• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM ORANG

E. Catatan Sipil

1. Pengertian

Catatan Sipil itu ada sejak Revolusi Prancis. Sebelumnya hanya dapat dijumpai dalam Register untuk Kelahiran, Perkawinan, Kematian dan sebagainya, yang diselenggarakan oleh Pihak Gereja. Ketentuan yang dicatat oleh

Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda

pihak gereja itu sangat tidak lengkap, seringkali sukar dapat ditemukan kembali dan tidak senantiasa dapat diminta oleh orang-orang yang berkepentingan. Code Civil diteladani oleh BW Nederland mengadakan peraturan tentang Burgerlijk Stand.

Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) adalah suatu lembaga yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencatat peristiwa hukum penting yang dialami oleh warga negara dalam kehidupan pribadinya dari sejak lahir sampai dengan kematiannya. Peristiwa hukum penting yang dimaksud adalah peristiwa hukum perdata yang meliputi kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian.

Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan peristiwa hukum yang berlaku umum (untuk semua WNI), secara struktural berada di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Sedangkan yang berlaku khusus (hanya untuk mereka yang beragama Islam) secara struktural berada dalam lingkungan Departemen Agama. Untuk menyelenggarakan tugas pencatatan sipil umum mempunyai kantor di setiap kabupaten/kota, sedangkan catatan sipil khusus di setiap kantor Departemen Agama kabupaten/kota.

Kantor catatan sipil mempunyai tugas sebagai berikut: a. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran; b. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perkawinan; c. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perceraian; d. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kematian, dan e. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak,

pengesahan anak dan akta ganti nama.

Kutipan akta-akta tersebut di atas merupakan bukti dan bersifat otentik karena dikeluarkan oleh pejabat resmi (Ambtelijk acte).

Berdasarkan ketentuan SK Mendagri No. 54 tahun 1983, ada lima jenis peristiwa hukum yang perlu dilakukan pencatatan yaitu peristiwa:

a. Kelahiran : menentukan status hukum seseorang, sebagai subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Tujuan dari pencatatan kelahiran ini adalah menentukan status perdata seseorang itu, dewasa atau belum dewasa;

b. Perkawinan : menentukan status hukum seseorang sebagai suami isteri dalam ikatan perkawinan menurut hukum. Tujuan dari pencatatan ini adalah memberi kepastian hukum mengenai boleh/ tidak boleh perkawinan dengan pihak lain lagi;

c. Perceraian: menentukan status hukum seseorang sebagai janda/duda, yang bebas dari ikatan perkawinan. Tujuan dari pencatatan ini adalah untuk menentukan status perdata untuk bebas mencari pasangan lain;

d. Pengakuan dan pengesahan anak: menentukan status hukum seseorang anak (anak luar kawin yang diakui dan anak sah karena disahkan). Tujuan pencatatan ini adalah untuk membuktikan peningkatan hukum status anak (anak luar kawin menjadi berhak mewarisi dari keluarga ibunya, anak yang tidak sah menjadi anak sah).

e. Kematian : menentukan status hukum seseorang, sebagai ahli waris, sebagai janda/duda dari almarhum/ almarhumah. Tujuan dari pencatatan ini adalah untuk menentukan status perdata seseorang sebagai ahli waris dan keterbukaan waris. 3. Syarat Pencatatan

Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda

Agar suatu peristiwa perdata seseorang dapat dicatat, perlu syarat yang harus dipenuhi yaitu surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum yang bersangkutan. Surat keterangan tersebut dibuat oleh yang berhak untuk itu. Misalnya surat kelahiran diberikan oleh dokter/bidan rumah sakit/klinik. Surat keterangan kematian diberikan oleh dokter rumah sakit yang merawatnya atau kepala lurah/ desa tempat tinggal yang bersangkutan. Surat keterangan perkawinan dibuat oleh petugas pencatat nikah (PPN) yang menyaksikan perkawinan itu. Surat keterangan perceraian berupa putusan pengadilan. Surat pengakuan anak dari pejabat umum (umumnya catatan sipil), surat pengesahan anak dari Keppres.

