• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTURAL NOVEL SALI: KISAH SEORANG WANITA

3.1.2 Citra Psikis Perempuan

Dalam aspek psikis, kejiwaan perempuan dewasa ditandai oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, nasib sendiri, dan pembentukan diri sendiri (Kartono via Sugihastuti, 2000 : 100).

Liwa mengalami beban hidup yang sangat berat secara psikis. Ia pun tak bisa melawan semua itu karena ia telah di bayar dengan babi-babi pada waktu menikah. Oleh sebab itu ia harus bertanggung jawab penuh dalam mengurus rumah tangga. Ia begitu tertekan dan ada penyesalan dalam hatinya karena semua

hal tersebut. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Liwa teringat pada hari-hari yang telah lampau, ketika ia pernah memohon kepada Ibarak supaya datang memintanya dengan membayar babi. Permohonan itu ternyata telah menghancurkan hidupnya sendiri. Babi-babi itu telah membuatnya menjadi benda mati, sehingga Ibarak dapat memperlakukannya dengan sesuka hati. Sementara tujuh orang anaknya harus diberi makan dan tak pernah berhenti berselisih sepanjang hari. Liwa selalu bekerja keras tapi ia tak memperoleh hak dan waktu bagi dirinya sendiri (Linggasari, 2002 : 86).

Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa secara psikis, ia harus bertanggung jawab penuh akan dirinya sendiri dan akan jalan hidup yang ia pilih. Liwa harus menanggung semuanya karena pilihannya itu.

Setelah menikah ia bertanggung jawab penuh pada urusan rumahtangga, seperti mencari makan dan menyiapkannya. Ia pun harus merawat kebun agar hasil makanan ada. Meski lemah tetapi ia tidak diperbolehkan beristirahat.

Liwa teringat akan nasib yang menimpa Lapina, iapun menghela nafas, menyadari beban hidup yang mulai berat, karena perkawinan. Ia telah dibayar dengan mas kawin yang amat mahal. Kini ia kembali kepada adat, sebagai perempuan, maka tugasnya adalah menyiapkan makanan (Linggasari, 2007 : 77). Meski dalam keadaan sakit, perempuan suku Dani tetap harus melaksanakan tugasnya mengurus rumah tangga begitu juga Liwa. Selain bekerja keras, Liwa juga harus mematuhi suaminya. Apa pun yang suaminya minta, Liwa harus menurutinya karena jika tidak suaminya akan marah.

“Setiap hari saya harus bekerja di kebun, saya tidak bisa istirahat, karena anak-anak harus makan. Saya sudah capek melahirkan, tapi kehamilan ini tak dapat saya hindari. Kalau saya tidak mengikuti kemauan Ibarak, suami saya, ia akan marah dan memukul saya. Saya hanyalah budak yang telah dibayar dengan babi, tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Mungkin lebih baik saya mati supaya tidak melakukan apa-apa lagi ” (Linggasari, 2007 : 143).

Kutipan di atas memperlihatkan betapa menderitanya hidup Liwa. Sampai-sampai ia berpikir untuk mati agar beban hidup yang ia pikul dapat berakhir.

Liwa mulai membenci hidup yang ia jalani. Penderitaan dan beban yang harus ia pikul terlalu berat. Tidak ada seorang pun yang membantu meringankan pekerjaannya. Ibarak suaminya hanya bisa menambah bebannya saja tanpa membantu apa pun. Citra diri Liwa secara psikis ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Delapan orang anak harus diberi makan setiap hari, dan Ibarak melepaskan semua beban hidup, ia bahkan menambah beban dengan segala macam tuntutan, khususnya tembakau setiap hari diam-diam Liwa merasa sudah tak mampu, tubuhnya terlalu cepat menjadi tua, tak ada waktu istirahat, ia harus bekerja dan bekerja. Tanpa sadar Liwa mulai membenci kehidupan yang ia jalani, ia tak berminat kepada apa-apa lagi (Linggasari, 2007 : 197).

