• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL ………. iv DAFTAR GAMBAR ………. v DAFTAR LAMPIRAN ……….. vi PENDAHULUAN ……….. 1 Latar Belakang ………. 2 Tujuan Penelitian ……….. 3 Kegunaan Penelitian .……… ……… 4 TINJAUAN PUSTAKA ………. 6 Daging ……….. 7 pH Daging ……… 7 Daging Olahan ………. 7 Bahan Pengisi ……….. 8 Tepung / Pati ……… 10 Tepung Jagung ………. 10 Tepung Tapioka ………... 10 Tepung Terigu ………. 11 Bahan Tambahan ………. 11 Phosphat ……….. 11 Garam ……….. 12 Es ………. 12 Keripik Daging ………. 12 Transfer Panas ……….. 13 Teknik Penggorengan Secara Vakum ……….. 14

Minyak ……….. 15

Struktur Bahan Pangan Digoreng ………. 16 Proses Menggoreng ……….. 16 Pengaruh Penggorengan terhadap Kerusakan Nutrisi ... 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 20 Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 20 Metode Penelitian ... 20 Peubah yang Diamati ... 24 Rancangan Percobaan ... 27 Analisis Data ... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29 Karakteristik Fisik ... 29 Rendemen ... 30 Penyusutan Bentuk ... 30 Kekerasan Objektif ... 30 Karakteristik Kimia ... 31 Nilai Proksimat ... 31 Kadar Air ... 33 Kadar Lemak ... 34 Bilangan Peroksida ... 36 Penilaian Organoleptik terhadap Keripik Daging …… ... 38 Warna ... 39 Aroma ... 40 Tekstur ... 40 Rasa ... 43 Kerenyahan ... 43 SIMPULAN DAN SARAN ... 45 DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN ... 49

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi bahan keripik daging ... 21

2 Analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

29

3 Nilai Proksimat sampel daging olahan dan keripik Daging ... 31 4 Analisis kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama

penggorengan yang berbeda...

33

5 Analisis kadar lemak keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

33

6 Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Struktur dan jaringan ikat otot ... 5

2 Rantai lurus molekul amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin ...

9

3 Struktur bahan pangan yang digoreng ... 16 4 Proses penggorengan ... 16 5 Alat penggorengan vakum ... 22 6 Spinner ... 22 7 Tahapan proses pembuatan keripik daging ... 23 8 Histogram kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama

Penggorengan yang berbeda ...

34 9 Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda

terhadap bilangan peroksida keripik daging ...

37

10 Grafik tes median penilaian warna keripik daging ... 39 11 Grafik tes median penilaian aroma keripik daging ... 40 12 Grafik tes median penilaian tekstur keripik daging ... 41 13 Grafik tes median penilaian rasa keripik daging ... 42 14 Grafik tes median penilaian kerenyahan keripik daging ... 44

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuesioner penilaian organoleptik uji hedonik ... 48

2 Analisis ragam rendemen keripik daging ... 55 3 Analisis ragam penyusutan keripik daging ... 55 4 Analisis ragam kekerasan objektif keripik daging ... 55 5 Analisis ragam kadar air keripik daging ... 55 6 Analisis ragam kadar lemak keripik daging ... 55 7 Analisis keragaman bilangan peroksida keripik daging ... 55 8 Uji kruskall wallis penilaian warna ... 56 9 Uji kruskall wallis penilaian aroma ... 56 10 Uji kruskall wallis penilaian tekstur ... 56 11 Uji kruskall wallis penilaian rasa ... 56 12 Uji kruskall wallis penilaian kerenyahan ... 57

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan produk peternakan yang memiliki nilai gizi relatif lengkap dan seimbang. Daging yang umum dikonsumsi biasanya berasal ternak konvensial, yaitu sapi dan ayam. Sumber-sumber daging ternak lain masih agak terabaikan karena beberapa alasan diantaranya rasa, aroma faktor budaya maupun prestise.

