjadi dewasa pada umur 4–5 hari, sedangkan menurut Djarijah (1995) Daphnia sp mampu hidup pada pH 6,3–6,7.

c. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan Daphnia sp. menurut Ivleva dalam Ansaka (2002), Daphnia sp. dan Moina sp. hidup di dalam air yang kadar oksigennya bervariasi dari hampir nol sampai dengan lewat jenuh. Umumnya Daphnia sp. dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut yang cukup tinggi yaitu 4,2–5,1 ppm Casmuji (2002).

Daphnia sp tidak berkembang biak pada konsentrasi oksigen terlarut kurang dari saru ppm. Daphnia obusta dan D. thomsoni masing-masing mati pada konsentrasi oksigen 00,2 dan 0,4 ppm. Sementara D. pulex dan D. magna mati pada konsentrasi oksigen antara keduanya. D. longispina mati pada konsentrasi oksigen 0,6 ppm, dan beberapa Moina sp. mati pada konsentrasi 0,8 ppm (Pennak dalam Casmuji (2002).

Ketahanan Daphnia sp. dalam perairan yang miskin oksigen mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam mensintesis hemoglobin. Naiknya kadar hemoglobin dalam darah Daphnia sp. selain diakibatkan oleh kurangnya oksigen terlarut di perairan juga

diakibatkan oleh naiknya temperature dan tingginya kepadatan populasi Daphnia sp. itu sendiri. (Ivleva dalam Ansaka (2002).

Tabel 2.2 Status Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut No Kadar Oksigen Terlarut Status Kualitas Air

1 >6,5 Tidak tercemar sampai tercemar

sangat ringan

2 4,5–6,4 Tercemar ringan

3 2,0–4,4 Tercemar sedang

4 <2,0 Tercemar berat

Sumber Jeffries/mills, (1996) dalam Budin (2015)

Dokumen terkait