• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora

pada tanaman kubis ………... 9 2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari ………... 12 3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK ……. 17 4 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MH ……. 18 5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK ………... 20 6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH …………. 21 7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp. ……… 22 8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis

pada MK (a) dan MH (b) ……….………. 25 9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar ………. 26 10 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MK ……….. 27 11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH ……….. 28 12 Gejala serangan virus gemini pada tanaman tomat ……….... 28 13 Rata-rata luas seranga n penyakit geminivirus pada tanaman tomat

pada MK (a) dan MH (b) ………... 29 14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat ……….... 30 15 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada tanaman tomat

pada MH ………... 30 16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat ………... 32 17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat

pada MK ………... 32 18 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat

pada MH ……… 33 19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK ...………... 34 20 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH ...………... 35 21 Rata-rata produksi tanaman kubis (ha) pada MK dan MH .……….. 39 22 Rata-rata produksi tanaman tomat (ha) pada MK dan MH ………... 41

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MK …… 49 2 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MH …… 49 3 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MK …… 49 4 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MH …… 50 5 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis

pada MK ……… ……….... 50 6 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis

pada MH ………... 50 7 Rata-rata populasi B. tabaci pada pertanaman tomat ……….. 51 8 Rata-rata kejadian penyakit geminivirus pada pertanaman tomat ……... 51 9 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada pertanaman tomat

pada MH ………... 51 10 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada pertanaman tomat ……. 52 11 Rata-rata tinggi tanaman tomat ………...…….. 52 12 Penggolongan arthropoda tanah hasil pitfall trap berdasarkan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran yang cukup dikenal di

Indonesia, yang dapat dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun olahan. Di Indonesia tanaman kubis merupakan sayuran semusim yang produksinya

menempati urutan teratas (1.432.814 ton) dibandingkan dengan produksi sayuran semusim lainnya (BPS 2004).

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman kubis di lapangan. Kehilangan hasil yang tinggi pada tanaman sayuran akibat serangan hama dan patogen mendorong petani untuk menggunakan pestisida secara rutin dengan dosis dan frekwensi yang tinggi (Sastrosiswojo dan Suhardi 1988). Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekanomi tinggi seperti kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Rauf et al. (2003) melaporkan bahwa petani kubis di Jawa Barat menggunakan 35 jenis insektisida untuk pengendalian hama tanaman kubis, yang diaplikasikan rata-rata lebih dari 10 kali setiap musim. Petani-petani sayuran mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida untuk satu kali aplikasi (Dadang et al. 2004). Penggunaan pestisida yang tinggi, selain meningkatkan biaya produksi juga berpengaruh buruk terhadap tanaman (keracuna n tanaman dan residu), manusia (keracunan) dan lingkungan biotik (resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami) maupun abiotik (pencemaran). Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa penggunaan insektisida yang intensif pada tanaman kubis, ternyata mempengaruhi aktifitas, perkembangan dan peranan parasitoid Diadegma semiclausum Hullen (Hymenoptera: Ichneumonidae). Menurut Flint dan van den Bosch (1981) bahwa peningkatan penggunaan pestisida modern mengakibatkan resurjensi hama, ledakan hama sekunder dan resistensi hama. Salah satu upaya untuk mengatasi pengaruh negatif penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, diantaranya dengan penerapan pertanian berkelanjutan.

Pertanian berkelanjutan merupakan suatu pengelolaan sumberdaya untuk usaha pertanian, guna memenuhi kebutuhan manusia yang selalu meningkat, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta

melestarikan sumberdaya alam (Technical Advisory Committee of the CGIAR 1988 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya input rendah (low external input agriculture-LEIA) dan pertanian organik (organic farming) menjadi pilihan utama dalam pertanian berkelanjutan. Sistem budi daya input rendah mengutamakan penggunaan input lokal yakni dari lahan dan lingkungan sekitarnya serta meminimalkan penggunaan bahan luar seperti pestisida dan pupuk sintetik. Sistem budi daya organik mendorong kesehatan tanah dan tanaman, melalui praktik seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya ini menjadi suatu hal yang menarik untuk ditawarkan kepada petani kubis karena sistem budi daya kubis tersebut tidak merusak lingkungan dan baik untuk kesehatan manusia.

