• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR

DAFTAR GAMBAR

Teks Hal.

1. Hubungan Faktor Kuantitas (Q) dan Intensitas (I) ……… 6 2. Interaksi antara Substansi Humik Bahan Organik dengan Mineral

Tanah ……… 8 3. Kombinasi Amida dengan Proton menjadi Kation yang Terikat pada

Montmorilonit 9

4. Tapak Jerapan K pada Mineral Liat Tipe 2:1 seperti Illit, Vermikulit

Dan Khlorit (Mengel dan Haeder, 1973 dalam Tisdale et al., 1985) 10 5. Alat Perkolasi yang Digunakan dalam Analisis Hubungan Kuantitas

dan Intensitas Kalium ………. 15 6. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Kuantitas (Q) dan

Intensitas (I) Kalium ………. 22 7. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Kalium terhadap Kadar

N, P, K, Ca dan Mg Tanaman pada Masa Vegetatif ( 40 HST) ……. 29 8. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Kalium terhadap

Serapan N, P, K, Ca dan Mg Tanaman pada Masa Vegetatif

( 40 HST) ………. 31

Lampiran

1. Difraktogram Mineral Liat Tanah Vertisol pada Perlakuan

Penjenuhan Mg ……….. 43 2. Difraktogram Mineral Liat Tanah Vertisol pada Perlakuan

Penjenuhan Mg dan Diikuti Glyserol ……….. 43 3. Difraktogram Mineral Liat Tanah Vertisol pada Perlakuan

Penjenuhan Kalium ……… 44 4. Difraktogram Mineral Liat Tanah Vertisol pada Perlakuan

Penjenuhan Kalium dan Dipanaskan sampai 550oC ………. 44 5. Foto Tanaman Jagung dengan Berbagai Pemberian Bahan

DAFTAR TABEL

Teks Hal.

1. Jenis Mineral Liat Tanah Vertisol Cianjur dengan Identifikasi XRD .. 19 2. Hasil Analisis Tanah Vertisol Cihea ……….. 20 3. Parameter Hubungan Kuantitas – Intensitas (Q/I) K ……….. 21 4. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Tinggi Tajuk

Tanaman, Bobot Basah Tajuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah Tanaman pada Masa Vegetatif (40 HST) ……… 24 5. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Bobot Kering Tajuk,

Bobot Kering Akar dan Bobot Kering Tanaman pada Masa

Vegetatif (40 HST) ……… 24 6. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Kadar N, P, K, Ca

dan Mg Tanaman pada Masa Vegetatif (40 HST) ……….. 25 7. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Serapan N, P, K,

Ca dan Mg Tanaman pada Masa Vegetatif (40 HST) ……… 25 8. Pengaruh Pemberian K terhadap Tinggi Tajuk Tanaman, Bobot

Basah Tajuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah Tanaman pada

Masa Vegetatif (40 HST) ………. 26 9. Pengaruh Pemberian K terhadap Bobot Kering Tajuk, Bobot

Kering Akar dan Bobot Kering Tanaman pada Masa Vegetatif

(40 HST) ……… 27 10. Pengaruh Pemberian K terhadap Kadar N, P, K, Ca dan Mg

Tanaman pada Masa Vegetatif (40 HST) ………. 27 11. Pengaruh Pemberian K terhadap Serapan N, P, K, Ca dan Mg

Tanaman pada Masa Vegetatif (40 HST) ………. 28 12. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Kalium terhadap Kadar

N, P, K, Ca dan Mg Tanaman ……… 29 13. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Kalium terhadap

Serapan N, P, K, Ca dan Mg Tanaman ……… 30

Lampiran

1. Hasil Analisis Bahan Organik (Pupuk Kandang) ……… 36 2. Komposisi K, Na, Ca dan Mg Dapat Ditukar (Faktor Kuantitas)

Tanah dengan Pemberian K dan Beberapa Rasio Ekstraksi ……… 37 3. Komposisi K, Na, Ca dan Mg dalam Larutan (Faktor Intensitas)

