• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cakupan  Program

Dalam dokumen LAPORAN HASIL PENELITIAN (Halaman 36-44)

Dalam 2 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik IMS  bagi WPS langsung maupun tidak langsung. Ternyata lebih banyak WPS langsung yang  dicakup  dalam  program  penjangkauan  maupun  program  klinik.  Baik  WPS  langsung  maupun  tidak  langsung  lebih  banyak  dicakup  oleh  program  penjangkauan  daripada  program klinik IMS. 

Gambar 9. Cakupan Program Penjangkauan  Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir 

24 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005 

Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS  Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir 

DISKUSI 

Prevalensi IMS dan ISR pada WPS di Surabaya tahun 2005 tergolong tinggi. Pada tahun  2005, prevalensi klamidia lebih tinggi dari prevalensi gonore. 

Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan seksual,  melainkan  merupakan  infeksi  yang  berlokasi  di  saluran  reproduksi.  Kedua  infeksi  ini  mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi  HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina  terganggu, yaitu berkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa, suatu  keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 15  Hasil pengukuran prevalensi HSV2  pada tahun 2005 ini sangat tinggi (88% total, 89%  WPS langsung, 87% WPS tidak langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang  sama dengan yang pernah dikutip oleh Ashley dan Wald, bahwa prevalensi serologis  HSV­2 pada WPS di berbagai negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%, 16  namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu  prevalensi  Ig  G  HSV­2  pada  WPS  Jalanan  (n=79)  di  Jakarta  sebesar  60%. 17 Dalam  penelitian ini didapatkan hanya 7% WPS langsung dan 3% WPS tidak langsung dengan  serologi positif HSV­2 yang menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam  waktu setahun terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV  positif tidak disertai riwayat gejala. 18  Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun  tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari  waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi  infeksi oportunistis pada orang dengan infeksi HIV). Sifat kambuhan ini merupakan beban 

V

26 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005 

kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup  mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan untuk seumur hidup, walaupun  pada kasus sub klinis / tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan  dengan yang disertai gejala klinis. Namun justru karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual  tetap aktif dan penularan infeksi virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa  gejala  klinis.  Walaupun  gejala  klinis  infeksi  ini  ringan  pada  pihak  sumber  penularan,  manifestasinya pada pihak yang tertular dapat lebih berat. 16,19,20,21  Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan gejala. Karena itu, diperlukan  program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan pemeriksaan penunjang,  sekurang­ kurangnya pemeriksaan laboratorium sederhana.  Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Prevalensi IMS yang  tinggi pada WPS di Surabaya ini, merupakan pertanda risiko penyebaran HIV yang makin  meluas melalui jejaring hubungan seksual antara WPS dengan pelanggan dan pelanggan  dengan isteri/pasangan seks tetapnya. Tingginya prevalensi IMS di Surabaya menunjukkan  bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak terjadi. Gambar 7 menunjukkan  rendahnya pemakaian kondom oleh para WPS ketika melayani pelanggannya, bahkan  masih banyak WPS yang tidak memakai kondom sama sekali.  Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai  perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri dan berobat tradisional (gambar  8) dapat menimbulkan  beban penyakit yang tinggi maupun masalah sosial yang cukup  besar di kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan  serta isteri/anak pelanggan, antara lain: gonore dan klamidia dapat meyebabkan kelainan  pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa, penyakit radang panggul,  kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada laki­laki maupun  wanita, dan striktura uretra / penyempitan saluran kencing pada laki­laki. 22 Ada dugaan  terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan pengobatan yang  tidak  tuntas.  Dugaan  ini  didasarkan  pada  angka  kehamilan  dan  angka  pemakaian  kontrasepsi sangat rendah, padahal mereka ada dalam usia reproduktif dan sangat aktif  secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

Ko­infeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara  lain manifestasi klinis dapat lebih berat, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan  IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat  perjalanan HIV menjadi AIDS. 22  Program penanggulangan IMS yang telah ada di Surabaya sangat penting dan perlu  ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu  untuk  memutus  rantai  penularan  IMS,  memutus  perjalanan  alamiah  penyakit  dan  mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama  terdiri  dari:  pencegahan  primer,  pencegahan  sekunder,  dan  penguatan  komponen  pendukung. 22 

Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku  seksual  berisiko  (termasuk  promosi  dan  jaminan  ketersediaan  serta  keterjangkauan  kondom di lokasi transaksi seks),  menghindari perilaku pencegahan yang keliru, dan  meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 22,23 

Cakupan program penjangkauan masih sangat kurang bagi WPS tidak langsung, 80%  tidak pernah terpapar program. Pada WPS langsung, 71% tidak pernah terpapar. Namun  demikian  konsistensi  pemakaian  kondom,  nampaknya  lebih  bagus  pada  WPS  tidak  langsung (52% selalu memakai kondom selama seminggu, dibandingkan 11% pada WPS  langsung). Beberapa kemungkinan penyebab antara lain tingkat pendidikan WPS tidak  langsung yang relatif lebih tinggi dan pelanggan terbanyak mereka adalah orang asing  dan karyawan swasta. Konsisten dengan hal tersebut, prevalensi tiap jenis IMS lebih  rendah pada WPS tidak langsung. 

