1. Pengertian Compulsive Buying
Compulsive buying pertama kali dideskripsikan oleh Kraepling (1990) dangan oniomania atau buying mania (Masita, 2017). Complusive buying atau pembelian komplusif adalah kesibukan dari adanya dorongan atau keinginan untuk berbelanja atau membeli sesuatu yang tidak bisa dicegah, ditahan dan tanpa proses berfikir yang panjang, membeli barang yang tidak dibutuhkan (Teguh, 2017). Sedangkan menurut O’Guinn dan Faber (1998) compulsive buying ialah perilaku berbelanja sesorang yang kronis dan repetitif yang merupakan respon utama pada suatu peristiwa atau perasaan negatif didalam kehidupanya (dalam Kemal, dkk, 2019).
Compulsive buying adalah suatu perilaku berbelanja yang abnormal atau tidak normal dimana perilaku berbelanja tersebut tidak terkontrol, berulang-ulang, dan memiliki keinginan atau nafsu yang kuat untuk berbelaja yang dapat dijadikan sebagai pelampiasan untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stress dan kecemasan (Edwards (1993) dalam Laili, 2012). Pengertian compulsive buying juga dipaparkan oleh Mowen (2002) bahwa compulsive buying merupakan respons terhadap suatu dorongan yang tidak bisa dikendalikan atau keinginan untuk
mendapatkan, memakai, atau saat mengalami perasaan suatu perasaan, substansi atau suatu kegiatan yang menuntun individu untuk berulang kali terlibat dalam perilaku yang akhirnya merugikan individua tau individu lain ( dalam Fenny dkk, 2014).
Menurut Park dan Burns (2005) compulsive buyer adalah seseorang yang tidak dapat mengatasi atau mengendalikan atau mengatasi keinginanya untuk membeli sesuatu. Konsumsi komplusif lebih mengarah kepada pembelian yang berulang, seringkali secara berlebihan, sebagai obat untuk ketegangan, kekhawatiran, depresi atau kebosanan (Solomon, 2007)
Perilaku ini juga dapat didefinisikan sebagai konsumsi yang tidak dapat di kontrol atau obsesif terhadap suatu barang atau jasa dimana sering membeli dengan jumlah banyak sehingga mungkin bisa menimbulkan kerugian bagi konsumen atau seseorang lainya (Sheth dan Mittal, 2004). Menurut American Psychiatric Association compulsive buying adalah bagian dari kategori lebih lanjut dari perilaku konsumsi komplusif sebagai pengulangan dari perilaku yang timbul untuk mengikuti aturan atau dalam fashion yang saat ini sedang trend (Workman, 2010). Sedangkan menurut kamus psikologi Cambridge komplusif diartikan sebagai suatu dorongan keinginan untuk melakukan tindakan yang tidak tertahankan yang bertentangan dengan kesadaran diri individu (dalam Hanis, 2014).
Menurut Chiffman dan Kanuk (2008) mengartikan compulsive buying adalah sebagai pembelian yang komplusif yan termasuk dalam pembelian abnormal, yang merupaka salah satu contoh dari sisi gelap konsumsi. Black et al. (1998) juga menjelaskan compulsive buying sebagai perilaku berbelanja dan pengeluaran uang secara tidak wajar sehingga dapat mengakibatkan gangguan atau suatu kerusakan pelampiasan dari stress atau tekanan hidup (dalam Roland, 2009).
Dari penjelasan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa compulsive buying adalah kegiatan berbelanja yang dilakukan secara komplusif dan berlebihan, karena suatu keinginan yang tidak bisa di tahan pada saat ingin membeli barang atau jasa dengan tujuan untuk menghilangkan beban, stress atau kecemasan yang sedang dihadapi. Perilaku ini terjadi secara berulang dan tidak terkontrol sehingga dapat menyebabkan hal negatif seperti penyesalan karena telah membelinya.
