DAFTAR PUSTAKA
2.1 Cross Laminated Timber .1 Definisi
Cross Laminated Timber (CLT) pertama dikembangkan di Swiss pada tahun 1970-an. Produk ini merupakan perpanjangan dari teknologi rekayasa produk kayu lapis dengan lapisan laminasi silang dari vener yang telah dikenal memiliki sifat-sifat unggul karena adanya penataan lapisan yang saling bersilangan arah transversal dan longitudinal. Produk CLT menggunakan kayu dengan memanfaatkan sifat struktural dari kayu tersebut dengan mendistribusikan kekuatan sepanjang serat kayu pada kedua arah. Produk CLT juga memiliki stabilitas dimensi yang lebih baik karena rasio kembang susut pada dua arah (panjang dan lebar) dapat mendekati satu. Lapisan yang saling tegak lurus memungkinkan mendistribusikan beban ke semua sisi dengan lebih merata sehingga dapat dipergunakan untuk produk konstruksi (Wood Naturally Better, 2010).
CLT diproduksi dengan 3 sampai 7 lapisan kayu atau papan yang disusun satu sama lain secara bersilangan dan direkatkan bersama dengan tekanan hidrolik pada seluruh bagian permukaan atau dapat dengan dipaku. Setiap lapisan terdiri dari papan dengan berbagai ketebalan laminasi. Ketebalan panel CLT biasanya dalam kisaran dua inci, tetapi panel dengan tebal 20 inci dapat dibentuk. Ukuran lebar panel berkisar antara 4-10 kaki dan panjangnya 16-50 kaki (Perkins dan McCloskey, 2010).
Menurut Frangi et al. (2006), produk CLT atau dikenal juga sebagai produk X-Lam adalah salah satu konstruksi kayu besar prafabrikasi yang digunakan untuk konstruksi menahan beban seperti dinding dan rakitan untuk lantai. Produk X-Lam telah menjadi semakin populer tidak hanya untuk perumahan tetapi juga untuk kantor, ritel, dan bangunan industri khususnya di Negara Austria dan Italia. Tergantung pada tujuan dan permintaaan kebutuhan, produk X-Lam tersedia dengan 3, 5, 7, atau lebih lapisan papan. Lebar papan tunggal biasanya bervariasi antara 80 dan 240 mm, dengan ketebalan antara 10 dan 35 mm.
Produk CLT ini sebagian besar digunakan untuk membentuk elemen lantai, dinding, dan elemen atap. Biasanya dibuat panel hingga panjang 18 m, yang digunakan untuk struktur panel atap, dinding, dan panel lantai yang mampu mencakup panjang hingga 8 m. Produk CLT dapat dibentuk untuk penggunaan jendela, pintu, dan fitur arsitektur yang dibuat melengkung dengan radius minimum 8 m (Wood Naturally Better, 2010).
Panel CLT dapat dibuat sampai dengan panjang 45-152 cm dan tebal 5-60 cm, dengan lapisan 3, 5, 7 atau lebih. CLT biasanya diproduksi dengan panjang maksimum 16.50 m, lebar maksimum 2.95 m, dan ketebalan maksimum 0.50 m (KLH Massivholz GmbH, 2010).
2.1.2 Keunggulan
Menurut Wood Naturally Better (2010), keunggulan dari produk CLT ini adalah kekuatan dan keseragaman sifatnya. CLT juga memiliki sifat ketahanan terhadap api, kedap suara, dan kualitas estetika tinggi yang menarik bagi arsitek dan desainer. Sedangkan menurut Crespell dan Sylvain (2011) produk CLT mempunyai ketahanan terhadap gempa bumi dan kebakaran serta dapat digunakan sebagai pengganti beton pada bangunan tingkat menengah. CLT juga merupakan salah satu produk yang efisien karena dapat meminimalkan cacat yang ada pada kayu sehingga dapat mengurangi biaya konstruksi.
