• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. PENGAMBILAN DAN PERSIAPAN CONTOH TANAH

4.2. Metode pengayakan tunggal 1. Bahan dan alat

4.2.3. Cara kerja/prosedur (1) Persiapan contoh tanah

1. Contoh tanah dari lapangan disebar setebal ± 1 cm di atas kertas, kemudian dikeringudarakan selama 24 jam. Pada proses ini batuan-batuan yang ada dapat dibuang, sedangkan akar-akar tanaman yang melekat pada agregat digunting, kemudian dibuang.

2. Contoh tanah yang telah kering, kemudian diayak menggunakan ayakan berukuran 2 mm dan 1 mm. Kedua ayakan disusun dengan ayakan 2 mm, ditempatkan di atas dan ayakan 1 mm di bagian bawah. 3. Contoh tanah dimasukkan ke dalam ayakan 2 mm, kemudian diayak.

Contoh tanah yang tersaring pada ayakan 1 mm (ukuran agregat 1-2 mm) kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik atau kertas berlabel untuk dianalisis. Ukuran agregat lainnya (>2 mm dan < 1 mm) dibuang.

4. Jika contoh tanah tidak dapat dianalisis, maka contoh tanah agar disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 5°C.

(2) Prosedur analisis

1. Timbang agregat kering udara 1-2 m sebanyak 4 g, kemudian masukkan kemasing-masing ayakan bernomor 1 - 8 seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

2. Jika terdapat agregat/material yang lolos dari saringan pada waktu memasukkan contoh tanah ke dalam ayakan, kemudian dimasukkan kembali secara merata ke masing-masing ayakan.

3. Isi wadah (cans) bernomor yang telah diketahui masing-masing beratnya dengan air suling secukupnya, sehingga diperkirakan tanah di dalam ayakan terendam seluruhnya pada posisi putaran terendah. Tempatkan wadah tersebut pada alat sesuai posisinya masing-masing.

4. Tempatkan ayakan bernomor dan telah berisi contoh tanah pada pegangannya masing-masing, perhatikan angka pada ayakan dan pada pengangannya (holder) harus sama.

5. Hidupkan motor penggerak untuk menaik-turunkan ayakan setingi 1,3 cm sebanyak 35 kali menit-1 selama 3 menit ± 5 detik.

6. Matikan motor penggerak, kemudian angkat ayakan keluar dari wadah dan pindahkan wadah yang telah berisi partikel/material dari agregat tanah tidak mantap (terdispersi) ke nampan.

7. Gantikan wadah tersebut dengan wadah baru yang berisi 100 cm³ larutan pendispersi (dirpersing solution). Untuk tanah dengan pH <7 digunakan larutan NaOH.

8. Hidupkan kembali motor penggerak agregat tersisa selama 5 menit, sehingga hanya partikel pasir yang tersisa diayakan. Jika setelah 5 menit pengayakan, masih terdapat agregat tanah belum terdispersi, maka hentikan pengayakan, kemudian gunakan jari tangan untuk menghancurkan agregat tersebut.

9. Lanjutkan kembali pengayakan sampai seluruh partikel lebih kecil dari lubang ayakan telah lolos semuanya dari ayakan.

10. Angkat ayakan, dan pindahkan wadah ke nampan baru. Wadah ini berisi partikel/material dari agregat mantap, kecuali partikel pasir yang karena ukurannya lebih besar, tidak bisa melalui lubang ayakan. 11. Kedua set wadah, kemudian dikeringovenkan pada suhu 65°C selama

24 jam.

12. Berat material pada masing-masing wadah diperoleh dengan menimbang wadah + isi, kemudian dikurangi dengan berat wadah (Wt1). Pada wadah yang berisi larutan pendispersi, harus dikurangi lagi 0,2 g untuk mengoreksi berat larutan pada material (Wt2).

4.2.4. Perhitungan

Kemantapan agregat dihitung menggunakan rumus : Wt2

AS = x 100 (2)

Wt1 + Wt2

dimana: AS = kemantapan agregat (%); Wt1 = berat material pada pengayakan pertama menggunakan air suling (q); Wt2 = berat material pada pengayakan kedua menggunakan larutan pendispersi (q).

5. DAFTAR PUSTAKA

De Leenheer, L., and M. De Boodt. 1959. Determination of aggregate satability by the change in mean weight diameter. Overdruk Uit Medelingen Van de Staat te Gent. International Symposium on Soil Structure, Ghent, 1958.

El-Swaify, S. A., and E. W. Dangler. 1976. Erodibilities of selected tropical soil in relation to structural and hydrological parameters. Hawai Agric. Exp. Sta. Bull, No. 2019.

Kemper, E. W., and R. C. Rosenau. 1986. Aggregate stability and size distrution. p. 425-461. In A. Klute (Ed.) Method of Soil Analyisis Part 1. 2nd ed. ASA. Madison. Wisconsin.

Kemper, W. D. and E. J. Koch. 1966. Aggregate Stability of soils from western United states and Canada, USDA Tech. Bull. 1355. Washington, DC:

Martin, J. P., W. P. Martin, J. B. Page, W. A. Raney, and J. D. De Ment. 1955. Soil Aggregation. Adv. Agron. 7: 1-38.

Russel, E. W. 1971. Soil Conditions and Plant Growth. 10thEd. Longmans, London. p. 479-513.

Wischmeier, W. H., C.B. Johnson, and B. V. Cross. 1971. A soil erodility nomograph for farmland and construction site. J. Soil and Water Cons. 26: 189-193.

