DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. a. Hasil penelitian organoleptik warna pada pengasapan langsung,... 61 b. Sidik ragam organoleptik warna pengasapan langsung. ... 61 2. a. Hasil penelitian organoleptik warna pada pengasapan tidak
langsung. ... 62 b. Sidik ragam organoleptik warna pada pengasapan tidak
langsung ... 62 3. a. Hasil penelitian organoleptik aroma pada pengasapan langsung,... 63 b. Sidik ragam organoleptik aroma pengasapan langsung. ... 63 4. a. Hasil penelitian organoleptik aroma pada pengasapan tidak
langsung. ... 64 b. Sidik ragam organoleptik aroma pengasapan tidak langsung. ... 64 5. a. Hasil penelitian organoleptik rasa pada pengasapan langsung. ... 65 b. Sidik ragam organoleptik rasa pengasapan langsung... 65 6. a. Hasil penelitian organoleptik rasa pada pengasapan tidak
langsung. ... 66 b. Sidik ragam organoleptik rasa pengasapan tidak langsung... 66 7. Kadar air ... 67 8. Aktifitas air (aw) ... 68 9. Nilai pH ... 69 10. Tingkat kekerasan ... 70 11. Kadar protein... 71 12. Kadar lemak ... 72 13. Ketengikan (TBA)... 73 14. Kadar formaldehid ... 74 15. Total koloni mikroba (TPC)... 75
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi populasi sapi potong di Sumatera Barat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang sangat pesat (Tabel 1). Pada tahun 1998 populasi sapi potong sebanyak 421,328 ekor dan pada tahun 2003 menjadi 596,549 ekor (BPS, 2003).
Tabel 1. Populasi sapi di Sumatera Barat tahun 1998-2003 Tahun Jumlah populasi (ekor) % Kenaikan
1998 421.328 - 1999 425.918 1.08 2000 429.336 0.80 2001 501.356 16.77 2002 546.375 8.98 2003 596.549 9.18
Sumber : Badan Pusat Statistik peternakan 2003
Tahun 2005 diperkirakan populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebanyak 656.250 ekor, dengan laju pertumbuhan 10.01 persen. Menurut data Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, untuk kosumsi masyarakat Sumatera Barat memerlukan 57.247 ekor sapi setiap tahunnya, sementara untuk kebutuhan luar provinsi yang dipasok dari Sumatera Barat sebanyak 23.458 ekor/tahun.
Dengan meningkatnya populasi ternak tersebut maka pemotongan ternak juga mengalami peningkatan. Untuk itu diperlukan suatu penanganan pasca panen yang memadai sehingga produksi yang diperoleh tidak terbuang akibat kerusakan yang disebabkan oleh proses mikrobiologis, kimia dan fisik. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha penanganan pasca panen dengan cara mengolah dan mengawetkan daging tersebut menjadi produk-produk yang berkualitas dimana salah satunya adalah dendeng.
Dendeng merupakan suatu produk daging kering khas Indonesia yang proses pembuatannya melalui pengirisan daging menjadi lembaran tipis diikuti dengan proses curring (penggaraman) dan pengeringan. Di Sumatera Barat terdapat makanan khas yang dikenal dengan nama dendeng batokok. Dendeng batokok merupakan makanan tradisional yaitu makanan yang diolah secara khas dengan menggunakan bahan baku utama yang dihasilkan di tingkat lokal, serta sudah dikenal lama karena diturunkan dari generasi ke generasi masyarakat lokal, Dendeng batokok ini sangat disukai masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat Sumatera Barat karena rasanya yang khas. Namun sangat disayangkan produk ini belum populer dikonsumsi oleh masyarakat lain di Indonesia
Rata-rata dendeng batokok memiliki daya simpan hanya sampai dengan 2 hari. Kerusakan dendeng batokok atau bahan pangan asal daging lainnya dapat disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri, aktivitas enzim, suhu, kadar oksigen, sinar dan penyimpanan Dengan keterbatasan waktu penyimpanan tersebut, maka perlu diperkenalkan suatu metode pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas produk sehingga dapat memperpanjang masa simpan.
