• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dalam dokumen Pelajaran Dasar Agama Islam (1) (Halaman 196-200)

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632) Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga

keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah

berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar

pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385]) Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya

Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Golongan yang berlebih-lebihan.

2. Golongan yang meremehkan.

3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah

generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258- 259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain: a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa

sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-

Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56). b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,

اوهكتعنافع هكنيعع ميككاهعنع امعوع هكوذكخكفع لكوسك رللا مكككاتعآ امعوع

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.

ىحعويك يد حيوع للإل وعهك ني إل ىوعهعليا نلعع قك طل نيع امعوع

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ةدنعسع حع ةدوعسي أك هللللا لل وسك رع يفل ميكك لع نع اكع ديقعلع

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim

dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

هعلللا ععاطع أع ديقعفع لعوسك رللا علطل يك ني مل

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80) f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela

ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga

mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah- ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia

persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah

memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy- Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as- Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]). Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak

memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas. Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek- aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung

perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).

Dalam dokumen Pelajaran Dasar Agama Islam (1) (Halaman 196-200)