• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.4 Co-solvent Dietil Eter

Proses transesterifikasi memiliki banyak masalah seperti reaktan (minyak dan alkohol) yang tidak saling larut yang disebabkan struktur kimia mereka. Dispersi minyak dalam medium metanol, sehingga kemungkinan terjadinya benturan antara

B : katalis basa

R1, R2, R3 : rantai karbon dari asam lemak R : gugus alkil dari alkohol

molekul gliserida dan metoksida (campuran metanol dan katalis alkali KOH atau NaOH) semakin sedikit. Hal ini menurunkan laju benturan antar molekul dan juga laju reaksi sehingga menyebabkan lamanya waktu reaksi [47].

Untuk meningkatkan efisiensi transesterifikasi, sangat penting untuk menemukan cara mencampur reaktan cair dengan baik, terutama minyak dan alkohol, dimana minyak dan alkohol sangat berbeda dalam polaritas dan densitas [7]. Penambahan pelarut lain dalam sistem reaksi dapat membantu pencampuran reaktan yang tidak saling melarut tersebut. Ada tujuh kelompok pelarut hidrofilik dan hidrofobik, yaitu alkana dan sikloalkana, keton, eter, ester, alkohol, nitril dan derivatif [48]. Co–solvent, misalnya dari golongan eter, seperti tetrahidrofuran (THF), dietil eter, diisopropil eter, metil tetiari butil eter, dapat digunakan sebagai cara untuk membuat reaksi menjadi satu fasa [7].

Co-solvent yang dipilih sebaiknya memiliki titik didih dekat dengan alkohol yang digunakan, agar setelah reaksi selesai, alkohol dan co-solvent dapat didaur- ulang untuk digunakan kembali. Hal paling utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan co-solvent adalah pemulihan sempurna co-solvent di akhir reaksi dan penggunaan kembali co-solvent, yang dapat dilakukan dengan pemilihan co-solvent bertitik didih dekat dengan alkohol yang digunakan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah mengenai tingkat bahaya co-solvent [47]. Co-solvent yang lebih diutamakan adalah yang berasal dari golongan cyclic ether seperti tetrahidrofuran (THF), dietil eter, metiltertiaributileter, diisopropil eter, dan 1,4-dioxane. Co-solvent yang dipakai hendaknya anhidrat [6].

Eter merupakan nonhidrosiklik dan tidak dapat membentuk ikatan hidrogen dalam keadaan murninya. Eter juga biasanya tidak reaktif terhadap basa kuat. Eter siklik dengan berat molekul rendah saling larut dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadikannya sebagai co-solvent dalam sistem metanl/minyak. Metanol seperti air yang memiliki sifat polar dan hidrofilik. Contoh eter siklik adalah tetrahidrofuran (THF) dan 1,4-dioxan. THF lebih dipilih sebab memiliki titik didih dekat dengan titik didih metanol dan dapat di ko-destilasi sehingga dapat diperoleh kembali di akhir reaksi [41].

Dietil eter termasuk dalam jenis co-solvent asiklik. Dietil eter sangat tidak larut dalam air dalam semua perbandingan, tetapi saling larut dengan metanol. Dalam eter siklik pasangan elektron bebas lebih mampu untuk berikatan hidrogen dibanding

asiklik. Hal ini menjadi alasan bahwa ruangan gugus alkil dalam eter siklik menghalangi pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air yang memiliki sifat saling larut yang rendah [41].

Lin dan Hsiao menambahkan pengaruh penggunaan microwave dengan daya 300 W pada produksi biodiesel dari minyak jelantah dengan proses transesterifikasi dua tahap dengan penambahan co-solvent memberikan hasil yang baik. Co-solvent yang digunakan adalah tetrahidrofuran (THF). Penambahan THF meningkatkan efisiensi reaksi. Reaksi pertama bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas, sedangkan reaksi kedua bertujuan untuk mengubah minyak menjadi metil ester. Percobaan Lin dan Hsiao menghasilkan biodiesel dengan yield 97,4 % pada perbandingan alkohol : minyak pada reaksi pertama 9 : 1, perbandingan alkohol : minyak pada reaksi kedua 12 : 1, jumlah katalis basa 1 % berat, dan temperatur 333 K [7].

Setyopratomo, dkk. menggunakan dietil eter sebagai co-solvent dan memvariasikan suhu reaksi serta perbandingan CPO : Metanol dalam menguji karakteristik biodiesel turunan CPO. Dari berbagai alternatif metode pembuatan biodiesel dari CPO, transesterifikasi satu fasa adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih. Beberapa keberhasilan dari metode ini telah ditunjukkan dari keunggulan produk biodiesel yang dihasilkan pada perbandingan dietil eter : metanol (2 : 1), waktu reaksi 1 jam, dan penggunaan katalis sebanyak 0,5 % berat [5].

