• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung

Kegiatan perikanan di waduk merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1974 di Waduk Jatiluhur mulai dilakukan penelitian dan uji coba pemeliharaan ikan di karamba. Dasar hasil penelitian tersebut maka dimulai budidaya ikan di Waduk Saguling, selanjutnya berkembang ke Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, dan Waduk Kedung Ombo. Budidaya ikan dalam karamba di Waduk secara intensif

mulai dilakukan pada tahun 1986 (Hardjamulia et al. 1991) dan perkembangan

yang paling pesat baru mulai pada tahun1988 (Kartamiharja 1995).

Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena terdapatnya potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan yang tersedia, kelestarian sumberdaya, kemudahan melaksanakannya, sudah tersedianya paket teknologi budidaya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan

hasil secara ekonomis menguntungkan (Hardjamulia et al. 1991).

Budidaya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya ikan di Waduk Cirata termasuk ke dalam kegiatan budidaya intensif karena pakan ikan yang

diberikan 100% adalah pakan buatan (pelet). Frekuensi pemberian pakan rata-rata tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan komersial (pelet) mengandung protein tinggi (lebih dari 20%) dengan kandungan nutrisi lainnya cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas perairan. Pertambahan jumlah KJA budidaya ikan di Waduk Cirata yang dimulai tahun 1987, sampai tahun 2002 semakin meningkat. Peningkatan jumlah KJA sampai tahun 1997 dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi mulai tahun 1998 peningkatan jumlah KJA tidak sejalan dengan peningkatan produksinya. Hal ini diduga karena kualitas air di Waduk Cirata yang mulai menurun setelah tahun 1997 sampai tahun 2002, serta akibat sering terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat

pencemaran dan terserang virus herpes (Prihadi et al. 2005).

Ryding dan Rast (1989) mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi karamba yang digunakan untuk produksi ikan. Di awal masa pertumbuhan, karamba ditebari ikan kecil, selanjutnya ikan diberi pakan pelet yang kaya hara dan diberikan pada interval waktu tertentu. Di dalam wilayah perlindungan karamba tersebut, ikan tumbuh cepat dan biasanya dipanen pada akhir masa pertumbuhan.

Menurut Sukadi et al. (1989) KJA merupakan tempat pemeliharaan ikan

yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa sehingga terjadi pertukaran air dari karamba ke perairan

sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Hardjamulia et al. (1991)

mengemukakan prinsip dasar pada KJA yaitu sebagai wadah yang semua sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring yang dapat menampung ikan di dalamnya, terjadi pertukaran air dari dalam dan luar keramba serta kotoran dan sisa-sisa pakan ke luar dari karamba ke lingkungan perairan sekitarnya.

Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa sejak tahun 1988 budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan waduk dan danau. Fenomena ini digambarkan dengan keadaan di Jawa Barat yaitu di Waduk Saguling, Cirata dan

Jatiluhur. Jumlah karamba meningkat dari 1.367 unit pada tahun 1988 menjadi 14.215 unit pada tahun 1995. Produksi ikan juga meningkat dari 2.651 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada tahun 1995 atau rata-rata meningkat 75% per tahun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada budidaya ikan di KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Salah satu teknologi yang telah dikembangkan untuk menanggulangi jumlah pakan yang terbuang sekaligus menanggulangi pencemaran perairan adalah dengan karamba jaring apung ganda. Dalam pelaksanaan teknologi ini, pakan diberikan hanya untuk ikan utama (pada umumnya ikan mas). Ikan utama dipelihara pada jaring lapisan atas sedangkan dalam jaring lapisan bawah dipelihara ikan yang dapat memanfaatkan pakan yang terbuang dari jaring lapisan atas (contoh: ikan nila). Hasil uji coba di Waduk Jatiluhur dengan jaring lapisan atas ukuran 6m x 6m x 2m untuk ikan mas dan jaring lapisan bawah 7m x 7m x 3m untuk ikan nila, dengan lama pemeliharaan 90 hari, diperoleh produksi rata-rata ikan mas saat panen adalah 15 kali dari bobot awal, sedangkan ikan nila diperoleh produksi 10 kali. Konversi pakan ikan mas didapatkan 1,6 dan ikan nila 1,0.

Karamba jaring apung secara umum merupakan kegiatan ekonomi yang menguntungkan jika dikelola dengan baik, sehingga telah menarik investor baik di investor dari masyarakat sekitar waduk itu sendiri maupun investor dari luar masyarakat sekitar Waduk Cirata. Perkembangan KJA di Waduk Cirata sangat cepat. Menurut Garno (2000), pada tahun 1999 tedapat 27.786 KJA dengan produksi ikan 25.114 ton. KJA di Waduk Cirata telah menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003, tercatat sebanyak 38.276 unit KJA sehingga sisa pakan yang berada di dasar waduk adalah sebesar 279.121 ton (Prihadi 2005).

Menurut Schimittou (1991) dalam Adnyana (2001), KJA kondisinya sangat

tidak teratur dan telah melampaui batas lestari (1%) dari total area yang tersedia. Sisa pakan dan kotoran ikan yang berlebihan telah menimbulkan endapan sekitar 10% dari total pakan yang diberikan. Dari akumulasi endapan di dasar waduk

kondisi perairan menjadi eutrofikasi yang menjadi bahaya laten budidaya ikan perairan waduk yang dapat mengakibatkan kematian masal pada ikan.

Limbah dari aktivitas KJA di Waduk Cirata yang menumpuk di dasar perairan waduk telah menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan perairan maupun terhadap kelangsungan umur waduk dan kegiatan usaha perikanan. Sebagai contoh, adanya hujan terus menerus selama minimal dua hari mendung dan atau gerimis apalagi diikuti dengan angin yang cukup kencang, akan berakibat munculnya peristiwa pembalikan massa air di dasar perairan ke perairan bagian atas, sehingga zat beracun yang sudah lama terakumulasi di dasar perairan

terangkat ke atas. Peristiwa ini disebut dengan kejadian umbalan yang

mengakibatkan kematian massal pada ikan dalam KJA.

Dokumen terkait