• Tidak ada hasil yang ditemukan

Calon Arang Sebagai Tarian Sakral dan Pengembangannya

NILAI-NILAI KEARIFAN DI BALI DAN JAWA TIMUR

6.3 Calon Arang Sebagai Tarian Sakral dan Pengembangannya

Cerita Calon Arang sangat populer dalam masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu. Cerita ini sangat digemari sehingga sering dijadikan seni pertunjukan ketika ada upacara keagamaan di pura-pura. Seni pertunjukan mempunyai makna penting bagi kehidupan manusia (Soedarsono, 1985:422). Hal ini tercermin dari keragaman fungsinya, yang bukan saja terkait dengan kepentingan religius, tetapi juga berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan duniawi.

Secara garis besar, fungsi seni pertunjukan dapat dikelompokkan ke dalam (1) fungsi religius, dan (2) fungsi sekuler. Dalam pelaksanaannya tidak senantiasa terdapat batas yang tajam antara kedua macam fungsi seni pertunjukan itu, bahkan bisa jadi suatu seni pertunjukkan memiliki dua macam fungsi sekaligus.

Seni pertunjukan berfungsi religius apabila (1) merupakan media upacara keagamaan, (2) sebagai media pendidikan agama, dan (3) sebagai penyemarak upacara keagamaan. Sedangkan seni pertunjukan untuk tujuan keduniawian/sekuler lebih bersifat (1) mencari nafkah dengan menjual jasa seni, (2) pemenuhan kebuhan akan hiburan, (3) media ekspresi perasaan, dan (4) pemenuhan akan kebutuhan komunikasi dengan orang lain (Soedarsono, 1985:18-21).

Seni pertunjukan sebagai sarana upacara adalah fungsinya tertua. Salah satu motivasi yang melatarbelakangi munculnya pertunjukan adalah pemenuhan terhadap kebutuhan religius, yang menggunakan tarian sebagai sarananya (Bandem, 1984:50). Bahkan di beberapa tempat, termasuk Bali, terdapat unsur tertentu dari sebuah tarian yang dianggap memiliki kekuatan magis.

Calon Arang berfungsi untuk memanggil kekuatan gaib, menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat upacara, memanggil roh, mempertontonkan kegagahan, uji ketangkasan batin, dan pelengkap ritus upacara.

Seni pertunjukkan sebagai sarana upacara keagamaan secara jelas dijumpai dalam Kitab Calon Arang, yang mengisahkan tentang Calon Arang dan para pengikutnya. Mereka menari-nari dengan iringan kemanak dan kongsi di kuburan dan mengundang hadir Bhatari Durga (Bhagawati). Tarian ini merupakan sarana untuk memperoleh kekuatan magis yang dapat dipergunakan untuk melancarkan tenung berupa wabah penyakit. Calon Arang bersama murid-muridnya menari (umigel) sebagai sarana magis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Poerbatjaraka, 1926:18-19).

Calon Arang, begitu ia disebut orang dianggap simbol kejahatan di Bali. Calon Arang digambarkan sebagai nenek sihir dengan rambut terjurai, lidah terjulur, taring dan kuku mencengkram, susu bergayutan sebagai seorang perempuan yang lanjut usia.

Cerita Calon Arang dimulai dengan menjangkitnya ketakutan di suatu desa yang bernama Desa Gurah, Kediri, Jawa Timur. Calon Arang dengan daya sihirnya sangat ditakuti, sehingga putrinya bernama Ratna Manggali yang cantik jelita tak ada yang berani melamarnya. Calon Arang menjadi sangat marah dan malu, dan dengan geram yang tak habis-habisnya ia menyemburkan api dahsyat dari mata, hidung, mulut, dan telinganya. Berselang beberapa lama, banyak penduduk desa terkena penyakit, pagi sakit, petang meninggal, petang sakit, esoknya meninggal. Desa Girah menjadi mencekam, tak seorang penduduk berani keluar rumah di waktu malam hari. Terlebih-lebih lagi suara anjing mengaung-ngaung seperti melihat sesuatu yang aneh dan menakutkan.

Calon Arang bersama murid-muridnya setiap malam pergi ke kuburan memuja Bhatari Durga. Ia mempersembahkan mayat-mayat dalam kepingan, bahkan memakai organ-organ mayat-mayat untuk

menghias diri, misalnya berkalung usus orang, beranting paru-paru, mencuci rambut dengan darah, dan menari-nari. Penyakit melanda penduduk sekitar, panas, dingin, lalu mati. Tangis meledak di seluruh negeri Kediri. Calon Arang terus menyebarkan wabah bersama-sama dengan anak buahnya, yaitu Ni Wersirsa, Ni Lenda, Ni Lendi, Ni Buyang, Ni Larung mengiringi tarian si janda.