2. Aspek-aspek Compulsive Buying
Edwards berpendapat bahwa aspek-aspek dari compulsive buying adalah sebagai berikut ( dalam Masita, 2017) :
a. Tedency to spend
Aspek ini lebih mengarah dimana kecenderungan individu untuk berbelanja dan membeli sesuatu secara berlebihan atau juga bisa disebut “periode dalam berbelanja”. Aspek ini biasanya ditandai
dengan banyaknya perilaku berbelanja secara berulang yang seringkali dilakukan.
b. Compulsion/drive to spend
Pada aspek ini lebih mengukur pada tingkat dorongan individu yang meliputi tingkat perasaan positif, implusivitas dan tindakan komplusi dalam berbelanja dan pola membeli. Pola membeli ini biasanya dilakukan secara berulang dan biasanya sering membeli suatu jenis produk yang sama.
c. Feeling (joy) about shopping and spending
Aspek ini menggambarkan perasaan individu tau penilaian afektif dari individu terhadap kegiatan belanja itu sendiri. Individu akan menikmati atau sebaliknya dari kegiatan berbelanja yang di lakukan. Dimensi ini akan mengukur seberapa besar seseorang menikmati kegiatan ini.
d. Dysfunctional spending
Pada aspek ini mengukur masalah yang muncul akibat dari perilaku belanja yang dilakukan seperti menyalahgunakan uang yang seharusnya tidak untuk berbelanja atau berhutang kepada teman untuk membeli suatu barang.
Aspek ini menggambarkan perasaan menyesal, bersalah dan rasa malu yang dirasakan setelah berhasil melakukan pembelian secara berlebihan.
3. Faktor yang Mempengaruhi compulsive buying
Faktor yang mempengaruhi compulsive buying menurut Desarbo dan Edwards (1996) dibedakan menjadi dua yaitu predispositional dan circumstantial (dalam Fenny dkk, 2014) adalah:
a. Predispositional factors
Kontruk-konstruk yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan compulsive buyer dan mengindikasikan kecenderungan yang secara umum dapat mengarah pada compulsive buying.
1) Kecemasan
Pembeli yang koomplusif cenderung memliki kecemasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pembeli non komplusif. Seseorang yang memiliki kecemasan akan mencari cara untuk jalan keluar agar mereka bisa lolos dari perasaan cemas tersebut. Seseorang menggunakan kegiatan berbelanja sebagai pereda untuk rasa cemas yang dirasakanya karena sudah diyakini bahwa kegiatan berbelanja merupakan kegiatan yang menyenangkan (Christensen dalam Fenny dkk, 2014).
Self esteem adalah evaluasi diri individu (setuju atau tidak setuju) dan sejauh mana orang itu percaya bahwa orang itu sangat berharga (coopersmith, 1990). Sesorang yang memliki self esteem yang rendah memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian komplusif . dengan melakukan pembelian komplusif seseorang biasanya memunculkan perasaan akan kekuasaan ketika
melakukan kegiatan berbelanja. 3) Perfeksionisme
Seseorang yang perfeksionisme biasanya dicirikan dengan seseorang yang memiliki harapan terlalu besar atau berlebihan untuk mancapai sesuatu yang diinginkan yang lebih besar. Individu perfeksionisme yang melakukan pembelian komplusif bertujuan untuk mendapatkan otonomi, kompetensi, dan harga diri walaupun hanya sementara waktu saja. Mereka akan terus melakukan pembelian demi mencapai dan memenuhi ekspektasi dalam dirinya.
4) Fantasi
Seseorang yang komplusif saat berbelanja cenderung memiliki khayalan mengenai grandiosity dan suatu kebebasan akibat dari suatu perilaku yang sudah dilakukan. Fantasi tersebut berada pada saat inddividu tersebut melakukan kegiatan berbelanja yang seakan-akan saat berbelanja masalah tersebut menghilang.