Suatu kali Ibarak meminta Liwa untuk menggoda seorang laki-laki yang diketahui Ibarak telah lama menaruh hati pada Liwa. Hal tersebut Ibarak Lakukan karena ia menginginkan babi-babi yang dapat ia tuntut pada laki-laki yang bernama Lopes, sehingga kekayaannya bertambah. Tetapi Liwa menolak dengan keras dan berniat menentang keinginan Ibarak. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Ia merasa kebencian yang menggumpal bila teringat kembali kepada keinginan Ibarak. Tak akan ia biarkan seorang pun menyentuhnya, hanya karena sebuah jebakan untuk menuntut denda babi. Ia memang dungu tapi tak sebodoh itu. Sekali ini ia pasti menentang Ibarak., meski laki-laki itu mungkin akan mengakhiri hidupnya. Ia tak akan membiarkan siapa pun menghinanya sedemikian rupa, meskipun dirinya bukan apa-apa (Linggasari,2007 : 206).

Ketika suatu ketika Liwa bertemu dengan Lopes, dan Lopes hendak mendekatinya Liwa menolak mentah-mentah.

Ketika Lopes mencoba memegangi tangan Liwa, maka wanita itu menjadi marah. Dengan kasar Liwa menepis tangan tangan Lopes, kemudian berjalan terpincang-pincang, menuju arah yang berlawanan. Tak sedikit pun keinginan hati Liwa untuk menuruti kehendak laki-laki itu, ia cukup tahu bahaya yang dapat terjadi. Wanita itu memilih jalan selamat, kembali ke silimo (Linggasari, 2007 : 215).

Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa secara psikis, ia bertanggung jawab terhadap nasib yang akan terjadi jika ia menuruti apa yang dikehendaki oleh Lopes.

Semakin lama Liwa tak dapat lagi memikul beban hidup yang semakin berat. Apalagi Ibarak suaminya terus saja memperlakukan Liwa dengan semena-mena. Liwa memutuskan mengakhiri hidupnya. Sebelumnya ia berpamitan kepada Gayatri seorang dokter yang membantu persalinan anak kembarnya, anaknya yang kedelapan dan mengambil salah satu dari anak kembarnya tersebut. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

“Saya datang untuk mengucapkan terima kasih kepada anak dokter untuk semua kebaikan ini. Jangan anak dokter bertanya dan jangan pula anak dokter mencari”, sekali lagi Liwa memeluk Kelila, menetapnya dengan rasa kasih, isaknya tertahan ketika ia membalikkan badan dan pergi berlalu tanpa pernah menoleh lagi (Linggasari, 2007 : 231).

Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tak tahan lagi menanggung segala penderitaan dan beban hidup yang tiada akhir.

Citra psikis Lapina digambarkan ketika Kugara meminta Lapina untuk dijadikan istrinya. Lapina tak bisa menolaknya karena jika ia tidak patuh maka ia telah melanggar adat dan itu akan membuatnya tersingkir dari masyarakat adat. Ia hanya bisa pasrah menghadapi semuanya. Lapina yang muda remaja membuat ia memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum laki-laki.

Ketika akhirnya Kugara membayarnya dengan puluhan ekor babi, lapina hanya terdiam. Ia tak bersuara bukan karena menjadi bersuka cita dengan pemberian itu. Tetapi ia telah limbung, ada suara yang memerintahkannya untuk berontak, tetapi ia terlalu belia bagi pemberontakan terhadap adat yang sudah berlaku sejak jaman purba. Ia tak memiliki kekuatan apa-apa, daya tarik sebagai gadis belia menjadi bumerang, ia harus menikah dengan laki-laki yang tak dikehendakinya. Lapina tak pernah bisa mengerti, mengapa adat dapat berlaku

seperti itu dan mengapa pula ia mesti menjalaninya (Linggasari, 2007 : 30). Ia tak pernah merasa sebagai suami istri, ia hanyalah pelaku adat. Pelaku yang kehilangan sukma dan akhirnya tampil sebagai patung hidup (Linggasari, 2007 : 31).

Kedua kutipan di atas merupakan gambaran citra diri Lapina secara psikis. Hatinya berontak, tetapi ia masih terlalu muda untuk melakukan perlawanan terlebih melawan adat yang telah berlaku sekian lama.

Kugara meninggal dalam perang adat, Lapina pun menjadi janda. Tetapi ia sama sekali tidak mau untuk menikah lagi. Ia memilih tetap menjanda. Lamaran dari laki-laki yang datang padanya ia tolak. Lapina tidak ingin mengulang penderitaan yang ia alami sewaktu menikah dengan Kugara.

