• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stres merupakan situasi individu saat mengalami kesulitan dalam menangani segala kendala dan ancaman. Stres dapat berdampak positif maupun negatif bagi individu. Stres dapat mengenai semua individu, tak terkecuali remaja. Untuk merespon situasi stres, diperlukan usaha-usaha yang disebut coping. Secara lebih lengkap, coping adalah usaha kesadaran yang dikehendaki untuk mengatur emosi, pikiran, perilaku, fisiologi dan merespon keadaan yang menyebabkan stres (Compas et al., 2001). Coping memiliki dua orientasi, yaitu untuk menghadapi stressor (engagement coping) dan untuk menghindar dari stressor (disengagement coping).

Selain berminat pada coping, penelitian ini juga berminat pada kepribadian five-factor model (FFM) yang merupakan salah satu faktor penentu kecenderungan coping. Kepribadian FFM terdiri dari lima faktor, yaitu opennes to

experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticism. Kelima faktor kepribadian FFM tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi penilaian dan respon terhadap stres. Faktor pertama, opennes to experience cenderung menganggap peristiwa sebagai tantangan bukan suatu ancaman. Demikian juga dengan faktor kedua yaitu conscientiousness yang menganggap peristiwa sebagai tantangan. Individu dengan tingkat conscientiousness tinggi cenderung menghindari tindakan impulsif yang dapat menyebabkan masalah keuangan, kesehatan dan interpersonal. Faktor ketiga, extravertion juga menganggap peristiwa bukan sebagai ancaman, tetapi tantangan yang harus dihadapi. Ketiga faktor tersebut mempunyai penilaian positif dalam menghadapi masalah. Faktor keempat, agreeableness terkait dengan konflik interpersonal yang rendah. Dapat dikatakan bahwa individu dengan tingkat agreeableness tinggi cenderung kurang mengalami stres sosial. Terakhir, faktor neuroticism berhubungan erat dengan distress. Individu neurotic menilai peristiwa sebagai situasi yang sangat mengancam. Selain itu, individu neurotic juga cenderung memiliki sumber daya coping yang rendah (Carver & Connor-Smith, 2010).

Dapat dikatakan bahwa faktor kepribadian FFM mempengaruhi penilaian individu terhadap stres. Selain itu, masing-masing faktor kepribadian juga membedakan strategi coping yang dipilih dalam menghadapi stres. McCrae dan Costa (dalam Primaldhi, 2008) menjelaskan bahwa trait kepribadian merupakan faktor yang menentukan jenis strategi coping yang digunakan individu secara konsisten. Sebagai contoh, individu yang memiliki penilaian positif terhadap stres cenderung menggunakan engagement coping.

Penjelasan lebih lanjut untuk pengaruh masing-masing faktor FFM pada coping adalah sebagai berikut:

1. Opennes to experience.

Individu dengan opennes to experience yang tinggi melibatkan kecenderungan individu untuk menjadi imajinatif, kreatif, memiliki rasa ingin tahu, fleksibel dan cenderung berorientasi pada kegiatan dan ide-ide baru (McCrae & John, 1992). Kecenderungan tersebut dapat memfasilitasi dan mengarah pada engagement coping yang memerlukan pertimbangan perspektif yang baru, seperti restrukturisasi kognitif dan pemecahan masalah (Carver & Connor-Smith, 2010). Akan tetapi, opennes to experience juga dapat memfasilitasi penggunaan wishfull thingking yang merupakan salah satu strategi disengagement coping. Hal ini terjadi karena individu yang cenderung berimajinasi dan berangan-angan dalam menghadapi masalah (Connor-Smith & Flachsbart, 2007). Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa karakteristik-karakteristik individu opennes to experience lebih banyak memfasilitasi penggunaan engagement coping.