Proses pengolahan dendeng dengan menggunakan asap merupakan salah satu usaha pengolahan daging dengan teknik yang sederhana, biaya murah dan tidak dipengaruhi oleh keadaan cuaca, serta jenis daging. Pengasapan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan serta meningkatkan cita rasa yang khas terhadap produk. Pengasapan biasanya dikombinasikan dengan proses pemanasan dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan juga mengeringkan bahan pangan sehingga menjadi awet (Wibowo,1992).
Permasalahan pokok yang ditemui pada pengolahan dendeng batokok dengan proses pengasapan adalah: 1) proses pengasapan masih tradisional, yaitu dengan menggunakan tungku dan dandang dengan ruang asap terbuka sehingga menyebabkan banyak asap yang hilang dan tidak meresap ke dalam daging dan pada akhirnya dapat mempengaruhi mutu, penampilan, dan warna, 2) lama pengasapan dan suhu pengasapan yang bervariasi, dengan waktu antara 1-7 jam serta suhu yang tidak stabil berkisar antara 25–75oC sehingga menyebabkan masih tingginya kadar air yaitu berkisar antara 50–65% (dimana hal ini dapat
mempengaruhi masa simpan), serta produk yang dihasilkan tidak menarik, 3) lama pemeraman daging berserta bumbu dan garam bervariasi antara 1-6 jam sehingga dapat mempengaruhi, tekstur, aroma dan warna, 4) sanitasi dan higienis selama proses pengolahan belum begitu diperhatikan sehingga produk dapat terkontaminasi oleh mikroba dan 5) belum adanya pengungkapan secara ilmiah dan cara pemecahan masalah mengenai pengolahan secara tradisional dendeng batokok dengan pengasapan.
Dalam memproduksi dendeng perlu diperhatikan spesifikasi persyaratan mutu dendeng sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima di pasaran dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Persyaratan mutu ini dikeluarkan oleh Standar Nasional Indonesia (1995). Persyaratan mutu dendeng kering, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan mutu dendeng Standarisasi Nasional Indonesia Persyaratan
NO Jenis Uji
Mutu I Mutu II
1. Warna dan bau Khas dendeng Khas dendeng
2. Kadar air (bobot/bobot) Maks 12 % Maks 12 % 3. Kadar protein (bobot/bobot) Min 30 % Min 25 % 4. Abu tidak larut asam (bobot/bobot kering) Maks 1 % Maks 1 % 5. Benda asing (bobot/bobot kering) Maks 1 % Maks 1 % 6. Kapang dan serangga Tidak tampak Tidak tampak Sumber: Standarisasi Nasional Indonesia 1995
Dari permasalahan pokok sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian guna memperbaiki teknologi pengolahan dan pengasapan dendeng batokok, sehingga dapat menghasilkan suatu paket teknologi tepat guna yang dapat bermanfaat dalam usaha meningkatkan mutu dan memperpanjang masa simpan dendeng batokok tersebut. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi, pengetahuan dan pengembangan serta perbaikan proses pengolahan dan pengasapan dendeng batokok terhadap nilai gizi, keamanan pangan serta masa simpan.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembuatan dendeng batokok produk khas Sumatera Barat dengan menggunakan dua metode pengasapan yang berbeda, yaitu pengasapan langsung dan pengasapan tidak langsung.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui lama pengasapan dan suhu pengasapan terbaik dengan cara menggunakan dua metode pengasapan yang berbeda yaitu pengasapan langsung dan pengasapan tidak langsung dalam pembuatan dendeng batokok dengan melihat pengaruh lama pengasapan dan suhu pengasapan tersebut terhadap mutu fisiko-kimia produk serta nilai organoleptik dendeng batokok selama penyimpanan.
Hipotesis
1. Metode pengasapan, lama pengasapan dan suhu pengasapan yang berbeda berpengaruh terhadap nilai kesukaan konsumen.
2. Perlakuan pengasapan dan perlakuan penyimpanan berpengaruh terhadap mutu fisik, mutu kimia dan mutu keamanan pangan.
3. Interaksi perlakuan pengasapan dengan perlakuan penyimpanan berpengaruh terhadap mutu simpan dendeng batokok
TINJAUAN PUSTAKA
Kualitas Dendeng Daging Sapi dan Pembuatan Dendeng Batokok
Menurut Hadiwiyoto (1983), dendeng merupakan hasil olahan daging secara tradisional dan merupakan hasil suatu proses kombinasi antara perendaman dan pengeringan. Purnomo (1996) menyatakan bahwa dendeng merupakan suatu produk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia.