Situasi yang tidak menguntungkan bagi sebuah negeri, menyebabkan kewibawaan raja Airlangga menjadi terganggu. Raja segera bersabda kepada para petinggi kerajaan, seperti para Patih, para menteri utama, pendeta, resi, serta pejabat tinggi lainnya, dalam suatu pertemuan di Pendopo kerajaan untuk mengatasi keadaan desa yang tertimpa marabahaya. Patih Madri pertama kali diutus untuk menghadapi Calon Arang. Namun sayang Patih ini kalah perang melawan Ni Larung (murid Calon Arang) yang berubah menjadi seekor burung garuda. Mata Patih Madri dipatok oleh sang burung dan akhirnya meninggal.

Sepeninggal Patih Madri, raja kembali mengutus Patih Maling Meguna untuk melenyapkan si janda dari Desa Girah tersebut. Patih ini pun tidak berhasil mengalahkan Calon Arang, sehingga raja pada akhirnya meminta bantuan kepada Mpu Bharadah, seorang yogiswara yang tinggal di pertapaan Lemah Tulis. Mpu Bharadah lalu mengadakan pemujaan kepada Sang Hyang Agni atau Dewa Api di tengah malam, dan memohon agar diberi kekuatan untuk menghadapi Calon Arang yang jahat itu.

Mpu Bharadah lalu meneruskan perjalanannya melewati tepi kuburan dengan pepohonan yang rimbun. Srigala meraung-raung memakan bangkai, burung gagak berbunyi keras berkepanjangan, anjing menggonggong tak henti-hentinya. Melihat Mpu Bharadah datang, anjing tidak menggonggong lagi, bunyi burung gagak berhenti pula. Orang yang sakit sembuh kembali, yang mati hidup kembali.

Kedatangan Sang Yogiswara Bharadah disambut oleh Calon Arang, dan si janda ini segera minta nasihat. Kata Mpu Bharadah:

“Engkau telah banyak membunuh orang, melaksanakan perbuatan jahat, membuat penderitaan rakyat. Terlalu besar malapetaka yang engkau perbuat, dan engkau belum mengetahui seluk-beluk pembebasan dosa”.

Calon Arang mohon agar segera diruwat untuk menebus dosa-dosa yang telah dibuatnya. Dengan menggunakan buku-buku “Asta Capaka” Sang Calon Arang mati seketika ditempat berdirinya itu. Namun Mpu Bharadah menghidupkan kembali untuk disempurnakan dan ditunjukkan jalan yang benar serta seluk beluk kehidupan yang benar.

Pementasan tari Calon Arang di Bali penuh dengan hal-hal yang magis dan mistik. Adanya penggunaan mayat atau orang meninggal dengan pelbagai sesaji sebagaimana orang yang benar-benar telah meninggal, menambah semakin mencekam pertunjukan ini. Demikian juga pekikan bertalu, ada yang berteriak, ada juga yang menangis meraung-raung. Satu persatu tidak sadarkan diri, mereka berdiri meminta lelabaan pisik matah. Puluhan krama desa di mana Calon Arang dipentaskan kerauhan.

Setelah mendapatkan anak ayam berwarna hitam, hidup-hidup mereka makan (pertunjukan Calon Arang Desa Pekraman Suwat, Gianyar) Tribun Bali, Minggu 20-5-2015). Para pengayah tampak seperti menikamati sekali hidangan tersebut, mencabik-cabik dengan gigi sembari memberi satu dengan yang lain. Darah terlihat menetes membasahi tanah Jaba Pura Melanting Desa Pekraman Suwat. “Kadutan/keris” begitu teriak para pengayah. Tanpa berpikir panjang, para pengayah langsung mengambilnya. Keris yang tajam itu lalu mereka hujamkan ke dada masing-masing, dan semakin keras nada gamelan, maka semakin kalap juga para

pengayah. Sekitar 20 lebih anak ayam yang dihaturkan warga

habis tak tersisa.

Habisnya lelabaan pisik matah juga menjadi ciri bahwa para rerencangan Ida Bhatara bisa meninggalkan tubuh para

pengayah. Tirta diperceki, satu persatu mulai sadarkan diri.

jenis sesajen dipersembahkan untuk memohon keselamatan. Namun ini ternyata menjadi ritual penting dalam pertunjukkan Calon Arang yang penuh dengan hal-hal yang mistik dan magis.