• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Rancangan penempatan sistem deteksi rintangan pada traktor 75 2 Rancangan penempatan kamera beserta komponen-komponennya 76 3 Ditail gambar rangka, dudukan kamera, dan laser (box pelindung 77

4 Ditail dimensi Box pelindung 78

5 Rancangann kesatuan sistem deteksi rintangan 79

6 Dimensi rancangan kesatuan sistem deteksi rintangan 80 7 Nilai normalisasi citra sinar merah laser dengan rintangan papan

(triplek) pada jarak 2 m 81

8 Koordinat piksel setiap nomor laser pada jarak pengambilan citra 2, 3, 4,

5, 6, dan 7 m 93

9 Nilai RGB dan normalisasi berbagai warna latar belakang (rintangan) 94 10 Nilai RGB sinar laser merah pada setiap jarak pengambilan dengan

rintangan pohon 97

11 Nilai normalisasi (rgb) sinar laser merah pada setiap jarak pengambilan

dengan rintangan batang pohon 97

12 Kemampuan masing-masing pointer laser dalam mendeteksi rintangan 98 13 Akurasi pendugaan jarak rintangan oleh sistem deteksi rintangan 104

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Operasi dalam bidang pertanian membutuhkan tingkat akurasi dan produktivitas yang tinggi. Peneliti dan pengusaha mengembangkan sistem kontrol mesin untuk mengurangi kebutuhan waktu operasi dan pekerjaan yang membosankan pada lahan pertanian (Ahamed 2006). Salah satu kontrol yang dikembangkan adalah mengenai navigasi otomatis. Penelitian mengenai aplikasi sistem navigasi otomatis pada traktor pertanian merupakan salah satu topik yang banyak diminati pada dua dekade terakhir, terutama di negara-negara maju dalam upaya menerapkan precision farming (PF). Meskipun traktor pertanian otomatis (autonomous farm tractor) bisa direalisasikan, namun masih ada beberapa hal mendasar yang perlu dilakukan. Dua hal mendasar yang penting adalah, bagaimana traktor mengenal lingkungannya dan bagaimana traktor beraksi terhadap lingkungannya (Gray 2000). Traktor tanpa awak (unmanned tractor) meskipun sudah menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) untuk mengenali lintasan kerjanya, namun masih memerlukan kemampuan untuk mengenali medan di depannya agar dapat menghindari rintangan yang mungkin ada dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi (Perez 2008). Easterly et al., (2010), memadukan penggunaan Global Navigation Satelitte System (GNSS) dan sensor penginderaan vision sensing system dengan tingkat ketelitian mencapai 2 in (51 mm) pada kecepatan maju traktor antara 2-5 m/s.

Sensor deteksi rintangan (obstacle detection sensor) merupkan komponen yang vital dalam pengembangan traktor otomatis dalam rangka mengenal lingkungannya. Para peneliti telah menggunakan berbagai macam teknologi sensor untuk mendeteksi rintangan pada lintasan kerja traktor. Gray (2010) mengungkapkan hanya terdapat lima sampai enam perbedaan efektif jenis sensor deteksi rintangan. Sensor-sensor ini dapat diurutkan mulai dari harga yang murah sampai sangat mahal. Masing-masing sensor mempunyai keunggulan dan kelemahan untuk aplikasi yang berbeda-beda. Jika sensor yang digunakan efektif untuk menciptakan peta yang akurat untuk lingkungan kendaraan, maka hal ini memungkinkan untuk digunakan dalam mendeteksi rintangan dalam lingkungan pertanian.

Kamera CCD (Charge-Coupled Device) merupakan salah satu sensor deteksi rintangan yang dianggap sebagai sensor pasif karena merupakan sensor yang memerlukan cahaya tambahan untuk menerangi bidang pandangnya (Gray 2010). Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan kamera untuk mendeteksi rintangan, misalnya Apostolopoulos (1999) menggunakan camera vision (dua kamera) yang dilengkapi dengan laser detection untuk menemukan meteorit dibenua Antartika. Bischoff (1999) menggunakan beberapa kamera untuk robot indoor dalam melayani manusia. Sebagian besar peneliti menggunakan dua buah kamera untuk mengenal lingkungan kerja robot. Namun dalam penggunaan camera vision ini terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah biaya yang mahal dan sulit untuk diterapkan dalam sistem real-time karena proses komputasinya yang sangat lambat (Langer 1999 dalam Gray 2010). Selain itu, masalah besar dalam pengembangan stereo vision adalah bagaimana membedakan warna background (latar belakang) gambar dan rintangan. Background gambar

2

seringkali mempunyai warna yang sama dengan warna tanaman sehingga menjadikan kamera tidak berfungsi (Harper 1999).

