• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Evolusi Perahu Bercadik: Sandeq Perahu Sandeq adalah tipe perahu terkenal Orang Mandar, salah satu suku yang mendiami pesisir

Dalam dokumen Perahu Perahu Tradisional Nusantara Suat (Halaman 35-40)

(c)Perahu diarahkan

3.2 Contoh Evolusi Perahu Bercadik: Sandeq Perahu Sandeq adalah tipe perahu terkenal Orang Mandar, salah satu suku yang mendiami pesisir

pantai dan pedalaman Barat Laut Sulawesi Selatan di antara Polewali dan Malunda, sekitar 270 s/d 400km ke utara dari Makassar. Ialah sejenis perahu bercadik yang ukurannya cukup besar: Sandeq

kecil berukuran 5m, sedangkan yang besar ukurannya sampai 16m sehingga dapat memuat 3-4 ton. Jenis perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan dan mengangkut muatan jarak jauh – artinya, perahu sandeq terbiasa melayari seluruh lautan di antara Sulawesi dan Kalimantan, bahkan ada perahu yang sampai ke Jawa dan Sabah di Malaysia. Perahu sandeq terkenal sebagai perahu layar terlaju di kawasan ini, dan dengan angin yang baik dapat mencapai kecepatan 15-20 knot, sekitar 30- 40km/h.

72

Horridge 1978, 1982 73

Sebagai salah satu tipe perahu bercadik, perahu sandeq merupakan suatu warisan dari zaman migrasi Austronesia yang terus-menerus dikembangkan sampai masa kini, dan mungkin merupakan salah satu puncak evolusi pembuatan perahu Nusantara: Seluruh lambung perahu ditutupi dengan geladak agar ombak yang dihadapi di lautan luas tidak dapat masuk, letak cadiknya disesuaikan dengan cara pemakaian jenis layar sandeq yang sebaliknya didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan para pelaut Mandar yang dikumpulkan sejak ratusan tahun silam ini. Dari segi teknik pelayaran jenis perahu sandeq dapat dinamakan perahu moderen - walaupun dari cara pembuatan serta penggunaan- nya ia digolongkan sebagai perahu tradisional.

mantel: tali penahan bom layar

tambera di buiqna:

laberang buritan

tambera di olona: laberang haluan

palatto: katir baratang: cadik

Arah Angin palatto: katir baratang: cadik peloang: bom layar peloang: bom layar bawah

bau: bom layar atas

Gambar 3.2.1: Tipe perahu sandeq (kiri) dan pakur(kanan). Di atas terlihat cara ‘menyetel’ layar bila angin bertiup dari arah buritan: Baratang buritan perahu sandeqdipasang di tengah lambung supaya bom layar tak terhalangi oleh laberang tiang; baratang buritan pakur bisa berada di buritan lambung sebab layar tanjaq yang digunakannya dipasang tanpa memakai laberang.

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 35

Sandeq berarti ‘runcing’ dalam Bahasa Indonesia, dan menurut para pelaut Mandar menunjukkan bentuk haluan perahu yang tajam. Jenis perahu sandeq yang kini kita kenali sebagai perahu tradisional terkemuka Mandar baru bermunculan pada sekitar tahun 30-an abad ke-20; jenis perahu pakur yang digunakan sebelumnya “berbentuk seperti sandeq’’ dan memakai layar tanjaq. Nooteboom yang pada tahun 1938 sempat mengunjungi daerah Mandar memberitakan, bahwa

Sejak beberapa waktu lalu cukup banyak dari perahu-perahu [pakur] itu diberikan layar dan tali- temali yang lain. Tiang yang digunakannya lebih panjang, dan berbengkok ke belakang pada ujung atasnya, sebagaimana yang biasa digunakan pada perahu-perahu pesiar kecil yang memakai layar fin. Layar yang digunakannya memang sehelai layar fin yang lebar dan rendah. Pemilik-pemilik beberapa perahu yang serupa ini menceritakan kepada saya bahwa layar dan tali-temali ini mereka buat mengikuti layar-layar perahu pesiar yang mereka lihat di Makassar.74

Hal ini dapat dikonfirmasikan melalui laporan Van Vuuren mengenai keadaan pelayaran dan perkapalan di Mandar pada tahun 1916, di mana nama perahu sandeq belum disebutkan. Selain pakur, Van Vuuren dan Nooteboom menyebutkan satu tipe perahu bercadik lain yang dinamakan olan mesa - ukurannya lebih kecil daripada pakur, lambung perahu sangatlah runcing dan layarnya (jenisnya

tanjaq) “besar sekali’’. Di beberapa kampung di bagian utara daerah Mandar kini masih terdapat perahu-perahu jenis pakur; perahu olan mesa tidak dipakai lagi.

