• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Putusan

Dalam dokumen Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Halaman 42-63)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b) Identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas

C. Contoh Putusan

PUTUSAN Nomor 116/PUU-X/2012

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] NAMA : BENNY KOGOYA,A.MD.T

PEKERJAAN : ANGGOTA DPRDKABUPATEN TOLIKARA

WARGA NEGARA : INDONESIA

ALAMAT : JALAN KONDAGA NOMOR 01 KARUBAGA

KABUPATEN TOLIKARA PROVINSI PAPUA

DALAM HAL INI BERDASARKAN SURAT KUASA KHUSUS BERTANGGAL 31 OKTOBER 2012

MEMBERI KUASA KEPADA HABEL RUMBIAK, S.H., SPN, ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM DARI KAMASAN LAW FIRM BERKEDUDUKAN DI GEDUNG JCDLANTAI 4JALAN WAHID HASYIM

NOMOR 27,MENTENG JAKARTA PUSAT, BERTINDAK UNTUK DAN ATAS NAMA PEMBERI KUASA;

Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan Pemohon;

Mendengar keterangan Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 08 November 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 9 November 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 432/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 116/PUU-X/2012 pada tanggal 22 November 2012, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 04 Januari 2013 yang diserahkan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Januari 2013 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Tentang Kewenangan Mahkamah

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan meliter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi";

2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum." Selanjutnya ayat (2) menyatakan, "Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar";

3. Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menyatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (a) menguji Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945";

4. Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara pengujian Undang-Undang yang diajukan Pemohon ini;

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

2. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, "Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945";

3. Bahwa pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji dan merupakan hak konstitusional Pemohon yakni:

Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) menyatakan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" dan "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan" (bukti P-2);

4. Bahwa Pemohon sebagai warga negara Indonesia telah memenuhi kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) dan memiliki kepentingan dan hak untuk menguji materil (judicial review) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan hal ini bersesuaian pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007 yang telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sebagai berikut:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal-verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

5. Bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum dan kepentingannya dilindungi, antara lain dengan mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

6. Bahwa selain itu, semua pihak yang terkait dengan pemilihan umum dan hasil-hasil pemilihan umum legislatif serta hak-hak atas hasil pemilihan umum, khususnya pemilihan umum legislatif, wajib dijunjung tinggi oleh para pihak, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota (bukti P-3);

7. Bahwa prinsip kepastian hukum yang adil ini dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, tidak semata-mata hanya tertuang dalam UUD 1945, tetapi harus tertuang pula dalam peraturan perundangan di bawah UUD 1945, termasuk pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang saat ini dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon;

8. Bahwa Pemohon terpilih sebagai anggota Iegislatif, dalam hal ini, anggota DPRD Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua sebagaimana diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (bukti P-4, bukti P-5);

9. Bahwa kemudian Pemohon ternyata tidak terpilih sebagai salah satu unsur Pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara Periode 2009 -2014 berdasarkan usulan Bupati Kabupaten Tolikara yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur Papua (bukti P-6, bukti P-7);

10. Bahwa Pemohon telah mempersoalkan Keputusan Gubernur Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar dan Mahkamah Agung, namun gugatan Pemohon dinyatakan tidak diterima;

11. Bahwa gugatan Pemohon tidak diterima karena menurut Peradilan Umum, yakni Keputusan Gubernur Papua merupakan objek dalam ruang lingkup politik, sehingga tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

12. Bahwa akibatnya, kerugian Pemohon terus berlanjut karena permasalahan yang dihadapi Pemohon dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon terus berlanjut hingga saat ini, yakni tidak dapat menduduki posisi sebagai salah satu unsur pimpinan pada DPRD Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua;

III. POKOK POKOK PERMOHONAN

13. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum Pemohon (legal standing) sebagaimana diuraikan di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada bagian dari pokok-pokok permohonan ini;

14. Bahwa Pemohon adalah salah satu anggota terpilih pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 1999 untuk Kabupaten Tolikara Provinsi Papua dan telah dilantik sebagai anggota DPRD Kabupaten Tolikara Periode Tahun 2009 -2013 (bukti P-8);

