• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Cacat Tersembunyi Produk dalam Jual Beli

Jual beli merupakan perbuatan yang paling sering dilakukan oleh setiap orang, baik itu jual beli dalam skala kecil maupun skala besar. Namun, tidak semua transaksi jual beli ini dilakukan secara benar. Terkadang terdapat penjual yang beritikad buruk sehingga menjual barang yang terdapat cacat tersembunyi demi mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Secara umum cacat tersembunyi dapat diartikan sebagai suatu cacat yang tidak diketahui pada saat jual beli dilakukan, yang apabila diketahui dapat membatalkan pembelian ataupun harga yang ditawarkan berkurang.

Hal ini sebenarnya sering kita alami, namun untuk jual beli dalam skala kecil, meskipun terdapat cacat tersembunyi dalam barang yang dijual, biasanya sebagian besar pembeli hanya merelakan saja barangnya, mungkin karena nilai barang yang lebih kecil dibandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk menuntut ganti rugi. Kondisi yang berbeda apabila kita melakukan jual beli dalam skala besar yang nilai transaksinya cukup besar, seperti jual beli alat berat, kendaraan, furniture, dan sebagainya. Namun sekali lagi, tidak semua barang memiliki kualitas yang baik, terdapat beberapa barang yang ternyata memiliki cacat tersembunyi. Lalu apa saja hak dari pembeli, dan bagaimana kewajiban penjual apabila terdapat cacat tersembunyi pada barang tersebut.

Jual beli sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam Pasal 1474 KUHPerdata disebutkan bahwa dalam suatu perbuatan jual beli, penjual memiliki 2 kewajiban yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung barang tersebut.47 Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1491 KUHPerdata, yang dimaksud dengan menanggung barang adalah bahwa penjual harus menjamin mengenai penguasaan barang (tidak ada gangguan dari pihak ketiga) dan tidak ada cacat tersembunyi dalam barang tersebut.

Selain dari KUHPerdata, cacat tersembunyi juga diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam UUPK ini kembali dikenalkan prinsip “Product Liability” atau tanggung jawab produk, dimana produsen bertanggung jawab untuk barang yang dibuatnya yang menimbulkan kerugian akibat dari cacat pada barang tersebut. Dalam Pasal 9 UUPK juga disebutkan bahwa “pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi. Dengan aturan-aturan tersebut, sudah jelas bahwa penjual memiliki tanggungjawab untuk setiap cacat tersembunyi yang ada pada barangnya.

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 dijelaskan bahwa “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila diantaranya :48

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan barang kembali barang yang dibeli konsumen;

       47

 Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam pasal 1474 KUHPerdata. 

48

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen.

Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian seperti dijelaskan diatas dinyatakan batal demi hukum. Kemudian dalam Pasal 62 UUPK disebutkan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan diatas akan dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Dengan sanksi yang cukup berat tersebut, diharapkan penjual barang dapat lebih berhati-hati dan tidak hanya mementingkan keuntungan yang diperoleh, tetapi juga memperhatikan hak-hak dari pembeli.

Jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu peersetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian di atas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban:

a. kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual sedangkan pihak yang lain dinamakan pembeli. Pengertian jual beli tersebut terlihat memberikan dua kewajiban seperti yang dijelaskan di atas kewajiban untuk membayar bagi pembeli dan kewajiban untuk menyerahkan barang bagi penjual. Jadi jual beli dapat disimpulkan sebagai hubungan timbal balik dengan pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan suatu barang yang menjadi objek perjanjian sedangkan pihak yang lain berjanji membayar harga barang yang telah disepakati.

Syarat-syarat jual beli dapat dapat kita lihat dari Pasal 1476 KUHPerdata, yaitu49 a. Harus antara mata uang dan uang

b. Barang yang dijual adalah milik sendiri

c. Jual beli itu bukan antara suami isteri yang masih dalam perkawinan. Terjadinya jual beli seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata adalah:

a. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang, walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum dibayar, peerjanjian jual beli dianggap sudah jadi.

b. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara.

c. Sejak disetujuainya perjanjian jual beli secara demikian, penjual terus terikat, sedang pembeli baru terikat kalau jangka waktu percobaan itu telah lewat, dan telah dinyatakan setuju.

d. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang muka, kedua belah pihak tak dapat membatalkan perjanjian jual beli itu, meskipun pembeli membiarkan uang muka tersebut para penjual, atau penjual membayar kembali uang muka itu kepada pembeli.

