= Φ .Φ( ) + = ∑ �
= ( . ) + 4 NSV pada persamaan di atas dimaksudkan dengan subset dari training set yang terpilih sebagai support vector.
K-fold Cross Validation
Metode yang digunakan untuk membagi dataset menjadi sejumlah k buah partisi secara acak adalah k-fold cross validation. Data awal dibagi menjadi k subset secara acak yaitu D1, D2, D3, … , Dk, dengan ukuran subset yang hampir sama dengan mempertahankan perbandingan antar kelas. Langkahnya adalah dengan melakukan iterasi sejumlah k kali iterasi untuk data latih dan data uji. Masing-masing iterasi menggunakan partisi ke k sebagai data latih dan sisa partisi lainnya sebagai data uji. Keuntungan k-fold cross validation adalah semua data digunakan baik untuk data uji maupun data latih. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai akurasi ataupun ukuran penilaian lainnya dari hasil eksperimen yang dilakukan (Han et al. 2012).
Confusion Matrix
Confusion matrix merupakan sebuah tabel yang terdiri atas banyaknya baris data uji yang diprediksi benar dan tidak benar oleh model klasifikasi. Tabel confusion matrix diperlukan untuk menentukan kinerja suatu model klasifikasi
16
(Tan et al. 2005). Ada empat istilah yang digunakan dalam confusion matrix yaitu:
1. True positive (TP): jumlah data positif yang benar diklasifikasi oleh classifier. 2. True negative (TN): jumlah data negatif yang benar diklasifikasi oleh
classifier.
3. False positive (FP): jumlah data negatif yang salah diklasifikasi sebagai data positif.
4. False negative (FN): jumlah data positif yang salah diklasifikasi sebagai data negatif.
TP dan TN digunakan ketika classifier mendapatkan klasifikasi yang benar. FP dan FN digunakan ketika classifier sala h melakukan klasifikasi. Contoh tabel confusion matrix dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Confusion matrix Prediksi Kelas Kelas
Sebenarnya
Posittive Negative
Posittive A: True Positive B: False negative Negative C: False positive D: True negative
Berdasarkan tabel confusion matrik di atas akurasi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
17
3 METODE
Metode penelitian meliputi pengumpulan data citra daun jabon berpenyakit, melakukan praproses, ekstraksi fitur morfologi, pembagian data dengan k-fold validation, model klasifikasi dengan SVM, dan evaluasi sistem dengan melihat hasil klasifikasi menggunakan confusion matrix. Alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Praproses Pembagian Data Klasifikasi Model Hasil Analisis Data Citra Daun Jabon Evaluasi Data Latih Data Uji
SVM
Ektraksi Ciri
Ektraksi Ciri Morfologi
Gambar 8 Metodologi penelitian
Data Citra Daun Jabon
Data yang digunakan adalah citra daun jabon yang terkena 2 jenis penyakit daun yaitu bercak daun dan hawar daun ± 4 bulan. Pengambilan data dilakukan selama ± 6 bulan. Gambar 9 adalah lokasi pengambilan data yang terdiri dari 2 lokasi persemaian di sekitar kampus IPB Dramaga yaitu persemaian Situ Gede dan persemaian permanen IPB Dramaga. Jumlah tanaman yang diambil dari lokasi persemaian disesuaikan dengan kondisi persemaian.
Data berupa daun jabon yang bergejala diperoleh dari pengamatan gejala dan pengambilan tanaman jabon yang memperlihatkan gejala bercak daun dan hawar daun yang telah divalidasi oleh pakar. Kemunculan jenis penyakit yang tidak terlalu banyak mengakibatkan data yang diperoleh masih kurang. Maka selain
18
pengamatan langsung, data juga diperoleh dengan terlebih dahulu melakukan proses inokulasi untuk mendapatkan citra daun yang bergejala.
