Dalam 2 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik IMS bagi WPS langsung maupun tidak langsung. Ternyata lebih banyak WPS langsung yang dicakup dalam program penjangkauan maupun program klinik. Baik WPS langsung maupun tidak langsung lebih banyak dicakup oleh program penjangkauan daripada program klinik IMS.
Gambar 9. Cakupan Program Penjangkauan Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
24 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005
>
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
DISKUSI
Prevalensi IMS dan ISR pada WPS di Surabaya tahun 2005 tergolong tinggi. Pada tahun 2005, prevalensi klamidia lebih tinggi dari prevalensi gonore.
Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan seksual, melainkan merupakan infeksi yang berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina terganggu, yaitu berkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa, suatu keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 15 Hasil pengukuran prevalensi HSV2 pada tahun 2005 ini sangat tinggi (88% total, 89% WPS langsung, 87% WPS tidak langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah dikutip oleh Ashley dan Wald, bahwa prevalensi serologis HSV2 pada WPS di berbagai negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%, 16 namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV2 pada WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60%. 17 Dalam penelitian ini didapatkan hanya 7% WPS langsung dan 3% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV2 yang menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV positif tidak disertai riwayat gejala. 18 Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi infeksi oportunistis pada orang dengan infeksi HIV). Sifat kambuhan ini merupakan beban
V
26 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005
>
kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan untuk seumur hidup, walaupun pada kasus sub klinis / tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang disertai gejala klinis. Namun justru karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual tetap aktif dan penularan infeksi virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun gejala klinis infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang tertular dapat lebih berat. 16,19,20,21 Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan gejala. Karena itu, diperlukan program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan pemeriksaan penunjang, sekurang kurangnya pemeriksaan laboratorium sederhana. Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Prevalensi IMS yang tinggi pada WPS di Surabaya ini, merupakan pertanda risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual antara WPS dengan pelanggan dan pelanggan dengan isteri/pasangan seks tetapnya. Tingginya prevalensi IMS di Surabaya menunjukkan bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak terjadi. Gambar 7 menunjukkan rendahnya pemakaian kondom oleh para WPS ketika melayani pelanggannya, bahkan masih banyak WPS yang tidak memakai kondom sama sekali. Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri dan berobat tradisional (gambar 8) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun masalah sosial yang cukup besar di kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan serta isteri/anak pelanggan, antara lain: gonore dan klamidia dapat meyebabkan kelainan pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada lakilaki maupun wanita, dan striktura uretra / penyempitan saluran kencing pada lakilaki. 22 Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan pengobatan yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan dan angka pemakaian kontrasepsi sangat rendah, padahal mereka ada dalam usia reproduktif dan sangat aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.Koinfeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara lain manifestasi klinis dapat lebih berat, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS. 22 Program penanggulangan IMS yang telah ada di Surabaya sangat penting dan perlu ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan penguatan komponen pendukung. 22
Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku seksual berisiko (termasuk promosi dan jaminan ketersediaan serta keterjangkauan kondom di lokasi transaksi seks), menghindari perilaku pencegahan yang keliru, dan meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 22,23
Cakupan program penjangkauan masih sangat kurang bagi WPS tidak langsung, 80% tidak pernah terpapar program. Pada WPS langsung, 71% tidak pernah terpapar. Namun demikian konsistensi pemakaian kondom, nampaknya lebih bagus pada WPS tidak langsung (52% selalu memakai kondom selama seminggu, dibandingkan 11% pada WPS langsung). Beberapa kemungkinan penyebab antara lain tingkat pendidikan WPS tidak langsung yang relatif lebih tinggi dan pelanggan terbanyak mereka adalah orang asing dan karyawan swasta. Konsisten dengan hal tersebut, prevalensi tiap jenis IMS lebih rendah pada WPS tidak langsung.
