• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.2 Corporate Social Responsibility (CSR)

2.1.2.1 Konsep Corporate Social Responsibility

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility) sebenarnya telah menjadi pemikiran para pembuat

kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM)

yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang

lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian

bagi pelanggannya, disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada

orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman,

pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah

standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para

pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah adanya kesadaran

sejak lama bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari

kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi

sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan masyarakat

sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.

Di Indonesia Corporate Social Responsibility telah

berkembang sejak dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini memberikan gambaran bahwa pemerintah juga sangat peka terhadap masalah-masalah yang mungkin akan ditimbulkan oleh kegiatan operasional perusahaan baik bagi masyarakat umum, karyawan maupun lingkungan.

Corporate Social Responsibility menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan karena salah satu dasar pemikiran yang melandasi Corporate Social Responsibility yang pada saat ini dianggap sebagai inti etika bisnis adalah kesadaran bahwa perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan legal terhadap pemegang saham (shareholder) saja, tetapi juga memiliki kewajiban sosial terhadap stakeholder (pemangku kepentingan) seperti pemerintah, customers,investors, masyarakat, pegawai dan bahkan kompetitor. Stakeholder theory berpandangan bahwa perusahaan harus melakukan pengungkapan sosial sebagai salah satu tanggung jawab kepada para stakeholder. Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan semakin menyadari pentingnya menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari strategi bisnisnya, hal ini berkaitan dengan tuduhan bahwa industri adalah penyumbang terbesar terjadinya pemanasan global jelas tidak terbantahkan lagi.

Penggunaan energi yang boros hingga pembuangan limbah gas karbon akibat proses produksi merupakan dampak negatif operasi perusahaan yang terjadi setiap harinya. Pemanasan global selalu menjadi isu yang didengungkan perusahaan besar di dunia (Solihin, 2008:16).

2.1.2.2 Pengertian Corporate Social Responsibility

Menurut The World Bussiness Council for Sustainable Development yang merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1955 dan beranggotakan 120 perusahaan multinasional yang berasal dari 30 negara dunia, Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun bagi pembangunan.

Menurut Hadi (2011:47), “menyatakan bahwa corporate social responsibility (CSR) merupakan suatu bentuk tindakan dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan dan keluarganya, serta sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas”.

Menurut Sembiring (2005), “menjelaskan corporate social responsibility merupakan proses pengkomukasian dampak sosial dan

lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan terhadap masyarakat secara keseluruhan”.

Adapun pengertian berdasarkan defenisi di atas adalah menggambarkan corporate social responsibility diarahkan baik dari pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan. Pihak internal artinya tangung jawab diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan sedangkan pihak eksternal yaitu corporate social responsibility berkaitan dengan peran perusahaan dengan membayar pajak dan penyediaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.

2.1.2.3 Komponen Dasar Corporate Social Responsibility

Menurut Hadi (2011), Corporate social responsibility dalam pengungkapannya harus berdasarkan pemahaman dari 3P (profit, people, planet ), yaitu tujuan bisnis tidak hanya mencari laba (profit), tetapi juga berfungsi untuk mensejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini (planet)”.

Pengungkapan corporate social responsibility tidak lagi berpijak pada praktek single bottom line artinya berorientasi pada kinerja keuangan saja namun harus mengacu pada triple bottom line yaitu perusahaan harus berorientasi pada aktivitas sosial dan

lingkungan tidak hanya berorientasi pada kinerja keuangan saja. Hal tersebut diyakini dapat menjamin keberlanjutan perusahaan dimasa mendatang.

Menurut Prambudi (2006:13), menyebutkan bahwa program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dikelompokkan atas tiga aspek, antara lain:

1) Program Sosial

Program sosial merupakan program perusahaan yang melakukan kegiatan kedermawanan untuk membangun masyarakat dan meningkatkan taraf hidup manusia.

2) Program Lingkungan

Program lingkungan merupakan program perusahaan yang bertujuan untuk menjaga ekosistem dan lingkungan agar terjaga dari kerusakan dan meminimalisir terjadinya polusi akibat dari aktivitas perusahaan.

