---
Dalam peta kesusastraan Indonesia, Iwan Simatupang lebih
dikenal seagai novelis ternama. Berkat novel Merahnya Merah
(1968),Ziarah(1969), Kering(1972), danKoong(1975) yang menam-
pilkan renik-renik filsafat eksistensialisme, ia agaknya telah mela- kukan suatu pendobrakan drastis. Pendobrakan tersebut ternyata berhasil dan mendapat berbagai simpati dari sebagian besar pihak. Karena itu tak ayal bila karya-karyanya juga dikenal dunia.
Sebelum namanya mencuat ke permukaan, sastrawan kelahiran Sibolga, Sumatra Utara, pada 18 Januari 1928 ini juga berangkat dari kesederhanaan. Hal itu terlihat pada cerpen-cerpen
karyanya yang dikumpulkan Dami N. Toda dalam buku Tegak
Lurus dengan Langit (Sinar Harapan, 1982). Di antara lima belas cerpen dalam antologi itu tidak seluruhnya berupa cerpen yang sederhana, tetapi ada empat cerpen yang cukup intens, yaitu "Lebih Hitam dari Hitam", "Monolog Simpang Jalan", "Kereta Api Lewat di Jauhan", dan "Tegak Lurus dengan Langit". Sedangkan cerpen lainnya tidak terlalu rumit dan kita dapat mengatakannya sebagai cerpen yang sederhana.
Barangkali keempat cerpen tadi bisa disejajarkan dengan keberadaan novel-novelnya, yang menurut sinyalemen Dami N Toda, mempunyai ciri-ciri: bertemakan kesunyian hidup, berto- koh yang tak punya darah daging, beralur yang serba tak terduga, gaya penyelarasan kualitas ekspresi ke dalam bahasa kisahan, dan lain-lain. Namun, tidak demikian dengan cerpen-cerpen lain
dalam antologi itu.
Cerpen yang dapat dikatakan sederhana, terutama cerpen yang semula dimuat pada surat kabar Warta Harian yang kala itu diredakturi oleh Iwan sendiri. Mungkin sekali kesederhanaan ini karena diakibatkan oleh keterbatasan ruang (rubrik) sebuah surat kabar. Atau mungkin disebabkan oleh ketergesaan Iwan untuk memburu ruang yang belum terisi, sementara surat kabar diburu oleh waktu terbit. Kesederhanaan cerpen itu terutama tampak dalam hal penampilan tema dan masalah. Cerpen "Tak Semua Tanya Punya Jawab", "Oleh-Oleh untuk Pulau Bawean", "Prasa- rana, Apa itu, Anakku", "Aduh, Jangan Terlalu Maju, Atuh", "Husy! Geus! Hoechst", "Di Suatu Pagi", "Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan", dan "Dari Tepi Langit yang lain", semuanya tidak terlalu sulit dipahami.
Cerpen "Tak Semua Punya Jawab" mengisahkan seorang yang tidak berhasil menjawab pertanyaan sendiri. Pertanyaan itu ditujukan kepada seorang pemuda yang duduk di bawah pohon dan kepada dua orang yang sedang bercakap di warung. Sia- pakah sebenarnya mereka itu? Tak pula ada jawabnya, karena itulah tidak semua pertanyaan ada jawabnya, apalagi pertanyaan terhadap diri sendiri. Cerpen "Oleh-Oleh untuk Pulau Bawean" juga amat sederhana permasalahannya. Di situ diceritakan bahwa seorang kakek tua bekas pahlawan bercerita kepada anak-anak tentang kepahlawanannya. Kemudian dia memperta-nyakan apa- kah masih ada jiwa pahlawan di zaman sekarang ini? Bila ada bahagialah batinnya. Itulah sebabnya dia mempertanya-kan hal itu sebab dia sendiri telah mengalami secara nyata.
Dalam "Prasarana, Apa itu, Anakku" diceritakan tentang nenek tua yang menerima telegram kematian anaknya. Tapi telegram itu baru diterima sebulan sesudah kematiannya. Karena itulah sesal terlalu abadi di hati nenek itu. Keterlambatan itu apakah dikarenakan keteledoran jawatan pos ataukah prasarana
yang belum lancar, itulah yang menjadi sebab ketidakjelasan baginya. Karema semua bisa terjadi demikian, maka setiap orang bisa berbuat pura-pura. Cerpen Iwan yang amat sederhana ialah cerpen "Aduh … Jangan Terlalu Maju, Atuh". Dalam cerpen itu dikisahkan seorang murid SD yang bagian kelangkangnya terjepit ritsluiting celananya. Cerpen itu barangkali dapat dikatakan seba- gai cerpen untuk anak dan bernada humor meski ada juga perta- nyaan tentang dampak modernisasi. Hal sederhana yang serupa terdapat dalam cerpen "Di Suatu Pagi" dan "Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan". Kedua cerpen ini menampilkan nasib kaum kecil yang selalu terperdaya oleh keadaan.
Demikian pula cerpen "Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain". Cerpen ini juga mengisahkan kaum miskin yang selalu digusur tempat tinggalnya oleh pemerintah, semen- tara pihak atasan tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Dan memang hal seperti inilah yang menjadi tujuan utama Iwan dalam usaha membenahi situasi dan keadaan masyarakat yang kurang mapan.
Satu hal lagi, Iwan menyuguhkan perihal arti dan fungsi repelita dalam kehidupan bermasya-rakat. Hal itu dituang dalam cerpen "Husy! Geus! Hoechsr". Diceritakan bahwa Pak Dolah, dedengkot sebuah desa, menda-maikan dua orang yang sedang baku hantam. Pak Dolah bilang bahwa mereka berdua tidak boleh demikian sebab zaman repelita ini seharusnya hidup rukun, tidak saling berselisih. Dan Pak Dolah berhasil. Itulah memang yang diharapkan semua umat manusia.
Delapan cerpen sederhana yang telah diuraikan di atas semula semuanya diterbitkan oleh Warta Harian, sebuah harian yang diredakturi Iwan. Cerpen-cerpen itu oleh Dami N. Toda dikatakan sebagai cerpen "potret suasana". Namun, dilihat perma- salahannya tampak jelas, berlatar yang jelas, artinya menunjuk pada tempat tertentu yang jelas pula. Tidak demikian halnya
dengan cerpen lainnya atau lebih-lebih dalam keempat novelnya. Novel-novel Iwan tidak menampilkan hal-hal yang jelas, bahkan yang ditampilkan justru serba ketidakberesan hidup. Karena itu, hakikat hidup manusia selalu dipertanyakan oleh Iwan. Dami N. Toda juga menyebutkan bahwa manusia-manusia di dalam novel- novel itu adalah manusia "praktis". Kesadarannya bergelimang irasionalisme, kesadaran terhadap nilai gelandangan, tak jelas realitasnya, sehingga timbul manusia kalah-menang dalam usaha memahami kehidupan.
Meskipun cerpen yang digolongkan dalam cerpen seder- hana ini memiliki ciri khas yang agak berbeda dengan cerpen lain maupun novelnya, namun dilihat dari gaya ungkapnya, hakikat tokoh-tokohnya, dan orientasi kemanusi-annya sangat menarik. Dan itu dapat dibedakan dengan pengarang-pengarang cerpen lainnya. Itulah memang kekhasan Iwan sebagai sastrawan yang cukup berhasil. Meski begitu cerpen sederhana Iwan ini adalah cerpen sederhana yang bermutu. Dan kita semua menyayangkan atas usianya yang pendek. Namun kita berharap kelak hadir orang lain sebagai pengganti Iwan. Siapakah orangnya, kita tung- gu saja.***
10
---