• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Jawaban Pertanyaan Penelitian

2. Cognitive Dissonance Siswa

Penelitian ini juga melihat gambaran cognitive dissonance siswa ketika menyelesaikan soal matematika non rutin. Peneliti menganalisis cognitive dissonance siswa pada materi yang diujikan. Gambaran kriteria cognitive dissonance yang dimiliki siswa pada tabel 28 berikut.

101

Tabel 28 Nilai Rata-rata Skor Cognitive Dissonance Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri di Kota Bengkulu dalam Menyelesaikan Soal Matematika Non Rutin (Berdasarkan Data Sampel)

SMA Negeri di Kota Bengkulu (n=292)

Secara Keseluruhan 117,39

Matriks 45,39

Transformasi

Geometri 24,62

Barisan dan Deret 47,38

Berdasarkan tabel 28 yang merupakan ringkasan dari data analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya. Untuk memperkirakan rata-rata populasi dilakukan estimasi suatu interval. Rata-rata skor sampel yang tertera pada tabel 28 dianalisis lebih lanjut menggunakan rumus t untuk menghasilkan estimasi rata-rata skor populasi. Kemudian, interval rata-rata yang diperoleh dikriteriakan sesuai dengan cognitive dissonance siswa.

Tabel 29 Estimasi Skor Rata-rata Cognitive Dissonance dalam Menyelesaikan Soal Matematika Non Rutin Populasi Siswa SMA Negeri di Kota Bengkulu

Interval

Secara Keseluruhan 115,64 ≤ 𝜇 ≤ 119,14

Matriks 44,57 ≤ 𝜇 ≤ 46,21

Transformasi Geometri 24,13 ≤ 𝜇 ≤ 25,11 Barusan dan Deret 46,62 ≤ 𝜇 ≤ 48,14

Tabel 29 menunjukkan hasil perhitungan dari nilai rata-rata sampel dengan menggunakan rumus t untuk mengestimasi nilai rata-rata populasi. Sehingga interval tersebut dapat digunakan untuk menduga nilai skor rata-rata cognitive dissonance siswa secara general untuk populasi pada penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMA Negeri di Kota Bengkulu.

102 C. Pembahasan

Hasil analisis yang telah dilakukan pada subbab sebelumnya disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa SMA Negeri kelas XI IPA di Kota Bengkulu dalam menyelesaikan soal matematika non rutin berada pada kriteria sangat rendah. Siswa kurang mengerti dengan maksud soal yang diminta dari soal. Banyak siswa yang melewati soal-soal tersebut. Sehingga, banyak soal-soal yang tidak dijawab oleh siswa, persentase soal yang tidak dijawab siswa dapat dilihat pada gambar 3, gambar 4, dan gambar 5. Karena banyak soal yang tidak dijawab itu tentu menyebabkan rendahnya persentase jawaban siswa menjawab apalagi dapat menjawab dengan benar. Menurut Tias & Wustqa (2015) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan siswa tidak memiliki persentase menjawab benar diantaranya terburu-buru dalam membaca dan memahami soal, serta terburu-buru dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu terdapat faktor lupa konsep, merasa kurang waktu, cepat menyerah, terkecoh dengan informasi yang ada pada soal tes non rutin, dan cemas dalam menyelesaikan soal. Faktor-faktor ini yang sejalan dengan terjadi cognitive dissonance.

Hasil analisis dari aspek kemampuan pemecahan masalah yang ditampilkan pada table 17 diketahui bahwa aspek menemukan cara penyelesaian yang efektif (AKPM3) memiliki nilai rata-rata yang paling rendah dari aspek menemukan hubungan antar konsep (AKPM1) dan aspek menemukan struktur matematika (AKPM2). Hasil dari analisis terhadap AKPM3 ini sejalan dengan hasil temuan dari Sari & Wijaya (2017) pada penelitian yang dilakukan pada

103

SMA dan MA di Yogyakarta bahwa kemampuan siswa masih rendah pada kegiatan merencanakan dan menafsirkan masalah. Berdasarkan hasil analisis secara umum kemampuan menyatakan fakta, kemampuan menyatakan konsep, kemampuan menerapkan prinsip, dan kemampuan menggunakan prosedural dalam menyelesaikan soal matematika non rutin tergolong kriteria sangt rendah. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 17. Hasil yang diperoleh ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sari & Wijaya pada penelitian yang dilakukan bahwa siswa kesulitan dalam menerapkan fakta, konsep, dan prosedur matematika yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Pada bagian analisis sebelumnya, peneliti menguraikan kemampuan pemecahan masalah berdasarkan materi dan aspek kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan analisis pada bagian materi yang diujikan diperoleh fakta bahwa strata tinggi tidak selalu memiliki kemampuan pemecahan masalah yang tinggi pada setiap materi. Kenyataan di lapangan untuk materi transformasi geometri, strata tinggi menempati posisi kedua setelah strata rendah. Sedangkan untuk materi barisan dan deret strata tinggi juga menempati posisi kedua setelah strata sedang. Beberapa alasan yang disampaikan oleh siswa ketika dilakukan wawancara mengenai materi-materi yang diujikan yaitu siswa lupa dengan materi yang diberikan, siswa kurang paham dengan maksud soal, siswa merasa soal yang diberikan terlalu sulit.