Tanah dengan Pemberian K dan Beberapa Rasio Ekstraksi ……… 38 4. Tabel F-Hitung Seluruh Data yang Diamati dari Analisis Sidik

Ragam Akibat Perlakuan Bahan Organik dan Kalium pada Tanah

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Vertisol merupakan tanah yang didominasi oleh liat tipe 2:1 (smektit) yang bersifat netral dengan KTK tinggi (80 – 150 me/100 g). Kadar Ca pada tanah ini cukup tinggi sehingga komplek jerapan dan larutan tanahnya dijenuhi oleh Ca, sedangkan K dapat ditukar rendah. Sifat utama tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit adalah mengembang saat basah dan mengkerut saat kering. Pada kondisi mengembang ion K lebih mudah dipertukarkan dibandingkan pada kondisi mengkerut.

Fiksasi K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat illit dan vermikulit menyebabkan K tersedia dalam bentuk K dapat dipertukarkan menjadi rendah. Pada fiksasi K terjadi keseimbangan antara K yang terikat pada ruang antar lapisan mineral dengan K yang tersedia untuk tanaman pada tapak pertukaran (posisi) planar dan edge serta dengan K-larutan (Evangelou et al., 1986).

Ketersediaan K dalam tanah sangat dipengaruhi oleh daya sangga K, daya erap, kapasitas erap, K-labil yang ditentukan oleh komposisi kation K, Ca, dan Mg di dalam larutan dan kompleks jerapan tanah. Daya sangga K menunjukkan daya mempertahankan intensitas K dalam larutan tanah terhadap pengurangan dan penambahan K dan sebanding dengan kapasitas tukar kation (Beckett, 1971). Besarnya daya sangga K dipengaruhi oleh tipe mineral dan kadar bahan organik tanah. Daya erap merupakan kemampuan tanah dalam mengerap K. Daya erap ini digambarkan oleh nilai koefisien selektivitas atau koefisien Gapon. Kapasitas erap adalah hasil bagi daya sangga dengan daya erap atau disebut juga erapan maksimum. Sedangkan K-labil merupakan jumlah

K dalam larutan dan K yang terjerap pada permukaan koloidal (Mutscher, 1995). Kalium labil ini mempengaruhi ratio aktivitas K dalam keseimbangan.

Bahan organik diduga dapat mempengaruhi ketersediaan K dan fiksasi K tetapi mekanisme pengaruh tersebut belum diketahui dengan jelas. Menurut Olk dan Cassman (1995) terdapat kaitan antara penurunan fiksasi K dengan peningkatan kadar bahan organik pada tanah yang mengandung mineral liat vermikulit. Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan K dan fiksasi K diantaranya penggantian K dapat dipertukarkan dan K pada ruang antar lapisan oleh molekul N organik (Olk dan Cassman, 1995).

Penggunaan pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau dan sebagainya) dalam jumlah besar (sampai 60 Mg/ha) dapat mempengaruhi perilaku pertukaran K+ dalam tanah, meningkatkan kation dapat ditukar, KTK, pH dan menurunkan Al dapat ditukar (Patiram, 1994; Olk dan Cassman, 1995), meningkatkan jumlah K labil, rasio aktivitas K dalam keseimbangan dan daya sangga K tanah (Patiram, 1994) serta nilai koefisien Gapon atau koefisian selektivitas yang menggambarkan daya erap K tanah (Poonia, 1997).

Menurut Evangelou et al., (1986), bahan organik memberikan nilai daya sangga untuk kation K+. Peningkatan daya sangga K diikuti dengan menurunnya afinitas K pada fase pertukaran. Hal ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Evangelou et al., (1986) bahwa afinitas K+ oleh bahan organik lebih rendah daripada afinitas K+ oleh lapisan silikat.