Gambar 9 Lokasi pengambilan data
Bahan, Alat dan Metode Inokulasi
Bahan dan alat yang digunakan adalah bibit jabon, media PDA, alkohol 70%, air steril, kapas steril, tabung reaksi, cawan Petri, gunting, jarum Ose, alat suntik, enlemeyer, pinset dan laminar air flow.
Metode yang dilakukan yaitu pengamatan gejala dan tanda, isolasi, pemurnian, inokulasi, dan reisolasi. Pengamatan gejala dan tanda dilakukan pada bibit jabon yang diperoleh di dua lokasi persemaian. Pengambilan sampel daun untuk diisolasi untuk tahap isolasi. Adapun tahap yang dilakukan adalah menyiapkan daun jabon yang telah dibasahi dengan alkohol 70%, kemudian sampel daun diletakkan pada media PDA, pengamatan dilakukan selama ± 2 minggu. Pemurnian dilakukan supaya diperoleh biakan murni dari cendawan, karena dimungkinkan dalam biakan terjadi kontaminasi. Hifa cendawan yang berkembang pada biakan dipindahkan lagi ke dalam media PDA.
Inokulasi dilakukan setelah mendapat biakan murni dari metode pemurnian. Setiap isolat cendawan diinokulasikan terhadap 10 bibit jabon untuk setiap jenis penyakit, Colletotrichum sp. patogen penyebab penyakit bercak daun dan Fusarium sp. patogen penyebab penyakit hawar daun. Setiap bibit tersebut diberi perlakuan, yaitu dilukai. Perlakuan pelukaan pada bibit jabon dilakukan dengan bantuan jarum suntik. Penyiapan sumber inokulum dan penempelan blok a gar. Potongan blok agar yang ditempel pada bagian daun selanjutnya ditutup dengan kapas lembab dan aluminium foil selama ± 7 hari atau sampai muncul gejala (Gambar 10), kemudian daun yang bergejala difoto dengan menggunakan kamera digital.
Bibit jabon yang telah diinakulasi oleh isolat cendawan hawar dan bercak daun diletakkan pada ruang yang terpisah namun tetap mendapatkan pencahayaan matahari yang cukup. Hal ini dilakukan untuk mencegah bibit jabon terserang patogen lain. Untuk menjaga kelembahan bibit agar patogen dapat tumbuh dan berkembang, bibit disiram setiap pagi dan sore begitupun dengan daun yang telah dilukai.
Proses reisolasi yang digunakan untuk melihat apakah gejala yang berasal dari daun bibit jabon yang sudah diinokulasi menunjukkan hasil yang sama dengan hasil isolasi pada tahap petama tidak dilakukan. Proses tersebut diganti dengan hanya melakukan validasi gejala penyakit yang terbentuk kepada pakar apakah gejala yang dihasilkan sama dengan gejala yang diperoleh sebelumnya.
19
Gambar 10 Tumbuhan yang telah diinokulasi
Ekstraksi Fitur Morfologi
Penggunaan fitur morfologi dikarenakan bentuk gejala nekrosis atau kematian jaringan (bercak-bercak) merupakan gejala awal dari kedua penyakit. Bentuk gejala dari penyakit bercak daun dan hawar daun dapat langsung terlihat selain warna dan pola penyebaran.
Praposes
Pada tahap praposes, terdapat 2 langkah untuk mengolah citra hasil pemotretan, yaitu memotong (cropping) citra dan melakukan segmentasi. Teknik cropping dilakukan untuk memotong dan mengambil bagian dari daun yang menunjukan gejala dari penyakit pada citra seperti pada Gambar 11. Cropping dilakukan untuk melihat bentuk gejala tanpa melihat pola penyebaran dari kedua gejala. Hal ini dilakukan karena data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan proses inokulasi sangat sedikit. Selain itu melihat bentuk gejala disertai dengan pola penyebaran gejala memerlukan komputasi yang besar saat melakukan proses segmentasi dan kesulitan dalam menentukan titik pusat dari tiap gejala yang terbentuk.