15. Bahwa perolehan kursi pada Pemilihan Legislatif Tahun 2009 di Kabupaten Tolikara adalah Partai Golongan karya sebanyak 21 kursi, Partai Demokrat 2 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 1 kursi (namun menduduki urutan ke-3 karena perolehan suara terbanyak ketiga pada Pemilu Legislatif);

16. Bahwa urutan perolehan kursi pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 berkaitan dengan penetapan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara Tahun 2009-20014, ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 355 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPD, DPR dan DPRD (bukti 9, bukti P-10);

17. Bahwa oleh karena itu unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara menjadi sebagai berikut, posisi ketua menjadi hak dari Partai Gololongan karya, Posisi Wakil Ketua I menjadi hak dari Partai Demokrat dan posisi Wakil Ketua II menjadi hak dari Partai Kebangkitan Bangsa;

18. Bahwa Pemohon berdasarkan rekomendasi dan keputusan Partai Demokrat, diajukan sebagai calon unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara mewakili Partai Demokrat untuk posisi Wakil Ketua I, sesuai dengan banyak perolehan kursi yang diperoleh Partai Demokrat di Kabupaten Tolikara (bukti P-11, bukti P-12);

19. Bahwa karena mayoritas anggota DPRD Kabupaten Tolikara adalah dari Partai Golongan Karya dengan komposisi 21 kursi keanggotaan dari 30 kursi keanggotaan DPRD Kabupaten Tolikara, maka pada saat Rapat Paripurna untuk persetujuan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara, bukan persetujuan terhadap keterwakilan dari 3 (tiga) partai politik menduduki perolehan kursi/suara 3 (tiga) teratas yang terjadi, sebaliknya terjadi pemaksaan kehendak dari Fraksi Golongan Karya dengan menempatkan 3 (tiga) anggotanya sebagai calon unsur pimpinan (bukti P-13, bukti P-14);

20. Bahwa ketiga calon unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara yang berasal dari Partai Golongan Karya tersebut adalah:

dr. Demus Kogoya (Partai Golongan Karya, sebagai Ketua) Muhamad Syafry (Partai Golongan Karya, sebagai Wakil Ketua I) Mesak Kogoya, SE (Partai Golongan Karya, sebagai Wakil Ketua II)

Ketiganya kemudian diusulkan oleh Bupati Kabupaten Tolikara, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golongan Karya Kabupaten Tolikara, ke Gubernur Papua untuk ditetapkan sebagai pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara yang definitif (bukti P-15);

21. Bahwa Pemohon merasa tidak adil dengan adanya penetapan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara yang seluruhnya berasal dari Partai Golongan Karya tersebut melalui Keputusan Gubernur Papua tersebut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Jayapura (bukti P-16);

22. Bahwa gugatan Pemohon mulanya dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Jayapura, yang pada pokoknya Keputusan Gubernur Papua bertentangan dengan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, tetapi kemudian oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Makassar yang dikuatkan Mahkamah Agung gugatan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (bukti P-47, bukti P-48, bukti P-19);

23. Bahwa alasan hukum yang mendasari Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Makassar dan Mahkamah Agung adalah Keputusan Gubenur Papua adalah bagian dari Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bukan menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, karena merupakan kelanjutan dari proses Komisi Pemilihan Umum, dan menjadi bagian dari keputusan politik; 24. Bahwa menurut Pemohon, Pengadilan Tata Usaha Negara bersikap ganda dalam

menerapkan ketentuan pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara ini, karena ternyata Pengadilan Tata Usaha menerima dan memutus perkara yang objeknya adalah Keputusan dari Komisi Pemilihan Umum, namun pada bagian lain menyatakan objek gugatan yang diajukan Pemohon berkenaan dengan Keputusan Gubernur Papua yang menetapkan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara sebagai Keputusan Politik yang merupakan kelanjutan dari Keputusan Komisi Pemilihan Umum, yang bukan merupakan objek dari PTUN sehingga gugatan Pemohon tidak diterima;