Rachmaniah, dkk. menambahkan THF sebagai co-solvent pada produksi biodiesel dari CPO dengan proses satu fasa. Dengan penambahan co-solvent THF memberi perolehan kadar metil ester lebih tinggi daripada metode konvensional dengan persentase kenaikan sebesar 5 %. Kadar metil ester tertinggi yang diperoleh adala 98,42 %, dicapai pada perbandingan THF : Metanol (2 : 1), perbandingan molar minyak : metanol (1 : 6), dan penggunaan katalis NaOH sebanyak 0,5 % berat [9].

Encinar, dkk. menguji kinerja berbagai co-solvent dalam pembuatan biodiesel dari rapeseed oil. Co-solvent yang digunakan antara lain tetrahidrofuran (THF), dietil eter (DEE), dibutil eter (diBE), tersier butil metil eter (tBME), diisopropil eter (diIPE), dan aseton. Pada kondisi reaksi yang sama yaitu pada perbandingan metanol : minyak (9 : 1), perbandingan metanol : co-solvent (1 : 1), temperatur reaksi 303 K, jumlah katalis 0,7 % berat, dan laju pengadukan 700 rpm, dietil eter dan THF

memberikan yield tertinggi yaitu 97,6 % dan 98,3 %. Namun, di antara berbagai co- solvent yang digunakan, dietil eter adalah yang paling efektif. THF memberikan hasil yield yang serupa, namun pemulihannya lebih sulit [10]. Tabel 2.5 menunjukkan sifat fisika dietil eter.

Tabel 2.5 Sifat Fisika Dietil Eter [49] Sifat Fisika Berwujud cair Tak berwarna Titik didih : 34 oC Titik leleh : -116 oC Tekanan uap : 400 mmHg Titik nyala : -45 oC 2.3 TRANSESTERIFIKASI

Ada beberapa proses yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel [20].

1. Transesterifikasi dengan katalis basa. 2. Transesterifikasi dengan katalis asam.

3. Pre-esterifikasi terhadap FFA dengan katalis asam terintegrasi dan transesterifikasi dengan katalis basa.

4. Transesterifikasi dengan katalis enzim.

5. Hidrolisis dan esterifikasi dengan katalis asam. 6. Pirolisis.

7. Transesterifikasi dengan alkohol superkritik.

Biodiesel pada umumnya disentesis melalui transesterifikasi dengan alkohol ringan menggunakan katalis basa konvensional [50]. Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping berupa gliserol [30]. Reaksi transesterifikasi ditunjukkan oleh gambar 2.2.

H2C – O – CO – R1 R1COOR H2C - OH HC – O – CO – R2 + 3ROH R2COOR + HC – OH H2C – O – CO – R3 R3COOR H2C – OH (Trigliserida) (Alkohol) (Alkil Ester) (Gliserol)

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi [32]

Reaksi transesterifikasi terdiri dari tiga tahap. Trigliserida bereaksi dengan alkohol membentuk digliserida, dan kemudian digliserida bereaksi membentuk monogliserida. Monogliserida bereaksi dengan alkohol menghasilkan gliserol sebagai produk samping [51]. Monogliserida (MG) dan Digliserida (DG) merupakan zat intermediat yang terbentuk dalam reaksi transesterifikasi [52]. Tahapan-tahapan reaksinya adalah sebagai berikut [51].

1. TG + ROH DG (digliserida) + RCO2R 2. DG + ROH MG (monogliserida) + RCO2R 3. MG + ROH RCO2R + Gliserol

Faktor kritik untuk menunjang produksi biodiesel dengan reaksi transesterifikasi yang baik sebagai berikut :

1. Kualitas Bahan Baku

Kualitas bahan baku termasuk dalam faktor internal reaksi transesterifikasi. Sedangkan kondisi reaksi dan tipe katalis termasuk faktor eksternal reaksi transesterifikasi [53]. Minyak nabati ataupun lemak hewani dapat digunakan untuk produksi biodiesel. Bahan baku minyak yang digunakan harus memenuhi dua hal : harga (biaya bahan baku dan produksi rendah) dan ketersediaan (volume produksi besar dan konstan) (Sivasamy, dkk., 2009).

Lemak hewan bersifat lebih kompleks daripada minyak nabati murni. Kadar asam lemak bebas (FFA) terkandung dalam minyak buangan dapat bereaksi dengan katalis alkali yang menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan. Oleh karena itu, teknologi transesterifikasi konvensional menggunakan reagen yang bebas air dan kadar FFA bahan baku tidak melebihi 0,1 – 0,5 % berat [29].