Gambar 11 Proses pemotongan citra
Adapun proses segmentasi objek citra bertujuan untuk memperoleh citra biner dari objek citra dengan menggunakan konsep morpologi terdiri atas proses thresholding, deteksi tepi, dilasi dan erosi.
20
Tresholding Dilasi dan Erosi
Gambar 12 Praproses untuk mendapatkan citra biner
Seperti pada Gambar 12 di atas, citra original diaplikasikan proses thresholding berbasis pada metode otsu. Dilanjutkan dengan proses deteksi tepi objek menggunakan teknik pendeteksi tepi canny untuk mendapatkan garis-garis tepi dari objek yang akan digunakan untuk perhitungan fitur perimeter dan covex perimeter objek. Holes yang terdapat pada beberapa area objek citra biner hasil dari proses segmentasi diisi dengan mengaplikas ikan proses opening, sehingga menjadi suatu area objek citra biner yang utuh.
Ekstraksi Bentuk
Penelitian ini menggunakan analisis berdasarkan bentuk bercak dari gejala daun yang terkena penyakit. Fitur bentuk yang diekstraksi adalah fitur yang memiliki data numerik seperti pada Gambar 13.
Perimeter Minor Axis Area
Mayor Axis
(a) (b) (c) (d)
Convex Hull Convex Convex Area Perimeter
(e) (f) (g)
Gambar 13 (a)Citra asli (b) Area (c) Perimeter (d) Minor axis dan Mayor axis (e) Convex hull (f) Convex area (g) Convex perimeter
Area merupakan luas daerah bercak (Gambar 13b), perimeter merupakan keliling bercak atau batas bercak (Gambar 13c). Mayor axis merupakan diameter terpanjang dari bercak atau disebut dengan panjang bercak diukur dari pangkal daun hingga ujung bercak sedangkan minor axis merupakan diameter terkecil dari bercak lebar bercak yang diukur dari permukaan bercak yang paling lebar yang tegak lurus dengan mayor axis (Gambar 13d). Convex hull adalah polygon terkecil yang melingkupi daerah bercak (Gambar 13e). Convex area adalah luas daerah
21 dari convex (Gambar 13f), dan convex perimeter adalah keliling dari daerah convex (Gambar 13g).
Fitur tersebut merupakan fitur dasar yang digunakan juga untuk menghitung fitur turunan seperti pada Persamaan (10) untuk roundness, Persamaan (11) untuk solidity, Persamaan (12) untuk elongation, Persamaan (13) untuk eccentricity, Persamaan (14) untuk compactness, Persamaan (15) untuk convexity, dan Persamaan (16) untuk rectangularity. Ilustrasi untuk semua fitur dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini:
(a) (b) (c) (d)
(e) (f) (g)
Gambar 14 (a) Roundness, (b) Solidity, (c) Eccentricity, (d) Compactness, (e) Convexity, (f) Elongation, (g) Rectangularity
Pembagian Data Latih dan Data Uji
Seluruh data hasil ekstraksi masing- masing ciri dibagi menjadi data latih dan data uji. Persentase data latih yang dicobakan pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan k-fold cross validation. Jumlah k yang digunakan adalah 5. Mengingat data yang digunakan untuk pelatihan sedikit, pemilihan 5-fold cross validation cukup mampu untuk membuat variasi data, sehingga semua data digunakan, baik untuk data uji maupun data latih. Seluruh data hasil ekstraksi ciri dibagi menjadi 5 subset, yaitu D1, D2,...,D5. Masing- masing subset memiliki ukuran yang sama. Pada proses pertama D2,...,D5 menjadi data pelatihan dan D1 menjadi data pengujian, pada proses kedua D1,D3,...,D5 menjadi data pelatihan dan D2 menjadi data pengujian, dan seterusnya.