25. Bahwa bila ketentuan dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini terus dibiarkan tanpa ada penegasan, maka kerugian bagi Pemohon terus akan berlanjut dan berpotensi menimbulkan kerugian pula bagi warga negara Indonesia Iainnya;

26. Bahwa kalau pun Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak akan terjadi kekosongan hukum, karena telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa sengketa tentang Hasil Pemilihan Umum, Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi;

Berdasarkan hal-hal yang telah uraikan di atas, Pemohon dengan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa dan memutuskan permohonan ini sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan bahwa Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 Tahun 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344) juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4380) juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079) bertentangan (unconstitutional) dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

3. Menyatakan bahwa Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau

Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex

aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan sebagaimana tersebut di bawah ini, yaitu:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Bukti P-17 : Fotokopi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor 04/G/2010/PTUN/JPR, tanggal 16 Juni 2010;

4. Bukti P-18 : Fotokopi Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Nomor 04/G/2010/PTUN MKS, tanggal 22 Maret 2011;

5. Bukti P-19 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 267K/TUN/2011, tanggal 15 September 2011;

[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079, selanjutnya disebut UU Peratun) yang menyatakan, “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

menurut Undang-undang ini: a. ... g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum” terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a

quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 2 huruf g UU Peratun terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengkualifikasi dirinya sebagai warga negara Indonesia [sic!] (maksudnya perorangan warga negara Indonesia), sehingga

berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK Pemohon dapat mengajukan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945;

[3.6] Menimbang bahwa selain harus memenuhi kualifikasi sebagaimana tersebut di atas, Pemohon juga harus menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan a quo menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 2 huruf g UU Peratun. Pemohon adalah anggota DPRD Kabupaten Tolikara Periode Tahun 2009 dari Partai Demokrat yang terpilih pada pemilihan umum legislatif tahun 2009. Perolehan kursi partai politik dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009 di Kabupaten Tolikara, yaitu Partai Golongan Karya (Partai Golkar) memperoleh 21 kursi, Partai Demokrat memperoleh 2 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 1 kursi, sehingga berdasarkan Pasal 355 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, penentuan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara, yaitu posisi Ketua menjadi hak Partai Golkar, posisi Wakil Ketua I menjadi hak Partai Demokrat dan posisi Wakil Ketua II menjadi hak PKB. Namun demikian Gubernur Papua menentukan lain

dalam menetapkan unsur pimpinan DPRD Kabupaten Tolikara yang seluruhnya berasal dari Partai Golkar;

Pemohon mengajukan gugatan terhadap Keputusan Gubernur Papua tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. Pada awalnya gugatan Pemohon dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, namun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makasar dan Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dengan pertimbangan bahwa Keputusan Gubenur Papua a quo adalah bagian dari Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bukan menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Peratun karena merupakan kelanjutan dari proses Komisi Pemilihan Umum, dan menjadi bagian dari keputusan politik;

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil kerugian konstitusional Pemohon tersebut dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta Putusan Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.6], menurut Mahkamah terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian Pemohon dan berlakunya Undang-Undang a quo. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian pasal Undang-Undang a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Tidak adanya permintaan keterangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian Pasal 2 huruf g UU Peratun yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon;

b. Perbaikan permohonan Pemohon bertanggal 4 Januari 2013 yang diserahkan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 Januari 2013;

[3.11] Menimbang bahwa terhadap tidak adanya permintaan keterangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam permohonan Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta

diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan

kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo; [3.12] Menimbang bahwa terhadap perbaikan permohonan Pemohon yang diserahkan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 Januari 2013, menurut Mahkamah berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU MK ditentukan bahwa perbaikan permohonan disampaikan paling lama dalam waktu empat belas hari. Mahkamah melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan Pemohon pada

Dalam dokumen Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Halaman 42-63)

Dokumen terkait