Berikut disajikan hasil jawaban siswa pada materi transformasi geometri.

104

Gambar 11 Contoh Jawaban Soal Transformasi Geometri yang Benar (1) Pada gambar 11 terlihat bahwa siswa sudah mampu memenuhi aspek kemampuan pemecahan masalah. Siswa telah mampu menemukan hubungan antar konsep sehingga dapat menemukan struktur matematika pada soal transformasi geometri ini dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari gambar 11, siswa telah mampu menemukan cara penyelesaian yang efektif dalam menyelesaikan masalah dengan melihat pola untuk menemukan hasil akhir.

105

Gambar 12 Contoh Jawaban Soal Transformasi Geometri yang Benar (2) Seperti hasil pengerjaan siswa pada gambar 11, jawaban siswa pada gambar 12 ini juga menggunakan pola dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Siswa mendaftar semua skala yang mungkin digunakan pada setiap dilatasi yang dilakukan dari D1 hingga D10. Sehingga, hasil penyelesaian untuk menemukan komposisi dilatasi 𝐷1∘ 𝐷2∘ 𝐷3∘ … ∘ 𝐷10 hanya dengan mengalikan titik asal dengan hasil perkalian skalar k=1 sampai dengan k=10.

Adapun jawaban siswa yang kurang tepat pada materi transformasi geometri dapat dilihat sebagai berikut:

106

Gambar 13 Contoh Jawaban Soal Transformasi Geometri yang Salah (1) Pada gambar 13 terlihat bahwa siswa yang bersangkutan memiliki kemampuan menyatakan fakta yang baik. Hal ini terlihat dari siswa mampu menuliskan informasi-informasi yang terdapat pada soal yang siswa tulis dalam bentuk diketahui. Akan tetapi, siswa belum terlalu paham dengan simbol-simbol yang ada pada soal tersebut, dapat dilihat dari pengerjaan siswa pada gambar 13, siswa tidak memikirkan kesesuain antara Dk dan skalar yang diketahui. Sehingga, siswa bingung untuk menentukan nilai k pada skalar yang diberikan. Selain itu kemampuan menggunakan prosedur dalam menentukan komposisi dilatasi siswa juga masih kurang, terlihat dari skalar pada jawaban siswa dipangkatkan sesuai dengan nilai k. Ada beberapa kesalahan lain yang dilakukan siswa ketika menyelesaikan soal transformasi geometeri. Adapun beberapa diantaranya seperti pada gambar 14.

107 (a)

(b)

Gambar 14 Contoh Jawaban Soal Transformasi Geometri yang Salah (2) Selain kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa seperti gambar 13, pada gambar 14 peneliti menyajikan dua jawaban siswa dari siswa yang berbeda namun memiliki kesalahan yang sama. Kedua siswa ini melakukan kesalahan ketika mengalikan titik dilatasi untuk setiap dilatasi pada komposisi dilatasi. Siswa menggunakan titik asal pada setiap pengulangan dilatasi.

Materi barisan dan deret terdiri dari dua soal yang dimuat pada soal nomor 1 dan nomor 5. Materi barisan dan deret juga merupakan salah satu materi yang dianggap sulit oleh siswa pada tes ini. Siswa terlihat kebinguna menentukan barisan dan deret itu termasuk barisan dan deret geometri atau barisan dan deret aritmatika. Selain itu siswa menyatakan belum terbiasa dengan soal-soal yang membutuhkan analisis untuk menyelesaikannya. Siswa juga mengatakan kesulitan dalam memahami maksud dari soal yang diberikan. Pernyataan itu peneliti dapat ketika melakukan wawancara mendalam kepada

108

beberapa siswa. Keadaan siswa seperti itu sesuai dengan pendapat Souter & Sweeney (2003) bahwa situasi yang mengakibatkan seseorang merasa ketidaknyamanan akan menimbulkan cognitive dissonance. Kriteria cognitive dissance siswa yang menunjukkan bahwa untuk materi barisan dan deret terletak pada kriteria sedang hingga sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Souter & Sweeney. Cognitive dissonance yang tinggi berpengaruh terhadap sikap dan keputusan siswa dalam menyelesaikan masalah (Souter & Sweeney, 2003). Pernyataan tersebut tergambar dengan kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi barisan dan deret yang sangat rendah.