5) Implusivitas
Perilaku pembelian komplusif juga dapat dikatakan sebagai sebuah perilaku yang sulit untuk dikendalikan karena dorongan yang terlalu kuat. Seseorang yang komplusif juga bisa dikatakan implusif karena implusif masih bagian dari komplusif. Implusivitas berpengaruh terhadap compulsive buying karena dipicu oleh rangsangan eksternal, dengan kata lain implusive buying dapat diartikan sebagai compulsive buying tetapi dalam level rendah. 6) Komplusivitas umum
Individu yang memiliki karakteristik atau ciri-ciri berperilaku komplusif seperti menunda pekerjaan, sering mengalami kebimbangan, pola makan tidak teratur, kecanduan alcohol dan obat. Individu yang memiliki ciri-ciri tersebut biasanya kecenderungan untuk melakukan untuk melakukan pembelian komplusif.
7) Dependence
Individu yang suka bergantung pada individu lain memiliki kecenderungan untuk berperilaku komplusif untuk membeli, keinginan untuk terlihat berharga di depan orang lain, atau takut tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya dalam menentukan perilaku. Mereka selalu bergantung untuk menetukan perilaku mereka sendiri di hadapan orang lain.
8) Approval seeking
Pembeli yang komplusif memiliki kebutuhan untuk mendapatkan sebuah pujian dari individu lain agar dirinya merasa senang saat diberi pujian. Individu melakukan kegiatan berbelanja guna mendapatkan pujian dari orang lain (O’Guinn & Faber dalam Fenny, 2014). Pembelian yang komplusif akan terus berulang ketika individu tersebut merasa berhasil dan meyakini bahwa dengan kegiatan berbelanja yang mereka lakukan bisa muncul rasa bahagia dengan mendapat pujian dari orang lain karena kegiatan berbelanja yang mereka lakukan.
9) Locus of control
Pembeli yang komplusif memiliki kebutuhan besar untuk mengendalikan dalam kehidupan mereka untuk menghadapi rasa tidak aman, ketakutan,dan kecemasan. Pembeli komplusif terjebak dalam situasi dimana kecanduan berbelanja yang mereka lakukan adalah pelarian semntara. Mereka juga dipengaruhi oleh lingkungan, dan bergantung pada ketakutan luar daripada dengan perilaku mereka sendiri. Jadi pembeli komplusif menganggap diri mereka dikendalikan secara eksternal, dan mereka mecari rasa kontrol dengan cara aktifitas pengeluaran yaitu dengan berbelanja. 10) Depresi
Perasaan depresi adalah perasaan yang tidak menyenangkan. Pembeli komplusif melakukan. Tujuan individu melakukan pembelian komplusif untuk keluar dari perasaan yang membuat dirinya tidak menyenangkan.
b. Circumstansial factors
Faktor yang dihasilkan oleh individu saat ini dan juga dapat memicu munculnya perilaku compulsive buying.
1) Avoidance coping
Suatu kecenderungan untuk menggunakan metode coping dengan cara menghindar dari suatu permasalahan. Jadi seseorang yang melakukan pembelian komplusif adalah seseorang yang melampiaskan atau menghindari suatu permasalahan atau perasaan negatif dari kehidupanya.
2) Denial
Penyangkalan yang dilakukan karena adanya suatu permasalahan yang dihadapi oleh individu yang melakukan belanja secara komplusif. Bagi pembeli komplusif, denial merupakan cara untuk menghindari rasa cemas, marah, takut dan emosi lainya yang biasanya tidak ada hubungan dengan kegiatan berbelanja.
3) Isolation
Adanya dugaan bahwa pembelian komplusif merupakan gambaran dari perilaku seseorang yang terisolasi dari lingkungan
sosialnya. Kemudian isolasi tersebut mangakibatkan beberapa individu memiliki tingkah laku berlebihan yang tidak diterima oleh orang secara social menyebabkan individu menjadi pembeli komplusif. Adanya kebutuhan berkomunikasi dengan individu lain mendorong seseorang untuk berbelanja secara komplusif untuk berbelanja di toko, karena pembeli ingin mendapatkan perhatian dari penjual toko.
