• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cocoa butter alternative (CBA) atau dikenal dengan hard butter memiliki variasi derajat kesamaan dengan CB dalam hal sifat pelelehan dan kecenderungan mengkristal (Wainwright, 1999). Berdasarkan komposisi kimia dan kompatibilitas dengan CB, pengelompokkan CBA dibagi menjadi tiga jenis yaitu cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter replacer (CBR), dan cocoa butter equivalent (CBE). Kompatibilitas CBA terhadap CB

10 merupakan jumlah CBA yang dapat ditambahkan untuk mensubstitusi CB dalam pencampurannya dengan CB tanpa mengubah karakteristik produk akhir. Berdasarkan hal tersebut CBS sama sekali tidak memiliki kompatibilitas dengan CB, sedangkan CBR memiliki kompatibilitas yang rendah dengan CB, dan CBE memiliki kompatibilitas penuh dengan CB.

Salah satu jenis CBA adalah cocoa butter substitutes (CBS) yang terutama diproduksi dari lemak nabati laurat seperti coconut oil dan kernel oil. Karakteristik lemak laurat antara lain memiliki kandungan asam lemak C6, C8, dan C10 dalam jumlah sedang; sedikit kandungan asam lemak tidak jenuh; dan memiliki titik leleh yang rendah (Nawar, 1996). Wainwright (1999) juga menyebutkan bahwa karakteristik TAG lemak laurat adalah kuantitas asam lemak dengan rantai yang lebih pendek, yaitu C8-C12 paling sedikit sebesar 50%. Karlshamns (2002) menyatakan bahwa penggunaan CBS secara luas terdapat pada produk-produk berflavour cokelat dan hanya baik jika digunakan dalam formulasi dengan cokelat bubuk.

Jenis CBA berikutnya adalah cocoa butter replacer (CBR), berasal dari minyak nabati non laurat yang dihidrogenasi parsial dan lemak-lemak yang umumnya berasal dari minyak kedelai, minyak biji kapas, atau minyak palem. Idris dan Dian (2005) menyebutkan bahwa kompatibilitas CBR terhadap CB berada di antara CBS dan CBE. Kombinasi CBR dengan cocoa liquor untuk memperkaya flavor cokelat lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan bubuk cokelat (cocoa powder) (Karlshamns, 2002). Sifat-sifat CBS, CBR, dan CBE disajikan pada Tabel 2.

Jenis CBA yang terakhir adalah cocoa butter equivalent (CBE). Cocoa butter equivalent dapat digunakan bersama CB dalam berbagai rasio dengan tidak mengubah karakteristik sensori dan tekstural produk akhir. Hal ini karena CBE memiliki sifat fisik dan kimia yang serupa dengan CB. Akan tetapi European Commision dalam Buchgraber et al. (2004) menyebutkan bahwa penggunaan CBE pada produk cokelat tidak boleh lebih dari 5%. Sifat polimorfik CBE menunjukkan profil yang serupa dengan CB. Sifat polimorfik adalah sifat dari lemak seperti CB yang dapat berada dalam beberapa bentuk kristal tergantung pada kondisi tempering dan kristalisasi (Murano, 2003).

11 Triasilgliserol khas komponen CBE dapat disintesis melalui interesterifikasi enzimatik. Standard lemak cokelat menurut SNI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Jenis-jenis dan sifat CBA

Cocoa Butter Alternative

CBS CBR CBEMerupakan lemak nabati lauratMemiliki kandungan asam lemak laurat tinggi (40% - 50%)Memiliki titik leleh yang rendahMemiliki sifat kimia yang berbeda dengan CBMemiliki kesamaan sifat fisik dengan CB (Idris dan Dian, 2005)Kristalisasi cepat, sehingga tidak memerlukan proses temperingMemiliki profil pelelehan yang tajam dan memberikan sensasi dingin pada pelelehanMerupakan lemak nabati non lauratMemiliki distribusi asam lemak serupa dengan CBMemiliki komposisi TAG berbeda dengan CBMengkristal spontan ke bentuk stabilnya yaitu β’ polymorph sehingga tidak memerlukan proses temperingTidak menimbulkan kesan berlemak (waxy sensation) (Karlshamns, 2002)