Cakupan program klinik IMS sangat kurang bagi ke dua kelompok WPS, 15% WPS langsung dan 13% WPS tidak langsung. Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa peningkatan pemakaian kondom yang konsisten, tidak akan dapat optimal menurunkan prevalensi IMS. Hal itu terkait risiko pekerjaan WPS yang selalu terpapar sumber penularan pada saat melayani pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satu di antaranya menularkan IMSHIV kepada WPS.
28 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005
>
Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi, sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan KB/kontrasepsi agar mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan ganda terhadap kehamilan maupun penularan IMSHIV. Program intervensi perubahan perilaku untuk menurunkan risiko perilaku seksual, terutama promosi penggunaan kondom, sangat perlu menjangkau kelompok pelanggan WPS, karena pelanggan lebih menentukan apakah kondom akan dipakai atau tidak pada setiap transaksi seks. Jika jumlah pelanggan relatif sedikit (seperti ditunjukkan pada penelitian ini – tabel 5), kekuatan negosiasi WPS untuk pemakaian kondom makin lemah, karena mereka takut kehilangan pelanggan. 24 Berbagai kelompok lakilaki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4) Oleh karena, itu kerja sama dengan berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para pelanggan sangat diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan kelompok pasangan seks para WPS yang perlu diperhatikan juga dalam promosi penggunaan kondom. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami). 25 Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan perilaku pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku minum antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak tepat dosis maupun tidak tepat pilihan) berpotensi menyebabkan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika. Sedangkan cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina sehingga mempermudah terjadinya luka sebagai pintu masuk IMSHIV. Selain itu, cuci vagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa ini kondusif untuk pertumbuhan organisme penyebab IMS. 26,27 Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontra produktif terhadap perilaku pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk melindungi diri dari penularan IMSHIV, karena timbul rasa aman yang semu.Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis dan terapi yang akurat dan konseling serta rujukan pasangan seks, skrining/penapisan berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan sekunder dibutuhkan sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan. Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS 23,27 Kualitas layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen klinis IMS Sarana dan prasarana fisik harus terawat dengan baik Petugas dapat berkomunikasi dengan baik, bersifat ramah dan bersikap tidak menghakimi Privasi dan kerahasiaan pasien terjaga Jam buka sesuai dengan waktu luang WPS Waktu antri tidak terlalu lama Lokasi mudah dijangkau secara geografis maupun sosial (tidak menimbulkan rasa takut) Biaya terjangkau
Di Surabaya telah ada Puskesmas yang menyediakan layanan IMS dengan memperhatikan halhal tersebut di atas. 28 Puskesmas inilah yang diidentifikasi sebagai yang dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku pengobatan yang benar, walaupun hanya dilakukan oleh sedikit WPS, Puskesmas ini merupakan pilihan mereka.
Dalam tatalaksana IMS, apabila seorang WPS terinfeksi IMS, maka pasangan seks tetapnya perlu diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami maupun pacar. Namun belum diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS.
Progam penguatan komponen pendukung, sebagai strategi ketiga program penanggulangan IMS, terdiri dari peningkatan kemampuan tenaga medis dan paramedis, peningkatan kualitas laboratorium sederhana untuk diagnosis IMS, jaminan ketersediaan obat dan manajemen program. Penguatan komponen pendukung ini akan sangat
30 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005
>
menentukan peningkatan kualitas pencegahan sekunder. Tanpa adanya komponen pendukung, program pencegahan sekunder sangat sulit untuk dilaksanakan ataupun dijamin kualitasnya. 22,23
Di samping ketiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk menunjang program penanggulangan IMSHIV, yaitu pengamatan penyakit/surveilans, dan pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi bahan untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 22,23
Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 10 tahun, sebagian besar sebelum 20 tahun). Hasil ini tidak berbeda dengan laporan DKT (Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makasar) berhubungan seks pertama kali menjelang usia 18 tahun, dan terdapat 16% yang berhubungan seks pertama kali pada umur antara 1315 tahun. 29 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja perlu diberikan sedini mungkin sebagai bekal menghindar dari tertular IMSHIV.