Keunggulan penggunaan produk CLT menurut Perkins dan McCloskey (2010) antara lain:
a. Biaya Efektif
Pemasangan atau pembangunan panel lebih cepat dan keterlambatan konstruksi lebih sedikit karena CLT merupakan elemen prafabrikasi. Pemasangan CLT cepat dan dalam kondisi kering, sehingga masa pakainya
dapat tahan lama.
Pengurangan limbah di tempat pada proses pemasangan elemen dinding, lantai, maupun atap dapat dikurangi.
b. Keunggulan Kinerja Bangunan
Stabilitas dimensi. Pengaruh multi-lapisan papan, pengembangan dan penyusutan dapat diabaikan.
Perlindungan api. Karena ketahanan terhadap penyebaran dan stabilitas struktural dari ketebalan yang signifikan pada kayu solid.
Kekuatan beban bergerak dan gempa bumi. Pemerintah Jepang telah melakukan tes gempa bumi pada CLT dengan faktor skala 12 Richter (Gambar 2)
Peluang mutu terlihat. CLT dapat diketam, diamplas, atau disikat/dikuas Kenyamanan tempat tinggal. Sifat insulasi suhu dan kelembaban yang
layak, serta mampu mengurangi tingginya kepadatan ruangan. Selain itu panel CLT juga dapat memberikan nilai akustik pada bangunan.
c. Dampak Terhadap Lingkungan Kecil
CLT memiliki potensi untuk menjadi elemen penting dalam konstruksi bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu, dengan sifat positif mengurangi emisi karbon dan penyimpanan karbon karena kayu berasal dari sumber yang terbarukan atau lestari.
Gambar 1 Penggunaan CLT untuk langit-langit dan dinding (Sumber: FP Innovation, 2011)
Gambar 2 Pengujiaan ketahanan gempa CLT (Sumber : FP Innovation, 2011)
2.2 Kayu Manii (Maesopsis eminii Engl.)
Kayu Manii merupakan salah satu kayu dari hutan rakyat yang berasal dari famili Rhamnaceae dengan nama latin Maesopsis eminii Engl. Jenis ini merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh pada areal hutan yang terganggu ekosistemnya. Wahyudi et al. (1990) diacu dalam Martiandi (2010) menyebutkan bahwa kayu manii dikenal dengan nama daerah manii. Ciri umum kayu manii antara lain gubalnya berwarna putih sedangkan bagian terasnya berwarna kuning sampai kecoklatan. Hal tersebut mengindikasikan kandungan zat ekstraktif kayu manii lebih banyak pada kayu terasnya. Tekstur kayunya sedang sampai kasar dan berserat lurus berpadu. Kayunya berbau masam dan rasanya pahit. Kayu manii mudah dikeringkan dan mudah diberikan perlakuan pengawetan, tetapi memiliki tingkat keawetan alami yang rendah
Kayu manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serbaguna. Berkekuatan sedang sampai kuat, dapat digunakan untuk konstruksi, kotak, dan tiang. Berat jenis rata-rata kayu manii 0.43 (0.34-0.46). Menurut Abdurachman dan Hadjib (2006), kayu manii tergolong kedalam kelas kuat III dan kelas awet III-IV. Rata-rata nilai kerapatan kayu manii sebesar 0,4 g/cm3, sedangkan nilai MOE dan MOR masing-masing sebesar 52600 kg/cm2 dan 484 kg/cm2.
2.3 Sistem Sambungan
Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang diinginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau terlemah pada konstruksi tersebut. Oleh karena itu, kayu yang akan disambung harus merupakan pasangan yang cocok dan pas, penyambungan tidak boleh sampai merusak kayu yang disambung tersebut, sesudah sambungan jadi hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan sebaiknya sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk dikontrol.
Tular dan Idris (1981) diacu dalam menyatakan bahwa sambungan merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi. Sambungan kayu dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu sambungan desak, sambungan tarik, dan sambungan momen. Sedangkan alat-alat sambung dapat digolongkan menjadi empat yaitu 1) paku, baut, skrup kayu, 2) pasak-pasak kayu keras, 3) alat-alat sambung modern, dan 4) perekat (Wirjomartono, 1977).