Amrutsagar dan Sonar (1999) melaporkan rasio aktivitas K, K-labil, K- terjerap baik jerapan non-spesifik maupun jerapan spesifik pada Inceptisol meningkat seiring dengan peningkatan dosis pemupukan K. Hal ini menunjukkan kekuatan ion K+ lebih tinggi dibandingkan Ca2+ dan Mg2+ pada larutan tanah

sehingga K segera tersedia. Hasil penelitian Permanik (2001) pada tanah Vertisol Ngawi diketahui mempunyai kapasitas erap hara K sebesar 25,878 me.100g-1, daya sangga sebesar 212,8 me.100 g-1 dan K-labil sebesar 0,2209 me.100 g-1 yang lebih tinggi dari tanah Entisol Sleman dan Inceptisol Indramayu.

Daya sangga K, daya erap K, kapasitas erap K dan K labil dalam tanah dapat ditentukan dengan menggunakan metode hubungan kuantitas dan intensitas (Q/I). Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan perubahan K dapat ditukar sebagai faktor kuantitas dengan rasio aktivitas K, yaitu aktivitas K dibagi akar pangkat dua dari jumlah aktivitas Ca dan Mg sebagai faktor intensitas (Beckett, 1964; Sulaeman et al.,1992).

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh pemberian bahan organik terhadap kuantitas dan intensitas K dalam tanah

2. Mempelajari pengaruh pemberian bahan organik dan pemupukan K terhadap pertumbuhan dan serapan hara tanaman jagung.

Hipotesis

1. Terdapat pengaruh pemberian bahan organik terhadap kuantitas dan intensitas K dalam tanah.

2. Terdapat interaksi pemberian bahan organik dan pemupukan K terhadap pertumbuhan dan serapan hara tanaman jagung.

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Kuantitas dan Intensitas Kalium dalam Tanah

Faktor kuantitas kalium menggambarkan jumlah K yang dijerap koloid dalam tanah, sedangkan faktor intensitas K menunjukkan jumlah K dalam larutan tanah. Beckett (1964) menyatakan bahwa ketersediaan K untuk tanaman setidaknya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yaitu faktor intensitas (I), faktor kuantitas (Q) dan faktor kapasitas (C). Hubungan antara perubahan K-dapat dipertukarkan sebagai faktor kuantitas dengan rasio aktivitas K / aktivitas √ Ca + Mg sebagai faktor intensitas dapat menduga status K tanah. Jiminez dan Parra (1991) menyatakan bahwa hubungan Q-I kalium dapat menduga perilaku dan dinamika hara K dalam suatu jenis tanah.

Hubungan Q-I ini memiliki beberapa parameter yaitu K mudah tersedia (K-labil atau ∆Ko), K yang dijerap spesifik (Kx), daya sangga K tanah (PBCK) dan rasio aktivitas K dalam keseimbangan (ARKe). Le Roux dan Sumner (1968)

menunjukkan bahwa ∆Ko dapat menduga ketersediaan K lebih baik dibandingkan dengan K-dd normal (NH4OAc, pH7). Mereka mendapatkan

bahwa nilai ∆Ko yang tinggi menunjukkan pelepasan K yang besar ke larutan tanah sehingga menghasilkan lebih banyak pool K-labil.

Daya sangga K (PBCK) adalah kemampuan tanah untuk menyangga konsentrasi K mendekati konstan dalam larutan tanah (intensitas) bila K ditambahkan atau hilang dari larutan tanah. Daya sangga K bervariasi dan spesifik untuk jenis tanah tertentu. Parameter ini antara lain ditentukan oleh persen liat, jenis liat, kandungan bahan organik dan lain-lain yang nilainya proporsional dengan KTK tanah (Uribe dan Cox, 1998; Sulaeman, Eviati dan Sri Adiningsih, 2000). Shaviv et al. (1985) menggunakan koefisien selektivitas (KG)

yang diperoleh dari persamaan Gapon untuk merumuskan hubungan komposisi kation dapat dipertukarkan dengan aktivitasnya dalam larutan tanah.