4) Materialisme
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa compulsive buyer lebih cenderung matrealistik dibandingkan dengan pembeli non komplusif.
4. Tipe-Tipe Perilaku Compulsive Compulsive
Edwards mengembangkan Compulsive Buying Scale (CBS) untuk mengklasifikasikan tingkatan komplusifitas pembeli dalam berbelanja. Dalam hal ini ada lima tipe perilaku compulsive buying, yaitu: (dalam Masita, 2017)
a. Non-compulsive level, pada tingkat ini merupakan pembeli yang berbelanja dengan normal yaitu berbelanja yang dibutuhkan saja. b. Recreational spending level, pembeli yang berbelanja dengan tujuan
c. Low (borderline) level, pada tingkat ini sesorang berbelanja ini adalah pembeli yang berada diantara recreational dan komplusif.
d. Medium (compulsive) level, pembeli pada tingkat ini sebagian besar perilaku berbelanja dengan maksud untuk menghilangkan kecemasan. e. High (addicted) level. Sama halnya dengan medium level namun,
selain untuk menghilangkan kecemasan para pembeli memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim dan membuat kesulitan atau gangguan yang serius dalam hidupnya.
5. Tahap-Tahap Complusive Buying
Menurut Edwards (dalam Masita, 2017) mengungkapkan terdapat suatu tahap-tahap yang menjadi penyebab seseorang berperilaku compulsive buying. Tahap tersebut disebut spending cycle:
a. Perasaan kekosongan diri yang dialami oleh seseorang, self esteem (harga diri) yang rendah, dan perasaan incompleteness.
b. Lingkungan disekitar mulai memberikan sinyal bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu yang dipandang orang lain bagus, maka seseorang tersebut menjadi orang penting, berharga dan disukai banyak orang. c. Kemudian seseorang akan berbelanja untuk memperoleh perasaan
sukses dan akan menceritakan kepada lingkunganya yang akan kagum pada dirinya.
d. Ketika seseorang mulai berhutang atau kekurangan dalam hal finansialnya untuk menutupi hasrat berbelanjanya, maka orang itu akan merasa tidak memiliki keunggulan lagi, dan merasakan incompleteness lagi, sehingga akan kembali lagi ke tahap awal.
6. Kriteria Compulsive Buying
Menurut Mc Elroy (1995) memaparkan diagnostik kriteria klinis dari compulsive buying
a. Preokupasi yang maladaptive dalam berbelanja yang diindikasikan dengan sedikitnya satu perilaku, sebagai berikut:
1) Tidak dapat menahan nafsu untuk berbelanja.
2) Membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan ataupun yang sebenarnya tidak mampu dibeli, menghabiskan waktu yang lama untuk berbelanja yang tidak sewajarnya.
b. Disertai dengan adanya gangguan pada kehidupan sosial, pekerjaan dan keuangan.
c. Compulsive buying tidak terjadi dalam periode hypomania atau mania. Sedangkan menurut Zahr (2005) menjelaskan kriteria perilaku yang termasuk compulsive buying dimana jika adanya lima atau empat tanda perilaku maka individu tersebut memiliki gejala perilaku compulsive buying, berikut kriteria pada compulsive buying:
a. Individu akan melakukan kegiatan berbelanja ketika merasakan perasaan marah, depresi, cemas atau kesepian.
b. Memiliki argumen mengenai kebiasaan berbelanja. c. Merasa kehilangan jika tidak ada kartu kredit.
d. Memilih untuk membeli barang-barang secara kredit daripada tunai. e. Saat berbelanja merasakan kesenangan atau euphoria.
f. Merasa bersalah dan malu sstelah berbelanja.
g. Berbohong terhadap orang lain atas jumlah nominal yang dihabiskan untuk berbelanja.
h. Terobsesi dengan uang.