Setelah kematian Kugara, Lapina memilih hidup sendiri, ia tak mau menerima lamaran dari pihak laki-laki, karena ia merasa telah cukup pahit ketika hidup dengan Kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat hidupnya menjadi budak (Linggasari, 2007 : 87).

Kutipan di atas merupakan citra diri Lapina baik secara psikis setelah kematian Kugara, suaminya. Citra diri Lapina pada kutipan di atas merupakan sikap pertanggungjawaban dia terhadap dirinya.

Citra diri Aburah secara psikis dalam novel Sali tergambar ketika ia harus menghadapi aturan adat yang membuat Aburah tak bisa berkutik. Aburah adalah salah satu pelaku adat yang harus selalu mematuhi adat tanpa bisa melawan. Bahkan dalam keadaan sakit pun ia harus tetap bekerja selagi ia masih bisa berdiri. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani adalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu

akan mengamuk dan memukulnya (Linggasari, 2007 : 6-7).

Setelah bekerja seberat itu Aburah merasa lelah tak terkira, tulang-tulang ngilu, badannya menggigil dan ia tak dapat berdiri lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan untuk beristirahat. Sungguhpun ia merasa lemah, tetapi selama ini ia masih mampu berdiri, maka ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja (Linggasari, 2007 :7).

Kedua kutipan di atas merupakan gambaran citra diri tokoh Aburah secara psikis. Perempuan yang menikah dan telah dibayar dengan puluhan babi oleh pihak laki-laki harus selalu mengerjakan semua tugas dalam rumah tangga. Jika tidak seperti itu maka makian bahkan pukulan yang ia terima dari suaminya.

Tokoh perempuan Gayatri secara psikis adalah sosok yang teguh dan memiliki keinginan yang kuat. Terutama dalam memilih pasangan hidup. Meski orang tuanya telah memilki pilihan untuk Gayatri, tetapi ia mempunyai pilihan sendiri. Gayatri juga tidak ingin orang lain turut campur dalam menentukan jalan hidupnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Gayatri merasa telah hidup pada zaman yang berbeda, bukan lagi zaman ketika seorang wanita tak berhak untuk memilih teman hidupnya. Gayatri sadar dan merasa yakin, dengan cinta yang amat kuat. Gayatri menolak calon lain bukan karena sosok itu tidak memenuhi syarat, tetapi karena ia tidak ingin orang lain ikut campur menentukan jalan hidupnya, meskipun orang itu adalah ibunya sendiri (Linggasari, 2007 : 97 – 98)

Tetapi sayang keinginan Gayatri untuk menjalinn hidup dengan laki-laki pujaan hatinya kandas karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan sahabatnya sendiri. Nilasari, sahabat sejatinya telah merebut calon suaminya, Ardana. Lewat sebuah undangan yang datang padanya, hidup Gayatri hancur seketika. Impiannya runtuh sudah. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Gayatri terpaku. Ia telah menjalani seluruh hidupnya dengan cemerlang dan sebuah rencana perkawinan. Namun undangan itu telah menamparnya. Ia seperti bocah kecil yang terus bermimpi tak menyadari kenyataan di sekitarnya. Dokter wanita itu tetap terpaku, nalarnya sebagai dokter bahkan tak mampu

pandangan kosong, kesadarannya bergoyang pada garis batas yang mencemaskan, wajahnya seketika memucat (Linggasari, 2007 : 100-101).

Gayatri bukanlah sosok perempuan yang terus hanyut dalam masalah yang dia hadapi. Dengan cepat ia mulai bangkit lagi untuk menghadapi kehidupan yang baru. Rencana-rencana yang telah ia buat harus terlaksana, termasuk menjalankan praktik dokter ke wilayah timur. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Gayatri bukan pribadi yang hanyut dalam persoalan yang menyedihkan, sungguhpun perkawinan itu telah mengubur seluruh harapan dan rencananya. Gadis itu mulai berbenah, merapikan seisi kamar, mencuci rambut, dan seluruh tubuhnya, mendirikan sembayang, dan berdoa dengan satu kesadaran, bahwa hari depan masih panjang (Linggasari, 2007 : 111).