Daya erap K tanah (disebut juga konstanta Gapon, KG) adalah kemiringan

dari hubungan antara rasio K/Ca+Mg yang dapat ditukar dengan yang ada dalam larutan (rasio aktivitas K). KG merupakan faktor afinitas yang dapat digunakan

sebagai ukuran daya erap (sorption power) tanah terhadap K. Sedangkan kapasitas erap (sorption capacity) adalah faktor kuantitas yang menunjukkan jumlah maksimum K yang dapat disimpan oleh tanah tertentu.

Evangelou dan Karathanasis (1986) menyatakan bahwa daya sangga K (PBCK) berkorelasi sangan baik dengan KG dan KTK. Hubungan daya sangga K

dengan KG dapat dijabarkan dengan persamaan : PBCK = KG (Cadd + Mgdd).

Kalau Kdd<<Cadd+Mgdd maka persamaan tersebut dapat ditulis :PBCK = KG x

KTK.

Nilai ARKe adalah nisbah aktivitas K relatif terhadap unsur lain dalam

keseimbangan. ARKe merupakan ukuran ketersediaan atau K-siap tersedia

dalam tanah. Beckett (1964) dan Le Roux dan Sumner (1968) menyatakan bahwa pemupukan K akan meningkatkan nilai ARKe, tapi menurun dengan

penambahan kapur.

Bentuk umum kurva Q/I diperlihatkan pada Gambar 1 dengan parameter- parameter (Sparks dan Liebhardt, 1981):

Faktor intensitas K (ARK) dihitung dari kepekatan ion-ion Ca, Mg, K dan Na yang telah dikoreksi menjadi aktivitas dengan menggunakan teori Debye- Hucle yang diperluas sebagai berikut (Beckett, 1965; Sparks dan Liebhardt, 1981) :

Log fi = -a Zi2 I0.5/ (1 + αβ I0.5) Dimana : fi = aktivitas ion i

Zi = valensi ion i

I = kekuatan ion dari larutan αβ = dianggap 1

∆ K = penambahan atau kehilangan K tanah dalam mencapai keseimbangan atau faktor kuantitas (Q)

ARK = rasio aktivitas K atau faktor intensitas (I)

Ko = K labil ( K pada jerapan non-spesifik / pada permukaan luar mineral)

ARKe = rasio aktivitas K tanah dalam keseimbangan

Kx = K terjerap secara spesifik ( pada permukaan dalam mineral)

PBCK = kapasitas sangga potensial K

Untuk mengetahui hubungan kuantitas dan intensitas (Q/I) K digunakan 2 cara, yaitu : (1) menghubungkan antara penurunan dan peningkatan kadar K (∆

K) dalam tanah dengan rasio kadar (aktivitas) K/(Ca + Mg)0.5 dalam larutan Gambar 1. Hubungan Faktor Kuantitas (Q) dan Intensitas (I)

∆Ko Kx

AR

Ke ______aK_____ a (Ca + Mg) 0.5 = AR K (mol/l)0.5

_(∆ K)_

AR

K = PBC K

Q

∆ K+

∆ K−

I

(intensitas K) dan (2) menghubungkan nisbah Kdd/(Cadd + Mgdd) dengan

intensitas K. Kedua macam hubungan ini membentuk persamaan regresi linier y = ax + b. Pada hubungan pertama y adalah ∆ K, x = intensitas K, a = daya

sangga K tanah, -b = K-labil (K dapat ditukar) dan –b/a = ARKe ( Activity Ratio K

equilibrium/ rasio aktivitas K tanah dalam keseimbangan = intensitas K dalam keseimbangan yaitu ketika y = 0), sedangkan pada hubungan kedua y = Kdd/(Cadd + Mgdd), x = intensitas K dan a = konstanta Gapon (KG) yang

merupakan koefisien selektivitas atau daya erap K tanah (Beckett, 1965; Sparks and Liebhardt, 1981). Kapasitas erap K (sorption capacity) tanah dihitung dari daya sangga dibagi daya erapnya.

