• Tidak ada hasil yang ditemukan

Calsium Canal Blocker (CCB)

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 39-47)

2.11. Penatalaksanaan Terapi Gagal Jantung

2.11.2. Terapi Farmakologi

2.11.2.6. Calsium Canal Blocker (CCB)

Penggunaan obat-obat golongan Calsium Canal Blocker (CCB) dapat menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos dan resistensi pembuluh darah perifer sehingga menimbulkan pelepasan RAAS yang diperantarai oleh baroreseptor serta adanya peningkatan stimulasi adrenergik di jantung.

Meskipun CCB memiliki manfaat yang cukup baik terhadap terapi gagal jantung secara teoritis namun dalam pengalaman klinis, CCB tidak memperbaiki gejala yang berlangsung lama pada pasien dengan disfungsi sistolik namun justru memperburuk gejala tersebut serta meningkatkan mortalitas pada pasien termasuk gagal jantung karena iskemik (Hardman and Limbird, 2014). Antagonis kalsium dihidropiridin seperti Amlodipine, felodipin, isradipin, nifedipine, dan nicardipine dengan efek vasodilatsi arteri memiliki sifat inotropik negatif yang lebih minim bila dibandingkan dengan antagonis kalsium nondihidropyridine lainnya seperti verapamil dan diltiazem, namun hanya amlodipine dan felodipine yang direkomendasikan aman pada terapi

gagal jantung serta memiliki keuntungan berupa dilatasi pada sebagaian kecil pasien dengan non iskemik kardiomiopati (Alldredge et al., 2013).

2.11.2.7. β-Blocker

Beta blocker adalah obat yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi termasuk angina, tekanan darah tinggi, irama jantung yang abnormal, infark miokard (serangan jantung) dan gagal jantung. Pemberian beta blocker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatic jantung, dan efek antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko terjadinya aritmia jantung, dengan demikian mengurangi resiko kematian mendadak. Beta blocker juga menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivitas sistem RAA. Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apaptosis dan fibrosis miokard, dan remodelling miokard sehingga progresi gagal jantung akan terhambat, dan memburuknya kondisi klinik juga akan terhambat (Farmakologi FKUI, 2008).

Beta blocker direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III) yang stabil dengan fraksi ejeksi < 35-45 %, etiologic iskemik maupun non iskemik, bersama penghambat ACE / antagonis aldosterone, dan diuretic jika diperlukan untuk mengurangi gejala (dengan pasien dengan adanya atau riwayat retensi cairan), dan tidak ada kontraindikasi.

Adapun beberapa golongan beta blocker yaitu: a. Beta Blocker Selektif

Beta-blocker selektif seperti bisoprolol bekerja pada reseptor beta-1 tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta-1 saja karena itu penggunaan pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus diperhatikan (Gormer, 2007). Beberapa obat dari beta blocker selektif yaitu Asebutol, Metorprolol, Atenolol, Bisoprolol, dan Esmolol (Gunawan, 2012).

b. Beta-Blocker Non Selektif

Beta blocker yang non selektif seperti propranolol dapat memblok reseptor beta-1 dan beta-2. Beta-blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial sebagai aktivitas simpatomimetik instrisik, misalnya acebutol yang bekerja sebagai stimulan-beta pada saat aktivitas adrenergic minimal misalnya pada saat tidur tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat misalnya pada saat berolahraga. Hal ini menguntungkan karena mengurangi brakikardi (Gormer, 2007). Beberapa obat dari beta blocker non selektif seperti propranolol, Nadolol, Pindolol, Timolol, dan Karvediol (Gunawan, 2012).

c. Beta Blocker dengan ISA

Beta blocker dengan ISA juga diklasifikasikan sebagai penghambat namun beberapa molekul golongan ini dapat mengendalikan otot jantung, sehingga dapat mengaktifkan aktivitas simpatomimetic instrinsik. Contoh beta blocker yang masuk dalam beta blocker dengan ISA adalah pindolol dan acebutolol. Beta blocker dengan ISA juga dapat meningkatkan toleransi Betablocker karena tidak menyebabkan bradikardi berat atau efek inotropik negatif yang berlebihan saat istirahat (Wachter and Gilbert, 2012).

Gambar 2.16 Daftar macam-macam beta blocker (Goodman and Gilman’s, 2011) Pemberian β-blocker atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium, β-blocker (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). β-blocker direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard, bila perlu dapat ditambahkan digitalis (Perki, 2014).

