Memang sangat ironis, di satu sisi, Indonesia termasuk negara paling kaya dalam sumber daya alam (SDA) dengan tanah yang sngat luas dan subur dan iklim tropis yang sangat baik, sementara, pada di sisi lain, masih
47 banyak penduduk Indonesia yang “kelaparan” dalam arti tidak sanggup membeli makanan dengan gizi yang cukup untuk kehidupan yang sehat. Lebih ironisnya lagi, system ekonomi Indonesia dilandaskan pada azas Pancasila yang menekankan pada rakyat adil dan makmur, dan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun lamanya membangun sejak Repelita I dimulai tahun 1969 lalu.
Dalam setahun belakangan ini hampir setiap minggu Harian Kompas memberitahukan soal adanya busung lapar. Terbitan tanggal 27 Mei 2005 melaporkan bahwa ada ribuan anak belita di Nusa Tenggara Timar (NTT) mengalami busung lapar atau gizi buruk. Juga dilaporkan ada banyak anak balita mengalami hal yang sama di Lampung. Lombok dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai hasil SUSENAS, di NTB, yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung padi, jumlah anak balita yang menderita kekurangan gizi sekitar 10% dari jumlah anak balita, atau 49.000 anak. Terbitan tanggal 12 April 2006, Kompas mencertikan pengalaman seorang warga di Lombok Timur sebagai berikut: ...Sumaini, warga Dusun Batu Rimpang, Desa Selebung Ketangga, Lombok Timur…….adalah janda satu anak (Hildatun, 2). Ia tinggal di rumah gubuk ukuran 3x5 meter yang dihuni sembilan jiwa, termasuk seorang suadaranya dan beberapa anaknya serta ayahnya, Nuralam (55). Sumaini yang bercerai saat usia kandungannya enam bulan bekerja serabutan, seperti ngerampek (merontokkan bulir padi dari batangnya) dan tukang cuci pakaian serta perkakas rumah tangga. Dari jasanya itu, selain diberi makanan ala kadarnya, ia juga mendapat upah Rp 3.000 per hari. Beban Sumaini kian berat sebab Hildatun menderita busung lapar dan kini dalam proses penyembuhan. Penghasilan itu bila ada yang meminta. Jika tidak ada, kosonglah pendapatan Sumaini hari itu. Sementara Nuralam tak mampu bekerja lagi, hanya mengharap ada tetangga yang datang berobat karena sakit mata, maklum dia dianggap “ahli” di bidang itu. (halaman 15).
Menurut Sihadi (2005), sejak 1989, angka prevalensi gizi buruk secara nasional mengalami stagnasi, dalam arti belum ada penurunan yang berarti. Data tahun 2003 dari Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi anak balita gizi buruk di Indonesia mencapai sekitar 8%-8,55%. Menurut proyeksi penduduk Indonesia yang disusun BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta. Berarti dengan persentase tersebut, tahun 2005 ada sekitar 1,67 juta anak balita menderita busung lapar. Ini terntu suatu angka yang gawat, yang memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Apalagi Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, yang Pasal 6 dan 24-nya menyebutkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi tersebut akan berupaya maksimal untuk melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
Pertanyaan sekarang adalah: kenapa hal demikian bisa terjadi di negara yang dikenal sangat kaya akan SDA dan yang selalu memposisikan dirinya sebagai negara yang selalu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945? Jawabannya sederhana dan klasik: berdasarkan hasil pemamtauan Dinas Kesehatan setempat, banyaknya anak balita yang menderita kekurangan gizi disebabkan oleh kemiskinan orang tua mereka. Memang, masalah gizi memiliki dimensi luas, jadi tidak hanya masalah kemiskinan, atau sosial-ekonomi, tetapi juga masalah pendidikan, budaya, pola asuh, dan lingkungan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah faktor terpenting. Bahkan faktor-faktor lain tersebut mempunyai keterkaitan
48 dengan tingkat kesejahteraan atau pendapatan keluarga. Misalnya, sebagai suatu contoh, pada umumnya kepala keluarga/orang tua dari keluarga miskin berpendidikan rendah, dan hal ini sangat mempengaruhi pola pikir mereka mengenai kebutuhan anak-anak mereka akan gizi atau mengenai budaya hidup sehat.