Tahan pada cuaca dingin atau cukup panas

(Wainwright, 1999)

Merupakan lemak nabati non lauratMemiliki sifat fisik serupa dengan CB, misalnya profil pelelehan (Idris dan Dian, 2005)Memiliki komposisi TAG serupa dengan CB (Idris dan Dian, 2005)Dapat dicampur dengan CB dalam berbagai porsi tanpa mengubah karakteristik fisik produk akhir (Idris dan Dian, 2005)Masih memerlukan proses temperingTidak mengandung lemak trans

Sumber: Hernandez et al. (2005) D. Interesterifikasi Enzimatik

Terdapat empat proses modifikasi untuk mengubah karakteristik fisikokimia minyak/ lemak yaitu hidrogenasi, fraksinasi, blending, dan interesterifikasi (Idris dan Dian, 2005). Proses-proses modifikasi lemak bertujuan mengubah karakteristik kimia sehingga dapat diperoleh sifat fisik yang diinginkan. Hidrogenasi telah banyak dilakukan sebelumnya dengan tujuan meningkatkan stabilitas edible oil karena mengubah asam lemak polyunsaturated menjadi asam lemak monounsaturated dan asam lemak

12 jenuh. Hidrogenasi adalah proses penambahan atom hidrogen pada minyak untuk mengeraskannya sehingga dapat memberikan umur simpan yang panjang (Murano, 2003).

Tabel 3. Standard lemak cokelat

Kriteria satuan Persyaratan

Keadaan (bau, rasa, dan warna) - normal, khas lemak kakao

Indeks bias - 1.456-1.459

Titik leleh awal dan akhir °C awal=30-34; akhir =31-35 Asam lemak bebas (sebagai

asam oleat)

% maks 1.75

Bilangan penyabunan mgKOH/g

asam lemak

181-198

Bilangan iod (Wijs) g/100 g 33-42

Bahan tak tersabunkan % maks 0.35

Cemaran logam (Pb, Cu, Fe) - maks 0.5, maks 0.4, maks 2.0

Arsen - maks 0.5

Sumber: SNI (1995)

Proses hidrogenasi parsial dapat menghasilkan asam lemak trans. Keberadaan asam lemak trans menjadi suatu kekhawatiran karena dapat meningkatkan kadar LDL darah (kolesterol) dan juga dapat menurunkan kadar HDL pada darah. Hal inilah yang membuat masyarakat kurang menyukai produk hidrogenasi (Akoh dan Moussata, 1998). Koran kesehatan yang dikeluarkan oleh USDA untuk para orang tua (Anonim, 2009) juga menyarankan untuk menggunakan vegetable oil dengan tanpa kandungan lemak trans.

Selain hidrogenasi terdapat proses fraksinasi. Fraksinasi merupakan proses yang dapat membagi minyak menjadi dua bagian yaitu komponen yang memiliki titik leleh lebih tinggi dan komponen dengan titik leleh yang lebih rendah (Murano, 2003). Menurut Arghainc (2008) fraksinasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fraksinasi kering, fraksinasi basah, dan fraksinasi dengan pelarut. Fraksinasi kering merupakan istilah untuk proses fraksinasi yang dilakukan dengan modifikasi suhu. Prinsip proses ini adalah pendinginan secara bertahap, sehingga fraksi dengan titik cair lebih tinggi akan membentuk

13 kristal terlebih dulu dibandingkan dengan fraksi yang memiliki titik cair lebih rendah. Fraksi-fraksi yang terbentuk dipisahkan dengan proses penyaringan. Proses fraksinasi kering lebih disukai dibanding fraksinasi lainnya karena lebih ramah lingkungan.

Proses fraksinasi basah menggunakan surfaktan atau larutan deterjen untuk membasahi kristal pada fraksi stearin (Arghainc, 2008). Pelarut yang biasa digunakan pada proses fraksinasi dengan pelarut antara lain heksana, aseton, isopropanol, atau n-nitropropana. Proses pemisahan berbagai TAG menjadi satu atau lebih fraksi ini dilakukan dengan menggunakan perbedaan kelarutan TAG yang tergantung pada berat molekul dan derajat ketidakjenuhan (Murano, 2003).