Dalam ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata “ hanya barang-barang yang biasa diperniagakan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan. Kalau demikian apa saja yang dapat dijadikan objek persetujuan dengan sendirinya dapat dijadikan objek jual beli. Asalkan benda yang menjadi objek jual beli tersebut sudah ada atau tidak gugur pada saat persetujuan jual beli diperbuat maka jual beli dianggap sah”.

Para pihak di dalam jual beli mempunyai kewajiban yang berbeda, kewajiban penjual ini diatur dalam Pasal 1472 KUHPerdata50. Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa pihak

penjual mengikat diri dalam perjanjian jual beli, dalam pasal tersebut memberikan suatu interprestasi : segala sesuatu yang kurang jelas dalam perjanjian jual beli, atau yang mengandung pengertian kembar, harus diartikan sebagai maksud yang merugikan bagi pihak penjual. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari segi ketentuan umum hukum perjanjian adalah berkedudukan sebagai pihak debitur. Umumnya dalam jual beli, pihak penjual mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian perjanjian yang kurang jelas atau yang mengandung pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (openbare orde).

Dalam Pasal 1474 KUHPerdata, pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri atas dua :

a. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual kedalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kewajiban menjamin atau menanggung (vrijwaring) adalah kewajiban bagi penjual, dalam ketentuan Pasal 1491 KUHPerdata, penjual harus menanggung/menjamin barang yang dijual dalam keadaan :

a. Tentram dan damai ( rustig en vreedezaam) dalam kekuasaan pemilik pembeli, tanpa ganggu gugat dari siapapun juga.

b. Menjamin, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai cacat tersembunyi dan cacat yang nyata.

       50 Ibid, hlm 190.

Jika hal tersebut tidak ditanggung / dijamin penjual, pembeli (konsumen) dapat melakukan pembatalan atas pembelian barang. Oleh karena itu adanya gangguan (stornis) dan cacat atas barang yang dibeli, berakibat sebagai alasan dan alat :

a. Untuk melakukan tuntutan pembatalan atas dasar salah sangka atau dwaling.

b. Merupakan aksi untuk menuntut wanprestasi atas dasar tidak melaksanakan prestasi menurut sepatutnya.

Bentuk jaminan tersebut merupakan alasan menuntut ganti rugi dan pembatalan perjanjian jual beli. Jaminan atas gangguan dan cacat barang merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh penjual demi hukum.

Berdasarkan syarat dan ketentuan perjanjian jual beli united tractors, mamiliki ketentuan sebagai berikut :

a. Apabila terjadi perubahan atau kenaikan harga bahan bakar, pelumas, asuransi dan pengangkutan yang dapat mempengaruhi harga barang sampai kepada pembeli, serta terjadi kenaikan tarif pajak, bea masuk dan tindakan moneter pihak pemerintah dan telah disepakati oleh kedua belah pihak.

b. Penjual akan menyerahkan barang kepada pembeli (konsumen) setelah pembeli melunasi kewajiban pelunasan pembayaran sebagaimana telah disepakati dalam syarat dan ketentuan yang berlaku untuk kedua belah pihak.

c. Penjual berhak melakukan penarikan barang dari kekuasaan pembeli dalam hal pembeli tidak atau belum menyelesaikan kewajibannya hingga waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak dengan ini memberi kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penjual untuk menarik barang dari penguasaan pembeli (konsumen) dan memberikan izin untuk memasuki area dan gedung milik atau dalam kekuasaan

konsumen dan/atau melakukan cara atau metode lain yang diperlukan untuk menjalankan hal tersebut dalam ayat ini.

d. Penjual tidak bertanggung jawab terhadap kehilangan/ kerusakan barang baik secara langsung atau tidak langsung akibat kesalahan/ kelalaian / tindakan/ penyimpangan yang dilakukan konsumen.

e. Apabila terjadi pembatalan perjanjian, kedua belah pihak sepakat bahwa uang muka yang telah diterima penjual dari pembeli (konsumen) akan diperhitungkan dengan besarnya ganti kerugian dan/ atau biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual untuk mempersiapkan barang, apabila jumlahnya masih kurang, maka pembeli wajib menambah kepada penjual sebaliknya bila masih ada kelebihan akan dikembalikan kepada pembeli.

Para pihak (konsumen) juga memiliki kewajiban dalam perjanjian jual beli, yaitu:51 a. Kewajiban membayar (Pasal 1513 KUHPerdata) pembeli harus menyelesaikan

pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang.

b. Tempat dan sast pembayaran harus ditentukan dalam perjanjian jual beli. c. Hak menunda pembayaran

Hak menangguhkan pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan yang dialami konsumen demi melindungi kepentingan pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan barang yang dijualnya terbatas dari gangguan dan pembebanan.