Klasifikasi dengan SVM
Pada proses pelatihan digunakan SVM dengan fungsi kernel Gaussian RBF pada Persamaan (38) digunakan untuk membagun model klasifikasi. Menurut Hsu
22
et al. (2003) fungsi kernel yang direkomendasikan untuk diuji pertama kali ialah fungsi kernel RBF karena memiliki performa yang sama dengan SVM linear pada parameter tertentu. Parameter yang diperlukan untuk kernel RBF yaitu c (cost) dan γ (gamma). Nilai parameter c dan γ yang digunakan ditentukan secara statis tidak dicari dengan menggunakan metode grid search. SVM bersifat supervised learning, maka perlu dilakukan proses pelatihan untuk mendapatkan model klasifikasi terbaik. Data yang digunakan pada proses pelatihan ini adalah data citra latih yang telah ditentukan sebelumnya dengan vektor ciri yang digunakan adalah fitur morfologi dari sebuah citra daun jabon.
Model SVM
Model klasifikasi pada Persamaan (40) digunakan untuk proses pengujian adalah model pelatihan yang memiliki nilai akurasi sama dengan nilai rata-rata dari semua model yang diperoleh selama pelatihan berdasarkan metode 5 fold cross validation. Fungsi kernel yang digunakan tetap menggunakan Gaussian RBF, dengan nilai parameter kernel sama dengan nilai yang digunakan pada tahap pelatihan sebelumnya.
Hasil Klasifikasi
Hasil klasifikasi adalah citra yang telah diprediksi atau diklasifikasikan secara benar dan tidak benar oleh model klasifikasi SVM. Melakukan perhitungan tingkat akurasi SVM menggunakan confusion matrix seperti pada Persamaan (41).
Analisis
Pada tahap ini, fitur morfologi dianalisis untuk mengetahui kemampuannya dalam mengekstraksi ciri bentuk gejala yang terdapat pada daun jabon. Fitur morfologi juga dianalisis untuk mengetahui seberapa baik penggunaan fitur tersebut sebagai penciri objek pada metode klasifikasi SVM. K lasifikasi SVM juga dianalisis untuk mengetahui kinerja SVM tersebut dalam mengidentifikasikan penyakit bercak daun dan hawar daun pada bibit jabon
23
Evaluasi
Kinerja model akan ditentukan dan dibandingkan melalui besaran akurasi yang berhasil dicapai menggunakan confusion matrix seperti pada Persamaan (41). N ilai akurasi ataupun hasil eksperimen diperoleh dari nilai rataan 5 eksperimen. Model klasifikasi inilah yang akan digunakan untuk menentukan hasil klasifikasi akhir.
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Citra Daun Jabon
Data yang digunakan adalah citra daun jabon yang terkena 2 jenis penyakit daun yaitu bercak daun dan hawar daun umur ± 4 bulan. Pengambilan data dilakukan di persemaian di sekitar kampus IPB Dramaga dan juga melakukan proses inokulasi untuk mendapatkan daun yang bergejala.
Hasil Inokulasi
Hasil dari proses inokulasi menunjukkan bahwa gejala yang ditimbulkan sama dengan gejala pada inang (jabon) yang diamati di persemaian sekitar kampus IPB Dramaga. Hasil tersebut telah divalidasi oleh pakar. Gejala penyakit daun jabon pada setiap tanaman yang terserang yaitu terbentuknya daerah yang mati pada daun (nekrosis). Daun yang bergejala difoto dengan menggunakan kamera digital. Citra foto yang digunakan sebagai data untuk setiap jenis penyakit seperti pada Gambar 15.
(a) (b)
Gambar 15 Citra daun yang terkena penyakit (a) Bercak daun (b) Hawar daun
Ekstraksi Fitur Morfologi
Pengambilan data yang dilakukan menghasilkan sebanyak 200 citra bibit daun jabon bergejala yang diuji untuk mengetahui fitur- fitur mana yang mampu merepresentasikan citra. Setelah dilakukan tahap praposes dengan memotong bagian daun yang bergejala, kemudian melakukan segmentasi dan perbaikan citra biner dengan metode dilasi dan erosi. Tahap berikutnya adalah me lakukan perhitungan numerik dari setiap fitur morfologi. Hasil perhitungan numerik fitur morfologi dapat dilihat pada Gambar 16 untuk bercak daun dan Gambar 17 untuk hawar daun. Ada 11 Fitur morfologi yang diperoleh terdiri dari 4 fitur dasar dan 7 fitur turunan.