4. Manfaat Akta Catatan Sipil

Manfaat pencatatan status keperdataan seseorang sebagai bukti bahwa peristiwa hukum yang dialami seseorang itu betul telah terjadi. Untuk itu diperlukan surat keterangan yang menyatakan itu pada hari, tanggal, bulan dan tahun di tempat tertentu. Surat keterangan yang memuat hal ini di buat oleh pejabat umum (pegawai pencatatan sipil), disebut akta otentik/akta resmi (Ambtelijk acte).

Dalam hukum pembuktian akta otentik memiliki tiga kekuatan bukti, yaitu kekuatan bukti formal, kekuatan bukti materiil, dan kekuatan bukti terhadap pihak ketiga. Ada juga sarjana mengatakan manfaat akta catatan sipil itu terhadap diri yang bersangkutan dan pemerintah. Terhadap diri yang bersangkutan bermanfaat untuk menentukan status hukumnya; sebagai alat bukti kuat di dalam dan luar pengadilan; memberi kepastian terhadap peristiwa itu sendiri.

Sebelum dikeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, catatan sipil memegang peranan yang sangat penting seperti disebutkan :

▪ Pasal 80 KUHPerd :

Dihadapan pegawai catatan sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi, kedua calon suami dan isteri harus menerangkan, yang satu menerima yang satu sebagai isterinya dan yang lain menerima yang satu sebagai suaminya, pula mereka dengan ketulusan hati akan menunaikan segala kewajiban demi undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami isteri;

▪ Pasal 81 KUHPerd :

Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak pejabat agama mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung.

Kedua pasal tersebut di atas bukan sekedar ketentuan belaka, melainkan suatu ketentuan yang berakibat bisa dipidana bagi pelanggarnya yang diatur dalam Pasal 530 KUHP yang menyatakan bahwa seorang petugas agama, yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat Bugerlijk Stand, sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat itu

sudah dilakukan, diancam dengan denda paling banyak tiga ratus rupiah. Selanjutnya ketentuan pasal itu menyebutkan bahwa jika ketika melakukan pelanggaran, belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, denda dapat diganti dengan kurungan paling lama dua bulan.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua ketentuan pasal di atas adalah :

Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda

a. Tiada suatu upacara keagamaan dilakukan sebelum kedua belah pihak pejabat agama mereka membuktikan perkawinan telah dilakukan di hadapan pegawai catatan sipil;

b. Perkawinan itu barulah sah bila dilakukan di hadapan pegawai catatan sipil;

c. Pejabat agama bisa dituntut bila mengawinkan mempelai sebelum lebih dahulu kawin di hadapan pegawai catatan sipil

Sejak Keppres No. 12 tahun 1983 pegawai catatan sipil tidak boleh lagi mengawinkan. Sejak UU No. 1 tahun 1974 perkawinan itu sah bila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya itu, baru kemudian didaftarkan menurut Undang-Undang.

5. Dasar Hukum Catatan Sipil

Catatan Sipil diatur dalam KUHPerd Bab II Buku I yang terdiri atas 13 pasal. Di luar KUHPerd terdapat berbagai ketentuan seperti:

a. Stb. 1849 tentang peraturan Catatan Sipil untuk golongan Eropah;

b. Stb. 1917 No. 130 jo Stb. 1919 No. 81 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk golongan Tionghoa;

c. Stb. 1920 No. 751 jo Stb. 1927 No. 564 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk golongan Indonesia Asli;

d. Stb. 1933 No. 75 jo Stb. 1936 No. 607 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk Indonesia Kristen.

Sejak Indonesia merdeka telah ditetapkan berbagai peraturan tentang Catatan Sipil sebagai berikut:

a. Instruksi presidium Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/ 1966. Inpres ini memuat pernyataan politis dimana catatan sipil terbuka untuk umum dan hapus penulisan golongan penduduk;

b. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1983, tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyeleng-garaan Catatan Sipil;

c. Keputusan Mendagri No. 54 tahun 1984, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil;

Di era reformasi ini telah dikeluarkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia dan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dokumen terkait