Pada umumnya dendeng yang banyak terdapat di pasaran adalah dendeng daging sapi yaitu dendeng yang dibuat dari bahan baku daging sapi. Meskipun demikian dendeng dapat juga dibuat dari jenis daging lainnya seperti daging ayam, daging itik, daging kambing, daging babi dan sebagainya. Selanjutnya Yusfrida (2000) menambahkan dendeng umumnya mempunyai rasa enak, karena ditambahkan bumbu-bumbu berupa garam, gula, ketumbar, asam dan bawang putih, serta mempunyai warna coklat kehitaman yang disebabkan oleh pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi pencokelatan non enzimatis, kemungkinan warna dapat pula disebabkan oleh adanya proses karamelisasi selama proses pembuatan dendeng tersebut.
Menurut Buckle et al (1987) dendeng dapat digolongkan ke dalam makanan setengah lembab asal daging (Intermediate Moisture Meat) karena kadar air dendeng berada dalam kisaran kadar air makanan setengah lembab yaitu 25 persen. Suparno (1992) menyatakan bahwa dendeng mempunyai masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air 15-20% dan pH 4,5–5,1. Selanjutnya Purnomo (1996) melaporkan bahwa dendeng yang ada di pasaran kebanyakan mengandung kadar air antara 9,9-35,5 persen, kadar garam antara 0,4-15,5 persen. Dendeng yang diperoleh di pasar mempunyai standar mutu mikrobiologis yang kurang baik. Keadaan ini disebabkan karena sanitasi dan higienis yang kurang baik sehingga terjadinya kontaminasi silang selama proses pembuatan, penanganan pasca produksi dan selama penyimpanan
Dendeng biasanya berbentuk seperti sayatan atau lembaran daging yang tipis setebal 1,5–2 cm. Dalam pembuatan dendeng, sayatan daging tipis ini
direndam dalam bumbu selama 1-6 jam. Kemudian dilakukan pengeringan sehingga produk dendeng berbentuk sayatan daging yang kering (Buckle et al, 1987).
Dendeng batokok adalah salah satu produk olahan daging secara tradisional khas Sumatera Barat yang diiris tipis, diperam dengan bumbu, diasap dan dipukul-pukul (ditokok). Dendeng ini mempunyai rasa yang spesifik dibandingkan dendeng biasa, hal ini disebabkan karena terjadinya penambahan flavor dari bahan bakar yang berupa asap (Marzaleni, 2005)
Menurut Yusfrida (2000) dan Yustin (2005), perbedaan dendeng kering dengan dendeng batokok antara lain terletak pada cara pembuatannya. Dendeng batokok untuk pengeringannya menggunakan bahan bakar asap dan selama pengasapan daging dendeng ini dipukul-pukul dengan batu atau alat pemukul lainnya, dendeng yang dihasilkan mempunyai cita rasa yang khas. Pada pembuatan dendeng kering proses pengeringannya menggunakan panas yang berasal dari sinar matahari atau oven dan produknya masih berasa daging. Ditambahkan Purnomo (1996), bahwa pengeringan dendeng sapi ada tiga cara yaitu; pengeringan dengan sinar matahari, pengeringan dengan oven (dehidrasi) dan pengeringan dengan pengasapan. Perbedaannya dari ketiga cara ini terdapat pada lama waktu yang digunakan untuk mengeringkan produk dendeng tersebut.
Dendeng batokok diolah secara tradisional. Menurut Noor (1994), makanan yang diolah secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana dimana pengolahannya dilakukan dengan berbagai ragam proses pada industri rumah tangga yang lingkungannya kurang menunjang, pada umumnya tidak memenuhi standar mutu. Secara umum sifat dari produk pengolahan tradisional adalah; (1) perubahan-perubahan pada produk tidak terkontrol. Setelah proses pengolahan selesai, proses enzimatis, kimiawi dan biologi agak terhambat, tetapi beberapa saat kemudian berlangsung kembali, (2) produk yang dihasilkan tidak dilindungi dari keadaan lingkungan seperti suhu, kelembaban dan kemungkinan tercemarnya dari udara, (3) bentuk dan mutu dari produk yang dihasilkan sangat bervariasi, terutama nilai organoleptik terhadap warna, tekstur dan cita rasa.