25
Gambar 16 Perhitungan fitur morfologi penyakit bercak daun
Gambar 17 Perhitungan fitur morfologi penyakit hawar daun
Fitur seperti area, perimeter, mayor axis, minor axis, convex area dan convex perimeter tidak dapat digunakan secara mandiri sebagai fitur identifikasi objek. Fitur seperti itu dipengaruhi oleh ukuran objek. Dilihat dari gejala, hawar daun memiliki bentuk atau gejala yang berukuran lebih luas bila dibandingkan dengan bercak daun. Agar tidak bergantung penskalaan, beberapa fitur dapat diturunkan dari fitur- fitur dasar yang digunakan sebagai penciri. Fitur-fitur tersebut adalah rectangularity, compactness, elongation, ecentricity, convexity, roundness dan solidity. Contoh hasil ekstraksi fitur morfologi dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 hanya 7 fitur turunan yang digunakan sebagai penciri bentuk dari gejala kedua penyakit jabon.
Ciri Morfologi Area: 612 Perimeter: 143 Mayor Axis: 36 Minor Axis: 24 Rectangularity: 0.307 Compactness: 0.163 Elongation: 0.064 Eccentricity: 0.936 Roundness: 0.171 Solidity: 0.469 Convexity: 1.050 Ciri Morfologi Area: 574 Perimeter: 120 Mayor Axis: 30 Minor Axis: 29 Rectangularity: 0.786 Compactness: 0.829 Elongation: 0.099 Eccentricity: 0.434 Roundness: 0.570 Solidity: 0.964 Convexity: 1.206
26
Tabel 2 Contoh hasil ekstraksi fitur morfologi
Penyakit Daun Jabon
Gambar Gejala
Ekstraksi Fitur Morfologi
R oundne ss R ec tangul ar it y Com pac tne ss Conv ex ity Sol idi ty E longat ion E cc ent ri ci ty B er ca k D aun 0.506 0.738 0.733 1.203 0.918 0.157 0.537 0.456 0.781 0.747 1.280 0.951 0.142 0.514 0.523 0.744 0.734 1.185 0.933 0.010 0.142 0.516 0.765 0.824 1.263 0.952 0.016 0.180 0.539 0.748 0.787 1.208 0.952 0.058 0.337 H aw ar D aun 0.172 0.369 0.169 0.497 1.049 0.626 0.927 0.204 0.480 0.198 0.636 0.910 0.778 0.975 0.208 0.523 0.149 0.731 1.069 0.688 0.950 0.197 0.348 0.188 0.444 0.910 0.628 0.928 0.127 0.265 0.174 0.341 0.893 0.546 0.891
Berdasarkan contoh beberapa citra dari gejala setiap penyakit pada Tabel 2 terlihat bahwa gejala bercak daun memiliki bentuk yang melingkar, lebih solid dan kompak jika dibandingkan dengan gejala hawar daun yang ramping memanjang tidak beraturan. Gejala- gejala ini juga dapat direpresentasikan dari nilai- nilai fitur morfologi, kekompakan bentuk objek dari nilai compactness, kepadatan bentuk objek dari nilai solidity, kecembungan bentuk objek dari nilai convexity, tingkat kebundaran dan tingkat persegi objek dari nilai roundness dan rectangularity, serta perpanjangan dan kerampingan bentuk objek dari nilai eccentricity dan elongation.