Tujuan Penelitian

Membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensional dengan pola pertanaman monokultur dan tumpangsari.

TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Organik

Sistem pertanian organik merupakan salah satu cara untuk pertanian berkelanjutan. Pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal yang sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, terutama di Daratan Cina. Pertanian organik adalah suatu sistem pertanian ya ng mendorong kesehatan tanah dan tanaman, melalui praktek seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat dan menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes et al. 1999).

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan hukum pengembalian (law of return). Hukum pengembalian yang dimaksud adalah suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu, limbah pertanaman maupun kotoran ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makan tanaman. Sutanto (2002) menyatakan bahwa filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah, yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Von Uexkull (1984) memberikan istilah "membangun kesuburan tanah". Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah. Selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman.

Prinsip-prinsip pertanian organik sebagaimana ditetapkan oleh International Federation of Organic Agriculture Movement (1990) dalam Sutanto (2002) sebagai berikut: a) menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang tinggi dan dalam jumlah yang mencukupi, b) menerapkan sistem alami dan tanpa mendominasi alam, c) mengaktifkan dan meningkatkan daur biologis di dalam

sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan, d) meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah, e) menggunakan sumber- sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang terorganisir secara lokal, f) mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen- elemen organik dan bahan nutrisi, g) memperlakukan ternak secara alami, h) mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari pertanian, i) memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem pertanian, j) memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani, k) mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem pertanian.

Pertanian organik adalah suatu bentuk pertanian yang tidak menggunakan input sintetik seperti pestisida dan pupuk, sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem dalam waktu yang tidak terhingga. Namun demikian, pertanian organik bukan sekedar pertanian tanpa bahan kimia sintetik, pertanian organik menggunakan teknik-teknik seperti rotasi tanaman, jarak tanam yang mencukupi antar tanaman, penggabungan bahan organik ke dalam tanah dan penggunaan pengendalian biologi untuk menaikkan pertumbuhan tanaman yang optimum dan meminimumkan masalah hama (Reijntjes et al. 1999). Pemakaian pestisida botani dipertimbangkan sebagai upaya pengendalian dan digunakan dengan hemat (Stoll 1995 dalam Sutanto 2002) .

Keberhasilan pertanian organik tergantung pada program pengelolaan penggunaan input- input secara intensif dalam rangka menghasilkan produktivitas tanaman yang optimum. Sutanto (2002) menyatakan bahwa pelaksanaan pengelolaan pertanian organik terdiri atas: a) penambahan bahan organik terdekomposisi, b) rotasi tanaman untuk meningkatkan kesuburan dan mengurangi serangan hama dan penyakit, c) memakai pupuk hijau dan tanaman penutup untuk memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan populasi organisme yang bermanfaat dan mengurangi erosi, d) pengurangan pengolahan tanah (minimum tillage) untuk memperbaiki struktur tanah dan mengurangi erosi, e) memakai tanaman perangkap (trap crops), jasad pengendali biologi dan teknik manipulasi habitat lainnya, seperti tumpang sari atau penggunaan pembatas untuk mempertinggi mekanisme pengendalian biologi alami, f) pembuatan zona penyangga dan pembatas untuk

menandai area penghasil organik, serta membantu melindungi area tersebut dari bahan-bahan terlarang. Zona penya ngga ditanami dengan tanaman pemecah angin (wind breaker) atau tanaman yang bukan untuk dipanen.

Penerapan pengelolaan pertanian organik akan menghasilkan produk yang sangat berkualitas dan bernilai tinggi. Meningkatnya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya kesehatan, menjadikan permintaan pangan organik selalu meningkat. Kecenderungan pasar pangan organik dunia tahun 1998 sebesar US$ 13 milyar, meningkat lebih dari dua kali pada tahun 2003 yaitu sebesar US$ 27 milyar. Tahun 2000-2004 perdagangan produk pertanian organik dunia telah mencapai nilai rata-rata US$ 17,5 milyar dan diperkirakan pada tahun 2010 pangsa pasar dunia akan mencapai US$ 100 milyar ( WTO dalam Damardjati 2005).