Kekuatan sambungan tergantung pada kekuatan komponen penyusunnya, yaitu kayu yang disambung dan alat sambungnya. Sesuai dengan teori mata rantai kekuatan sambungan banyak ditentukan oleh komponennya yang terlemah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sambungan adalah kerapatan kayu, besarnya beban yang diberikan, dan keadaan alat sambungnya (Suryokusumo et al 1980).
2.4 Cross Laminated Timber dengan Sambungan Paku
Paku sebagai alat sambung sudah banyak digunakan baik untuk penyambung perabotan rumah tangga, kusen, pintu, jendela maupun pada struktur bangunan. Beberapa keuntungan penggunaan paku menurut Yap (1999) adalah :
Harga paku murah.
Sambungan bersifat kaku dan sesarannya kecil, sehingga struktur menjadi lebih kokoh.
Pelaksanaan pekerjaan cepat, mudah, dan tidak memerlukan tenaga ahli. Perlemahan pada tampang tergolong kecil.
Penyimpangan arah gaya terhadap arah serat tidak mempengaruhi kekuatan dukung.
Wirjomartono (1977) mengatakan bahwa aplikasi paku sebagai alat sambung pada konstruksi kayu pada dasarnya didesain untuk memikul beban geseran dan lenturan. Sadiyo (2010) menyatakan bahwa dari beberapa tipe paku utama yang digunakan dalam aplikasi struktural, maka paku umum dan paku panjang merupakan paku paling luas digunakan di Indonesia. Sama seperti paku lainnya paku umum memiliki ujung paku berbentuk diamond. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam buku Design of Wood Structures, ASD/LRFD (2007) dicantumkan panjang paku umum berkisar dari 5.08-15.24 cm dengan diameter berkisar dari 2.87-6.68 mm. Paku umum tersebut terbuat dari kawat baja karbon rendah dengan batang datar (lurus) dan ujung diamond. Karena diameter paku umum lebih besar dibandingkan diameter tipe paku lainnya, paku umum memiliki kecenderungan melentur yang kecil saat dipukul atau dipalu secara manual. Kekuatan lentur paku umum, box dan paku sinker berdasarkan Tabel NDS (National Design Spesification for Wood Construction ASD/LRFD (2005) dari kisaran diameter paku 2.87-6.68 mm adalah 70-100 ksi (4922-7031 kg/cm2).
Paku dapat ditempatkan berdekatan, sangat efektif, dan relatif murah karena biasanya dipakai secara langsung tanpa harus membuat lubang pada kayu (Breyer et al. 2007). Penggunaan paku dalam kayu keras mengharuskan dilakukan pengeboran terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya pecah pada kayu. Besarnya lubang bor adalah 0,8–0,9D dan kedalaman lubang 2/3 dari tebal kayu (Frick dan Moediartianto, 2004).
Syarat-syarat yang harus diperhatikan pada sambungan paku menurut PPKI 1961 diacu dalam Yap (1999), antara lain :
Tampang melintang paku yang digunakan dapat berbentuk bulat, persegi atau beralur lurus.
Kekuatan paku tidak tergantung dari besar sudut antara gaya dan arah serat kayu.
Ujung paku yang keluar dari sambungan sebaiknya dibengkokkan tegak lurus arah serat, asalkan pembengkokkan tersebut tidak akan merusak kayu.
Apabila dalam satu baris lebih dari 10 batang maka kekuatan paku harus dikurangi dengan 10%, dan jika lebih dari 20 batang harus dikurangi 20%. Pada sebuah sambungan, paling sedikit harus menggunakan 4 batang paku.
Jarak paku minimum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, dalam arah gaya : 12 d untuk tepi kayu yang dibebani, 5 d untuk tepi kayu yang tidak dibebani dan jarak antara baris-baris paku, sedangkan dalam arah tegak lurus arah gaya : 5 d untuk jarak sampai tepi kayu dan 5d untuk jarak antara baris-baris paku.