Menurut Yusfrida (2000), proses pembuatan dendeng batokok dimulai dengan menyayat daging tipis memanjang dengan ukuran 8 x 8 x 0,5 cm,
selanjutnya daging tersebut diremas-remas dengan bumbu dan garam dapur. Setelah diremas daging tersebut diperam selama 1-3 jam agar bumbu dan garam dapat meresap ke dalam daging dan kemudian dilakukan pengasapan selama 1–5 jam dengan menggunakan tungku yang ditutupi dandang berisi air dan bahan bakar asap berupa kayu akasia, tempurung kelapa dan serabut kelapa. Selama beberapa selang waktu pengasapan berlangsung, sambil dibolak balik daging tersebut dipukul-pukul (ditokok, Sumatera Barat) sehingga serat daging akan menjadi putus dan daging menjadi lunak dan mudah untuk digigit.
Bahan Baku Pembuatan Dendeng Batokok Daging Sapi Segar
Adnan (1977) mengemukakan bahwa daging segar mempunyai komposis terdiri dari protein 17 %, lemak 20% dan air 60 %. Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging adalah semua jaringan hewan dan semua hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen. Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong (Purnomo, 1996).
Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging (Bahar, 2003).
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan bahan yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin (Soeparno, 1994). Selanjutnya Bahar (2003) menyatakan komposisi kimia terbesar daging adalah air (65-80%), komposisi lainya adalah protein (16-22%), lemak (1,3-13%), karbohidrat (0,5-1,3%) dan mineral vitamin (1%) .
Daging segar adalah daging yang berasal dari seekor ternak dan telah mengalami perubahan fisik dan kimia setelah proses pemotongan, tetapi belum
mengalami proses lebih lanjut seperti pembekuan, penggaraman, pengasapan dan sebagainya. Daging ini mudah busuk untuk itu harus segera diolah. Sedangkan daging olahan adalah daging yang diolah terlebih dahulu melalui suatu proses seperti penggaraman, pembekuan, pengasapan dan pengeringan (Bahar, 2003).
Soeparno (1994) mengemukakan bahwa daging mengandung protein, lemak, air, vitamin, mineral dan sebagainya dalam komposisi yang berbeda tergantung pada bangsa, makanan dan umur hewan. Kandungan gizi daging dari berbagai ternak berbeda-beda, akan tetapi setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50 % serta, 35% zat besi atau 100 % zat besi bila daging itu berupa hati dan juga 25-60% Vitamin B komplek (Bahar, 2003).
Bumbu - Bumbu
Rempah-rempah yang sering digunakan sebagai bumbu dalam pembuatan dendeng adalah jahe, ketumbar, bawang merah, bawang putih. Rempah-rempah ini yang dapat memberikan rasa enak, rasa pedas, aroma dan sebagai bahan pengawet, bumbu berperan menentukan mutu pada dendeng batokok (Marzaleni, 2005). Pada umumnya bumbu-bumbu bersifat aromatik tinggi dan banyak mengandung minyak atsiri esensial. Oleh karena bumbu-bumbu ini produk alami, maka konsentrasi komponen serta kemampuan memberi flavor sangat tergantung pada musim atau tempat asal tanaman bumbu-bumbu tersebut (Syarif dan Irawati, 1988).
a) Bawang putih
Bawang putih (allium sativum L) digunakan sebagai rempah-rempah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, terutama bakteri dan khamir. Sifat menghambat pertumbuhan mikroba tersebut disebabkan adanya sifat allisin yang sangat efektif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Bawang putih mempunyai bau yang khas untuk menambah aroma bahan pangan
b) Jahe
Jahe merupakan bagian akar dari tanaman. Jahe (zingiber officinale roscoe) dan laos (alpinia malaccensis roscoe) mempunyai aroma dan rasa yang pedas dimana dalam proses pengolahan pangan digunakan sebagai bumbu
tambahan untuk meningkatkan aroma dan rasa. Laos mengandung 0,5-1,0 persen minyak atsiri esensial dengan odor seperti jahe. Minyak atsiri esensial ini mengandung ∝-pinene, sineol dan metilsinamat.
c) Ketumbar
Ketumbar (oriandrum sativum L) menimbulkan bau sedap dan rasa gurih, sehingga dapat menghilangkan bau yang tidak sedap. Ketumbar dilaporkan mempunyai aktifitas lipolitik yang kuat serta fraksi yang larut dalam petroleum ether mempunyai aktifitas antioksidan. Ketumbar merupakan salah satu rempah-rempah yang banyak digunakan di dalam pembuatan dendeng baik dalam bentuk biji maupun dalam bentuk setelah digiling halus.
d) Asam Jawa.