Yoder, R. E. 1936. Direct method aggregate analysis of soils and a study of the physical nature of erosion losses. Jour. Amer. Soc.Agron. 28: 337-351.

7. PENETAPAN PENETRASI TANAH

Undang Kurnia, M. Sodik Djunaedi, dan Setiari Marwanto

1. PENDAHULUAN

Penetrasi tanah adalah daya yang dibutuhkan oleh sebuah benda untuk masuk ke dalam tanah. Spangler dan Handy (1982) melakukan percobaan sederhana, mulai dari penggunaan ibu jari tangan sampai hak sepatu boot untuk mengetahui penetrasi tanah. Mereka berpendapat, penggunaan ibu jari tangan yang didorong ke dalam tanah dengan tenaga penuh merupakan cara tertua untuk mendapatkan ukuran kekuatan tekanan tanah (unconfined compressive strength) atau kapasitas menahan (bearing capacity) dari tanah.

Dalam bidang pertanian, untuk mengetahui ketahanan tanah terhadap penetrasi akar tanaman digunakan penetrometer atau penetrograph. Penggunaan penetrometer dimaksudkan untuk menilai kondisi tanah dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan akar di dalam tanah, hasil panen, dan sifat-sifat fisik tanah lainnya yang berhubungan dengan produksi pertanian. Di bidang teknik sipil, penetrometer dirancang untuk mengetahui ketahanan tanah sampai kedalaman lebih dari satu meter.

Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar tanaman menembus tanah. Masuknya akar tanaman ke dalam tanah tergantung dari kemampuan akar tanaman itu sendiri, sifat-sifat fisik tanah seperti struktur, tekstur dan kepadatan tanah, retakan-retakan yang ada di dalam tanah, kandungan bahan organik tanah, dan kondisi kelembapan tanah.

2. PRINSIP

Penetrometer digunakan untuk mengetahui sifat-sifat tanah tanpa merusak massa tanah, sehingga kalaupun ada kerusakan yang diakibatkan oleh penggunaan penetrometer sangat kecil. Ada dua prinsip dasar penetrometer, yaitu dinamis dan statis. Penetrometer dinamis dirancang untuk dimasukkan ke dalam tanah dengan bantuan beban yang ditimpakan kepada alat, digunakan untuk mengevaluasi lapisan tanah di jalan raya. Sedangkan penetrometer statis adalah alat yang dirancang

untuk didorong atau ditekan ke dalam tanah secara perlahan dengan kecepatan yang tetap untuk menghindari pengaruh dinamis. Penetrometer statis terdiri atas tangkai/tongkat baja yang dilengkapi dengan salah satu dari beberapa jenis bahan/alat yang dipasang pada bagian ujung tangkai/tongkat tersebut.

Hasil pengukuran penetrometer sangat tergantung dari faktor geometri setiap jenis penetrometer, dan kondisi tanah. Menurut Durgunoglu dan Mitchell (1975a, b), kegagalan terjadi pada mekanisme penetrasi statis. Pada tanah yang relatif homogen, ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan bertambah dalamnya lapisan tanah dan kekerasan tanah, serta diameter ujung penetrometer. Ketahanan ujung penetrometer diasumsikan sebagai tekanan alat untuk memperluas lubang masuknya ujung penetrometer, dan gesekan yang dipengaruhi oleh sifat-sifat dan bentuk ujung penetrometer serta permukaan tanah.

Dalam penggunaan penetrometer, sifat-sifat tanah dapat mempengaruhi ketahanan tanah, diantaranya kandungan air tanah, berat isi, struktur, dan tekstur tanah. Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa kandungan air tanah, berat isi, ukuran pori, tekstur, dan struktur tanah dapat mempengaruhi ketahanan tanah. Nilai ketahanan tanah meningkat dengan menurunnya kelembapan tanah dan tekstur tanah. Pada kelembapan tanah rendah, ketahanan tanah meningkat, demikian juga dengan meningkatnya kandungan pasir. Hasil penelitian Vepraskas (1984) memperlihatkan, ketika kandungan air tanah meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Sedangkan Lowery dan Schuler (1994) memperoleh ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan tanah.

Ketahanan penetrasi tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah, tetapi juga oleh jenis penetrometer yang digunakan, khususnya sudut dan diameter ujung alat, serta kekasaran permukaan ujung penetrometer tersebut. Semakin kasar permukaan ujung penetrometer, semakin besar tahanan penetrasinya. Dalam bidang pertanian, rancang bangun diameter ujung penetrometer harus menjadi pertimbangan utama. Pada tanah tanpa struktur dan permukaannya homogen, ketahanan penetrasi tidak tergantung pada diameter ujung alat. Pada tanah dengan struktur kuat, jika diameter ujung penetrometer besar, maka keragaman ketahanan penetrasi tanahnya menjadi rendah. Jika diameter ujung penetrometer kecil, maka keragaman ketahanan penetrasinya menjadi besar karena rendahnya ketahanan retakan (cracks) antara unit struktur tanah.

3. METODE

Berbagai jenis penetrometer yang dapat digunakan untuk mengetahui ketahanan tanah dalam kaitannya dengan tujuan pertanian, diantaranya penetrometer saku, penetrometer kerucut, penetrometer gesekan lengan, dan penetrograph. Berikut disajikan berbagai macam penetrometer sekaligus dengan cara kerjanya.