Suryokusumo et al. (1980) serta Wirjomartono (1977) mengemukakan bahwa kekuatan sambungan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu. Dengan demikian peranan jenis kayu, yaitu kerapatan dan tebal dinding sel kayu mempunyai peranan sangat besar terhadap kekuatan sambungan kayu. Penelitian Suryokusumo et al. (1980) menyimpulkan bahwa makin tinggi kerapatan kayu dan jumlah paku maka kekuatan sambungan akan meningkat, tetapi peningkatan ini tidak bersifat linier. Pemakaian jumlah paku yang besar pada kayu dengan kerapatan tinggi cenderung akan memperbesar perlemahan sambungan. Selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kekuatan per paku akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu tetapi cenderung konstan dengan bertambahnya jumlah paku.
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian sifat fisis panel CLT. Pengujian sifat mekanis panel CLT dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Kampus IPB Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan September 2011 hingga bulan Juli 2012.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) dalam bentuk sortimen papan-papan dari berbagai ketebalan yang berasal dari daerah Cibungbulan, Bogor (Gambar 3). Bahan lain penelitian ini adalah paku bulat diameter 2.7 mm dengan panjang 5.1 mm yang diperoleh dari perusahaan bangunan disekitar Bogor (Gambar 4).
Gambar 3 Papan-papan kayu manii Gambar 4 Paku untuk sambungan panel CLT
Beberapa alat yang digunakan antara lain palu, kipas angin, moisture meter, gergaji mesin (circular saw), mesin serut (planner), penggaris, caliper, mesin pemilah elastisitas kayu sederhana (papan sortir), timbangan digital, ember, oven, dan desikator. Pengujian MOE dan MOR panel CLT dilakukan dengan
menggunakan UTM (Universal Testing Machine) merk Instron tipe 3369 Series IX Version 8.27.00 dengan kapasitas beban 5 ton.
3.3 Metode Penelitian
Kegiatan penelitian pembuatan panel CLT dimulai dari pembuatan lamina hingga pengujian sifat fisis dan mekanis panel CLT. Tahapan kegiatan penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Tahapan pembuatan panel CLT-Paku
A1 = 1-3-1 cm A2 = 2-1-2 cm A3 = 1.67-1.67-1.67 cm B1= 0˚ B2= 30˚ B3= 45˚ B4= 60˚ B5= 90˚ Pemilahan Lamina Pembuatan Papan CLT
Penyusunan Lamina Pemakuan Lamina
Pembuatan Contoh Uji
Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis ASTM D 143-2005
Karakteristik Panel CLT
Persiapan Bahan Baku
Pembuatan Lamina Lamina Tebal 1 cm, 1.67
cm, 2 cm, dan 3 cm Lamina Tengah 0˚, 30˚,
3.3.1 Pengeringan dan Pembuatan Lamina
Papan-papan kayu manii dengan ukuran penampang tebal 1.5-3.5 cm, lebar 14 cm dengan panjang 125 cm dikeringkan secara alami dengan bantuan kipas angin selama 30 hari atau hingga mencapai kadar air kering udara sekitar 12-17% (Gambar 6). Papan-papan tersebut kemudian digergaji dan diserut menjadi papan-papan lamina dengan ukuran panjang menjadi 120 cm, lebar 12 cm, dan tebal dengan empat ukuran ketebalan, yaitu ketebalan 1.00 cm sebanyak 45 papan, ketebalan 1.67 cm sebanyak 45 papan, ketebalan 2 cm sebanyak 30 papan, dan ketebalan 3 cm sebanyak 15 papan. Sebagai kontrol dibuat balok utuh kayu manii berukuran 5x5x12 cm.
Gambar 6 Pengeringan alami papan-papan kayu manii
3.3.2 Pemilahan Lamina
Pemilihan lamina dilakukan dengan menggunakan metode pemeriksaan secara visual dan mutu lamina ditentukan berdasarkan nilai modulus elastisitasnya (MOE). Metode pemeriksaan secara visual dilakukan dengan mengamati kondisi permukaan lamina sehingga bebas dari cacat-cacat alami atau cacat yang timbul akibat pengeringan. Pemilahan lamina berdasarkan nilai modulus elastisitasnya (MOE) dilakukan dengan cara pengujian sistem non destructive test, menggunakan mesin pemilah kayu (papan sortir) (Gambar 7). Prosedur pemilahannya adalah sebagai berikut (Surjokusumo et al., 2003) :