27 Tabel 2 kemudian dibentuk boxplot untuk melihat pola data dari setiap fitur morfologi kedua jenis penyakit. Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa bercak daun memiliki nilai roundness dan rectangularity lebih besar dari pada hawar daun. Gambar 18 juga menjelaskan rentang penyebaran kedua jenis penyakit yang kecil untuk fitur roundness sedangkan untuk fitur rectangularity hawar daun memiliki rentang penyebaran yang lebih besar dari pada bercak daun. Kemiringan pola sebaran data fitur roundness untuk bercak daun dan hawar daun adalah kemiringan positif atau memanjang kearah nilai-nilai yang besar. Adapun untuk fitur rectangularity kedua jenis penyakit memiliki kemiringan negatif.
Gambar 18 Boxplot fitur (a) roundness dan (b) rectangularity
Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa nilai compactness dan convexity bercak daun lebih besar dari nilai hawar daun. Bercak daun memiliki rentang penyebaran yang lebih besar dari hawar daun untuk fitur compactness, adapun untuk fitur convexity hawar daun memiliki rentang penyebaan yang lebih besar. Kemiringan pola sebaran data fitur compactness dan convexity untuk bercak daun dan hawar daun adalah kemiringan penyakit memiliki kemiringan negatif.
28
Berdasarkan Gambar 20(a) dapat diketahui bahwa nilai solidity bercak daun berada di dalam nilai hawar daun, terlihat bahwa nilai hawar daun memiliki rentang nilai yang sangat besar. Jika dilihat dari kemiringan pola sebaran bercak daun memiliki kemiringan positif sedangkan hawar daun memiliki kemiringan negatif. Pada Gambar 20(b) untuk fitur elongation bercak daun memiliki nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan hawar daun. Rentang penyebaran dari bercak daun dan hawar daun terlihat sama. Begitu juga dengan kemiringan pola sebaran, kedua jenis penyakit memiliki kemiringan negatif. Jika dilihat fitur eccentricity pada Gambar 20(c) nilai bercak daun lebih kecil jika dibandingkan dengan hawar daun. Bercak daun memiliki rentang nilai yang besar dan kemiringan pola sebaran yang terpusat. Adapun hawar daun memiliki rentang nilai yang kecil dan kemiringan pola sebaran negatif.
(a) (b)
(c)
Gambar 20 Boxplot fitur (a) solidity, (b) elongation dan (c) eccentricity Analisis Ekstraksi Fitur Morfologi
Memanfaatkan bentuk sebagai komponen dalam analisis citra bertujuan untuk menyelidiki fitur bentuk yang dapat digunakan dalam mengukur karakteristik bentuk objek. Ada tujuh fitur morfologi yang dipilih dan dianalisis untuk mengukur atribut geometris dasar. Fitur- fitur morfologi tersebut, yaitu
29 convexity, solidity, elongation, roundness, rectangularity, e ccentricity, dan compactness. Masing- masing digunakan untuk mengukur konveksitas, soliditas, perpanjangan, kebulatan, persegi panjang, elips dan mengukur kekompakan bentuk. Fitur morfologi tersebut mampu menggambarkan karakteristik bentuk dari aspek yang sama. Hasil penelitian seperti pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semua sifat bentuk gejala dapat secara kuantitatif dijelaskan oleh fitur bentuk.
Jika dilihat dari nilai varian setiap fitur morfologi pada Gambar 21, nilai varian dari fitur morfologi untuk setiap jenis penyakit berbeda nyata, sehingga dapat diketahui bahwa setiap fitur tersebut mampu menjadi penciri untuk membedakan antara penyakit bercak daun dengan penyakit hawar daun.
Gambar 21 Grafik varian dari setiap fitur morfologi
Selain dengan melihat nilai varian, analisis juga dilakukan dengan melihat pola penyebaran data tiap jenis penyakit untuk setiap fitur morfologi. Adapun penjelasan analisis dari setiap fitur adalah:
Convexity dan Solidity
Convexity dan solidity mampu menggambarkan convex dari sebuah poligon. Convexity mengukur menggunakan rasio perimeter untuk menghitung jumlah relatif bahwa objek berbeda dari convex hull, sementara solidity menggunakan rasio area untuk menghitung kepadatan objek.