SCI (2000) menyebutkan beberapa kelemahan fraksinasi dalam produksi lemak antara lain prosesnya yang relatif mahal di industri minyak. Oleh karena fraksinasi selalu menghasilkan paling sedikit dua fraksi produk, sehingga dalam prosesnya dibutuhkan optimasi untuk salah satu fraksi yang diinginkan. Contoh aplikasi fraksinasi adalah pada produksi minyak goreng dan lemak plastis untuk shortening yang keduanya berasal dari material awal yang sama (Murano, 2003).

Proses modifikasi lemak lainnya yaitu blending yang merupakan pencampuran antara dua lemak dimana sifat lemak yang satu melengkapi sifat lemak yang lainnya sehingga dapat menghasilkan produk sesuai harapan. Untuk memproduksi CBE dapat dilakukan blending antara lemak nabati kaya TAG POP dengan exotic fats yang kaya POS dan SOS. Contoh exotic fat antara lain lemak illipe, lemak sal, shea butter, dan kokum butter (Lipp dan Anklam, 2001). Ketersediaan exotic fats di alam semakin terbatas sehingga menjadikan interesterifikasi sebagai pilihan yang baik bagi proses modifikasi lemak untuk sintesis komponen CBE. Selain itu Akoh dan Moussata (1998) menyebutkan bahwa campuran hasil physical blends memiliki kestabilan oksidatif lebih rendah dari pada campuran hasil interesterifikasi. Interesterifikasi juga dilihat sebagai alternatif pengganti proses hidrogenasi parsial edible oils and fats (Sundram dan Basiron, 2009).

14 Interesterifikasi adalah proses penyusunan kembali atau kombinasi ulang asam lemak di dalam dan di antara molekul-molekul TAG (Murano, 2003). Interesterifikasi dapat membuat perubahan penting dalam fungsionalitas lemak. Interesterifikasi pertama kali digunakan untuk memperbaiki sifat creamy dan berpasir (grainy) pada lard, yang asam palmitatnya terletak dominan pada posisi sn-2 TAG, pada tahun 1940-an di United States. Proses ini dapat mengeliminasi tekstur berpasir lard dan menghasilkan kristal beta prime yang diinginkan (Idris dan Dian, 2005).

Lida et al. (2002) menyatakan bahwa proses interesterifikasi tidak menyebabkan isomerisasi ikatan rangkap pada asam lemak, sehingga tidak mengubah komposisi asam lemak tetapi mengubah profil lemak/minyak. Bobot molekul, ketidakjenuhan, dan distribusi posisi asam lemak pada kerangka TAG merupakan faktor penting yang menentukan sifat fisik lemak/minyak (Wilis dan Marangoni, 2002). Distribusi asam lemak pada kerangka gliserol mengubah susunan TAG awal yang berpengaruh pada karakteristik fisik minyak/lemak meliputi pelelehan dan kristalisasi (Idris dan Dian, 2005).

Berdasarkan poses pergantian asam lemak itu sendiri, interesterifikasi dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu transesterifikasi, alkoholisis, dan asidolisis (Marangoni dan Narine, 2002).

1. Transesterifikasi

Transesterifikasi adalah pertukaran atau penyusunan kembali gugus asil di antara dua ester atau dua TAG sehingga menghasilkan TAG baru dengan komposisi asam lemak yang diinginkan (Willis dan Marangoni, 2002). Reaksi ini melibatkan pertukaran asam lemak radikal dari satu ester ke ester lainnya. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 6. Distribusi posisi asam lemak dalam TAG yang dihasilkan dapat mengubah sifat fisik lemak, minyak, atau campurannya. Proses ini juga dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tekstural campuran tallows dan rapeseed oil dalam pengembangan CBE (Willis dan Marangoni, 2002).