Cakupan  program  klinik  IMS  sangat  kurang  bagi  ke  dua  kelompok  WPS,  15%  WPS  langsung dan 13% WPS tidak langsung. Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa  peningkatan pemakaian kondom yang konsisten, tidak akan dapat optimal menurunkan  prevalensi IMS. Hal itu terkait risiko pekerjaan WPS yang selalu terpapar sumber penularan  pada  saat  melayani  pelanggannya.  Makin  banyak  jumlah  pelanggan,  makin  besar  kemungkinan salah satu di antaranya menularkan IMS­HIV kepada WPS.

28 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005 

Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi,  sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan KB/kontrasepsi agar  mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan ganda terhadap kehamilan  maupun penularan IMS­HIV.  Program intervensi perubahan perilaku untuk menurunkan risiko perilaku seksual, terutama  promosi penggunaan  kondom, sangat perlu  menjangkau kelompok  pelanggan  WPS,  karena pelanggan lebih menentukan apakah kondom akan dipakai atau tidak pada setiap  transaksi seks. Jika jumlah pelanggan relatif sedikit (seperti ditunjukkan pada penelitian  ini – tabel 5), kekuatan negosiasi WPS untuk pemakaian kondom makin lemah, karena  mereka takut kehilangan pelanggan. 24  Berbagai kelompok laki­laki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua  berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4) Oleh karena, itu kerja sama dengan  berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para pelanggan sangat  diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan kelompok pasangan  seks  para WPS yang perlu diperhatikan juga dalam promosi penggunaan kondom. Sebuah  penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS cenderung melakukan hubungan seks  yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan pasangan yang mereka anggap aman (pacar  atau suami). 25  Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan perilaku  pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku minum  antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak tepat dosis maupun  tidak  tepat  pilihan)  berpotensi  menyebabkan  resistensi  mikroorganisme  terhadap  antibiotika.  Sedangkan  cuci  vagina  menyebabkan  penipisan  epitel  vagina  sehingga  mempermudah  terjadinya  luka sebagai  pintu  masuk  IMS­HIV.  Selain itu,  cuci  vagina  mengubah  pH  vagina  menjadi  basa.  Kondisi  vagina  yang  basa  ini  kondusif  untuk  pertumbuhan organisme penyebab IMS. 26,27 Secara umum perilaku dan persepsi yang  keliru ini kontra produktif terhadap perilaku pencegahan yang benar, yaitu penggunaan  kondom secara konsisten untuk melindungi diri dari penularan IMS­HIV, karena timbul  rasa aman yang semu.

Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis  dan terapi yang akurat dan konseling serta rujukan pasangan seks,  skrining/penapisan  berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan sekunder dibutuhkan  sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang  membutuhkan.  Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS 23,27 ­ Kualitas layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen klinis  IMS ­ Sarana dan prasarana fisik harus terawat dengan baik ­ Petugas dapat berkomunikasi dengan baik,  bersifat ramah dan bersikap tidak  menghakimi ­ Privasi dan kerahasiaan pasien terjaga ­ Jam buka sesuai dengan waktu luang WPS ­ Waktu antri tidak terlalu lama ­ Lokasi mudah dijangkau secara geografis maupun sosial (tidak menimbulkan rasa  takut) ­ Biaya terjangkau 

Di  Surabaya  telah  ada  Puskesmas  yang  menyediakan  layanan  IMS  dengan  memperhatikan hal­hal tersebut di atas. 28 Puskesmas inilah yang diidentifikasi sebagai  yang dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku pengobatan yang  benar, walaupun hanya dilakukan oleh sedikit WPS, Puskesmas ini merupakan pilihan  mereka. 

Dalam  tatalaksana  IMS,  apabila  seorang  WPS  terinfeksi  IMS,  maka  pasangan  seks  tetapnya perlu diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini menunjukkan  sebagian besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami maupun pacar. Namun  belum diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS. 

Progam  penguatan  komponen  pendukung,  sebagai  strategi  ketiga  program  penanggulangan IMS, terdiri dari peningkatan kemampuan tenaga medis dan paramedis,  peningkatan kualitas laboratorium sederhana untuk diagnosis IMS, jaminan ketersediaan  obat  dan  manajemen  program.  Penguatan  komponen  pendukung  ini  akan  sangat

30 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005 

menentukan  peningkatan  kualitas  pencegahan  sekunder.  Tanpa  adanya  komponen  pendukung, program pencegahan sekunder  sangat sulit untuk dilaksanakan ataupun  dijamin kualitasnya. 22,23 

Di samping ketiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk menunjang  program  penanggulangan  IMS­HIV,  yaitu  pengamatan  penyakit/surveilans,  dan  pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi bahan  untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 22,23 

Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur  yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 10 tahun,  sebagian  besar  sebelum  20  tahun).  Hasil  ini  tidak  berbeda  dengan  laporan  DKT  (Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota besar  di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makasar) berhubungan seks pertama kali  menjelang usia 18 tahun, dan terdapat 16% yang berhubungan seks pertama kali pada  umur antara 13­15 tahun. 29 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi  remaja perlu diberikan sedini mungkin sebagai bekal menghindar dari tertular IMS­HIV.

KESIMPULAN DAN SARAN 

Dalam dokumen LAPORAN HASIL PENELITIAN (Halaman 36-44)

Dokumen terkait