Contract relax stretching merupakan salah satu teknik dalam Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang melibatkan kontraksi otot secara isotonik dengan tahanan yang diikuti fase relaksasi kemudian diberikan stretching secara pasif dari otot yang mengalami ketegangan tersebut. Menurut Sukadiyanto (2005) menyebutkan bahwa pada peregangan cara PNF, diperlukan adanya bantuan dari orang lain atau menggunakan peralatan lain untuk membantu memudahkan gerakan peregangan agar mencapai target. Adapun tujuan dari pemberian contract relax stretching adalah untuk memanjangkan/mengulur struktur jaringan lunak, seperti otot, fasia, tendon dan ligamen yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot/akibat fibrosis.
Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan 2 menit untuk mendapatkan efek relaksasi. Efek contract relax stretching jangka
panjang pada manusia didapatkan bahwa setiap individu memerlukan durasi 15-45 detik untuk menunjukkan panjang otot yang maksimal. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ketujuh dan contract relax stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke-10, sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh(Sugijanto, 2006).
Contract relax stretching diindikasikan apabila ditemukan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi akibat adanya perlengketan, pembentukan jaringan parut, yang berperan untuk menimbulkan ketegangan otot, jaringan ikat dan kulit. Contract relax stretching tidak dapat dilakukan pada pasien dengan fraktur yang masih baru pada area shoulder girdle, immobilisasi yang lama karena otot levator scapula kehilangan tensile strength, dan terdapat tanda-tanda inflamasi akut (Sugijanto, 2006). Sedangkan menurut Kisner and Colby (2007), menyebutkan indikasi dari stretching berupa, lingkup gerak sendi yang terbatas karena jaringan lunak yang kehilangan ekstensibilitas, gerakan yang terbatas akibat deformitas struktural, kelemahan otot dan pemendekan dari jaringan antagonis, serta sebagai bagian dari total program fitness yang didesain untuk mencegah cedera muskuloskeletal. Kontraindikasi dari stretching adalah sebuah tulang menonjol yang membatasi gerakan sendi, fraktur yang masih
baru, terdapat penyatuan tulang yang belum komplit, adanya infeksi akut, proses infeksi, atau penyembuhan jaringan lunak di daerah itu, nyeri akut yang tajam pada gerakan sendi atau elongasi otot, serta terjadi perdarahan atau indikasi lain dari trauma jaringan yang masih diobservasi.
2.3.1 Contract Relax Stretching Direct
Contract relax stretching direct adalah suatu kontraksi otot secara isotonik dengan tahanan yang diberikan secara resisted, diikuti dengan fase relaksasi dan peningkatan luas gerak sendi (Adler, et al., 2008). Tujuan dari teknik ini adalah untuk meningkatkan pasif ROM dari suatu sendi. Terapis menggerakkan sendi atau segmen tubuh pasien hingga batas ROM sendi tersebut dan secara aktif melawan
tahanan yang diberikan. Terapis menyuruh pasien untuk
mengkontraksikan otot antagonis yang mengalami keterbatasan secara kuat selama 5-8 detik. Kontraksi maksimal pada posisi otot yang dipanjangkan akan memprovokasi perubahan struktur dari aktin-miosin. Gerakan yang pelan akan memastikan setiap otot yang diinginkan berkontraksi secara maksimal. Setelah itu terapis menginstruksikan pasien untuk kembali rileks dengan sendi dan bagian tubuh diposisikan kembali baik secara aktif atau pasif oleh pasien sendiri. Teknik ini diulangi hingga lingkup gerak sendi maksimal telah dicapai.
Contract relax stretching direct mengaplikasikan mekanisme post-isometric relaxation, dimana dengan awalnya
memposisikan otot pada posisi stretch. Kemudian pasien
menggunakan kontraksi otot secara isotonik dengan melawan tahanan minimal oleh terapis yang diikuti dengan fase relaksasi dan dilanjutkan kembali dengan stretch maksimal. Proses ini diulangi dengan setiap fase diikuti dengan stretch yang lebih besar lagi pada otot sebelum melakukan kontraksi isometrik (Healy and Zinkel, 2011).
Menurut Chaitow (2001), post-isometric relaxation mengacu pada pengurangan tonus otot setelah berkontraksi. Hal ini terjadi karena reseptor stretch yang disebut dengan golgi tendon organ yang terletak pada otot. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching oleh inhibisi otot yang selanjutnya akan berkontraksi. Hal ini secara alami melindungi reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memberi pengaruh pemanjangan/penguluran karena relaksasi yang terjadi secara tiba-tiba pada seluruh otot di bawah pengaruh stretching.
Kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf aferen dari golgi tendon organ masuk ke akar dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron eferen dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut,
tonus otot menurun, yang berjalan menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot.
2.3.2 Contract Relax Stretching Indirect
Contract relax stretching indirect merupakan salah satu jenis teknik contract relax stretching dengan memaksimalkan kontraksi otot agonis daripada mengkontraksikan otot yang mengalami pemendekan secara langsung. Metode indirect digunakan pada kondisi otot yang mengalami pemendekan dengan rasa nyeri yang sangat atau pada otot yang mengalami kelemahan untuk mencapai kontraksi yang efektif. Contract relax stretching indirect meningkatkan pasif ROM dengan cara bantuan dari gerakan aktif pasien. Ketika kontraksi otot antagonis mengakibatkan timbulnya
nyeri atau mengalami kelemahan, maka dianjurkan untuk
mengkontraksikan agonis otot (Adler, et al., 2008).
Metode indirect menerapkan mekanisme reciprocal inhibition dimana mengacu pada inhibisi otot antagonis ketika kontraksi isotonik yang terjadi dalam otot agonis (Chaitow, 2001). Hal ini terjadi karena reseptor stretch dalam serabut otot agonis, muscle spindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan panjang otot dengan memberikan umpan balik pada perubaham kontraksi. Muscle spindle akan mengirim impuls pada serabut saraf aferen yang kemudian akan bertemu dengan excitatory motor neuron otot agonis dalam spinal cord, sehingga pada saat yang bersamaan motor neuron
tersebut akan mencegah kontraksinya dan akan menimbulkan relaksasi pada otot antagonis.
Terlihat pada gambar 2.10, reciprocal inhibition terjadi di target muscle saat otot berlawanan berkontraksi secara volunter untuk menurunkan aktivitas neural-nya (Sharman, et al., 2006). Hal tersebut terjadi saat otot yang berlawanan untuk memaksimalkan kekuatan kontraksi, dalam hal ini untuk relaksasi target muscle. Relaksasi target muscle merupakan hasil penurunan aktivitas neural dan peningkatan inhibisi struktur proprioceptive di target muscle (Rowlands, et al., 2003). Inhibisi dari aktivitas elektrik dalam stretch target muscle terjadi karena sambungan neuron di target muscle, kontraksi otot antagonis akan berkurang oleh karena kekuatan target muscle yang menerima sinyal untuk terus berkontraksi.
Gambar 2.10 Mekanisme Reciprocal Inhibition (Sumber: Sharman, et al., 2006)
Singkatnya, ketika otot agonis berkontraksi melawan tahanan yang sama secara isometrik, akan terjadi respon stretch dua reseptor, yaitu muscle spindle yang bereaksi meregangkan otot dan
direspon oleh inhibisi antagonis dan golgi tendon yang merespon meregangkan tendon, yang diinhibisi oleh otot agonis. Hal tersebut akan membuat muscle spindle menginhibisi secara efektif untuk memberikan relaksasi antagonis.