15 Gambar 6. Reaksi Transesterifikasi

2. Alkoholisis

Alkoholisis merupakan reaksi esterifikasi antara alkohol dengan ester (lemak) untuk menghasilkan ester baru. Selama alkoholisis terjadi hidrolisis TAG sehingga menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan monoasilgliserol (MAG) yang digunakan sebagai surface active agent dan emulsifier (Willis dan Marangoni, 2002). Reaksi alkoholisis dapat dilihat pada Gambar 7. Kegunaan utama alkoholisis adalah dalam reaksi gliserolisis (Willis dan Marangoni, 2002). Gliserolisis merupakan pertukaran gugus asil antara gliserol dan TAG untuk memproduksi MAG dan DAG (Yang et al., 2003). Pada umumnya reaksi alkoholisis menghasilkan TAG parsial, sehingga kurang baik digunakan untuk mensisntesis atau memodifikasi TAG satu menjadi TAG baru yang diinginkan.

Gambar 7. Reaksi Alkoholisis 3. Asidolisis

Transfer gugus asil antara asam lemak dengan ester (TAG) disebut asidolisis. Proses ini termasuk cara efektif penggabungan asam lemak bebas ke dalam kerangka TAG, sehingga menghasilkan TAG baru dengan

O O—C—R1 O O—C—R1 O O—C—R1

+ +

O O—C—R2 O O—C—R2 O O—C—R2

Katalis Lipase Spesifik-1,3

O O O O O—C—R1 O O—C—R2 O O—C—R1 O O—C—R2 O O—C—R1 O O—C—R2

komposisi berbeda atau seperti yang diinginkan. Reaksi dilihat pada Gambar 8.

Penelitian mengenai reaksi asidolisis yang menggunakan lipase sebagai katalis telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain

(2000), Chandler (2001), Torres dan Ozcelik (2005), Cossignani Chopra et al

memperoleh lemak dengan sifat berbeda yang dikenal dengan lipid. Yang

merupakan reaksi yang biasa digunakan untuk produksi

Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dan nutrisi suatu lemak.

Willis dan Marangoni (2002) juga sudah meng

untuk menggabungkan asam lemak bebas atau bentuk etil ester dari EPA dan DHA dengan minyak nabati dan hewani untuk memperbaiki nilai gizinya. Keuntungan proses ini antara lain mengurangi resiko kardiovaskular (jantung koroner dan aterosk

fungsi sistem saraf dan visual yang baik. Asidolisis juga telah dilakukan oleh Willis dan Marangoni (2002) untuk menggabungkan asam oleat dengan lemak susu sehingga meningkatkan kadar asam lemak tidak jenuh dalam butter tanpa keh

Reaksi interesterifikasi dapat dilakukan secara kimia menggunakan katalis logam alkali seperti sodium metoksida (Idris dan Dian, 2005) atau sodium etoksilat (Husum

komposisi berbeda atau seperti yang diinginkan. Reaksi dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Reaksi Asidolisis

Penelitian mengenai reaksi asidolisis yang menggunakan lipase sebagai katalis telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain

(2000), Chandler (2001), Torres et al. (2002), Kim et al. (2004, 2002), Can dan Ozcelik (2005), Cossignani et al. (2005), Subroto et al

et al. (2009). Pada umumnya penelitian tersebut bertujuan

memperoleh lemak dengan sifat berbeda yang dikenal dengan

. Yang et al. (2003) juga menyebutkan bahwa reaksi asidolisis merupakan reaksi yang biasa digunakan untuk produksi

Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dan nutrisi suatu

Willis dan Marangoni (2002) juga sudah menggunakan asidolisis untuk menggabungkan asam lemak bebas atau bentuk etil ester dari EPA dan DHA dengan minyak nabati dan hewani untuk memperbaiki nilai gizinya. Keuntungan proses ini antara lain mengurangi resiko kardiovaskular (jantung koroner dan aterosklerosis) serta memperbaiki fungsi sistem saraf dan visual yang baik. Asidolisis juga telah dilakukan oleh Willis dan Marangoni (2002) untuk menggabungkan asam oleat dengan lemak susu sehingga meningkatkan kadar asam lemak tidak jenuh

tanpa kehilangan karakteristik flavor butter.