Pertanian Input Rendah (Low External Input Agriculture – LEIA) Pertanian input rendahmengutamakan penggunaan input lokal, yakni dari lahan dan lingkungan sekitarnya, sekecil mungkin memanfaatkan pasokan yang diperoleh melalui pembelian (Reijntjes et al. 1999). Pertanian input rendah tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan luar, seperti pupuk dan pestisida sintetik. Penggunaan input luar tersebut digunakan secara tepat dan hati- hati untuk melengkapi kekurangan input lokal. Penggunaan pestisida pada produk pertanian input rendah diatur berdasarkan pemahaman dan ketepatan dalam aplikasinya, sehingga beberapa perusahan yang menggunakan cara tersebut, menyebutkan produk pertanian mereka aman (safe agricultural products).

LEISA (low external input sustainable agriculture) adalah pertanian yang mengoptimalkan pema nfaatan sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan lokal) dan manusia (tenaga, pengetahuan dan keterampilan) yang secara ekonomis layak, mantap secara ekologis disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial. Pemanfaatan input luar tidak dikesampingkan namun dipandang sebagai pelengkap pemanfaatkan sumber daya lokal dan harus memenuhi kriteria diatas (Reijntjes et al. 1999).

Berbagai upaya pemerintah dalam mengurangi pengaruh buruk penggunaan pestisida secara konstitusi telah diatur. Aturan tersebut diantaranya adalah pencanangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam GBHN tahun 1983 yang

dipertegas kembali dengan Inpres No. 03/1986. Peraturan Pemerintah tentang pelarangan peredaran 57 jenis pestisida dan pelatihan serta penyuluhan kepada pelaku langsung PHT di lapangan merupakan bentuk operasional aturan tersebut.

Pertanian Konvensional (High External Input Agriculture–HEIA) Pertanian konvensional dicirikan dengan tingginya input luar buatan. Input luar buatan yang dimaksud adalah input ya ng membutuhkan sejumlah besar bahan bakar minyak untuk memproduksi dan mendistribusikannya, misalnya pupuk sistetik, pestisida sintetik (Reijntjes et al. 1999). Dalam pertanian konvensional pupuk sintetik diaplikasikan secara cepat, langsung dalam bentuk segera diserap tanaman, takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hal-hal tersebut menjadikan sesuatu tawaran yang sangat menarik untuk diadopsi oleh petani (Reijntjes et al. 1999). Begitu juga penggunaan bahan pengendalian seperti pestisida sintetik, yang diketahui mempunyai kelebihan, seperti praktis dalam penyiapan dan penggunaannya serta reaksi terhadap sasaran cepat. Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekanomi tinggi seperti kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Keuntungan penggunaan pestisida antara lain efektif, praktis, mudah didapat, relatif murah dan menguntungkan (Sastrosiswojo dan Suhardi 1988). Oka (1995) menyatakan kecenderungan penggunaan pestisida juga berdasarkan alasan- alasan bahwa pestisida cepat menurunkan populasi hama, dapat dipergunakan setiap saat dan dimana saja. Walaupun demikian, penggunaan pestisida pada tanaman perlu dipertimbangkan dengan bijaksana.

Jika mengaplikasikan pestisida, dianjurkan secara tepat (5 tepat) yaitu: tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat cara, tepat dosis (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Aplikasi pestisida pada sistem budi daya pertanian konvensional pada tanaman sayuran yang dilakukan sekarang ini cukup mengkhawatirkan. Dadang et al. (2004) melaporkan bahwa petani-petani sayur mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida untuk satu kali aplikasi.