Pengolahan produk hasil ternak dimaksudkan untuk mendapat nilai tambah dan meningkatkan daya simpan, mengingat daging merupakan bahan yang mudah rusak (perishable). Pengolahan daging dibagi menjadi dua yaitu pengolahan basah dan kering. Pengolahan basah memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi tetapi mempunyai umur simpan yang kurang maksimal jika disimpan pada suhu ruang sebaiknya, dilakukan pengolahan kering.

Pengolahan kering biasanya dilakukan pada daging sebelum dikonsumsi. Salah satu daging olahan dengan metoda transfer panas dapat dibuat keripik untuk memperpanjang umur simpan. Akan tetapi, pada pembuatan keripik terjadi kerusakan gizi akibat pemanasan. Salah satu upaya untuk meminimalkan kerusakan gizi tersebut adalah penggorengan daging secara vakum. Penggorengan vakum adalah penggorengan hampa pada kondisi tekanan rendah dan suhu 90 °C. Pembuatan keripik dengan cara vakum ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik daging maupun diversifikasi makanan. Sesuai dengan trend yang berkembang di masyarakat perkotaan yang menginginkan produk olahan yang simpel dan praktis maka keripik daging ini perlu dikembangkan sehingga dapat langsung dikonsumsi.

Pembuatan keripik daging dilakukan melalui tahap penggilingan dalam usaha pembentukan produk baru, komponen campuran produk tersebut memerlukan bahan yang dapat mengikat. Bahan campuran yang digunakan untuk pembuatan keripik daging adalah tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena. Masing-masing tepung tersebut mempunyai perbedaan dalam kandungan amilosa dan amilopektin sehingga dapat mempengaruhi kualitas keripik daging yang dihasilkan.

Dalam proses menggoreng, udara dan temperatur tinggi merupakan dua faktor utama pemyebab kerusakan minyak goreng. Aerasi udara secara berlebihan selama proses penggorengan harus dihindari untuk mengurangi proses oksidasi. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan penyedotan uap atau aerasi. Proses oksidasi dengan cara ionisasi - radiasi dengan adanya oksigen akan menghasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil, namun peroksida tidak terbentuk pada proses ionisasi - radiasi jika penggorengan dilakukan dalam suasana vakum.

Suhu penggorengan merupakan faktor yang akan mempengaruhi mutu hasil penggorengan. Mutu hasil gorengan dengan stabilitas penyimpanan yang baik dihasilkan pada suhu menggoreng yang paling rendah. Salah satu pertimbangan pemilihan suhu menggoreng yang optimum adalah pengaruhnya secara langsung terhadap perubahan warna dari bahan pangan yang digoreng. Disamping itu, suhu yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein daging secara berlebihan sehingga dapat menghasilkan produk dengan flavor yang tidak disukai. Penggorengan dengan temperatur tinggi pada suhu 300 – 350 °C juga dapat menyebabkan terbentuknya bahan-bahan carsinogenik yang menstimulasi penyakit kanker pada manusia.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh jenis tepung terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

2. Mempelajari pengaruh lama penggorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

3. Mempelajari interaksi jenis tepung dan lama penggorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

Kegunaan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Menurut Aberle et al. (2001), seseorang memakan daging dengan beberapa alasan diantaranya karena tradisi atau kebiasaan yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, karena alasan daging mengandung nutrisi yang tinggi atau pengaruh sosial bisa juga karena alasan religius. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain posisi otot pada tubuh hewan. Otot yang berkualitas tinggi dan berharga mahal terletak pada bagian dorsal yaitu otot Longisisimus dorsi. Sementara otot yang murah adalah otot-otot yang banyak dipakai beraktivitas bergerak seperti otot ekstensor. Otot kerangka merupakan organ dari sistem muskular yang langsung maupun tidak langsung melekat pada tulang melalui ligamen, fascia, cartilage atau kulit. Ada 600 otot pada tubuh ternak yang berbeda ukuran dan bentuknya.