2. Kondisi Reaksi

- Suhu optimum yang digunakan pada reaksi didasarkan pada suhu yang paling mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk reaksi transesterifikasi tanpa co-solvent [54]. Reaksi transesterifikasi dengan penambahan co-solvent dilakukan di bawah titik didih dari pelarut (metanol) dan co-solvent (dietil eter) [6]. Encinar, dkk. pada tahun 2010 membuktikan bahwa suhu optimum transesterifikasi minyak dengan menggunakan co-solvent dietil eter adalah sebesar 300 – 303 K (23 – 30 oC) [10].

- Secara teoritis, (dari stokiometri reaksi transesterifikasi), diperlukan perbandingan metanol-minyak sebesar 3 : 1 untuk reaksi transesterifikasi [47]. Digunakan alkohol yang berlebih untuk memperoleh konversi reaksi yang baik [54]. Penggunaan perbandingan metanol-minyak yang terlalu besar tidak akan meningkatkan yield, tetapi menambah biaya pemulihan metanol dan menyebabkan kesulitan pemisahan gliserol yang menyebabkan penurunan yield [47]. Tanpa adanya co-solvent, reaksi transesterifikasi dapat dilakukan dengan kisaran perbandingan molar metanol : minyak antara 6 : 1 hingga 12 : 1 [55]. Menurut Todorovic, dkk. pada tahun 2012, metanolisis minyak berkatalis basa homogen dan heterogen dengan kehadiran co-solvent menggunakan perbandingan molar metanol : minyak sebesar 6 : 1 [17].

- Kecepatan pengadukan setinggi mungkin untuk membantu pencampuran reaktan. Hal ini disebabkan sistem dua fasa yaitu antara minyak dengan alkohol (di mana katalis terlarut dalam alkohol) [54]. Pengadukan yang kuat memperbesar perpindahan massa dengan mendispersikan alkohol sebagai butir-butir dalam fasa trigliserida, dengan demikian akan menambah luas kontak antara dua zat yang tidak melarut satu dengan lainnya. Produksi metil ester bertambah ketika kecepatan impeller ditingkatkan dari 300 hingga 600 rpm [56]. Pengadukan sebenarnya hanya diperlukan untuk menghasilkan reaksi satu fasa, ketika hal ini telah dapat diwujudkan, pengadukan tidak lagi diperlukan. Dalam transesterifikasi menggunakan co-solvent, co-solvent digunakan untuk mengatasi laju reaksi yang lambat dan karena itu, pengadukan menjadi tidak penting. Kecepatan pengadukan sebesar 100 – 200 rpm untuk beberapa menit pertama telah cukup [47].

- Waktu reaksi transesterifikasi selama ini cukup lama, yaitu sekitar 1 jam untuk reaksi tanpa co-solvent [5]. Sedangkan dengan adanya penambahan co-solvent waktu reaksi yang diperlukan sangat singkat, sekitar 10 menit untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [47].

- Semakin meningkatnya perbandingan metanol : minyak, maka penggunaan co- solvent akan semakin sedikit. Perbandingan volume co-solvent : metanol yang diperlukan untuk beberapa variasi perbandingan netabol : minyak seperti berikut ini 0,8 pada 6 : 1, 0,91 pada 9 : 1, 0,94 pada 12 : 1, 0,98 pada 13 : 1, 1,02 pada 14 : 1, 1,03 pada 15 : 1, dan 1,06 pada 18 : 1 [57]. Dari hasil penelitian Encinar, dkk. (2010) banyaknya co-solvent yang diperlukan dengan adanya penambahan 0,7 % berat katalis adalah 1 : 1 perbandingan molar metanol : co-solvent untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [10].

3. Konsentrasi Katalis

Biasanya produksi biodiesel konvensional melalui reaksi transesterifikasi dari minyak dengan katalis basa kuat yang homogen [58]. Katalis asam seperti asam sulfat juga dapat digunakan untuk reaksi transesterifikasi namun berlangsung lambat [44]. Reaksi dengan menggunakan katalis basa homogen relatif cepat dan memberikan konversi reaksi yang tinggi [59]. Banyaknya jumlah katalis yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi tanpa adanya co-solvent berkisar antara 0,2 hingga 2 % berat [54]. Dengan adanya penambahan co-solvent, jumlah katalis yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Dari penelitian Dabo, dkk. (2012) yang memvariasikan konsentrasi katalis (0,5 sampai 2 %), diperoleh yield tertinggi pada penggunaan konsentrasi katalis 0,5 % [47].

Dokumen terkait