Pengaruh buruk dari peningkatan penggunaan pestisida modern adalah 1) resurjensi hama, 2) ledakan hama sekunder dan 3) resistensi hama (Flint dan

van den Bosch 1981; Untung 1992). Oka (1995) menyatakan bahwa pengalaman Indonesia menggunakan pestisida dalam program intensifikasi padi, sayuran dataran rendah dan dataran tinggi serta perkebunan menimbulkan akibat-akibat samping yaitu: 1) hama sasaran berkembang menjadi tahan (resisten) terhadap pestisida, 2) timbulnya fenomena resurjensi, 3) matinya musuh alami dan organisme bukan sasaran (belut, kodok, cacing, serangga penyerbuk), 4) timbulnya hama sekunder, 5) residu pada tanaman, 6) mencemari lingkungan (tanah, air dan udara), 7) pestisida tertentu dapat menimbulkan “pembesaran biologik” artinya, konsentrasi pestisida tersebut dalam mata rantai makanan berikutnya semakin besar, seperti DDT, dan 8) pestisida menimbulkan keracunan pada manusia. Purwanta dan Rauf (2000) menyatakan bahwa deltametrin memberi pengaruh yang paling buruk terhadap laba- laba dan serangga predator sedangkan frofenofos terhadap parasitoid. Ankersmit (1953) dalam Oka (1995) melaporkan sejak tahun 1953, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) berkembang menjadi resisten terhadap DDT. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 90-an hama P. xylostella juga resisten terhadap berbagai jenis insektisida yang sering diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Selanjutnya juga dinyatakan Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) = Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) strain Lembang telah menunjukkan daya tahan yang sangat tinggi terhadap berbagai formulasi insektisida.

Kubis ( Brasicca oleracea var. capitata)

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran yang cukup dikenal di Indonesia, yang dapat dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun olahan. Di Indonesia tanaman kubis secara nasional merupakan sayuran semusim yang produksinya menempati urutan teratas yakni 1.432.814 ton dibandingkan dengan produksi sayuran semusim lainnya BPS (2004). Kubis diduga berasal dari Italia, dan kapan waktu introduksi ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi telah dibudidayakan sebelum Perang Dunia II pada daerah-daerah pegunungan yang benihnya dibawa dari Eropa, khususnya Belanda (Parmadi dan Sastrosiswojo 1993).

Hama Kubis

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman kubis di lapangan. P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis dataran tinggi di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi dan banyak daerah lainnya di Indonesia sejak tahun 1916 (Vos 1953 dalam Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa hama utama pada tanaman kubis adalah ulat daun kubis P. xylostella dan ulat krop C. pavonana Pengendalian hama tersebut pada sistem pertanian konvensional dilakukan dengan menggunakan pestisida sintetik dari berbagai merek dagang. Pengendalian hama pada sistem pertanian organik dilakukan secara mekanik dan menggunakan insektisida botani secara efisien dengan mempertimbangkan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi P. xylostella adalah 0,5 larva per tanaman dan C. pavonana adalah 0,3 kelompok telur per tanaman (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Dadang (2004) menyatakan bahwa ekstrak Swietenia mahogani (Meliaceae) baik aplikasi tunggal maupun dicampur dengan ekstrak Aglaia odorata (Meliaceae) mampu menekan populasi P. xylostella dan C. pavonana di lapangan. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa perlakuan ekstrak tersebut mampu menjaga aktivitas musuh alami (parasitoid) dan relatif tidak mengganggu keragaman arthropoda tanah. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa musuh alami hama kubis yang potensial untuk mengendalikan larva P. xylostella diantaranya adalah D. semiclausum dan Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae).

Penyakit Kubis

Penyakit penting pada tanaman kubis yang mempunyai nilai ekonomi adalah penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris pv. campestris) Pamm, busuk lunak (Erwinia carotovora) Jones, akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) dan bercak daun (Alternaria spp.) serta diperkecambahan sering terinfeksi rebah kecambah (Rhizoctania solani Kuhn.) (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1994).

Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris dicirikan dengan adanya bercak kuning menyerupai huruf V di sepanjang pinggir daun mengarah ke tengah daun (Gambar 1a). Tulang-tulang daun berwarna cokelat

tua atau hitam. Penyaluran air pada bagian yang bergejala terhambat sehingga daun membusuk dan berwarna hitam. Serangan patogen terjadi mulai dari persemaian kemudian di lapangan, hingga pada pasca panen. Bakteri masuk ke dalam tanaman kubis melalui pori air (hidatoda) pada ujung-ujung berkas pembuluh di tepi daun (Semangun 2000). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa bakteri mempertahankan diri dari musim ke musim pada biji kubis, dalam tanah, sisa tanaman sakit dan inang lain.

Penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh E. carotovora biasanya merusak krop pada pasca panen. Gejala awal serangan E. carotovora berupa bercak berair kemudian bercak membesar dan berwarna cokelat kehitaman, serangan lanjut pada bagian yang terinfeksi menjadi lunak (Lampiran 1b), berlendir serta mengeluarkan bau khas (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1994). Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau tetapi dengan adanya bakteri sekunder jaringan tersebut menjadi berbau khas (Machmud 1984 dalam Semangun 2000).

(a) (b)

Gambar 1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora pada tanaman kubis.

Penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae dicirikan dengan adanya daun-daun yang layu seperti kekurangan air dan akan terlihat jelas bila keadaan udara panas pada siang hari. Akar-akar yang terinfeksi P. brassicae mengadakan reaksi dengan pembelahan dan pembesaran sel yang menyebabkan terjadinya bintil-bintil (Semangun 2000). Akibat serangan P. brassicae tanaman menjadi kerdil dan tidak bisa membentuk krop. Pada malam hari tanaman yang terserang P. brassicae akan segar kembali.

Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Alternaria spp. dicirikan dengan timbulnya bercak-bercak bulat konsentris berwarna hitam (A. brassicola Schw.) dan kelabu (A. brassicae Berk.). Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui udara dan benih (Semangun 2000). Bercak bulat tersebut merupakan kumpulan spora patogen. Serangan bercak daun pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau dan bila kelembaban tinggi cendawan terlihat sebagai bulu-bulu halus kebiruan di tengah bercak (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002).

Pengendalian penyakit pada sistem pertanian konvensional masih mengutamakan fungisida sintetik dengan aplikasi berjadwal, terutama bila terjadi kabut yang dianggap sebagai pemicu perkembangan penyakit.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor yang terletak pada ketinggian ± 900 meter di atas permukaan laut, Laboratorium Biosistematika Serangga serta Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Agustus 2005 (musim kemarau/MK) dan September 2005 hingga Maret 2006 (musim hujan/MH).

Persiapan Lahan dan Perlakuan

Lahan diolah dengan cangkul dan dibagi menjadi 6 petak perlakuan yang masing- masing berukuran 7 m x 6 m. Perlakuan terdiri dari (1) organik monokultur kubis (OM), (2) organik tumpangsari kubis-tomat (OT), (3) input rendah monokultur kubis (LM), (4) input rendah tumpangsari kubis-tomat (LT), (5) konvensional monokultur kubis (KM) dan (6) konvensional tumpangsari kubis- tomat (KT). Pada petak perlakuan dibuat bedengan yang terdiri dari 6 bedengan. Setiap perlakuan diulang 4 kali.

Pemupukan

Pupuk kandang yang digunakan pada MK, dipersiapkan 1 bulan sebelum tanam yang terdiri dari kotoran kambing, kotoran ayam petelur dan sekam dengan perbandinga n (3:6:1) sedangkan pada MH digunakan kompos kotoran kuda. Pupuk kandang diaplikasikan langsung pada lubang tanam seminggu sebelum tanam. Pupuk sintetik untuk tanaman kubis petak konvensional dan input rendah diberikan 3 kali yakni saat tanam, 28 hari setelah tanam (hst) dan 56 hst (Tabel 1). Tabel 1 Dosis pupuk pada setiap perlakuan

Pupuk kandang (ton/ha) Urea (kg/ha) KCl (kg/ha) TSP (kg/ha) NPK (kg/ha) Perlakuan MK&MH MK MH MK MH MK MH MH OM OT LM LT KM KT 50 50 30 30 10 10 0 0 75 75 150 150 0 0 200 200 400 400 0 0 25 25 50 50 0 0 0 0 0 0 0 0 25 25 50 50 0 0 0 0 0 0 0 0 500 500 1 000 1 000