Di sekeliling urat daging urat daging terdapat seberkas jaringan penghubung epimisium, yang melekat diantara otot dan membaginya menjadi sekumpulan berkas otot yang terdiri dari serat-serat yang berdiri sendiri. Serat-serat ini kira-kira beberapa sentimeter, tetapi garis tengahnya sekitar 10- 100 µm. Serat-serat ini dikelilingi oleh suatu selubung yang lentur yang dinamakan sarkolemma yang tersusun dari protein dan lemak dan di sekelilingnya terdapat tubuli. Serat otot tersusun atas sejumlah miofibril pada suatu larutan cairan pekat bahan koloid yang disebut sarkoplasma. Miofibril adalah organel yang khas terdapat pada jaringan otot yang bentuknya memanjang merupakan batang silinder yang bergaris tengah 1-2 µm dengan panjang yang sesuai dengan serat daging yang mengandung kira-kira 1 000 – 2 000 miofibril. Miofibril ini diikat sehingga memberi bentuk yang melintang dan berlapis-lapis. Sarkoplasma terdiri dari 75 – 80 % air, berisi campuran yang kompleks dari butiran kecil lemak, glikogen, ribosom, bahan-bahan nitrogen bukan protein dan bahan-bahan anorganik. Pada pembesaran 15 000 kali, miofibril nampak terdiri atas serabut tipis dan tebal yang dikenal sebagai miofilamen yang membentuk suatu sistem yang berliku-liku yang saling

menutupi dalam garis sejajar yang lurus. Unit dasar ini dikenal sebagai sarkomer dimana serabut tebalnya terdiri dari protein miosin dan serabut tipis terdiri dari protein aktin. Serabut-serabut ini panjangnya kira-kira 1 – 3 µm dan bergaris tengah 6 – 16 µm (Buckle et al. 1987).

Menurut McWilliams (2001) jaringan otot mempunyai komponen utamanya terdiri dari 75 % air, diikuti oleh protein sebanyak 18%, lemak dengan kisaran 4 – 10 % serta karbohidrat sebesar 1%. Karbohidrat pada jaringan otot utamaya dibentuk dari glikogen ditambah sedikit glukosa dan glukosa 6 – phosphat.

Glikogen merupakan persediaan karbohidrat utama di dalam hati dan serabut otot. Granula tunggal atau kelompok granula glikogen terdapat didalam sarkoplasma diantara miofibril dan di bawah membran sel. Glikogen adalah polisaharida yang terbentuk dari ikatan sejumlah unit D-glukosa secara bersama-sama.

Struktur dan jaringan ikat otot dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Struktur dan jaringan ikat otot

Lebih lanjut menurut Aberle et al. (2001) bahwa komponen utama daging terdiri dari otot, lemak (marbling), sejumlah jaringan ikat (kolagen, elastin,

dan retikulin) serta pembuluh darah, epithel dan syaraf. Otot terdiri dari berkas otot (muscle bundle), berkas otot terdiri dari serat otot (muscle fiber) yang merupakan sel otot yang meruncing kedua ujungnya. Serat otot berisi benang otot (myofibril) sedangkan myofibril terdiri dari beberapa sarkomer. Dalam sarkomer terdapat filamen-filamen halus (myofilamen) yang tebal dan tipis. Filamen tebal disebut myosin dan yang tipis disebut actin, yang disebut juga dengan protein myofibril. Kedua protein ini sangat berperan dalam proses kontraksi otot.

Lawrie (2003) dan Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa protein pada otot bisa diklasifikasikan sebagai protein myofibrilar, protein sarkoplasmik dan protein stromal (jaringan ikat dan organel). Menurut Ham (1962) dalam deMan (1989) bahwa protein otot mempengaruhi kemampuan daging dalam mengikat air. Sekitar 34% protein ini larut dalam air. Kemampuan otot mengikat air terutama disebabkan oleh actomyosin yaitu komponen myofibril. Aberle et al. (2001) mengatakan bahwa daya mengikat air oleh daging bisa menurun akibat beberapa perlakuan diantaranya adalah pemanasan.