Gambar 2.17 Obat untuk kendali laju (Perki, 2014)

Bisoprolol merupakan antagonis selektif- β1 yang diperlihatkan pada uji CIBIS-II tahun 1999, dapat menurunkan mortalitas dengan cara ditambahkan pada

terapi standar (ACE inhibitor dan diuretic). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mulder et al. tentang detak jantung dan outcome pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang: Perbedaan antara atrial fibrilasi dan irama sinus yang dilakukan 2.539 (100%) pasien dengan 521 (21%) pasien yang memiliki AF awal. Alokasi untuk bisoprolol tidak mengubah interaksi antara detak jantung, ritme dan outcome (Mulder et al., 2017).

Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pentilla et al., menunjukkan bahwa pasien yang datang ke bagian gawat darurat di Rumah Sakit kecil maupun besar di Finlandia dengan keluhan AF gejala berulang dan ditujukan untuk pengendalian irama, penggunaan obat antiaritmia kelas I dan kelas III jarang digunakan meskipun direkomendasi oleh European Society of Cardiology (ESC). Obat yang mayoritas digunakan adalah obat golongan β-Blocker, yaitu sebagai terapi kontrol laju dan ritme. Salah satu obat golongan β-Blocker adalah Bisoprolol. Menurut klasifikasi Vaughan Williams, Bisoprolol (1 x 5-10 mg) PO dapat digunakan pada pasien dengan penyakit jantung struktural dan lebih efektif dalam kontrol laju daripada kontrol ritme (Pentilla et al., 2017).

2.11.2.7.1. Tinjauan Tentang Bisoprolol

Bisoprolol,1-((alpha-(2-Isopropoxyethoxy)-P-tolyl)oxy3(isopropylamino)-2-propanol. Bisoprolol merupakan agen yang dapat memblokir beta-1 adrenergik kardioselektif yang dapat digunakan untuk pencegahan sekunder infark miokard (MI), gagal jantung, angina pectoris dan hipertensi ringan sampai sedang. Pada dosis yang lebih rendah (kurang dari 20 mg setiap hari), bisoprolol selektif blok reseptor β1-adrenergik jantung dengan sedikit aktivitas melawan reseptor β2- β1-adrenergik dari paru-paru dan otot polos pembuluh darah. bisoprolol tidak menunjukkan aktivitas simpatomimetik hanya bisoprolol dapat menunjukkan aktivitas β-blocking signifikan (Anonim, 2017).

Gambar 2.18 Struktur kimia bisoprolol (Anonim, 2017) 2.11.2.7.2. Farmakokinetik Bisoprolol

Bisoprolol yang diberikan secara peroral diabsorbsi melalui saluran cerna, hampir seluruhnya diabsorbsi dan sedikit sekali mengalami first pass metabolism (<20%). Absorbsi obat melalui saluran cerna terutama dipengaruhi oleh ukuran partikel molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air, dan derajat ionisasi. Bisoprolol bersifat hidrofilik (larut dalam air) dan lipofilik (larut dalam lemak). Sifat hidrofilik (polar) ini ditunjukkan pada struktur kimia bisoprolol yang memiliki gugus -OH, sedangkan sifat lipofiliknya ditunjukkan adanya gugus eter R-O-R’ (Siswandhono dan Soekardjo, 2000).

Ionisasi sangat penting dalam hubungannya dengan proses penembusan obat ke membrane biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis, umumnya obat dalam bentuk tak terionisasi. Sebagian besar obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, bentuk tak terionisasinya dapat memberikan efek biologis. Bisoprolol merupakan obat yang bersifat basa lemah dengan pH 7,4. Dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah kecil dan bentuk tak terionisasinya semakin besar, sehingga jumlah obat yang menembus membrane biologis bertambah besar pula (Siswandhono dan Soekardjo, 2000). Biovaibilitasnya mencapai 90%. Ikatan dengan protein sekitar 30%. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Metabolisme

lintas pertama bisoprolol sekitar 20%. Ikatan dengan protein serum sekitar 30%. Waktu paruh eliminasi plasma adalah 9-12 jam dan sedikit lebih lama pada penderita usia lanjut, hal ini disebabkan menurunnya fungsi ginjal. Bisoprolol dieliminasi melalui ginjal dan bukan ginjal, sekitar 50% dari dosis, tetap dalam bentuk utuh di urin dan sisanya dalam bentuk metabolit tidak aktif. Kurang dari 2% diekskresikan melalui fases. Bisoprolol tidak dimetabolisme oleh sitokrom P450 II D6 (debrisoquin hidroksilase) (Tjandrawinata et al., 2012).