2. Beban A (P1) diletakkan diatas lamina tepat diatas deflektometer kemudian diukur besarnya defleksi (y1).
3. Beban standar B (P2) kemudian ditambahkan, angka pada deflektometer dicatat.
4. Beban diturunkan, lamina dibalik dan dipilah ulang seperti sebelumnya.
Gambar 7 Pemilahan lamina dengan metode non destructive test
Dari pemilahan tersebut diperoleh nilai modulus elastisitas (MOE) masing-masing papan lamina. Nilai tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok dengan rentang nilai tertentu dan diberi simbol E1 dan E2 dimana E1 > E2. E1 digunakan pada bagian face atau back sebagai lamina sejajar, sedangkan E2 digunakan pada bagian dalam (core) sebagai lamina tengah. Nilai MOE yang termasuk dalam kelompok E2 atau lamina tengah dipotong miring dengan lima macam orientasi sudut yaitu sudut 0˚, 30˚, 45˚, 60˚, dan 90˚ (Gambar 8).
3.3.3 Penyusunan Lamina
Prinsip penyusunan lamina-lamina pada panel CLT dilakukan dengan cara mengatur tebal panel (5 cm) menurut tiga kombinasi ketebalan lamina (A), yaitu kombinasi yang terdiri dari lamina atas (face), tengah (core), dan bawah (back) masing masing memiliki tebal A1 (1-3-1 cm) dan dengan cara yang sama untuk kombinasi A2 (2-1-2) cm, dan kombinasi A3 (1.67-1.67-1.67) (Gambar 9).
A1 A2 A3
Gambar 9 Penyusunan panel CLT menurut kombinasi ketebalan lamina
Serat lamina atas dan bawah diatur sedemikian rupa sehingga sejajar satu dengan lainnya, sedangkan lamina tengah (core) didasarkan atas orientasi sudut lamina berturut-turut yaitu 0˚ (B1), 30˚ (B2), 45˚ (B3), 60˚ (B4), dan 90˚ (B5) (Gambar 10). Setiap kombinasi panel CLT dibuat dalam tiga ulangan sehingga diperoleh total panel CLT sebanyak 45 panel.
Gambar 10 Contoh pola penyusunan panel CLT dengan orientasi sudut lamina tengah 0˚, 60˚, dan 90˚ (Sumber : Mardiyanto, 2012)
Jumlah potongan core utuh pada panel CLT dengan berbagai orientasi sudut adalah untuk panel CLT dengan orientasi sudut lamina tengah 30˚ (B2) sebanyak 4 potong, 45˚ (B3) sebanyak 6 potong, 60˚ (B4) sebanyak 7 potong, dan 90˚ (B5) sebanyak 9 potong. Sedangkan pada panel 0˚(B1), lamina tengah tersusun dari satu papan utuh. Semakin besar orientasi sudut maka jumlah potongan pada core akan semakin banyak.
3.3.4 Pemakuan Panel
Prinsip pola pemakuan panel CLT adalah dengan mengikuti bentuk (besarnya orientasi sudut) dari lamina tengah masing-masing kombinasi papan dengan jarak antar paku minimum 1.5-2 d. Jumlah paku pada semua kombinasi panel CLT dibuat sama, yaitu sebanyak 72 paku pada sepanjang bentang panel CLT (71 cm). Dengan demikian jumlah paku sepanjang setengah bentang adalah 36 batang dan diatur sedemikian rupa sehingga pola susunan pakunya setangkup dengan setengah bentang lainnya (Gambar 11).
0˚
30˚
45˚
60˚
90˚
3.3.5 Pembuatan Contoh Uji
Setelah semua panel CLT dipaku, panel dipotong untuk dibuat contoh uji sifat fisis maupun sifat mekanisnya. Adapun pola pemotongan contoh uji panel CLT seperti pada Gambar 12.