pH Daging

pH daging pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau pada saat pH yang cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik (Soeparno 1994). Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim- enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap enzim-enzim glikolitik. pH ultimat normal daging adalah berkisar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik, pada umumnya glikogen tidak ditemukan pada pH sekitar 5.4 – 5.5 (Lawrie 2003). pH akhir yang tercapai mempunyai beberapa pengaruh terhadap mutu daging. Menurut Aberle et al. (2001) bahwa pada pH akhir daging mencapat titik isoelektrik (5.2 – 5.4) jumlah gugus reaktif dari protein otot yang bermuatan positif dan

negatif yang sama, sehingga gugus tersebut cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air. Menurunnya pH akhir daging akibat akumulasi asam laktat pada perubahan postmortem selama konversi otot menjadi daging. Penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik antara lain dipengaruhi oleh spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas sedangkan faktor ekstrinsik antara lain temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif dan stress sebelum pemotongan. Penurunan pH mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH sedangkan temperatur rendah dapat menghambat penurunan pH. Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan (1) warna daging menjadi pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging.

Daging Olahan

Daging olahan didefinisikan sebagai makanan yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging kurang 50 %) dan pati atau serealia dengan atau tambahan bahan makanan yang diizinkan (SNI 1995).

Bahan Pengisi

Bahan pengisi mengandung komponen utama karbohidrat yang dapat meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak (Oeckerman 1983).

Menurut Pearson dan Tauber (1984), fungsi penambahan bahan pengisi adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memeperbaiki peningkatan lemak dan mengurangi biaya produksi. Penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan daging olahan berdasarkan SNI 01-3818-1995 maksimum 50 % dari berat daging.

Menurut Aberle et al. (2001) beberapa macam bahan bukan daging (non meat) dapat ditambahkan dalam formula masakan daging. Bahan-bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ekstender, binder dan filler. Binder adalah komponen bukan daging yang memiliki peran dalam meningkatkan daya ikat air dan memperbaiki emulsi sedangkan filler bisa berperan seperti binder tetapi sifat emulsifier yang dimiliki tidak setinggi binder, sedangkan ekstender adalah bahan non meat, bukan juga air, garam dan bumbu yang ditambahkan untuk meningkatkan jumlah produk akhir.

Tepung/Pati

Tepung merupakan polisakarida terbuat dari unit glukosa yang bersambung membentuk rantai panjang. Jumlah molekul glukosa yang bergabung dalam satu molekul yang bervariasi dari limaratus sampai beratus ribuan, jumlah ini tergantung dari tipe tepung. Pati tersimpan dalam bentuk energi tanaman. Tanaman membentuk molekul-molekul tepung menjadi amiloplas yang tersimpan dalam bentuk granul-granul, yang mempunyai garis tengah bervariasi antara 2 – 130 µm. Ukuran dan bentuk dai granul merupakan karakteristik dari tanaman sebagai sumber pati. Ada dua tipe dari molekul glukosa didalam pati yaitu terdiri dari amilose dan amilopektin. Amilose berkisar antara 20 – 30% dari total perkiraan dari tepung alami (Parker 2003).

Amilosa didalam amilosa merupakan molekul-molekul glukosa saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa α-1.4, berbeda dngan selulosa yang saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1.4. Pada hidrolisis amilose menghasilkan maltosa di samping glukosa dan aligosakarida lainnya.

Amilopektin pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa didalam rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1.6. Ikatan

α1.6 sangat sukar diputuskan lebih-lebih jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam. Untuk kepentingan tumbuhan itu sendiri cadangan pati di dalam sel-sel penyimpanannnya dapat diuraikan kembali menjadi glukosa untuk kemudian dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat tubuh tanaman akan mensintesa α-amilase, β-amilase dan R-enzim yang semuanya

secara bersama-sama bertugas memutus ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa yang bebas. Gambaran rantai lurus molekul amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2 Rantai lurus molekul amilosa dan rantai bercabang molekul amilopektin

Menurut Parker (2003) molekul amilose membentuk gel, hal ini karena cabang lurus dapat melintang satu sama lain sehingga berikatan. Percabangan molekul amilopektin menjadi kental pada saat pemasakan. Pada saat berbeda mempunyai perbedaan relatif antara amilose dan amilopektin.