Jadi, kekurangan makanan bergizi atau busung lapar yang dialami oleh banyak anak balita di Indonesia melambangkan kemiskinan yang tengah melilit kehidupan rakyat di banyak wilayah seperti di NTT, NTB dan Lampung. Dari sisi sosial-politik, masalah kekurangan gizi ini mencerminkan ketidakpedulian atau ketidaksanggupan pemerintah Indonesia dalam menghargai harkat/martabat manusia dan juga dalam mengadakan pangan secara adil. Dapat dikatakan bahwa kekurangan gizi atau kelaparan merupakan salah satu dampak dari sistem pemerintahan yang amat buruk yang tidak mendahulukan kesejahteraan masyarakat (Chang, 2005). Jelas, kekurangan gizi atau masih banyaknya masyarakat di dalam negeri yang sangat sulit untuk bisa makan sehat mencerminkan adanya ketidakadilan sosial yang sedang dialami masyarakat Indonesia.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari rendahnya pengeluaran APBN untuk kesehatan. Padahal masyarakat miskin sangat tergantung pada pelayanan dari sektor kesehatan publik, sementara masyarakat kaya bisa menikmati pelayanan kesehatan dari sektor swasta. Dari dulu anggaran kesehatan hanya sekitar 2,3% hingga 2,4%, yang membuat Indonesia negara paling kecil dalam pengeluaran kesehatan (Gambar 11).
Gambar 11: Pengeluaran Pemerintah Untuk Kesehatan, 1996-1998 (% dari PNB)
0,5 1,1 1,7 1,3 1,7 0 0.5 1 1.5 2
Indonesia Singapura Filipina Malaysia Thailand
Sumber: UNDP dkk. (2001)
Seperti yang telah dibahas di Bab II, bicara keadilan dalam ekonomi adalah terutama bicara keadilan distributif. Berdasarkan keadilan ini, negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial-ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik, dan makanan yang cukup untuk kehidupan layak atau sehat. Jadi, keadilan distributif menitikberatkan perlakuan yang sama terhadap semua pihak yang seharusnya mendapatkan haknya. Dalam paradigma ini, ketidakadilan muncul apabila sebagian dari masyarakat tidak mendapatkan hak mereka, seperti dalam kasus busung lapar di NTT, NTB dan Lampung tersebut.
49 Bertens, K. (1997), Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
BPS (2005), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Chang, William (2005), ”Lapar akan Keadilan”, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4
Hadar, Ivan a. (2006), ”Busung Lapar dan Reformasi Pertanian”, Kompas, Selasa, 21 Maret, halaman 6. Karman, Yonki (2006), ” Senjakala Demokrasi Sosial”, Kompas, Opini, Kamis, 6 April, halaman 6.
Keraf, Sonny A. (1993), ”Ketidaksamaan yang Adil. Etika Politik Aristoteles”, Atma nan Jaya, No.1, Thn.VI, April, halaman 31-50.
Keraf, Sonny A. (1998), Etika Bisnis, Yogyakara: Penerbit Kanisius. Magnis-Suseno (1986), Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno (1987), Etika Politik, Jakarta: Gramedia
Sihadi (2005), ”Rajin ke Posyandu, Cegah Gizi Buruk’, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4. Subandriyo, Toto (2006), ”Saatnya Berpihak kepada Petani’, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret, halaman 6. Suwarno, P.J. (1993), Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
UNDP, BAPPENAS dan BPS (2001), Indonesian Human Development Report 2001, Jakarta.
Von Hayek, F.A. (1995), ”’Social’ or distributive justice” dalam Alan Ryan (ed.), Justice, Oxford & New York: Oxford University Press.