Penanaman

Benih kubis yang digunakan adalah varietas Grand 1l untuk MK dan MH, sedangkan benih tomat adalah varietas Marta untuk MK dan varietas Arthaloka untuk MH. Persemaian benih untuk perlakuan konvensional dibuat terpisah karena ada aplikasi insektisida. Bibit kubis dan tomat ditanam 4 minggu setelah semai. Tomat ditanam lebih dahulu yakni 4 minggu sebelum kubis ditanam. Kubis ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm (Gambar 2a) dan pada petak tumpangsari, tomat ditanam satu baris di bagian tengah bedengan (diantara baris tanaman kubis) dengan jarak tanam 40 cm (Gambar 2b).

(a) (b)

Gambar 2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari.

Pengamatan Hama dan Penyakit

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan mulai tanaman berumur 14 hst sampai menjelang panen dengan interval seminggu sekali. Jumlah tanaman contoh yaitu 10 tanaman per petak ulangan. Teknik penentuan tanaman contoh ditetapkan secara sistematis. Parameter yang diamati adalah populasi hama, intensitas serangan, luas serangan, tingkat parasitisasi, tinggi tanaman, arthropoda tanah, mikroorganisme dan produksi kubis dan tomat. Penilaian intensitas serangan, kejadian penyakit dan luas serangan oleh hama dan patogen dinyatakan dalam persen.

Intensitas serangan Gryllotalpa sp. (Orthoptera: Gryllotalpidae) dan kejadian penyakit akar gada (P. brassicae) pada tanaman kubis serta luas serangan

geminivirus pada tanaman tomat (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002) dihitung menggunakan rumus berikut

P = intensitas/ luas serangan n = jumlah tanaman terserang N = jumlah tanaman yang diamati

Intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis dan alternaria solani Sor. serta Phytophthora infestans Mont. pada tanaman tomat (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002) dihitung menggunakan rumus berikut

I = intensitas serangan, Z = kategori nilai kerusakan tertinggi ni = jumlah tanaman yang mempunyai kategori nilai kerusakan ke- i

vi = kategori nilai kerusakan ke-i (Tabel 2)

N = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati Tabel 2 Kategori penilaian kerusakan tanaman

Kategori Kerusakan pada tanaman (x) 0 tidak ada serangan x = 0% 1 kerusakan tanaman 0% < x = 15% 2 kerusakan tanama n 15% < x = 30% 3 4 5 6 kerusakan tanaman 30% < x = 45% kerusakan tanaman 45% < x = 60% kerusakan tanaman 60% < x = 75% kerusakan tanaman 75% < x = 100%

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama pada perlakuan organik dilakukan secara mekanik (pengambilan kelompok telur dan larva) serta menggunakan insektisida botani dengan mempertimbangkan AE. Pengendalian pada perlakuan input rendah menggunakan pestisida sintetik dengan mempertimbangkan ambang ekonomi,

(ni.vi)

I = x 100% N.Z

sedangkan pada perlakuan konvensional, menggunakan pestisida sintetik secara berjadwal yaitu 1-2 kali seminggu. Insektisida yang digunakan berbahan aktif profenofos (Curacron 500 EC, b.a 50%), deltametrin (Decis 2,5 EC, b.a 2,5%), fungisida berbahan aktif propineb (Antracol 70 WP, b.a 70%) dan mankozeb (Dithane M–45 WP, b.a 45%).

Sanitasi gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 26 dan 54 hst. Penyiraman dilakukan bila diperlukan. Pemangkasan tomat dilakukan dengan memotong tunas, cabang sakit dan cabang tidak produktif. Pemeliharaan kubis dilakukan melalui pembuangan daun tua dan sakit.

Perangkap Jebakan (Pitfall Trap)

Arthropoda tanah diamati dengan memasang pitfall trap yang diletakkan

Dokumen terkait