Reaksi interesterifikasi dapat dilakukan secara kimia menggunakan katalis logam alkali seperti sodium metoksida (Idris dan Dian, 2005) atau sodium etoksilat (Husum et al., 2009). Cara ini telah banyak dilakukan untuk

16 komposisi berbeda atau seperti yang diinginkan. Reaksi asidolisis dapat

Penelitian mengenai reaksi asidolisis yang menggunakan lipase sebagai katalis telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Xu et al. . (2004, 2002), Can

et al. (2008), dan . (2009). Pada umumnya penelitian tersebut bertujuan memperoleh lemak dengan sifat berbeda yang dikenal dengan structured (2003) juga menyebutkan bahwa reaksi asidolisis merupakan reaksi yang biasa digunakan untuk produksi structured lipid. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dan nutrisi suatu

gunakan asidolisis untuk menggabungkan asam lemak bebas atau bentuk etil ester dari EPA dan DHA dengan minyak nabati dan hewani untuk memperbaiki nilai gizinya. Keuntungan proses ini antara lain mengurangi resiko lerosis) serta memperbaiki fungsi sistem saraf dan visual yang baik. Asidolisis juga telah dilakukan oleh Willis dan Marangoni (2002) untuk menggabungkan asam oleat dengan lemak susu sehingga meningkatkan kadar asam lemak tidak jenuh

Reaksi interesterifikasi dapat dilakukan secara kimia menggunakan katalis logam alkali seperti sodium metoksida (Idris dan Dian, 2005) atau sodium ., 2009). Cara ini telah banyak dilakukan untuk

17 pembuatan shortening, margarin, dan spreads untuk meningkatkan sifat tekstural, modifikasi sifat pelelehan, dan meningkatkan stabilitas oksidatif (Willis dan Marangoni, 2002). Reaksi interesterifikasi kimia bersifat acak dan menghasilkan banyak produk samping, sehingga produk akhir kurang sesuai harapan. Selain itu diperlukan suhu reaksi yang tinggi dan menghasilkan banyak limbah (Willis dan Marangoni, 2002). Gupta et al. (2003) yang dirujuk dalam Rajendran et al. (2009) menyatakan bahwa modifikasi minyak/lemak secara kimia membutuhkan energi yang tinggi dan tidak spesifik. Setelah interesterifikasi kimia masih diperlukan perlakuan tambahan antara lain pencucian, pemutihan, dan deodorisasi untuk memisahkan produk samping. Selain itu dilakukan purifikasi untuk mendapatkan kualitas produk yang diinginkan (Husum et al., 2009 ).

Selain secara kimia reaksi interesterifikasi dapat dilakukan secara enzimatik. Berbeda dengan interesterifikasi kimia, reaksi interesterifikasi enzimatik bersifat lebih spesifik sehingga menghasilkan rendemen produk akhir yang baik serta sedikit akan produk samping dan limbah. Lipase juga memberikan derajat spesifisitas dan selektivitas yang tinggi untuk interesterifikasi yang dapat menghasilkan beberapa asilgliserol yang diinginkan. Lipase memiliki sifat sedemikian rupa sehingga dapat memutuskan asam lemak yang ada dalam TAG kemudian menyambungnya kembali dengan asam lemak lainnya yang ditambahkan (Svendsen, 1994).

Kondisi reaksi untuk interesterifikasi enzimatik tidak memerlukan suhu tinggi seperti pada interesterifikasi kimia (Willis dan Marangoni, 2002). Proses interesterifikasi enzimatik juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia/pelarut dan tidak menghasilkan asam lemak trans. Oleh karena itu menurut Macrae (1989) dirujuk dalam Akoh & Moussata (1998), reaksi interesterifikasi yang dikatalisis oleh enzim lipase menghasilkan produk dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan produk melalui interesterifikasi kimia.

Beberapa lipase digunakan Budijanto et al. (2008), salah satunya berasal dari Candida antartica, dalam reaksi asidolisis untuk memproduksi minyak

18 kaya asam lemak omega-3. Liu et al. (1997) juga telah melakukan interesterifikasi yang dikatalisis lipase untuk sintesis CBE.