Fiksasi Kalium dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Tanah di daerah tropik basah yang miskin mineral mudah lapuk serta fraksi liatnya didominasi oleh muatan variabel menyebabkan K mudah tercuci sehingga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan tanaman. Namun pada tanah dengan mineral 2:1 cukup tinggi, akan terjadi fiksasi yang cukup besar dalam ruang antar lapisan, sehingga K dalam larutan tanah menjadi rendah (Bohn et al., 1979). Hara dalam tanah berada dalam keseimbangan yang dinamis antara bentuk yang ada dalam larutan tanah (intensitas) dengan bentuk- bentuk tererap (dapat ditukar dan terfiksasi atau kuantitas). Sehingga kalau K dalam larutan hilang melalui pencucian atau diserap tanaman, maka K dalam kompleks jerapan dan struktur mineral akan dilepaskan.

Kalium dalam tanah terdapat dalam jumlah yang cukup bervariasi, yaitu antara 0.3 – 2.5 % (Mutscher, 1995; Havlin et al., 1999). Pada tanah yang banyak mengandung liat mempunyai kadar kalium dapat dipertukarkan yang tinggi yaitu sekitar 4% dari total K yang terdapat dalam tanah (Mengel dan

Kirkby, 1982). Tanah organik mempunyai kandungan K yang paling rendah biasanya kurang dari 0.03% K (Tisdale et al., 1985).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fiksasi kalium antara lain : 1. Jenis mineral liat.

Mineral liat tipe 2:1 yang berkemampuan tinggi memfiksasi kalium ini adalah montmorilonit, vermikulit dan illit. Di samping memfiksasi K, mineral liat ini juga dapat memfiksasi NH4+ karena mempunyai radius atom yang berukuran sama

dengan lubang oktahedral dari liat yaitu sebesar 1.4 Å. Kemampuan mineral liat tipe 2:1 ini untuk memfiksasi NH4+ sama dengan K+ (Tan, 1998). Kation K

umumnya terfiksasi pada mineral liat tipe 2:1 antara lembar silikat pada interlayer dan terfiksasi sangat kuat pada kondisi kekurangan air (Tisdale et al, 1985; Liu et al., 1997).

2. Reaksi tanah.

Fiksasi kalium dapat menurun dengan adanya kation Al3+ dan Al-hidroksida pada kondisi masam. Dengan terbentuknya Al-Fe hidroksil dibawah kondisi masam ini akan menghalangi masuknya kalium ke dalam interlayer (ruang antar lapisan). 3. Penambahan Kalium

Peningkatan konsentrasi K+ dalam tanah pada kapasitas fiksasi tinggi akan menyebabkan fiksasi yang lebih tinggi lagi.

4. Pembasahan dan pengeringan

Pengeringan pada tanah dengan K dapat dipertukarkan cukup tinggi akan menyebabkan fiksasi dan dapat menurunkan K dapat dipertukarkan. Sedangkan dengan pengeringan sampai kapasitas lapang pada tanah dengan K dapat dipertukarkan rendah sampai sedang, khususnya pada subsoil, akan meningkatkan K dapat dipertukarkan.

Bahan organik diduga dapat mempengaruhi ketersediaan K dan fiksasi K tetapi mekanisme pengaruh tersebut belum diketahui dengan jelas. Menurut Olk

dan Cassman (1995) terdapat kaitan antara penurunan fiksasi K dengan peningkatan kadar bahan organik pada tanah yang mengandung mineral liat vermikulit. Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan K dan fiksasi K diantaranya penggantian K dapat dipertukarkan dan K pada ruang antar lapisan oleh molekul N organik (Walker dan Garret (1961) dalam Olk dan Cassman, 1995).