3) Program Ekonomi

Program ekonomi merupakan program perusahaan yang melakukan tindakan untuk terjun langsung di dalam masyarakat untuk membantu memperkuat ketahanan ekonomi dan menjadikan masyarakat yang tangguh dan mandiri.

2.1.2.3 Signalling Theory

Teori sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal. Dorongan tersebut disebabkan karena terjadinya asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak eksternal.

Menurut Brigham dan Houston (2001:39), “teori sinyal yaitu prilaku manajemen perusahaan dalam memberi petunjuk untuk

investor terkait pada pandangan manajemen pada prospek perusahaan untuk masa mendatang”.

Menurut Retno dan Priantinah (2012:87), “menyatakan teori sinyal yaitu suatu perusahaan melakukan pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan harapan dapat meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan”.

Adapun tujuan yang diharapkan yaitu apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru, maka harga sahamnya akan menurun. Hanya perusahaan yang benar – benar kuat yang berani menanggung resiko untuk mengalami kesulitan keuangan ketika porsi hutang perusahaan relatif tinggi. Maka porsi hutang yang tinggi digunakan oleh manajer sebagai sinyal bahwa perusahaan memiliki kinerja yang handal.

2.1.3 Good Corporate Govarnance (GCG)

2.1.3.1 Pengertian Good Corporate Govarnance

Forum for Corporate Governance (FCG) dalam publikasi yang pertamanya mempergunakan definisi Cadbury Committee, yaitu: seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau

dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (Retno dan Priantinah, 2012:86).

Menurut Agoes (2013:137) “menyatakan bahwa Good Corporate Govarnance merupakan suatu system yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya dalam perusahaan”.

Menurut Prakarsa (2010:140) dalam Agoes (2013:138), “menyatakan mekanisme administrative yang mengatur hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok – kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain”.

Berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate Govarnance Indonesia yang dikemukakan oleh National Committee on Govarnance (NCG) (2006) dikutip oleh Agoes (2013:140), Good Corporate Govarnance memiliki prinsip – prinsip sebagai berikut :

1. Fairness, para pengelola memperlakukan semua pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder (pemerintah, masyarakat dan yang lainnya).

2. Transparancy, kewajiban pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. 3. Accountability, pengelola berkewajiban untuk membina sistem

akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan (financial statements) yang dapat dipercaya.

4. Responsibility, pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada pemangku kepentingan sebagai kepercayaan yang diberikan kepadanya.

5. Independency, keadaan dimana pengelola mengambil keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik dan bebas dari tekanan/pengaruh dari mana pun yang bertentangan dengan perundang - undangan yang berlaku.

2.1.3.2 Kepemilikan Manajerial

Good Corporate Govarnance muncul dan berkembang dari teori agensi yang menghendaki adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Struktur kepemilikan dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan. Konsep Good Corporate Govarnance juga muncul untuk meminimalkan potensi kecurangan akibat agency problem.

Menurut Amri dan Untara (2012:5), “kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme Good Corporate Govarnance yang dapat mempengaruhi insentif bagi manajemen untuk melaksanakan kepentingan terbaik dari pemegang saham”.

Menurut Retno dan Priantinah (2012:86), “menyatakan bahwa ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat juga”.

Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya sehingga permasalahan antara agent dan principal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.

2.1.3.3 Agency Theory

Teori keagenan atau agency theory dikemukakan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976 dimana di dalam suatu hubungan keagenan terdapat suatu kontrak anatara satu orang atau lebih (principal) memerintah orang lain untuk (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama principal dan member wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal.

Menurut Brigham & Houston (2006:26-31), “para manajer diberi kekuasaaan oleh pemilik perusahaan yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory)”.

Menurut Retno dan Priantinah (2012:84), “teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut”.

Adapun tujuan dari teori sinyal yaitu pemegang saham atau investor sebagai pemilik perusahaan sedangkan agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Investor memiliki harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memproleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.

Menurut Eisenhardt (1989) dalam Retno dan Priantinah (2012:84) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia untuk menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, misalnya melakukan manajemen laba. Manajemen dapat melakukan hal tersebut untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya tanpa persetujuan dari pemilik dan pemegang sah.

Dokumen terkait