Menurut Purnomo (1996), asam dikenal sebagai daging buah dari tanaman tamaricus indica linn. Asam dapat menurunkan pH makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Disamping itu juga untuk mengurangi rasa manis, menambah rasa, memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang mengandung pekltin juga memperbaiki tekstur.
e). Garam Dapur (NaCl)
Pada umumnya batas penggunaan garam (NaCl) tergantung pada jenis produk pangan yang akan dihasilkan dan disesuaikan dengan permintaan konsumen. Tidak ada peraturan khusus yang membatasi penggunaan garam (NaCl) yang ditambahkan pada daging maupun produk unggas lainnya. Hal ini disebabkan karena efek dari penambahan garam (NaCl) umumnya terbatas pada rasa dari produk yang ingin dihasilkan serta mencegah pertumbuhan mikroorganisme perusak (Trout dan Schmidt, 1987).
Lawrie (1985) menyatakan bahwa makanan dengan kadar garam 1-10 % masih digolongkan sebagai makanan dengan kadar garam rendah serta paling mudah mengalami kebusukan dan terkontaminasi oleh bakteri patogen. Ditambahkan oleh Abubakar (1992), bahwa garam berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri karena garam (NaCl) memiliki daya osmotik untuk menarik
air dari dalam sel bakteri sehingga dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi pada bakteri dengan cara memecah membran sel bakteri.
Model Pengasapan dan Bahan Asap Dendeng Batokok Model Pengasapan
Pengasapan merupakan salah satu bagian dari proses pengolahan dan pengawetan yang dilakukan secara tradisional yang telah diketahui oleh masyarakat umunya. Pengasapan daging dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada bahan-bahan yang dihasilkan dari asap pembakaran kayu tertentu untuk masuk ke dalam bahan makanan dengan tujuan untuk mengawetkan, bahan-bahan tersebut mengandung antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk tersebut (Girard, 1992). Ditambahkan oleh Soeparno (1994), tujuan pengasapan daging adalah untuk meningkatkan flavor, mencegah ketengikan dan menghasilkan penampakan produk yang menarik.
Menurut Moeljanto (1992), ada beberapa model pengasapan yang sudah berkembang pada saat ini yaitu pengasapan langsung (direct smoke), pengasapan tidak langsung (indirect smoke) dan pengasapan sintetis (artificial smoke). Penggunaan model pengasapan ini mempunyai teknik dan cara pemakaian yang berbeda.
a. Pengasapan Langsung
Pada pengasapan langsung, suhu yang digunakan berkisar antara 65-80oC. Pengasapan ini berupa pemanggangan atau disebut dengan pengasapan panas, karena produk yang diasap langsung berhubungan dengan bahan bakar. Bahan bakar tepat berada di bawah produk yang diasapkan (Moeljanto, 1992)
Menurut Wibowo (2002), tujuan utama dalam pengasapan panas adalah untuk mengawetkan, memberi warna serta rasa yang khas pada produk yang diasap. Dalam pengasapan panas jarak antara produk dengan sumber bahan bakar asap dilakukan sedekat mungkin, dan panas yang berasal dari api cukup besar. Pengasapan ini dilakukan di dalam ruang asap (smoke house), dengan menggantungkan daging pada rak atau kayu di ruangan asap dan daging tidak boleh bersentuhan satu dengan yang lain.
Pengasapan dengan suhu tinggi akan menghasilkan produk matang dalam waktu yang lebih singkat, sehingga penetrasi dari asap lebih sedikit (Kramlich, 1982). Bratzeler et al. (1969) menambahkan bahwa pengasapan dengan suhu tinggi akan menyebabkan kematian sebagian atau seluruh mikroba yang terdapat pada daging. Kematian mikroba pada daging tergantung dari tingginya suhu pemanasan dan lamanya pemanasan. Selain itu jumlah mikroba awal dan jumlah mikroba akhir setelah pengasapan juga turut menentukan.