Interaksi antara substansi humik bahan organik dengan mineral tanah seperti dikemukakan oleh Orlov (1995) kemungkinan melalui ikatan gugus karboksil dari bahan organik dengan grup OH mineral atau melalui jembatan mineral (Gambar 2)

Gambar 2. Interaksi antara Substansi Humik Bahan Organik dengan Mineral Tanah.

Tahoun dan Mortland (1966) dalam Orlov (1995) menyebutkan bahwa dengan infra merah menunjukkan kombinasi amida dengan proton pada medium masam mengalami modifikasi ke dalam bentuk kation dan terikat pada permukaan montmorilonit oleh kekuatan elektrovalensi (Gambar 3).

Gambar 3. Kombinasi Amida dengan Proton menjadi Kation yang Terikat pada Montmorilonit

Kalium yang tidak dapat dipertukarkan (terfiksasi) pada mineral sekunder merupakan kalium yang lambat tersedia. Jenis Kalium dalam bentuk terfiksasi ini akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi K dalam larutan, pengeringan atau pembasahan yang tinggi, lamanya konsentrasi K yang tinggi dalam larutan dan fiksasi akan menurun dengan meningkatnya konsentrasi NH4+ (Mutscher,

1995).

Kalium yang dapat dipertukarkan terdapat pada permukaan liat, dan akan tersedia ke dalam larutan melalui proses pertukaran kation. Kalium dalam bentuk ini berkorelasi dengan penyerapan dan produksi tanaman, tetapi tidak semua K yang terdapat dalam larutan dapat diambil oleh tanaman tergantung kepada daya jerap permukaan tanah (Blake et al., 1999).

Kadar K dalam larutan tanah merupakan hasil bersih dari ke-3 bentuk keseimbangan tersebut. Keberadaan K dapat dipertukarkan, kecepatan fiksasi dan difusi K serta transfer K akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam mempertahankan konsentrasi K dalam larutan dan kapasitas sangga tanah. Apabila kapasitas sangga tanah rendah, maka proses pencucian dan penyerapan K oleh tanaman akan mempercepat habisnya K dalam larutan tanah. Kalium dalam larutan tanah berkeseimbangan dengan K dapat dipertukarkan.

Menurut Tisdale et al. (1985), kalium yang terjerap pada permukaan liat tidak dilepaskan dengan kecepatan yang sama karena terdapat tiga tapak pertukaran yang berbeda-beda yaitu : K yang terikat pada permukaan luar tapak jerapan (posisi-p, planar) lebih cepat dilepaskan ke dalam larutan tanah daripada yang terikat pada tepi (posisi-e, edge) dan pada bagian dalam (posisi-i, inner) seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tapak Jerapan K pada Mineral Liat Tipe 2:1 seperti Illit, Vermikulit dan Khlorit (Mengel dan Haeder, 1973 dalam Tisdale, et al., 1985)

Konsentrasi K dalam larutan tanah yang merupakan bentuk yang banyak diserap oleh tanaman, tidak hanya berhubungan dengan tingkat K dapat dipertukarkan tetapi juga dengan jumlah dan tipe mineral liat yang ada. Tanah berliat menunjukkan kenaikan yang agak kecil dalam konsentrasi K larutan dengan kenaikan jumlah K yang dapat dipertukarkan, sedangkan tanah berpasir menunjukkan kenaikan yang cukup besar dengan adanya kenaikan jumlah K yang dapat dipertukarkan (Tisdale et al., 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan K bagi tanaman adalah jenis mineral liat, kapasitas tukar kation, jumlah K dapat dipertukarkan, kapasitas fiksasi K, K dalam sub soil dan kedalaman akar, kelembaban tanah, aerasi, temperatur tanah, pH tanah, Ca dan Mg, jumlah relatif unsur lain baik dari tanah

Keterangan :

p : planar e : edge i : inner

maupun pemupukan, serta pengolahan tanah. Sedangkan faktor tanaman yang berpengaruh terhadap ketersediaan K adalah KTK akar, sistem perakaran dan tanaman, varietas, populasi dan jarak tanam, faktor waktu dan luxury consumption ( Tisdale et al., 1985).

