• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAU BUKAN KAKAK KAM

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 39-44)

OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar, shalat di surau, lancar ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak Laisa selama seminggu terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah.

Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte.

Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda tanggung, setengah hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besar-besar, setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah hari lagi dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan, memakunya dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan, beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.

Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu meyiapkan kue-kue kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang. Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi setelah lelah bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih mengepul terasa nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan sambil menyantap makan siang.

Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk menjelaskan bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki dewasa lainnya. Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, tidak banyak bicara.

Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta, ia membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi kincir. Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa- pipa'. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama lain bertengkar).

"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.

"Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak?" Laisa menoleh, menyeka dahinya, melepas gagang pelepah nyiur, uap mengepul dari dandang besar penanak nasi, menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.

"Tidak ada, Lais"

"Ee, tadi ada di sana, Mak...."

"Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja!"

Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.

Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana pula Ikanuri dan Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul di sini, bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama teman sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang pasir, basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuk- nunjuk kincir air yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di antara anak-anak lainnya.

"Apa perlu Lais cari, Mak?" Mamak Lainuri berpikir cepat,

"Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak pernah ada di keluarga kita yang berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja—" Mamak mengomel tertahan.

"Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!"

Muka Mamak mendadak memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.

"Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu—"

Laisa menelan ludah. Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu. Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan Dalimunte. Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.

Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan Dalimunte hanya keliru satu hal, jumlah potongan bambu yang dibutuhkan. Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil belasan bambu berikutnya.

"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—" Laisa berbisik ke Mamak.

Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik kentara sekali jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai, duduk membuat kelompok- kelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.

"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari—"

Mamak menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah satu tetangga sebelah rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana. Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.

Laisa tidak perlu diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air yang digunakannya untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut. Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus diperiksa adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu.

Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas. Laisa menyeka keringat di leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.

Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia. Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga di jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing. Tidak ada.

Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi. Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok rumbia ladang padi mereka.

Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama. Penduduk kampung lembah itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka menanam padi, biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan.

Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok rumbia ladang mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya, dua anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan pohon mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung mereka seolah terpisah dari hutan rimba.

Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang ranum- ranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol buah yang besar- besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak.

"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan. "Sebentar." Suara itu ikut tertahan.

"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..." "Sebentar, celanaku tersangkut—"

GEDEBUK!

Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh, kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa untuk mengenali siapa.

Persis seperti radio yang tiba-tiba disetel kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat.

Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap jerih Kak Laisa yang mendekat. Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?"

"Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar begitu kan, Wibi?—" Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin ngarang, dengan wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk,

"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—" "DIAM!!"

"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—"

"DIAM!! Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!"

Kak Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan salah satu ujung dahan semak belukar.

Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua. "Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?"

Kak Laisa menunjuk dua-tiga buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki mereka. Terjatuh dari saku celana.

"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"

"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—" Kak Laisa benar-benar jengkel.

"Berani sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA."

Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.

Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa.

"Apa yang kalian lakukan sepanjang siang? Main-main di Curug Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA COBA!?"

Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.

"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??" Kak Laisa mendesis.

"Kalau Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh masuk rumah malam ini. Kalau Mama tahu...."

Kak Laisa menelan ludah, berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi marah besar.

"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—" Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah.

Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa. "AYO, PULANG!"

Tusukan ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri.

"PULANG KATAKU! SEKARANG!!" "TIDAK MAU!"

Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.

"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!" "TIDAK MAU!" Ikanuri melotot.

Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh mendengar keributan.

"Kami tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut!"

Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.

Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah pohon mangga. Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku.

"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"

"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"

Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani.

"LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"

Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar? Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas.

"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis.

Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya.

"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.

"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata. "Kau bukan kakak kami!"

"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu,"

Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis. "Kau jelek! Jelek! JELEK!"

"Hentikan Ikanuri—" "Pendek! Pendek!"

"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — " "Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!"

Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan, disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri).

Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar.

Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.

Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang

dikatakan adiknya benar sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.

Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.

Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.

Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju Paris. Menjejak batangan baja relnya.

Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.

Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis. Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.

Mengembalikan semua kenangan.

Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujung- ujung matanya.

Ikanuri terisak pelan. Tertahan.

Menatap kosong keluar melewati jendela kereta. Kunang-kunang—

Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....

Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.

14

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 39-44)