Dengan adanya permasalahan di atas maka pada penelitian ini dikembangkan suatu sensor deteksi rintangan yang mampu bekerja secara cepat sehingga dapat digunakan dalam kondisi real-time, biaya operasional yang murah, dan dapat dengan mudah membedakan antara warna objek (rintangan) dengan warna background pada gambar. Kamera CCD dan sensor ultrasonik merupakan sensor yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian mengenai deteksi rintangan, terutama pada kendaraan pertanian. Namun sensor ultrasonik memiliki beberapa kekurangan, antara lain menurut Borenstein dan Koren (1998) dalam Gray (2010) menyatakan bahwa sensor ultrasonik akan bekerja secara efektiv apabila berada tegak lurus dengan target (objek) untuk memperoleh data jarak yang benar. Hal ini terjadi karena pantulan energi gelombang tidak akan dibelokkan ke depan sensor jika sensor dan target tidak tegak lurus. Berbeda dengan kamera CCD yang mampu melihat objek dalam berbagai kondisi penempatan objek, yang dalam Hal ini berupa rintangan.

Oleh karena itu maka pada penelitian ini digunakan satu kamera CCD yang dilengkapi sensor laser detection (pointer laser) yang berupa visible light sensor untuk mendeteksi rintangan yang berada di lintasan kerja traktor. Namun demikian citra yang ditangkap oleh kamera perlu mengalami beberapa pengolahan untuk mendeteksi kemungkinan adanya rintangan di depan traktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan algoritma pengolahan citra real-time untuk mendeteksi kemungkinan adanya rintangan pada lintasan kerja traktor tanpa awak tersebut. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian program IMHERE B2c IPB tahun 2010 hingga 2012 yang bertemakan Smart Tractor. Keluaran dari penelitian ini merupakan input ke sistem kemudi otomatik yang telah dikembangkan pada penelitian Rancang Bangun Sistem Kemudi Otomatis Traktor Pertanian Berbasis Navigasi GPS (bagian lain dari penelitian IMHERE B2c IPB 2010-2012). Penggabungan sistem ini nantinya diharapkan berguna ketika sistem GPS mengalami kesalahan dalam pembacaan ataupun adanya rintangan di wilayah kerja traktor sehingga traktor tetap mampu bernavigasi sesuai dengan jalur yang diharapkan.

Perumusan Masalah

Pendeteksian rintangan secara real-time merupakan suatu masalah dalam sistem kerja traktor tanpa awak (unmanned tractor). Rintangan yang akan menghambat kerja traktor dapat berupa pohon, batu, tiang, dan rintangan lainnya berupa benda-benda di depan traktor yang harus segera dihindari. Dalam pengembangan sistem visual pada deteksi rintangan menggunakan kamera, kecepatan proses pengolahan merupakan hal yang sangat signifikan yang mempengaruhi kinerja traktor dalam pengoperasiannya. Penggabungan sensor deteksi rintangan berupa kamera CCD dan laser detection diharapkan mampu mengenali rintangan pada lintasan traktor, membedakan antara objek rintangan dengan warna latar belakang citra dan mampu memberikan satu nilai jarak antara rintangan dengan traktor, sehingga traktor mampu mengambil keputusan. Keputusan dapat berupa perintah untuk traktor agar berbelok ke kiri lintasan, kanan, berhenti, atau terus berjalan pada lintasan yang sama apabila tidak terdapat

3 rintangan. Keputusan mengenai keberadaan dan jarak rintangan akan ditransfer pada traktor yang dikemudikan secara otomatis untuk melakukan navigasi otomatis pada lintasan kerja.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan program pengolahan citra real-time untuk mendeteksi kemungkinan adanya rintangan pada lintasan kerja traktor tanpa awak, dan mengarahkan traktor pada lintasan yang aman dengan cara memberikan koordinat baru lintasan tanpa rintangan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Smart tractor