E. Lipase

Produksi lemak dengan sifat fisik dan kimia yang diinginkan seperti pada CBE melalui interesterifikasi enzimatik, telah menjadi area popular di penelitian bioteknologi (Mojovic et al., 1993). Pada reaksi asidolisis ini digunakan enzim lipase sebagai katalis reaksi. Penggunaan katalis bertujuan untuk mengefisiensikan reaksi yaitu menurunkan suhu reaksi dan mempersingkat waktu reaksi (Nawar, 1996). Ditinjau dari segi energi aktivasi reaksi (Ea), reaksi dengan bantuan enzim membutuhkan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan reaksi asalnya seperti yang dilaporkan oleh Raharja dan Gunadi (2000). Energi aktivasi adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk mengkonversi molekul substrat dari energi awal menjadi kompleks ES (enzim-substrat) (Murano, 2003). Kompleks ini selanjutnya diubah kembali menjadi enzim dan pembentukan produk. Pengaruh enzim sebagai katalis pada energi aktivasi disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Penurunan energi aktivasi karena adanya enzim sebagai katalis Enzim merupakan biokatalis dengan efektivitas yang tinggi dan bersifat spesifik (Hidayat et al., 2009). Lipase (triasilgliserol asilhidrolase, EC 3.1.1.3) adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisis ikatan karboksilat ester secara reversibel di bawah kondisi alami. Akan tetapi Sharma et al. (2001) dirujuk

S

P

E

ES

T

E

S

T Arah Reaksi Perubahan Energi K e b u tu h a n e n e rg i (ta n p a k a ta lis ) K e b u tu h a n E n e rg i ( d e n g a n k a ta lis )

19 dalam Rajendran et al. (2009) menyebutkan bahwa lipase juga dapat mengkatalisis síntesis bentuk ester dari gliserol dan asam lemak. Lipase secara luas terdapat dalam hewan, tumbuhan, dan mikroba (Mojovic et al., 1993).

Kondisi air berlebih akan mengarahkan ke reaksi hidrolisis TAG dengan solubilitas rendah dalam air. Akan tetapi dalam kondisi air yang terbatas, cenderung ke arah reaksi kebalikannya yaitu síntesis ester atau pembentukan gliserida dari asam lemak dan gliserol (Sharma et al. 2001 dirujuk dalam Rajendran et al. 2009). Lipase juga berperan secara luas dalam reaksi biokonversi lainnya seperti hidrolisis, interesterifikasi, esterifikasi, alkoholisis, asidolisis, dan aminolisis (Pandey et al. 1999 dirujuk dalam Rajendran et al. 2009).

Jaeger et al. (1998) dirujuk dalam Rajendran et al. (2009) menyebutkan bahwa keunikan lipase terletak pada aktivitasnya yang sangat baik terhadap substrat tak larut air dan aktivitas lipase meningkat pada substrat interfase minyak-air. Struktur tiga dimensi dapat menjelaskan tentang aktivasi interfasial. Aktivasi lipase yang terjadi pada interfase diduga disebabkan oleh perubahan konformasi enzim dengan membukanya selubung heliks protein yang menutupi sisi aktif enzim (Iwai dan Tsujisaka, 1984). Seperti yang disebutkan Jaeger et al. (1999) bahwa sisi aktif lipase yang ditutupi oleh lingkaran permukaan yang disebut lid atau flap terbuka sehingga sisi aktif enzim dapat diakses substrat. Aktivitas optimum lipase diperoleh dalam sistem seperti emulsi, dimana area permukaan substrat tinggi.

Lipase tidak hanya aktif pada fase normal emulsi dimana substrat diemulsifikasi dalam sistem aqueous (minyak dalam air). Lipase juga aktif dan bahkan sering lebih aktif pada kondisi kebalikannya (air dalam minyak). Selain itu keaktifan lipase juga didapat dalam sistem misel reverse yang mengandung pelarut organik dari substrat. Kegunaan lipase yang luas, yaitu dapat bereaksi pada daerah substrat yang luas menyebabkan lipase dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi dan sintesis ester stereospesifik (Mojovic et al., 1993). Kemampuan lipase tersebut menjadikannya sebagai pilihan aplikasi yang potensial dalam berbagai industri termasuk industri pangan.