Adapun gambaran cara penyelesaian yang dilakukan siswa untuk masalah non rutin materi barisan dan deret sebagai berikut:

Gambar 15 Jawaban Siswa pada Materi Barisan dan Deret yang Benar Gambar 15 menunjukkan jawaban permasalahan tentang barisan dan deret yang dijawab benar oleh siswa. Dari gambar 15 dapat dilihat siswa sudah mampu menganalisis soal dengan baik. Kemampuan menyatakan fakta, prinsip, dan

109

menggunakan prosedur untuk menjawab masalah sudah baik. Sehingga siswa yang menjawab soal itu dapat menentukan strategi penyelesaian dengan benar dan memperoleh hasil yang benar pula.

Gambar 16 Jawaban Siswa pada Materi Barisan dan Deret yang Salah Gambar 16 ini menunjukkan jawaban siswa yang salah. Dari gambar 16 dapat dilihat bahwa siswa sudah mampu dalam menyatakan fakta dan prinsip yang mengarahkan siswa untuk menemukan strategi penyelesaian yang efektif dan benar. Akan tetapi, terdapat informasi yang keliru dipahami oleh siswa pada soal tersebut. Pada soal tersebut yang diminta jumlah keliling dari persegi-persegi yang terbentuk. Sedangkan siswa yang bersangkutan hanya mencari deret dari sisi persegi-perseginya saja. Namun, secara garis besar pada gambar 16 menunjukkan kemampuan pemecahan masalah yang baik, meskipun masih terdapat kesalahan menafsirkan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah untuk materi matriks terletak pada kriteria rendah, sedikit lebih baik dibandingkan dengan materi barisan dan deret dan materi transformasi geometri. Meskipun demikian nilai rata-rata siswa masih dibawah 50 yaitu sebesar 48,05 (tabel 15). Artinya materi matriks bukan

110

materi yang tergolong sangat sulit untuk siswa. Akan tetapi, ketika dilakukan wawancara siswa tetap berpendapat bahwa materi matriks yang ada pada tes ini sangat sulit karena siswa jarang menemukan soal yang bertipe sama seperti yang diteskan kepada siswa tersebut. Hal ini menyebabkan cognitive dissonance yang dialamai siswa dalam menyelesaikan permasalahan ini berada pada kriteria sedang hingga sangat tinggi. Cognitive dissonance yang lumayan tinggi ini menyebabkan siswa sulit dalam menentukan penyelesaian yang efektif dan benar. Meskipun demikian, masih ada siswa yang mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan dengan benar. Untuk melihat jawaban dari beberapa siswa pada materi matriks, dapat diliat pada gambar yang ditampilkan berikut.

111

Gambar 17 menunjukkan jawaban siswa yang benar dalam menyelesaikan masalah pada materi matriks. Dari gambar 17 dapat diketahui bahwa siswa memiliki kemampuan menyatakan fakta yang baik. Hal ini terlihat dari tulisannya yang membedakan antara nama matriks yang ditulis dengan huruf kapital dengan anggota atau elemen matriks yang ditulis dengan huruf kecil. Selain itu siswa juga sudah mampu menentukan prinsip dan prosedur dalam upaya menyelesaikan masalah. Sehingga siswa yang bersangkutan mampu menemukan strategi penyelesaian yang efektif. Kemampuan melakukan operasi perkalian matrikspun siswa yang bersangkutan sudah mampu dengan baik. Konsep-konsep yang ada pada materi matriks juga sudah dikuasi dengan baik.

(a) (b)

112

Gambar 18 juga menunjukkan jawaban siswa yang benar untuk masalah yang diberikan. Namun yang membedakan adalah strategi dalam menyelesaikan masalahnya yang berbeda. Pada gambar 18, siswa menerapkan konsep invers matriks kiri dan kanan untuk menemukan penyelesaian dari permasalahan. Dengan melihat pengerjaan siswa ini, dapat diketahui bahwa siswa tersebut sudah mampu menerapkan konsep dan prinsip dalam menyelesaikan suatu masalah. Artinya kemampuan pemecahan masalah siswa sudah baik untuk kasus yang dihadapi.

Gambar 19 Jawaban Siswa pada Materi Matriks yang Salah

Pada gambar 19 menunjukkan jawaban siswa yang masih salah. Dari gambar 19 tersebut, dapat diketahui sebenarnya siswa sudah mempunyai kemampuan menyatakan fakta yang baik. Namun siswa masih keliru dalam menerapkan konsep perkalian matriks. Setelah dikonfirmasi ketika wawancara, siswa mengatakan bahwa ia tidak tahu kalau perkalian matriks AB tidak sama dengan BA. Siswa hanya mendekatkan matriks yang diketahui agar dapat dioperasikan sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Untuk konsep

113

determinan dan invers matriks, dilihat dari gambar 19 menunjukkan sudah baik dan benar.

Dokumen terkait