Karakteristik Umum Tanah Vertisol

Vertisol diklasifikasikan dengan nama padanan Grumusol, yaitu tanah yang setelah 20 cm dari lapisan atas di campur, kadar liat 30% atau lebih sampai sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan mempunyai peluang untuk terjadinya rekahan tanah (crack) sekurang-kurangnya lebar 1 cm pada kedalaman 50 cm jika tidak mendapat pengairan ( Puslittanak, 2000).

Vertisol mempunyai warna kelabu tua sampai hitam dengan kandungan bahan organik relatif rendah. Lapisan bawah dari tanah ini berwarna abu-abu, kekuningan atau kebiruan, tergantung drainase dan bahan induknya (Soepraptohardjo, 1961 dalam Hardjowigeno, 1993). Vertisol memiliki sifat yang tidak stabil. Biasanya termasuk tanah yang bertekstur liat atau kadang-kadang liat berdebu (Rachim dan Suryaningtyas, 1992).

Liat yang menjadi ciri yaitu smektit yang mempunyai sifat mengembang dan mengkerut (Mohr, Van Baren, dan Schuylenborgh, 1972). Kelompok smektit yang mendominasi tanah Vertisol ini adalah montmorilonit (Mongia dan Brandyophadyay, 1994). Montmorilonit adalah mineral liat tipe 2:1 yang terdiri dari 2 lembar Si tetrahedral dan 1 lembar Al oktahedral, dimana masing-masing unit dihubungkan dengan unit lain oleh suatu ikatan yang masih lemah dari oksigen ke oksigen lain sehingga mudah mengembang dan mengkerut (Hardjowigeno, 1993).

Berdasarkan identifikasi mineral dengan menggunakan XRD dengan perlakuan Mg, pada montmorilonit ditandai dengan puncak 1.5 nm, dengan

menggunakan gliserol ditandai dengan puncak 1.8 nm, dengan perlakuan K ditandai dengan puncak 1.25 nm. Sedangkan dengan menggunakan analisis DTA, montmorilonit dicirikan oleh suatu kurva endotermik yang kuat pada temperatur 5000C – 7000C dan kurva eksotermik kuat pada temperatur > 8500C. Puncak endotermik tersebut disebabkan oleh dehidroksilasi, sedangkan puncak eksotermik disebabkan oleh pembentukan mineral anhidrous (Borchardt, 1989).

Tanah Vertisol dapat ditemui pada daerah dengan iklim tropika basah sampai subtropik dengan rata-rata curah hujan 800 – 2000 mm/tahun dengan bulan kering selama 4 – 8 bulan (Hardjowigeno, 1993). Penyebaran tanah Vertisol di Indonesia diantaranya : Jawa (68,81%), Nusa Tenggara (15,19%), Sulawesi (14,48%), Bali (1,87%) dan Maluku (0,09%) dari 2.119.000 ha luasan tanah Vertisol (Puslittanak, 2000).

Faktor-faktor Lingkungan yang Mendukung Pertumbuhan Tanaman Jagung Tanaman jagung dikelompokkan ke dalam divisio Spermatophyta, klas Angiospermae, subklas Monocotyledon, ordo Graminales, famili Graminae, genus Zea dan spesies Zea mays. Jagung akan tumbuh baik pada curah hujan antara 2500 – 5000 mm/tahun. Tanah berkelas tekstur sedang, berdrainase baik dan memiliki kapasitas menahan air yang tinggi merupakan media tumbuh yang baik. Kisaran pH untuk pertumbuhan optimum antara 5.6 sampai 7.5 (Effendi, 1985). Menurut Sanchez (1976) tanaman jagung peka terhadap keracunan Al, Fe, Cu dan Zn. Daya tahan tanaman terhadap keracunan Al mulai menunjukkan gejala bila tanah mempunyai kejenuhan Al antara 40 – 60 %.