Perkembangan pertanian membutuhkan cara baru untuk meningkatkan efisiensinya. Salah satu pendekatannya adalah dengan menggunakan teknologi informasi dalam bentuk mesin yang lebih cerdas (intelligent machines) untuk menurunkan energi input dengan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan sebelumnya. Munculnya arsitektur sistem otonomi (autonomous system) memberikan kesempatan untuk mengembangkan peralatan pertanian baru yang lebih lengkap berdasarkan mesin cerdas dengan ukuran yang lebih kecil. Traktor cerdas (smart tractor) adalah suatu mesin yang ditambahkan kecerdasan ke dalam mesin tersebut sehingga mampu berperilaku seperti manusia, mampu bekerja dalam waktu yang lama, tanpa adanya pengawasan, dan melakukan kerja yang bermanfaat (Blackmore et. al 20004b).

Ide mengenai robotic agriculture (pelayanan mesin cerdas pada lingkungan pertanian) bukanlah suatu hal yang baru lagi. Sebelumnya telah banyak dikembangkan penelitian dan kajian mengenai traktor tanpa awak namun hasil penelitian tersebut masih belum memuaskan, hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan untuk menjelaskan betapa kompleksnya dunia nyata (Blackmore et al 2004b). Yu (2009) mengembangkan teori chaotic bionics pada pengembangan navigasi otomatis untuk kendaraan tanpa awak (UAV). Multisensor yang terintegrasi digunakan untuk melakukan kontrol pada lingkungan real-time. Saat ini telah dikembangkan mesin cerdas yang kecerdasasannya cukup untuk bekerja pada lingkungan tetap atau semi alami. Mesin tersebut tidak harus bekerja secerdas manusia pada umumnya, namun harus mampu memerankan tingkah laku yang pantas dalam mengenali situasi dan kondisi sekitarnya. Salah satu cara untuk memahami kompleksitas adalah dengan mengenal apa yang dilakukan oleh manusia pada situasi tertentu dan menguraikan tindakan tersebut kedalam kontrol mesin. Metode ini disebut dengan tingkah laku robot dan konsep penerapan pada pertanian (Blackmore et al 2004b).

Pertanian presisi adalah sebuah inovasi yang terintegrasi dan mempunyai tujuan standar secara internasional untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan mengurangi kebutuhan yang tidak pasti dengan tujuan akhir untuk mengontrol pertanian yang bervariasi (Schellberg et al 2008). Menurut Shibusawa (1996) dalam Blackmore et al (2005) menyatakan bahwa perlakukan pada tanaman dan tanah secara selektif menurut kebutuhannya oleh mesin otomatis yang berukuran kesil merupakan langkah selanjutnya dalam pengembangan pertanian presisi dalam rangka menurunkan skala lahan menjadi lebih kecil untuk per individu tanaman atau phytotechnology.

Pengertian sederhana dari pertanian presisi lainnya adalah melakukan sesuatu pekerjaan secara tepat di tempat yang tepat dalam waktu yang tepat dengan jumlah yang tepat. Definisi ini tidak hanya dipakai untuk robot pertanian (robotic agriculture) dan phytotechnology tetapi juga digunakan pada tingkatan otomatisasi pada mesin pertanian. Penginderaan dan kontrol otomatis untuk masing-masing pekerjaan juga penting dan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini layak digunakan tetapi sangat lambat, oleh karena itu tidak

5 berjalan secara ekonomis jika dioperasikan pada traktor tanpa kemudi. (Blackmore et al 2004b).

Gambar 1 Traktor mini dengan: (a) Portal Crop Scouting Platform oleh Madsen dan Jakobsen (2001) dan (b) sub canopy robot ISAAC2 yang

dikembangkan oleh tim mahasiswa Hohenheim University (Blackmore et al 2005).

Menurut Rains dan Thomas (2009) ada lima komponen teknologi yang digunakan dalam pertanian presisi, yaitu Geographical Information System (GIS), Global Positioning System (GPS), sensors, variable rate technology, dan, yield monitoring. Sensor yang dipasang pada kendaraan aplikator dapat memberikan data yang dapat digunakan untuk menilai kondisi lapangan dan untuk menentukan (secara keseluruhan atau sebagian) tingkat aplikasi yang diinginkan. Beberapa contoh sensor yang umum digunakan adalah sensor Doppler seperti radar untuk menentukan kecepatan kendaraan aplikator (Sudduth 1999), kamera CCD untuk aplikasi deteksi rintangan (Ahmad 2006; Apostolopoulos et al 1999).