Gadis itu juga teringat dengan rencana PTT di wilayah timur Indonesia, sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Mengapa tak melakukan sesuatu untuk keluar dari persoalan ini? (Linggasari, 2007 : 119-120).

Meski orang tuanya keberatan dengan keputusannya tersebut, tetapi ia tetap harus menjalankannya. Gayatri ingin menyelamatkan hidupnya. Perkawinannya dengan Ardana yang gagal membuat Gayatri menjadi buah bibir di kotanya. Tetapi bukan itu alasan mengapa Gayatri memutuskan mengambil praktik dokter pertamanya di wilayah timur Indonesia. Sudah sejak lama Gayatri memiliki cita-cita pergi ke sana. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

“PTT di Wamena bukan berarti saya kehilangan kesadaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain, dan orang lain itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin semua juga salah saya. Perkawinan itu terjadi, tepat ketika saya sedang merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tetapi sudah sejak lama, bahkan sebelum mengenal Ardana saya sudah memang ingin pergi ke sana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini” (Linggasari, 2007 : 122-123).

Kutipan di atas merupakan citra diri Gayatri secara psikis dan merupakan pertanggung jawaban penuh atas diri sendiri dan nasib sendiri yang dialaminya.

Citra diri Gayatri secara psikis juga terlihat ketika ia menangani kasus Liwa. Ketika itu Liwa akan melahirkan anaknya yang kedelapan dan Gayatrilah yang menolong Liwa melahirkan. Liwa melahirkan bayi kembar. Dalam adat suku Dani bayi kembar yang terlahir terakhir adalah anak setan dan harus dihanyutkan di sungai. Bila ada yang mengambilnya ia akan selamat tetapi jika tidak ia akan kembali ke alam atau mati. Gayatri sangat kaget mengetahui hal itu. Ia harus melakukan sesuatu meski itu berat. Akhirnya Gayatri memutuskan mengambil salah satu bayi Liwa. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi yang tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi. Tidak! Hal itu tak boleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya ia berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya” (Linggasari, 2007 : 175-176).

Salah satu anak kembar Liwa yang diambil oleh Gayatri diberi nama Kelila. Gayatri sangat menyayanginya. Ketika itu keamanan di Papua memburuk dan Gayatri pun memutuskan kembali ke kampung halamannya setelah tugas praktik dokter berakhir. Ia membawa serta Kelila. Dalam benaknya ia akan mulai meniti karir untuk hari depan dan berjuang untuk Kelila. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

Setelah mempertimbangkan berhari-hari, akhirnya Gayatri memutuskan untuk kembali ke Yogya. Situasi kian memanas. Sementara PTT telah berakhir, telah cukup syarat untuk membangun karir di kemudian hari (Linggasari, 2007 : 247).

Tentu, ia tak meninggalkan Wamena seorang diri, karena Kelila telah menjadi tanggung jawabnya. Ia akan membawa bocah ini menuju peradaban, pada sebuah kehidupan yang dapat memberinya segala hak dan membebaskan dirinya dari bermacam-macam bentuk penindasan. Ia harus melakukan sesuatu untuk merubah jalan hidup Kelila, sehingga bocah itu tak mudah diperdaya dan akan menjadi manusia yang merdeka (Linggasari, 2007 : 247-248).

Kedua kutipan di atas merupakan citra diri Gayatri. Ia telah mempunyai tanggung jawab dengan apa yang ia jalani dan putuskan. Ia membawa Kelila keluar dari adat yang kelak bisa membuat Kelila menderita seperti ibunya, Liwa. Gayatri telah membawa Kelila pada perubahan dan menjauhkannya dari penderitaan fisis mau pun psikis yang dialami oleh kebanyakan perempuan suku Dani.

3.2 Citra Sosial Perempuan

Pada dasarnya citra perempuan sosial merupakan citra perempuan yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tempat perempuan menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas (Sugihastuti, 2000:143).

Dalam aspek keluarga, citra sosial perempuan berhubungan dengan peranannya sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang semuanya menimbulkan konsekuensi sikap sosial yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Citra sosial perempuan dalam sikap sosialnya terbentuk karena pengalaman pribadi, pengalaman budaya dan pengalaman sosialnya (Sugihastuti, 2000:xvi).

Dokumen terkait