Menurut Saanin et al. (1975), kekurangan pengasapan suhu tinggi terletak pada proses pengasapan yang lebih cepat, sehingga tidak menjamin ketahanan untuk dapat disimpan lama (kandungan airnya masih tinggi). Selanjutnya, produk yang diperoleh dari pengasapan panas memiliki daya simpan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengasapan dingin karena pada pengasapan dingin waktu pengasapannya lebih lama dan suhunya rendah sehingga penetrasi asap ke dalam jaringan tubuh produk lebih mendalam. Akan tetapi flavor yang diperoleh dari pengasapan panas lebih segar dan kuat.
b. Pengasapan Tidak Langsung
Pengasapan tidak langsung memiliki model dimana alat pengasapan atau tungku terletak terpisah dari ruang asap. Asap dari tungku dialirkan masuk ke dalam ruang pengasapan melalui pipa. Masuknya panas dari tungku ke dalam ruang pengasapan lebih mudah diatur sehingga pengaturan suhunya pun lebih mudah dilakukan (Wibowo, 2002).
Asap dibuat di luar ruangan dengan menggunakan sistem penghisapan. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu keras (Judge et al, 1989). Dalam pengasapan tidak langsung biasanya suhu dalam ruangan pengasapan berkisar 35– 85oC. Cara ini merupakan suatu proses pemanggangan secara perlahan-lahan. Suhu tinggi yang ada dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh produk sehingga produk yang diasapkan menjadi kering dan matang. Penggunaan ruang asap untuk pengasapan tidak langsung dapat mengguntungkan karena panas yang masuk keruang asap dapat dibatasi, selain itu kontaminasi kotoran dan lain-lain dari tempat pengasapan mudah diatasi (Moeljanto,1992).
c. Pengasapan Sintetis (Airtificial Smoke)
Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik. Asap cair diperoleh dengan cara destilasi kering bahan baku asap misalnya tempurung kelapa atau kayu pada suhu 400oC selama 90 menit. Destilat yang diperoleh dimasukan ke dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa teer, yang merupakan senyawa yang tidak larut dengan asam pirolignat (Moeljanto, 1992).
Menurut Pearson dan Tauber (1973), asap cair sudah banyak dipakai dalam proses pengolahan makanan yang diasap dan sudah ada yang dijual di pasaran. Ada beberapa hal yang menguntungkan pada asap cair dibandingkan dengan pengasapan tradisional (panas), antara lain: 1) tidak memerlukan peralatan generator asap yang cukup mahal, 2) komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian yang berulang-ulang, 3) senyawa-senyawa penyebab kanker (senyawa karsiogenik) dapat dikurangi, dan 4) lebih cepat dan hasilnya relatif banyak untuk setiap unit usaha.
Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengasap
Winarno et al (1980) mengemukakan bahwa pengasapan adalah suatu metode pengawetan untuk menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan, proses ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan asap sehingga daya tahan daging akan lebih lama. Jenis kayu keras, serabut kelapa dan tempurung kelapa menghasilkan asap yang banyak. Asap dari kayu keras pada bagian sellulosanya akan terurai menjadi senyawa-senyawa sederhana. Sellulosa merupakan komponen yang terdapat pada tempurung kelapa dimana sellulosa ini akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana antara lain alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik termasuk furfural, formaldehid, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet. Bagian lignin dipecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol dan senyawa-senyawa antioksidan dan pirogalol yang merupakan bagian dari 20 jenis senyawa antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1992).
Tempurung kelapa secara tradisional umumnya hanya digunakan sebagai bahan bakar. Setyamidjaya (1991) menyatakan tempurung kelapa merupakan bagian endocarp dari buah kelapa yang sangat keras, tebalnya 3 – 6 mm. Endocarp
merupakan lapisan yang keras karena banyak mengandung silikat (SiO2). Nilai kalori tempurung kelapa adalah 5500 kkal/kg (Woodroof, 1979). Tempurung kelapa mempunyai komposisi kimia yang hampir serupa dengan jenis kayu keras. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 3.
Menurut Woodroof (1979), keunggulan tempurung kelapa dari kelapa