Rintangan

Menurut Robert dan Corke (1999) rintangan merupakan sesuatu yang menyebabkan bahaya dan tindakan yang tidak diinginkan jika terkena kendaraan (kendaraan yang dipasang sistem deteksi rintangan). Terdapat tiga kelas umum yang termasuk rintangan, yaitu manusia, kendaraan lain, rintangan lain yang terdapat pada lintasan. Menurut Ribeiro (2005), berdasarkan ilmu pengetahuan mengenai lingkungan dan posisi tujuan, navigasi robot otomatis mengacu kepada kemampuan robot untuk bergerak dengan aman menuju tujuan menggunakan pengetahuannya dan informasi yang diperoleh sensor dari lingkungan sekitarnya. Meskipun terdapat banyak perbedaan cara pendekatan mengenai navigasi, secara umum sebagian besar cara tersebut membaginya ke dalam hal perencanaan jalur (path planning) dan penghindaran rintangan.

Pengetahuan mengenai rintangan merupakan suatu tindakan yang erat kaitannya dengan sistem pemanduan suatu kendaraan dalam melakukan navigasi. Wilson (2000) menerangkan upaya peneliti lebih dari 50 tahun dalam mengembangkan sistem pemandu untuk kendaraan pertanian. Berdasarkan kajian yang dilakukan, terdapat dua teknologi terbaru yang digunakan, yaitu: komputer vision dan GPS (Global Positioning System) yang mana teknologi tersebut mempunyai kemampuan dan karakteristik yang mendekati dalam meniru kemampuan operator manusia untuk pelaksanaan sistem pemanduan kendaraan.

6

Sensor Deteksi Rintangan

Ide mengenai traktor otomatis bukanlah suatu hal yang baru lagi. Dengan menggunakan teknologi GPS dan sistem peralatan pertanian yang berbasis komputer menjadikan mimpi mengenai pertanian otomatis semakin dekat. Secara sederhana pekerjaan yang masih membosankan seperti pembajakan dan pemanenan pada lahan dapat digantikan oleh traktor otomatis yang tidak akan pernah lelah dalam bekerja dan akan melakukan pekerjaan yang diberikan. Kemampuan untuk mengenali lingkungan sekitar merupakan isu terpenting untuk kendaraan otomatis, khususnya traktor pertanian (Gray 2010). Traktor otomatis harus dilengkapi dengan sensor yang dapat mengumpulkan data lingkungan yang cukup yang akan digunakan untuk navigasi kendaraan otomatis dan mempunyai kecepatan kerja yang tinggi dan efektif.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai kendaraan otomatis dan robot diperoleh bahwa terdapat lima sampai enam perbedaan tipe sensor deteksi rintangan yang efektif. Sensor-sensor ini dapat diklasifikasikan mulai dari harga murah sampai yang sangat mahal. Masing-masing sensor ini mempunyai manfaat tersendiri pada masing-masing aplikasinya. Sensor-sensor ini tidak dibatasi untuk pendeteksian rintangan, namun sebagian sensor digunakan untuk lokalisasi kendaraan. Sensor ini juga dapat digunakan untuk mengekstrak perbedaan fitur daun untuk pengenalan tumbuhan yang digunakan dalam proses pemberian pupuk yang tepat, dalam jumlah yang tepat terhadap tumbuhan yang berbeda (Harper 1999). Sensor juga digunakan untuk proses pemetaan dan lokalisasi sebuah robot. Misalnya Horn (1995) menggunakan 3D laser-range-data pada robot untuk melakukan sistem lokalisasi pada robot yang melakukan navigasi secara otomatis. Jika sensor-sensor yang ada dapat digunakan secara efektif untuk membuat peta dari lingkungan kendaraan maka kemungkinannya sensor-sensor ini mampu mendeteksi rintangan pada lingkungan pertanian (Gray 2000). Sensor ini antara lain CCD kamera, Sensor ultrasonik (sonar), Scanning laser, 3D Sccanning Laser, dan Milimeter Wave Radar. Namun pada bagian ini yang dibahas hanya CCD kamera, Scanning Laser, dan3D Scanning Laser.