120 cm Keterangan :
1. Contoh uji lentur statis (MOE dan MOR) (5 cm x 12 cm x 76 cm) 2. Contoh uji kerapatan dan kadar air (5 cm x 5 cm x 5 cm)
3. Contoh uji kembang susut kayu (5 cm x 5 cm x 5 cm)
4. Contoh uji kuat lateral paku dan geser paku ( 6 cm x 8 cm x 5 cm)
Gambar 12 Pola pembuatan contoh uji panel CLT
3.3.6 Pengujian Panel Cross Laminated Timber (CLT)
Pengujian yang diakukan meliputi pengujian sifat fisis dan mekanis untuk mengetahui karakteristik panel CLT menggunakan paku.
3.3.6.1 Pengujian Sifat Fisis
Pengujian sifat fisis panel CLT yang dilakukan antara lain kerapatan ( ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV), serta penyusutan volume (SV). Pengujian tersebut menggunakan contoh uji ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm sesuai pada standar ASTM D 143 (2005) tentang Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber.
a. Kerapatan (�)
Kerapatan merupakan nilai dari berat contoh uji dibagi dengan volume contoh uji pada kondisi kering udara. Volume contoh uji diukur dengan mengalikan dimensi panjang, lebar, dan tebalnya (VKU) dan selanjutnya ditimbang untuk didapatkan berat kering udaranya (BKU). Nilai kerapatan dihitung dengan rumus:
= ( � 2) 1 4 2 3
b. Kadar Air
Kadar air merupakan hasil pembagian kandungan berat air terhadap berat kering tanur dari contoh uji yang dinyatakan dalam persen. Berat air adalah selisih dari berat contoh uji sebelum dioven dikurangi berat kering tanurnya. Pengujian kerapatan dan kadar air menggunakan satu contoh uji yang sama. Contoh uji dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya (BKU) dan dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 oC selama 24 jam atau sampai mencapai berat konstan kemudian ditimbang sehingga diperoleh berat kering tanur (BKT). Nilai kadar air dihitung dengan rumus:
� % = −
100%
c. Kembang Susut
Pengembangan volume dirumuskan sebagai selisih antara dimensi akhir (DB) dengan dimensi awal (DA) yang dibandingkan dengan dimensi awalnya yang dinyatakan dalam persen. Contoh uji yang digunakan untuk pengujian pengembangan maupun penyusutan volume diambil dari contoh yang sama. Contoh uji diukur panjang, lebar dan tebalnya dengan menggunakan kaliper sehingga diperoleh dimensi awalnya. Selanjutnya contoh uji direndam dalam air selama ± 1 minggu, kemudian diangkat dan diukur kembali dimensinya sehingga diperoleh dimensi akhir contoh uji. Nilai pengembangan volume dihitung dengan rumus sebagai berikut :
� � % = −
100%
Untuk pengujian penyusutan volume, contoh uji yang sama diukur dimensi panjang, lebar, dan tebalnya dengan menggunakan kaliper sehingga diperoleh dimensi awal (DA). Kemudian contoh uji dioven pada suhu 103±2 oC selama 24 jam atau mencapai berat konstan dan selanjutnya diukur kembali dimensinya sehingga diperoleh dimensi akhir (DB) dari contoh uji. Penyusutan volume merupakan selisih antara dimensi awal dengan dimensi akhir yang dibandingkan dengan dimensi awalnya, dengan rumus sebagai berikut :
% = −
3.3.6.2 Pengujian Sifat Mekanis
Sifat mekanis panel CLT yang diuji meliputi pengujian lentur statis dan sambungan paku. Pengujian lentur statis terdiri dari kekakuan lentur atau modulus of elasticity, kekuatan lentur atau modulus of rupture, kekuatan geser lentur. Pengujian lentur panel CLT ini didasarkan pada standar ASTM D 143 (2005) tentang Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Pengujian sambungan paku terdiri kekuatan lateral paku dan kekuatan paku pada sambungan geser ganda. Pengujian geser paku ini berdasarkan modifikasi standar ASTM D5652-95.