2.11.2.7.3. Farmakodinamik Bisoprolol

Bisoprolol adalah kompetitif, kardioselektif antagonis β1-adrenergik. Aktivasi β1-reseptor (terletak terutama di jantung) dengan epinefrin meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah yang menyebabkan jantung untuk mengkonsumsi lebih banyak oksigen. β1-adrenergik agen blocking seperti bisopolol menurunkan denyut jantung dan tekanan darah dan dapat digunakan untuk mengurangi beban kerja pada jantung dan karenanya tuntutan oksigen. Mereka secara rutin diresepkan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Selain itu, β1-selektif blocker mencegah pelepasan renin, hormon yang diproduksi oleh ginjal menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Bisoprolol bersifat lipofilik dan tidak ada aktivitas intrinsik atau aktivitas simpatomimetik (ISA) (Anonim, 2016).

2.11.2.7.4. Indikasi

Bisoprolol dapat digunakan untuk me-manajemen gagal jantung, angina pektoris, dan hipertensi ringan sampai sedang dan untuk pencegahan sekunder infark miokard (Anonim, 2017). Bisoprolol adalah beta-blocker yang pertama terbukti memiliki efek yang menguntungkan pada jantung (Metra et al., 2007). Bisoprolol juga dapat menaikan fraksi ejeksi, menurunkan denyut jantung dan pengurangan gejala gagal jantung (Katzung, 2007). Bisoprolol juga diberikan pada pasien yang gejala ringan sampai berat (Kelas Fungsional II – IV NYHA) dan pada pasien stabil secara klinis dan tidak ada tanda terjadinya retensi cairan yang berat (Siswanto, 2015).

2.11.2.7.5. Dosis dan Rute Pemberian

Hipertensi dan angina. Satu tablet 5 mg/tab sehari sekali pada pagi hari sebelum atau sesudah makan. Dalam kasus sedang/tidak terlalu berat, satu tablet sehari mungkin

cukup. Kebanyakan kasus dapat terkontrol dengan pemberian 2 tablet/hari (10 mg), kecuali pada sejumlah kecil kasus memerlukan dosis 4 tablet/hari (20 mg). Pada pasien dengan disfungsi ginjal atau disfungsi hati berat, maksimum dosis per hari adalah 2 tablet/hari (10 mg). Gagal Jantung Kronik (CHF). 1,25 mg sehari sekali untuk satu minggu, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg sehari sekali untuk minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat ditingkatkan menjadi 3,75 mg sehari sekali untuk minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat ditingkatkan menjadi 5 mg sehari sekali untuk 4 minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat ditingkatkan menjadi 7,5 mg sehari sekali untuk 4 minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari sekali untuk terapi pemeliharaan. Setelah pemberian awal 1,25 mg, pasien harus diamati selama lebih kurang 4 jam (terutama berkaitan dengan tekanan darah, detak jantung, gangguan konduksi, tanda-tanda memburuknya gagal jantung) (Dipiro et al., 2011).

Gambar 2.19 Tabel dosis beta blocker (Dipiro et al, 2011) 2.11.2.7.6. Efek Samping

Bisoprolol sama seperti beta-blocker yang lainnya tidak boleh diberhentikan secara mendadak karena dapat menyebabkan takikardia, takiaritmia, angina, hipotensi simtomatik dan memperburuk gagal jantung, jika penghentian diperlukan maka dosis harus dikurangi secara bertahap (Metra et al., 2007).

2.11.2.7.7. Interaksi Obat

Penggunaan beta blocker yaitu bisoprolol dengan golongan angiotensin converting enzyme (ACEI) yang dapat meningkatkan dyspnea. (Christensen E et al., 2009). Penggunaan rifampisin dapat meningkatkan clearance metabolik dari bisoprolol sehingga dapat mempersingkat eliminasi waktu paruh pada bisoprolol (Anonim, 2016). Penggunaan beta-blocker dengan ivabradine dapat meningkatkan kardivaskular pada gagal jantung sistolik (Ford et al., 2015).

2.11.2.7.8. Kontraindikasi

Kontraindikasi absolut untuk pengobatan beta-blocker adalah asma yang sensitif terhadap administrasi beta-2 ARS agonis. Dosis beta-blocker dapat dikurangi dalam kasus yang dapat memperburuk gagal jantung atau efek hemodinamik yang merugikan (Hipotensi dan Brakikardia) hal ini dapat terjadi selama fase uptriation. Pasien dengan asma bronkial dapat menunjukkan toleransi yang lebih baik untuk bisoprolol dibandingkan dengan beta-blocker lainnya. (Merta et al., 2007).

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 39-47)

Dokumen terkait