20 Berdasarkan spesifisitasnya terhadap substrat, lipase dapat dibagi menjadi empat yaitu lipase dengan spesifisitas asam lemak, spesifisitas alkohol, spesifisitas jenis lipid, dan spesifisitas posisional/regiospesifik (Hariyadi, 1995). Spesifisitas regiospesifik dan asam lemak dari lipase mikrobial telah dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Gupta et al. 2003 dirujuk dalam Rajendran et al. 2009).

Lipase dengan spesifisitas posisional dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lipase non spesifik dan lipase spesifik 1,3 atau 2. Lipase non spesifik bekerja pada asam-asam lemak dari ketiga posisi ikatan. Lipase spesifik 1,3 atau 2 hanya dapat mengkatalisis TAG pada ikatan sn-1,3 atau sn-2. Jenis lipase yang digunakan pada penelitian ini adalah lipase spesifik-1,3. Menurut Roy dan Bhattacharyya (1993) produk reaksi lemak yang dikatalisis lipase spesifik-1,3 dapat dibedakan dari produk reaksi secara kimia dari asam lemak pada posisi sn-2. Tidak seperti interesterifikasi kimia yang bersifat acak, interesterifikasi enzimatik dapat mempertahankan asam lemak posisi sn-2 pada kerangka TAG produk hasil reaksi. Umumnya jenis asam lemak posisi sn-2 pada minyak nabati adalah asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat. Berdasarkan Sundram dan Basiron (2009), asam oleat diketahui berperan dalam penurunan kadar kolesterol darah. Hal ini berimplikasi pada keuntungan nilai gizi yang dapat diperoleh (Zhang et al. 2001), karena diketahui bahwa posisi asam lemak jenuh (misal C:16) pada sn-2 dapat bersifat aterogenik.

Pengaruh penggunaan lipase spesifik-1,3 dan lipase non spesifik pada interesterifikasi enzimatik juga dilakukan Lai et al. (1998) pada campuran palm stearin dan minyak bunga matahari. Hasil pada campuran interesterifikasi yang menggunakan lipase spesifik-1,3 tersebut memiliki SMP yang lebih rendah dari kontrol dibandingkan campuran yang menggunakan lipase non spesifik.

Terdapat berbagai macam lipase komersial yang telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan antara lain Novozym-435 (berasal dari Candida antartica), Lipozyme-IM (berasal dari Rhizomucor miehei) (Suhendra et al., 2008), lipase R. arrhizus, lipase Mucor circinelloides, dan lipase

21 Pseudomonas sp. Jie et al. (2002) menyebutkan bahwa dari beberapa lipase yang ditelitinya, Novozyme-435 merupakan enzim yang efisien untuk interesterifikasi karena menunjukkan ketahanannya terhadap hidrolisis gliserida dan menghasilkan DAG yang paling rendah.

Lipase spesifik-1,3 yang digunakan adalah Novozym 435, berasal dari bakteri Candidia antartica. Lipase C. antartica diketahui sudah tersedia secara komersial. Lipase C. antartica juga telah terbukti dapat menginkorporasikan asam lemak omega-3 ke molekul TAG (Budijanto et al. 2008). Hasil pengujian stabilitas enzim yang dilakukan Budijanto et al. (2008) juga menunjukkan bahwa umur pakai enzim lipase C. antartica pada suhu 40, 50, dan 60 oC, masing-masing adalah 6000, 4899, dan 4773 menit. Garcia et al. (1999) melaporkan bahwa lipase amobil C. antartica menunjukkan aktivitas terbaik di antara enam lipase komersial untuk reaksi asidolisis antara asam linoleat terkonjugasi dengan butterfat.

Novozym 435 merupakan enzim amobil, yaitu enzim yang aktivitas katalitiknya dapat digunakan secara berulang atau terus menerus (Chibata, 1978). Berbagai metode amobilisasi lipase telah dikembangkan (Hidayat et al., 2009). Rahmawati (2000) juga telah melakukan amobilisasi lipase untuk memproduksi CBE. Terdapat beberapa alasan penggunaan lipase amobil, antara lain lipase amobil lebih stabil dibandingkan dengan enzim bebas dan

Dokumen terkait