Amilose dapat membentuk gel baik dimasak maupun dicampur dengan air dingin. Jenis tepung yang tidak mempunyai amilose tidak membentuk gel. Molekul amilose yang larut seperti butir-butir dan akan mengembang selama proses gelatinisasi. Tepung mulai terjadi gelatinisasi pada suhu antara 140- 158 °F atau 60-70 °C dan proses gelatinisasi ini tergantung dari jenis pati. Tepung yang dimasak dengan air maka menjadi butiran-butiran dan akan meningkatkan dispersi kekentalan sampai tingkat kekentalan memuncak. Dispersi juga meningkatkan tembus cahaya. Menurut Aberle et al. (2001) bahan campuran ini mempunyai fungsi diantaranya memperbaiki stabilitas

adonan daging, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan tekstur dan cita rasa, menurunkan susut masak, memperbaiki sifat potongan serta mengurangi biaya produksi.

Tepung Jagung

Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin pada tepung jagung masing-masing sebesar 27% amilose dan 73% amilopektin. Keduanya merupakan berat molekul polimer yang tinggi, yang terbentuk dari unit D- glukosa. Amilopektin merupakan percabangan dari molekul yang terdiri dari 4 000 atau lebih unit glukosa. Amilose secara esensial merupakan rantai yang lurus terdiri dari 1 000 unit glukosa. Tepung jagung mempunyi kadar protein 9.2 mg/100gram tepung (Depkes RI 1972).

Tepung Tapioka

Tepung tapioka mempunyai kadar amilose lebih rendah dibanding tepung jagung dan terigu, termasuk ke dalam jenis pati yang kadar amilopektin yang tinggi. Pati-pati yang mempunyai kandungan amilopektin yang tinggi sangat tepat digunakan sebagai bahan baku industri karena pada umumnya jenis pati ini sedikit mengandung ISSP (Insoluble Starch Particle) yang merupakan partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilose yang saling bergandengan membentuk rantai yang lurus. Bahan ini dapat dihidrolisis dengan memakai katalistor asam pada suhu tinggi, meskipun hasil hidrolisis masih tetap mengandung sejumlah kecil sisa ISSP. Hidrolisis dengan enzim hanya dapat dilakukan pada suhu tinggi. Pada suhu di bawah 85 °C enzim α-amilase hampir-hampir tidak berfungsi.

Adapun sifat-sifat amilopektin yaitu : (1) sangat jernih, dalam bentuk pasta amilopektin menunjukkan kenampakan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir ; (2) Tidak mudah menggumpal, pada suhu normal pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras ; (3) Memiliki daya pemekat yang tinggi ; (4) Tidak mudah rusak atau pecah, pada suhu normal atau lebih rendah pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-

retak), stabilitas amilopektin pada suhu yang amat rendah juga lebih tinggi ; (5) Suhu gelatinisasi lebih rendah

Tepung tapioka mempunyai sifat lengket dan cenderung seperti benang karena molekul amilose mempunyai rantai yang panjang. Berdasarkan kadar protein tepung tapioka termasuk ke dalam jenis pati yang berkadar protein rendah yaitu 1.1 gram/100gram (Depkes RI 1972).

Tepung Terigu

Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin masing- masing sebesar 16 – 24% amilose dan 76 – 84% amilopektin. Tepung terigu merupakan Tepung terigu mempunyai kadar protein sebesar 8.9 gram/100gram tepung (Depkes RI 1972).