2. Conscientiousness

Faktor ini mencerminkan ketekunan, pengaturan dan disiplin diri, organisasi, achievement orientation dan pendekatan musyawarah (McCrae & John, 1992). Individu dengan conscientiousness tinggi memfasilitasi individu dalam pemecahan masalah dan meminimalkan disengagement coping (Carver & Connor-Smith, 2010). Connor-Smith dan Flachsbart, 2007 menambahkan bahwa conscientiousness juga memprediksi penggunaan primary dan

secondary control engagement coping strategi. Strategi primary control engagement coping tersebut adalah pemecahan masalah dan pengaturan emosi. Strategi tersebut memerlukan perencanaan serta ketekunan dalam mengadapi masalah. Sedangkan strategi secondary control engagement coping adalah distraction dan cognitive restructuring dimana individu memerlukan perubahan atensi dari pikiran negatif menjadi pikiran positif. Individu conscientious juga diprediksi memiliki disengagement coping yang rendah (Vollrath dalam Connor-Smith & Flachsbart, 2007).

3. Extraversion

Faktor ini cenderung melibatkan emosi positif, sosialisasi, asertif, energi dan tingkat aktivitas yang tinggi (McCrae & John, 1992). Kecenderungan individu untuk asertif memberikan energi untuk memulai dan bertahan dalam pemecahan masalah atau problem solving (Vollrath dalam Carver & Connor-Smith, 2010). Emosi yang positif akan memfasilitasi individu dalam resrukturisasi kognitif. Selain itu, individu yang memiliki emosi positif cenderung berorientasi pada orang lain atau jaringan sosialnya. Hal ini memfasilitasi individu untuk mendapatkan dukungan sosial ketika individu menghadapi masalah. Connor-Smith dan Flachsbart, 2007 menambahkan bahwa faset-faset extraversion tidak memfasilitasi disengagement coping.

4. Agreeableness

Faktor ini melibatkan tingkat kepercayaan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain (McCrae & John, 1992). Individu yang memiliki tingkat

agreeableness tinggi memiliki jaringan sosial yang kuat (Carver & Connor-Smith, 2010). Maka dari itu, faktor agreeableness dapat memprediksi coping yang berorientasi pada dukungan sosial sehingga memfasilitasi dalam pemecahan masalah. Individu yang memiliki tingkat agreeableness tinggi diduga memiliki level yang rendah pada penarikan diri memiliki sifat tabah serta penyesuaian yang baik sehingga memfasilitasi salah satu strategi engagement coping yaitu acceptance (Connor-Smith & Flachsbart, 2007). 5. Neuroticism

Faktor ini mencerminkan kecenderungan individu untuk mengalami ketakutan, kesusahan, kesedihan dan physiological arousal (McCrae & John, 1992). Individu neurotic juga cenderung sulit berpikir positif dan melakukan restrukturisasi kognitif. Oleh karena itu, individu neurotic lebih mengarah pada disengagement coping (Carver & Connor-Smith, 2010). Selain itu, individu neurotic melibatkan reaksi fisik dan emosional yang intens untuk meminimalkan stres. Hal tersebut difasilitasi oleh penggunaan disengagement coping strategi dengan cara menghindar. Bentuk penghindaran tersebut dapat berupa penggunaan narkoba atau mengkonsumsi minuman keras. (Connor-Smith & Flachsbart, 2007).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor opennes to experience, conscientiousness, extraversion dan agreeableness berpengaruh untuk membentuk engagement coping dan mengurangi disengagement coping. Sedangkan faktor neuroticism berpengaruh untuk membentuk disengagement coping dan mengurangi engagement coping.

E. SKEMA PENELITIAN Neuroticism Agreeableness Extraversion Conscientious ness -Tekun -Pengaturn diri -Disiplin -Organisasi -Achievement orientation - Emosi positif - Sosialisasi - Energi tinggi - Aktivitas tinggi - Percaya - Patuh - Peduli - Orientsi sosial - tabah -Ketakutan -Kesedihan -Kecemasan -Pikiran negatif - physiological arousal KEPRIBADIAN FIVE FCTOR MODEL ENGAGEMENT

Dokumen terkait