• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Cost of Equity Capital

Biaya modal ekuitas (cost of equity capital/COC) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sumber pendanaan (source of financing) (Modigliani dan Miller, 1958). Mereka merupakan pihak yang pertama kali mendefinisikan cost of equity capital dalam literatur keuangan yang berkaitan dengan risiko investasi saham perusahaan. Menurut Weston dan Copeland (1996:86), perusahaan dapat memperoleh modal ekuitasnya dengan dua cara, yaitu laba ditahan dan mengeluarkan saham baru.

Menurut Riyanto (1996), biaya modal ekuitas adalah bagian yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memberi kepuasan pada investornya pada tingkat risiko tertentu. Konsep biaya modal dimaksudkan untuk dapat menentukan besarnya biaya secara riil yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk memperoleh dana dari suatu sumber atau penggunaan modal dari masing-masing sumber dana, untuk kemudian menentukan biaya modal rata-rata (average cost of

capital) dari keseluruhan dana yang dipergunakan perusahaan tersebut.

Sedangkan menurut Warsono (1998), dalam menentukan biaya modal perusahaan atau penentuan biaya modal sendiri adalah yang paling sulit dilakukan karena yang dijadikan sebagai dasar untuk penentuan biaya modal adalah arus kas terutama deviden dan pertumbuhannya. Biaya modal sendiri (cost of equity

11

capital) dapat diartikan “Tingkat hasil minimum (minimum rate of return) yang

harus dihasilkan oleh perusahaan atas dana yang diinvestasikan dalam suatu proyek yang bersumber dari modal sendiri, agar harga saham perusahaan di pasar saham tidak berubah”.

2.1.1.1 Manfaat Cost Of Equity Capital

Menurut Weston dan Brigham (1994), ada tiga alasan mengapa biaya modal adalah hal penting, yaitu:

1. Untuk memaksimalkan nilai perusahaan, manajer harus meminimalkan biaya dari semua masukan, termasuk modal. Agar dapat meminimalkan biaya modal, manajer harus mampu mengukur biaya modal;

2. Manajer keuangan memerlukan estimasi dari biaya modal agar dapat mengambil keputusan yang tepat di bidang penganggaran barang modal;

3. Berbagai macam keputusan lainnya yang dapat diambil oleh manajer keuangan, perlu estimasi biaya modal.

2.1.1.2 Pengukuran Cost of Equity Capital

Pengukuran biaya modal saham biasa (biaya modal ekuitas) dipengaruhi oleh model penilaian perusahaan yang digunakan. Model penilaian perusahaan antara lain (Wiwik, 2005):

A. Model penilaian pertumbuhan konstan (constant growth valuation

model)

Model ini dikenal dengan sebutan Gordon Model. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa nilai saham dengan nilai tunai (present value) dari semua

12

deviden yang akan diterima di masa yang akan datang (diasumsikan pada tingkat pertumbuhan konstan) dalam waktu yang tidak terbatas.

B. Capital Asset Pricing Model (CAPM)

Biaya modal saham biasa adalah tingkat return yang diharapkan oleh investor sebagai kompensasi atas risiko yang tidak dapat didiversifikasi yang diukur dengan beta.

C. Model Edward Bell Ohlson

Model ini digunakan untuk mengestimasi nilai perusahaan dengan mendasarkan pada nilai buku ekuitas ditambah dengan nilai tunai dari laba abnormal.

Menurut Ohlson dalam Botosan (1997) dan dalam Botosan dan Plumlee (2002), biaya modal ekuitas dihitung berdasarkan tingkat diskonto yang dipakai investor untuk menilai tunaikan future cash flow.

r = ( Bt + xt+1 - Pt ) / ( Pt ) Keterangan:

Pt = harga saham pada periode t

Bt = nilai buku per lembar saham pada periode t xt+1 = laba per lembar saham pada periode t+1 r = biaya modal ekuitas

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model Edward Bell Ohlson. Alasannya adalah menurut Botosan (1997) penelitian menggunakan CAPM kurang representatif dan tidak mencerminkan kerterkaitan dengan pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.

13 2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan (agency theory) dikembangkan di tahun 1970-an terutama pada tulisan Jensen dan Meckling (1976) pada tulisan yang berjudul “Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs, and ownership structure”. Teori keagenan dibangun sebagai upaya untuk memecahkan memahami dan memecahkan masalah yang muncul manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak (perikatan).

Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.

Teori keagenan menyatakan bahwa apabila terdapat pemisahan antara pemilik sebagai principal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka akan muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya (Jensen dan Meckling, 1976). Agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu suatu kondisi adanya ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder sebagai pengguna informasi.

Eisendhart (1989) mengemukakan beberapa teori yang melandasi teori agensi. Teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga jenis asumsi yaitu asumsi

14

tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan dirinya sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian menekankan bahwa adanya konflik antar anggota organisasi dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. Sedangkan asumsi informasi menekankan bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Jadi yang dimaksud dengan teori keagenan yaitu membahas tentang hubungan keagenan antara principal dan agent.

Agency Theory menimbulkan masalah mendasar dalam organisasi "perilaku mementingkan diri sendiri”. Manajer sebuah perusahaan mungkin memiliki tujuan-tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemilik pemegang saham. Karena manajer pemegang saham memiliki hak untuk mengelola aset perusahaan, sebuah potensi konflik kepentingan muncul antara dua kelompok.

Untuk mengurangi masalah moral dimana manajemen mengambil untung semata, pemegang saham harus menanggung biaya agen. Biaya agency didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Gagasan biaya agen mungkin dihubungkan dengan Jurnal pada makalah yang berjudul Journal of Finance pada tahun 1976 oleh Michael Jensen dan William Meckling, yang menyarankan

15

bahwa tingkat utang perusahaan dan tingkat manajemen ekuitas baik dipengaruhi oleh keinginan untuk mengendalikan biaya kantor.

Dokumen terkait