• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIMA KINCIR ANGIN

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 34-39)

"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"

Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan gambar-gambarnya.

Dalimunte mengangguk mantap.

"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.

Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan sebagai pembangkit listrik.

"Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."

Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.

"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"

"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,

"Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"

"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."

"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...."

Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.

"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.

"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."

Mengeluh.

"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"

"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya,"

Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan. "Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"

Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —

"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.

Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar.

Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.

"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"

Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah terdiam. Seketika.

Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.

"Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih kokoh."

Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.

Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup.

"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "

Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya. "Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—" Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.

"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!"

Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.

"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"

"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"

"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita

membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat. Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim penghujan! —"

Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.

Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.

"Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.

"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.

"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"

Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk kedua kalinya. Menatap tajam.

Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan idenya.

"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.

Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.

Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.

Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.

Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.

Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.

Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik- adiknya. Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya.

12

BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA "DALIMUNTE sudah di mana?"

"Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan.

Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.

Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak.

"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?"

Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa.

Ikanuri menoleh, mendesis sebal. "epiu confortevole dentro— " Gadis itu membujuk lagi. "Sebentar Lagi—"

Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti.

Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan macam kereta di Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpah- nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya.

Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang. Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus- Manchester United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta.

"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?"

Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung. "Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?"

Ikanuri mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel.

Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.

"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?" Ikanuri bertanya.

"Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua jam lagi." Wibisana menjawab.

"Semoga kita bukan yang terakhir tiba." "Tentu tidak, Ikanuri—"

"Semoga kita tidak datang terlambat."

Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik,

"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...."

Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang.

Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara.

Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis trek gunung masing-masing, "NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan, asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"

Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.

Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri- putri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara. "Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya,

"Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—"

Wulan, Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon Cie Hui, Ummi Intan.

"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" Juwita yang bertanya ke Umminya.

"Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe The Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil.

Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak Intan maksa- maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu.

"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?" "Nggak tahu, sayang—"

"Tante Yashinta juga pulang, kan?" "Nggak tahu. Harusnya iya—" "Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"

"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—" "Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?"

"Nggak tahu, Delima—"

Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya. "Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!"

Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.

Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.

Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu.

Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan ini sederhana.

13

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 34-39)