Protein dalam tepung terigu sangat penting digunakan dalam pembuatan produk makanan. Kisaran dari protein yang diekstraksi dari tepung terigu sebesar 85% dari protein yang larut. Protein yang tidak larut dipisahkan dalam dua fraksi yang dinamakan gliadin dan glutelin. Ketika tepung terigu dilarutkan dalam air dan tercampur rata protein yang larut membentuk gluten. Pada tepung terigu 10 – 14 % terdiri dari gluten. Gluten sangat penting sebagai bahan pengisi, dapat membuat adonan menjadi elastis (Parker 2003).

Bahan Tambahan Phosphat

Menurut Aberle et al. (2001) banyak bentuk dari Phosphat yang digunakan, tingkat penggunaannya tidak melebihi dari 0.5 % dari produk akhir. Menurut Keeton (2001) penggunaan alkali phosphat yang mendekati 0.5 % akan mengakibatkan rasa seperti sabun. Penggunaan phosphat dapat meningkatkan daya ikat air dari daging, selain itu juga dapat meningkatkan keempukan dan juiceness. Menurut Pearson dan Tauber (1984) alkali fosfat tidak hanya meningkatkan daya mengikat air tetapi juga meningkatkan emulsi lemak pada protein myofibril.

Garam

Garam merupakan bumbu utama yang berguna untuk daya mengikat air protein daging, pemberi rasa, meningkatkan produk hasil dan membantu ekstraksi protein larut garam (Keeton 2001). Menurut Underriner dan Hume (1994), garam memilki peran yang besar pada rasa, garam tidak hanya digunakan untuk meningkatkan flavor tetapi juga memiliki peranan penting dalam pengolahan pangan yaitu sebagai pengawet dengan menurunkan aktivitas air dan membatasi pertumbuhan mikroba pada daging.

Es

Kelembaban produk akhir berkisar antara 45 – 80 % yang berasal dari bahan tambahan maupun air yang ditambahkan pada adonan. Ada beberapa alasan ditambahkan air dengan maksud untuk memperbaiki keempukan serta juiciness, jika tidak akan kurang disukai bila kelembabannya berkurang (Aberle et al. 2001)

Menurut Pearson dan Tauber (1984) penambahan es pada pembentukan emulsi daging mempunyai tujuan (1) melarutkan garam dan menditribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi dan (4) mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah akibat pemanasan mekanis.

Keripik daging

Keripik adalah merupakan makanan jajanan atau cemilan yang populer baik di Indonesia maupun di dunia. Bentuk dan ukuran keripik sangatlah bervariasi tergantung dari jenis bahan yang digunakan ataupun keinginan produsen. Namun secara fisik keripik marupakan bahan makanan yang disayat tipis, baik sebelum atau sesudah diolah kemudian digoreng kering. Produk yang berasal dari sapi kita kenal kerupuk paru, sebenarnya namanya adalah keripik karena kerupuk paru tidak mengembang saat digoreng.

Siahaan (1988) menyatakan chip adalah keripik. Sedangkan menurut Dallal (1981) keripik adalah olahan bahan pangan yang dibuat dengan cara pengeringan atau penggorengan. Keripik dapat dibuat dari berbagai macam

bahan makanan berkabohidrat antara lain ketela pohon, kentang, pisang. Keripik mempunyai tekstur yang kering, ringan dan rasa yang renyah cripsness. Pembuatan keripik biasanya dilakukan untuk menbuat produk menjadi lebih awet.

Menurut Matz (1984) keripik banyak menyerap minyak selama penggorengan. Banyak sedikitnya minyak yang diserap akan mempengaruhi rasa, tekstur serta penampakan keripik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya minyak yang diserap adalah kandungan padatan bahan, suhu minyak goreng, ketebalan bahan serta fisik permukaan irisan.

Transfer Panas

Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak Panas yang ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999) Faktor- faktor yang mempengaruhi proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum digoreng (Krokida et al. 2001). Proses transfer panas pada daging yang sedang digoreng terjadi dalam dua cara. Transfer panas dari minyak goreng ke bahan terjadi secara konveksi dan transfer panas dalam bahan terjadi secara konduksi (Costa et al. 1999). Akibat adanya proses transfer panas bahan makanan yang akan digoreng mengalami

Dokumen terkait