a. Kekakuan Lentur atau MOE
Pengujian kekakuan lentur atau MOE menggunakan contoh uji berukuran 5 cm x 15 cm x 76 cm untuk dimensi tebal, lebar, dan panjangnya. Pengujian MOE panel CLT dilakukan dengan cara meletakkan panel CLT tersebut diatas dua tumpuan dengan panjang bentang 71 cm. Beban terpusat diberikan ditengah bentang dan besarnya defleksi dicatat setiap selang beban tertentu. Rumus yang digunakan untuk menghitung besar MOE sebagai berikut :
�
2 = ∆ ³
4∆� ℎ³ Keterangan :
∆P = Besar perubahan beban sebelum batas proporsi (kg) L = Jarak sangga (cm)
∆Y = Besar perubahan defleksi akibat perubahan beban (cm) b = Lebar contoh uji (cm)
h = Tebal contoh uji (cm)
b. Kekuatan Lentur atau MOR
Kekuatan lentur atau MOR panel CLT dilakukan bersama-sama dengan pengujian MOE dengan menggunakan contoh uji yang sama. Pengujian MOR dilakukan sampai panel CLT yang diberikan beban terpusat ditengah bentangnya mengalami kerusakan. Nilai MOR dihitung dengan rumus :
� �2 = 3
2 ℎ² Keterangan :
P = Beban maksimum (kgf) L = Jarak sangga (cm)
b = Lebar contoh uji (cm) h = Tebal contoh uji (cm)
c. Kekuatan Geser pada Lentur Statis
Geseran yang terjadi pada lentur statis panel CLT dapat ditentukan berdasarkan nilai maksimum atau rata-ratanya. Kekuatan geser yang dianalisis pada penelitian ini hanya kekuatan geser maksimum. Nilai kekuatan geser maksimum dihitung dengan menggunakan rumus :
� ( �
2) = 3 2
Keterangan :
V = gaya lintang atau gaya geser yang terjadi akibat beban Pmax pada uji lentur statis panel CLT (kg)
A = luas penampang panel CLT (cm2)
Gambar 13 Pengujian lentur statis panel CLT
d. Pengujian Sambungan Paku
Contoh uji untuk pengujian kekuatan lateral paku dan kekuatan geser paku sambungan geser ganda dibuat dengan ukuran 6 cm (lebar) x 8 (panjang) dengan tebal 5 cm sesuai dengan tebal panel CLT (Gambar 10). Arah beban yang diberikan pada pengujian sambungan paku tersebut adalah tegak lurus terhadap sumbu memanjang paku. Kedua nilai kekuatan sambungan paku tersebut ditetapkan ketika paku mengalami displacement atau sesaran sebesar 1.5 mm dan 5 mm. Rumus yang digunakan untuk menghitung kekuatan lateral paku adalah sebagai berikut :
� �2 = 4 ² � 2 = ℎ Keterangan :
P = beban masing-masing pada sesaran 1.5 mm dan 5 mm (kgf) r = jari-jari paku (cm)
a. Tampak depan b. Tampak samping
Gambar 14 Contoh uji kekuatan paku geser ganda
Gambar 15 Pengujian sambungan paku 8 cm 6 cm 1cm cncm 8 cm cm 5 cm cm
3.3.7 Analisis Data
Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software microsoft excel 2007 dan SAS 9.1.3. Rancangan penelitian panel CLT ini menggunakan percobaan faktorial dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdapat 2 faktor yang diteliti, yaitu kombinasi tebal lamina (A) dengan 3 taraf, yaitu A1 (1-3-1) cm, A2 (2-1-2) cm, dan A3 (1,67-1,67-1,67) cm dan faktor orientasi sudut lamina (B) dengan 5 taraf, yaitu B1 (0o), B2 (30o), B3 (45o), B4
(60o), dan B5 (90˚) pada bagian lamina tengah. Penelitian ini dilakukan dengan 3 kali ulangan. Dengan demikian jumlah contoh uji yang dibuat adalah 3 x 5 x 3 = 45 buah satuan percobaan. Model rancangan statistiknya adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Dimana :
Yijk = Nilai pengamatan pada ulangan ke-k yang disebabkan oleh taraf