• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pekerjaan yang melelahkan tetapi sekaligus menimbulkan gairah. Inilah pengalaman kami selama menulis buku ini. Saat kami sampai pada bagian-bagian yang krusial dalam pembahasan (atribut-atribut dan jenis kelamin Allah, konsep kenosis dalam penciptaan, korban berdarah, pandangan tentang kematian dan sub-sub bagiannya) kami merasa kehabisan energi dan enggan melanjutkan pekerjaan. Gagasan penuh di kepala kami, tetapi kami bingung mencari data pendukung dari karya-karya para pakar.

Syukur kepada Allah, pada saat kami merasa tidak berdaya meneruskan pembahasan, ada saja kegairahan baru yang kami temukan. Dengan tidak disangka-sangka kami menemukan buku-buku atau artikel-artikel dalam jurnal yang membangkitkan kembali semangat. Semuanya datang secara mengejutkan, misalnya waktu menemani anak membeli buku di Gramedia, atau kiriman paket buku dari sejumlah teman yang ketika diperiksa ternyata membahas gagasan yang sedang menjadi pergumulan kami.

Atas dasar itu kami berkeyakinan bahwa buku ini sebenarnya merupakan bagian dari wahyu yang kami terima. Sebagai wahyu, ia merupakan pemenuhan atau perluasan dari sesuatu ide, gagasan, pengetahuan yang

kami pikirkan. Kami sungguh menaikan syukur kepada Allah Tritunggal, yang menurut kami ikut bekerja dalam seluruh proses penyelesaian buku ini. Seakan-akan Allah ikut bekerja agar buku ini diselesaikan. Allah ikut bersejarah dengan penulis dalam merampungkan buku ini. Betapapun begitu, buku ini tetap berada dalam tanggung jawab kami. Untuk itu perkenankan kami mengatakan beberapa hal lagi sebagai penjelasan mengenai isi keseluruhan buku ini.

Pertama, buku ini lebih merupakan sebuah refleksi teologi yang bercorak elevasi, bukan restorasi. Pola berteologi yang kami kembangkan di sini tidak melihat ke belakang kepada apa yang disebut proton, melainkan menatap ke depan kepada eskaton. Kami membicarakan karya-karya Allah secara teleologi. Itu sebabnya kami melihat penciptaan sebagai yang berkarakter belum selesai. Allah terus memproses ciptaan itu agar berpadanan dengan tujuannya yang akan disingkapkan pada parousia. Karya pendamaian dan penyelamatan Allah bukan sekedar memperbaiki kerusakan pada ciptaannya, melainkan juga untuk mentransformasi ciptaan itu. Inilah yang corak elevasi teologi.

Teologi yang bercorak restorasi melihat penciptaan sebagai hal yang sudah selesai. Kalau Allah masih terus bekerja pasca pencipataan itu tidak lain untuk melakukan restorasi, reparasi atau memformat ulang kerusakan atau penyimpangan dalam ciptaannya yang disebabkan oleh dosa. Dalam teologi yang bercorak restorasi, eskhatologi identik dengan protologi.

Hal kedua, kami tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada pembaca hal-hal yang patut dipercayai dan yang patut ditolak. Apa yang kami buat adalah menjelaskan ulang kepada pembaca masa kini isi kepercayaan gereja yang dirumuskan pada masa lalu. Dalam upaya ini di beberapa tempat kami melakukan manufer-manufer yang mengganggu, seperti mencari route yang baru atau mengkonstruksi gambaran alternatif untuk membuat warisan iman gereja itu berbicara secara lebih bermakna bagi warga gereja pada masa kini, tanpa merubah substansi pemberitaan.

Akibat dari manufer-manufer ini perubahan arti dari rumusan-rumusan iman yang diterima secara turun-temurun tidak terhindarkan. Pastilah pembaca bukan hanya terganggu melainkan menolak perubahan arti itu. Predikat nabi palsu dan pembawa ajaran sesat sudah diberikan kepada kami oleh sekelompok orang di Kupang mencermati fragmen-fragmen perenungan dogmatis yang kami munculkan dalam surat kabar lokal. Tetapi menurut kami perubahan arti itu perlu, mengingat konteks di mana rumusan-rumusan iman dihayati sudah mengalami perubahan. Tentu saja kami tidak bermaksud bahwa arti baru itu harus diterima sebagai pengganti dari arti rumusan iman yang mentradisi. Arti yang kami ajukan ini hendaklah dilihat sebagai alternatif demi menujukkan bahwa karya-karya Allah tidak pernah akan habis dipahami maknanya dan diselami artinya. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23).

Hal ketiga dan terakhir dari buku ini berhubungan dengan fakta yang dicatat Jongeneel berikut ini.255 Dogmatika adalah satu fungsi dari iman Kristen dan dari gereja Kristen. Di bagian mana saja dari belahan bumi di mana Injil Kristus diberitakan dan gereja ditemukan di situ dogmatika harus juga dikerjakan.

Dogmatika dikerjakan di mana ada gereja dan ada pemberitaan Injil Kristus. Tetapi tidak ada yang namanya dogmatika Belanda, dogmatika Swiss, dogmatika India dan dogmatika Indonesia. Yang ada ialah dogmatika di Belanda, di Swiss, di India dan di Indonesia. Dogmatika di Belanda relevan untuk Swiss, dogmatik Indonesia cocok juga untuk India, dst., karena dogmatika adalah satu fungsi dari gereja dan iman Kristen yang bersifat lintas budaya dan negara. Batas-batas negara, budaya dan nasionalitas tidak berlaku bagi dogmatika.

Pernyataan tadi hendak menekankan kebenaran kembar dari sebuah karya dogmatikam yakni ia bersifat ekumenis (lintas budaya) sekaligus juga kontekstual. Domatika di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dogmatika di bagian lain dari bumi ini, sekaligus juga harus tetap menjaga keterikatannya atau kesatuannya dengan sejarah dan pergumulan masyarakat di Indonesia.

255 J.A.B. Jongeneel. “Christelijke Dogmatiek in Indonesie.” Dalam: Kerk en Theologie. 23e Jaargang. No.3 Juli

Buku ini merupakan sebuah percobaan untuk mewujudkan ketegangan rangkap yang melekat dalam setiap karya dogmatika. Itu sebabnya dalam setiap halaman yang sudah dilewati tak henti-hentinya kami mengganggu kenikmatan pembaca dengan berbagai rujukan yang diambil dari karya para pemikir baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Berganda terima kasih kami sampaikan kepada Pdt. Profesor Dr. John A. Titaley (Rektor UKSW), Pdt. Prof. Dr. Solarso Sopater (Ketua Umum PGI tahun 1989-1999) dan Pdt. Dr. Anderias. A. Yewangoe (guru dogmatikaku dan Ketua Umum PGI 2005-2014) dan Pdt. Dr. Thobias Messakh (Ketua Sinode GMIT 1982-1991 & 1999-2003) yang membaca naskah buku ini dan memberikan catatan-catatan yang membuat buku ini layak dipublikasikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada anak rohani kami: Yafet Ranboki yang membaca kembali seluruh naskah ini sambil membuat koreksi tata bahasa. Dia juga yang terus bertanya kapan buku ini selesai. Bahkan sebelum selesai ditulis, dia sudah mempromosikan kepada banyak rekannya. Kepada Penerbit Satya Wacana yang bersedia mempublikasikan karya ini, penulis juga sampaikan berganda terima kasih.

Dokumen terkait