0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 N il a i V a ri a n Fitur Morfologi Bercak Daun Hawar Daun
30
Gambar 22 Pola penyebaran data berdasarkan fitur convexity
Gambar 23 Pola penyebaran data berdasarkan fitur solidity
Bentuk gejala bercak daun yang beraturan dan kadang berbentuk seperti lingkaran membuat bentuk gejala dari bercak daun lebih convex dan solid dari pada bentuk gejala dari hawar daun yang tidak beraturan. Hal ini terbukti jika dilihat dari pola penyebaran data pada Gambar 22 untuk fitur convexity dan Gambar 23 untuk fitur solidity, gejala bercak daun memiliki nilai convexity dan solidity tertinggi jika dibandingkan dengan nilai convexity dan solidity hawar daun. Gambar 22 juga memperlihatkan banyak data fitur dari hawar daun memiliki nilai yang sama dengan data fitur dari bercak daun, dengan kata lain untuk rentang convexity untuk kedua gejala sama. Ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari fitur convexity kedua jenis penyakit sama.
Gambar 24 menunjukkan kesamaan bentuk gejala dan nilai convexity antara penyakit bercak daun dan hawar daun. Jika dilihat berdasarkan Gambar 24 bentuk gejala hawar daun tetap lebih ramping dan tidak beraturan jika dibandingkan dengan gejala dari bercak daun. Keseragaman data antara bercak daun dan hawar daun juga dapat dibuktikan berdasarkan nilai varian fitur convexity pada Gambar
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 N il a i Fi tur Data Bercak Hawar 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 N il a i F it u r Data Bercak Hawar
31 21 yang menunjukkan kecilnya perbedaan antara nilai varian dari penyakit hawar daun dan bercak daun.
Gambar 24 Kesamaan fitur convexity bercak daun dan hawar daun
Sebuah poligon yang terlihat seperti convex memiliki detail yang rumit, sehingga perimeter bisa menjadi lebih besar dibandingkan dengan perimeter convex hull nya. Hal ini terjadi pada gejala hawar daun, yang memiliki nilai perimeter lebih besar dari perimeterconvex hull nya (Gambar 25).
Gambar 25 Pengaruh convex hull untuk fitur convexity dan solidity
Pola penyebaran pada Gambar 23 untuk gejala hawar daun menunjukkan pola penyebaran yang berbeda antara data ke-7 hingga data ke-36 dengan data lainnya. Perbedaan pola pada gambar disebabkan karena bentuk gejala yang tidak beraturan, sehingga convex hull yang terbentuk sangat berbeda jauh dari bentuk gejala. Hal ini menyebabkan luas convex dari gejala lebih besar dari pada luas gejala (Gambar 25). Semakin berbeda bentuk gejala dengan convex hull nya maka bentuk gejala tersebut tidak solid atau memiliki kepadatan bentuk yang kecil. Elongation dan Eccentricity
Fitur elongation mampu menjelaskan bentuk gejala dari hawar daun yang memanjang. Elongation menggambarkan kerampingan dari sebuah objek. Jika sebuah objek memiliki nilai kerampingan yang tinggi maka bisa dikatakan bahwa
Bercak Daun Hawar Daun
1.040 1.112 Bercak Daun Hawar Daun
32
objek tersebut memiliki bentuk yang memanjang. Ini terlihat pada Gambar 26, nilai elongation hawar daun lebih besar dari nilai elongation pada bercak daun.
Gambar 26 Pola penyebaran data berdasarkan fitur elongation
Jika dilihat dari fitur eccentricity untuk hawar dan bercak daun pada Gambar 27, juga diketahui bahwa gejala penyakit hawar daun memiliki bentuk memanjang. Hal ini diketahui karena nilai perpanjangan hawar daun lebih besar