Oleh karena tiang yang diperlukan guna memasang jenis layar sandeq ini harus berbatang tunggal dan diperkuat dengan laberang, maka bentuk lambung perahu sandeq berbeda dari pakur yang menggunakan tiang tripod tanpa tali penguat (gambar 3.2.1). Hal ini terutama terlihat pada letak cadik perahu: Sedangkan cadik buritan sandeq dipasang di sekitar tengah lambung perahu, pada perahu pakur cadik buritannya terletak berdekatan dengan sanggar kemudi perahu di bagian belakang lambung. Kemungkinan besar bentuk lambung perahu pun ikut berubah – bagi layar tipe tanjaq yang ‘mengangkat’ perahu bila berlayar sebuah lambung yang bundar paling cocok; yang paling sesuai dengan tipe layar fin yang sebagai layar fore-and-aft memunculkan daya dorong ke depan yang kuat adalah sebuah lambung yang runcing, ‘sandeq’.

Sampai hari ini proses evolusi perahu sandeq tak pernah berhenti: Misalnya, sejak tahun 60-an abad ke-20 cadik buritan semakin dipindahkan ke arah haluan perahu (untuk memungkinkan bom layar bergerak dengan lebih leluasa), dan sejak akhir tahun 70-an cadik haluan mulai dipasang pada tempat yang lebih tinggi daripada sebelumnya (untuk menghindari tertenggelamnya dalam ombak bila perahu berlayar dengan angin dari buritan). Setelah ekonomi Indonesia pada awal tahun 1970an semakin bergerak, maka semua ikatan di antara cadik, katir dan lambung perahu yang sebelumnya terbuat dari rotan diganti dengan tali monofilamen (sejenis tali pancing berukuran besar) yang se- makin gampang didapatkan di pasaran, dan layar sandeq yang sampai saat itu dijahit dari kain katun diganti dengan jenis-jenis kain plastik yang lebih ringan dan tahan. Dengan perubahan-perubahan ini daya tahannya di laut lepas semakin ditingkatkan, sehingga selama dua dekade akhir abad ke-20 perahu-perahu sandeq mampu berlayar selama beberapa minggu mencari ikan sepanjang Selat Makassar dari Toli-Toli di ujung Utara Sulawesi sampai ke Pulau Laut di Kalimantan.

Dari segi konstruksinya perahu-perahu tipe sandeq kini digolongkan dalam dua tipe utama, yaitu

sandeq tolor dan sandeq bandeceng. Kedua tipe itu dibedakan oleh cara memasang cadik: Pada sandeq tolor

cadiknya dimasukkan ke dalam lambung perahu, sedangkan pada sandeq bandeceng cadiknya diikat ke atas geladak perahu. Tipe terakhir ini baru mungkin dibuat setelah tersedia tali monofilamen:

74

Pasang-memasang ikatan dari rotan tak mungkin karena bahan itu akan lapuk dan tak tahan lagi di laut. Selain dua tipe tersebut masih terdapat beberapa tipe perahu lainnya yang mengkombinasikan kedua jenis konstruksi itu: Misalnya, cadik haluan tipe sandeq callawai diikat ke atas geladak haluan, sedangkan cadik buritan dimasukkan ke dalam lambung perahu. Keuntungan yang didapatkan dengan mengikat cadik ke atas geladak adalah tingginya cadik dari permukaan laut dan gampangnya melepaskan cadik serta katir ketika perahu mau dinaikkan ke darat untuk disimpan di bawah rumah pemiliknya; kekurangannya adalah kelemahan pengikat yang sering menyebabkan longgarnya cadik yang dapat membahayakan di lautan luas. Selain itu, perahu tipe bandeceng dan callawai terbuat dari kayu yang tipis dan ringan sehingga tak begitu “kuat’’ menghadapi pukulan ombak besar yang terdapat di lautan luas. Maka, kedua tipe perahu ini jarang digunakan untuk penangkapan ikan jarak jauh, akan tetapi sering dibuat untuk kegiatan lomba saja: Sebab melepaskan cadik dan katir serta cara menyimpannya di bawah rumah begitu gampang, perahu dapat disimpan di darat sepanjang tahun agar kering dan ringan ketika diturunkan untuk mengikuti perlombaan.

Sebenarnya, cara ikat-mengikat itu adalah suatu keunggulan sandeq yang tak terdapat pada tipe-tipe perahu lain. Seluruh konstruksi katir dan cadik –yang menentukan daya tahan perahu bila berlayar di laut lepas–sangat fleksibel, sehingga dapat melenting dan mengenyalkan pukulan ombak dan daya dorong layar. Oleh karena itu, jenis perahu yang terlihat sangat fragil ini sebetulnya amat bertahan di lautan, dan sekeliling cara mengikat baratang, tadi dan palatto terdapat serangkaian pantangan yang bertujuan untuk menjamin adanya keseimbangan keseluruhan konstruksi itu75.

Sejak tahun 1970an, ukuran perahu-perahu sandeq semakin bertambah: Sedangkan pada tahun-tahun ini panjangnya rata-rata sekitar 7-8m, kini perahu-perahu sandeq yang masih melayari lautan luas pada umumnya berukuran di atas 10m. Sampai beberapa tahun silam, ratusan perahu sandeq digunakan untuk mencari ikan (dan telur ikan terbang, suatu komoditi ekspor yang sejak tahun 1972 diproduksi di Mandar) di sepanjang Selat Makassar. Para pelaut Mandar menjadikannya beberapa tipe tertentu yang diklasifikasikan sesuai dengan penggunaanya; di antara lain terdapat tipe-tipe berikut ini:

Sandeq pangoli dipakai untuk menangkap ikan dekat pinggir karang dan wilayah pertemuan arus

dengan menonda umpan yang terbuat dari bulu ayam di belakang perahu (mangoli); tipe perahu ini sangat laju dan lincah serta dapat membalik haluannya dengan cepat agar dapat memburu ikan dan tidak kena karang.