Tanaman jagung seperti halnya tanaman lain, memerlukan lingkungan tumbuh tertentu agar dapat tumbuh optimal. Iklim yang cukup panas diperlukan untuk pertumbuhan jagung. Keadaan panas dan lembab sangat baik untuk pertumbuhan jagung, sejak saat tanam sampai akhir periode pertumbuhan.

Suhu optimum untuk perkecambahan biji antara 30 – 320C, di bawah 12,10C akan mengganggu pertumbuhan perkecambahan (Effendi, 1985). Suhu udara yang tinggi dan kering dapat menimbulkan gangguan terhadap persarian dan pembungaan (Koswara, 1982).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesuburan Tanah Balai Penelitian Tanah Departemen Pertanian, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dan Rumah Kaca Cikabayan, Darmaga. Penelitian terdiri dari dua tahap percobaan, yaitu : percobaan laboratorium dan rumah kaca. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2002.

Bahan dan Alat

Bahan tanah yang digunakan untuk penelitian adalah contoh tanah Vertisol Cihea-Cianjur yang diambil dari Desa Neglasari, Kecamatan Bojong Picung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tanah tersebut merupakan tanah sawah yang tidak ditanami kurang lebih 10 tahun. Contoh tanah diambil secara komposit pada kedalaman 20 cm.

Bahan organik yang digunakan adalah kotoran sapi. Sebagai perlakuan K digunakan pupuk KCl. Selain itu digunakan juga pupuk N (Urea) dan P (SP-36) sebagai pupuk dasar, pestisida, bahan-bahan kimia untuk analisis tanah dan tanaman dan benih jagung Hibrida C-7 sebagai tanaman indikator.

Peralatan yang digunakan antara lain peralatan untuk mengambil contoh tanah (karung, plastik dan cangkul), timbangan, polybag, ayakan, ember, meteran, alat tulis dan peralatan untuk analisis tanah dan tanaman, seperti pH meter, flamephotometer, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), mesin kocok, tabung perkolasi, gelas ukur, gelas piala, dan labu ukur.

Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari 2 percobaan yaitu percobaan laboratorium dan percobaan rumah kaca. Percobaan laboratorium meliputi dua kegiatan yaitu analisis awal sebelum perlakuan dan analisis hubungan kuantitas dan intensitas. Percobaan rumah kaca dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama yaitu penambahan bahan organik yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0; 10; 20 dan 40 ton/ha. Faktor kedua yaitu perlakuan dosis pemupukan K yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0; 25; 50; dan 100 ppm K. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan.

Pengambilan dan Persiapan Contoh Tanah

Permukaan tanah yang diambil contoh tanahnya, dibersihkan dari sisa- sisa tanaman dan kotoran yang lainnya. Kemudian diambil secara komposit hingga kedalaman 20 cm dan dimasukkan ke dalam karung plastik. Selanjutnya dibawa ketempat persiapan contoh tanah.

Contoh tanah dibersihkan dari kotoran dan kerikil, selanjutnya dikering udarakan dan dihancurkan dengan penumbuk kayu. Selanjutnya disaring dengan ayakan 2-5 mm untuk percobaan rumah kaca, dan 2 mm untuk analisis laboratorium. Contoh tanah lalu dimasukkan kedalam kantong plastik dan ditutup rapat.

Untuk mengetahui ciri-ciri kimia tanah Vertisol sebelum mendapat perlakuan, dilakukan analisis awal yang meliputi analisis mineral liat dengan XRD, pH H2O (1:5), pH KCl (1:5), C-organik (Walkley & Black), N-total (Kjeldahl),

P-tersedia (Olsen), P-potensial (HCl 25%), K-total (HF), K-dd (NH4OAc, pH 7.0),

Dokumen terkait