Di Indonesia cacat produk atau produk yang cacat dapat didefinisikan sebagai berikut:

“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya,

       51 Ibid, Hlm 203.

atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.”52

Pertama yang perlu dipahami adalah apa yang disebut dengan produk cacat. Sebuah Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya serta tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu. namun ada beberapa pertimbangan untuk mengatakan bahwa suatu produk adalah cacat, mempertimbangkan tersebut terutama tentang :

a. Penampilan produk.

b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk. c. saat produk tersebut diedarkan.

Penjelasan pertimbangan tersbut adalah, pertimbangan pertama lebih mudah untuk dilihat, faktornya apakah penampilan produk tersebut baik atau mencurigakan. Karena apabila tampilannya sudah mencurigakan dan pembeli masih membelinya maka pembeli tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum. Mengacu kepada KUHPerdata Pasal 1505. “Penjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh Pembeli.” Rasio pasal tersebut adalah sudah tahu barang yang mau dibeli mencurigakan atau cacat mengapa masih dibeli Dalam kondisi ini pembelilah yang bertanggung jawab.

Pertimbangan kedua, kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk. Apabila anda membeli suatu produk kecantikan dengan harapan untuk memutihkan kulit anda, dan memang tertera dalam kemasan produk itu, namun hasilnya anda malah menghitam atau terbakar tentu barang tersebut cacat. Contoh lain, misalkan anda membeli software ternyata ada bug-nya, hal itu dapat dikatakan ada cacat tersembunyinya atau program tersebut tidak berjalan sebagaimana fungsinya.

Pertimbangan ketiga yang lebih rumit. Pertimbangan pada saat produk tersebut diedarkan. Disini dipertimbangkan suatu Produk tidak cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan pula produk (bersamaan) yang lebih baik.

Mengenai definisi mengenai produk yang cacat sendiri sebenarnya sudah ada upaya untuk mendefinisikannya, salah satunya definisi yang dilakukan oleh Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI.

Mereka merumuskan produk yang cacat, sebagai berikut:

“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan orang”.

Namun demikian apakah hukum kita tidak mengatur mengenai hal tersebut. Ternyata KUHPerdata memberikan pengertian juga mengenai cacat. Diartikan cacat dalam KUHPerdata sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya.

Konteks KUHPerdata mengatur masalah cacat tersembunyi ini merupakan salah satu kewajiban dari penjual dalam perjanjian jual beli (transksi jual beli). Namun apabila dikaitkan Perlindungan konsumen itu merupakan tanggung jawab pelaku usaha atau produsen.

KUHPerdata mengatur mengenai produk cacat dapat dilihat dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512, dikenal dengan terminologi cacat tersembunyi. Pasal 1504 KUHPerdata menentukan bahwa penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam

hal demikian. Sehingga apabila pembeli mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi maka terhadapnya diberikan dua pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan Pasal 1507 KUHPerdata, yaitu:

a) Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga (refund). b) Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual.

Mengenai tanggung jawab para pihak terhadap adanya cacat tersembunyi dapat dilimpahkan pada pembeli (konsumen) atau penjual (produsen atau pelaku usaha) tergantung pada kondisinya, ada beberapa ketentuan dalam tanggungjawab para pihak terhadap cacat tersembunyi tersebut:

a. Apabila cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual namun penjual tetap menjualnya, maka penjual wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;

b. Apabila ada cacat dan penjual dan pembeli mengetahui tetapi tetap membeli produk tersebut maka penjual dibebaskan dari tanggung jawab.

c. Apabila cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang);

d. Apabila barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli.

Berdasarkan atas perjanjian yang telah disepakati, jika terjadi permasalahan dimana penjual telah memperjanjikan untuk tidak menanggung cacat tersembunyi, di dalam KUHPerdata

hal tersebut diperbolehkan, dalam Pasal 1506 KUHPerdata. “para pihak diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun pihak sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika pihak penjual , dalam hal yang demikian, telah diminta diperjanjikan bahwa pihak penjual tidak diwajibkan menaggung suatu apapun juga”

Hal ini diperkuat dengan Pasal 1493 KUHPerdata yang menyatakan : “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahwa mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan/perjanjian bahwa penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuai apapun”.

B. Kewajiban Pelaku Usaha Memberi Informasi Terkait Dengan Cacat Tersembunyi