Sandeq parroppo dipakai untuk menangkap ikan di rumpon (roppo) di lautan bebas; tipe perahu ini

cukup besar agar (i) dapat memuat dua-tiga sampan yang diturunkan di rompong guna meluas areal penangkapan, (ii) para pelaut dapat membawa perbakalan untuk pelayaran yang berlangsung selama dua s/d lima hari, (iii) perahunya dapat menahan ombak yang besar dan angin yang kencang di lautan bebas yang merupakan daerah penangkapan ikan itu.

Sandeq potangnga yang dipakai untuk mengarungi laut lepas demi menangkap ikan dan mencari ikan

terbang dan telurnya. Tipe perahu itu besar agar bisa memuat bekal dan peralatan yang diperlukan dalam mengarungi lautan selama dua-tiga minggu, terutama garam secukupnya untuk mengkonservasikan ikan. Agar ombak tinggi yang biasanya ditemui di daerah penangkapan ikan takkan sempat mengganggu dan membasahi para pemancing, maka pada jenis perahu sandeq ini sering terdapat tambahan beberapa ‘panggung’ yang lebih tinggi daripada geladak lambung perahu yang terpasang kiri-kanan di belakang tiang.76

75

Lht. msl. Liebner 1996(a):14ff, Sahur dkk. 1991 76

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner 37

Oleh karena harga jual telur ikan terbang (dan beberapa jenis ikan lain) cukup tinggi, maka pendapatan para punggawa (‘pemilik/nakhoda perahu’) memungkinkan suatu akumulasi kapital yang menyebabkan bahwa sejak sekitar satu dekade semakin banyak passandeq mampu membeli kapal motor ukuran kecil. Proses itu mulai di daerah Majene (di mana kini hanya tertinggal satu-dua perahu sandeq berukuran besar), dan sampai sekarang menyebar ke hampir semua kampung nelayan Mandar antara Tanjung Rangas dan Polewali (gambar 3.2.2); bagian terbesar dari perahu-perahu

sandeq yang masih dipelihara dengan baik pada umumnya digunakan untuk berlomba saja.

Sejak puluhan tahun, para pelaut Mandar merayakan berakhirnya musim penangkapan ikan terbang dengan mengadakan perlombaan-perlombaan sandeq di kampung-kampung mereka, dan memenang- kan sebuah perlombaan menjadi sebutir kebanggaan tak ternilai bagi pelaut, pemilik perahu, bahkan seluruh kampung asal sang pemegang juara. Dengan berlomba pun para nelayan selama ini melatih dan meneruskan kelincahan dan kelihaian dalam berlayar yang menjadi sifat utama seorang pelaut yang tangguh, dan –seperti yang terjadi pada semua lomba kendaraan laut dan darat di seluruh dunia– mencoba meningkatkan kelajuan dan daya tahan kendaraannya. Bahkan, di daerah itu terdapat juga suatu tradisi perlombaan maket perahu-perahu sandeq, yang dianggap sebagai “percobaan kecil-kecilan” dalam upaya memperbaiki parahu sandeq “benaran”77.

Kini, lambung kapal-kapal motor yang dibangun di daerah Mandar dipengaruhi oleh pengalaman- pengalaman ini dalam misalnya ‘runcingnya’ bentuk haluan dan sifat-sifat hidrodinamis pada buritan

77

Tkg. Hasanuddin, tukang perahu asal Desa Pambusuang, dan Raopun, punggawa sandeq ‘Ratu Pantai’, 2001 dalam wawancara untuk sebuah film dokumenter (produsen: Studio UMI, Jepang).

JJ

J

JJ J J

J

J

yang telah menjadi salah satu alasan kelajuan perahu sandeq: Pengetahuan tradisional yang selama ini diterapkan pada sebuah perahu layar ternyata sempat ‘dipindahkan’ pada lambung perahu motor yang dari segi konstruksi cukup jauh berbeda itu. Sudah pada tahun 1930an Nooteboom mencatat, bahwa para nelayan Mandar “adalah pelaut penuh enerji, yang dengan mengadopsikan bentuk-bentuk [perahu] baru terus-menerus mencari kemungkinan baru. […] Oleh karena itu, bagi studi adaptasi kultural dan pemgambil-alihan elemen-elemen budaya [hal ini] sangat penting.”78. Proses evolusi

perahu di Mandar ini mungkinlah suatu contoh yang baik untuk menggambarkan dinamika perkembangan masyarakat-masyarakt bahari.

3.3

Contoh Evoulsi Perahu Berpapan: Dari Padewakang ke PLM

Dalam dokumen Perahu Perahu Tradisional Nusantara Suat (Halaman 35-40)