CCD Kamera

Kamera merupakan sebuah sensor pasif karena sensor ini membutuhkan cahaya dari lingkungannya untuk menerangi bidang pandangnya. Kamera dapat dikatakan mirip dalam arti yang sempit dengan mata manusia (Gray 2010). Motta et al (2001) menggunakan kamera CCD tunggal pada robot dalam rangka melakukan kalibrasi menggunakan 3D vision. Ali (2006) menggunakan kamera CCD tunggal dalam mendeteksi keberadaan pohon untuk navigasi otomatis kendaraan di hutan. Selain itu Subramanian (2006) juga menggunakan kamera tunggal untuk mengambangkan sistem machine vision dalam memandu kendaraan otomatis pada navigasi di perkebunan jeruk. Dua kamera bisa juga digunakan bersama sebagai stereo vision yang memberikan jarak ke target objek. Banyak penelitian yang telah menggunakan konsep stereo vision dalam mendeteksi rintangan. Antara lain Bischof (1999) menggunakan dua kamera untuk navigasi robot indoor HERMES yang bertugas dalam melayani manusia. Apostolopoulos (1999) menggunakan dua kamera untuk membantu dalam navigasi dan

7 pendeteksian rintangan untuk robot pencari meteorit di benua Antartika. Tiga kamera CCD juga digunakan pada robot HERMES III digabungkan dengan penggunaan laser range finder dalam melakukan navigasi otomatis (Andersen et al 1992).

Meskipun stereo vision menyerupai konsep mata manusia, akan tetapi sistem ini mempunyai beberapa kekurangan. Sistem stereo vision membutuhkan penerangan yang bagus, tanpa ini kamera tidak mampu menerangi bidang pandang sehingga menyebabkan rintangan tidak jelas dan bahkan tak terlihat. Selain itu biaya yang dikeluarkan pada sistem ini sangat mahal dan sangat lambat jika digunakan pada kondisi real-time, serta sulitnya membedakan antara latar belakang dan objek rintangan (Gray 2000). Warna latar belakang sering memiliki warna yang sama dengan warna tanaman sehingga kamera tidak berfungsi secara efektif (Harper 1999).

Gambar 2 Penggunaan kamera CCD sebagai sensor dalam navigasi dan deteksi rintangana pada: (a) robot indoor HERMES (Bischof 1999) dan (b) nomad robot (Subramanian 2006)

Beberapa peneliti melakukan penggabungan kamera CCD dengan sensor deteksi rintangan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran informasi yang lebih jelas dalam melakukan navigasi otomatis. Wu et al (1996) melakukan penelitian mengenai deteksi rintangan dengan menggunakan kamera CCD dan laser range finder radar (LRFR) dalam rangka mendapatkan informasi mengenai lingkungan. Model 2D lingkungan dibangun dan rintangan pada lintasan dideteksi dengan menggunakan informasi gabungan baik mengenai jarak citra yang diperoleh dari LRFR dan kamera CCD.

Scanning Laser

Scanning laser adalah jenis ke tiga dari sensor setelah CCD kamera dan sensor ultrasonik. Scanning Laser menggunakan sinar pantulan laser yang melewati kaca yang berputar. Sinar pantulan akan melewati kaca dan menuju target kemudian berbalik menuju sensor untuk perhitungan jarak. Dua tipe utama scanning laser telah digunakan. Pertama beam laser yang memancarkan sinar secara kontinyu dan dari pantulan sinarnya data jarak dihitung. Jenis laser ini termasuk laser kelas 1 dan tidak direkomendasikan karena tidak aman untuk mata.

8

Jenis scanning laser kedua adalah pulse laser yang mengirim banyak pulsa-pulsa laser dan rata-rata dari data jarak pada masing-masing pulsa ini digunakan untuk menentukan jarak ke objek. Laser jenis ini merupakan laser kelas 3 dan aman untuk mata. Keuntungan yang lain dari pulse laser ini adalah error pengukuran dapat diminimalisir dibandingkan dengan beam laser. Bailey (1999) menggunakan laser scanner untuk menentukan posisi dari robot seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Penggunaan laser scanner pada SydNav mobile robot (Bailey 1999)

3D Scanning Laser

3D scanning laser adalah jenis sensor deteksi yang keempat. Perbedaannya dengan 2D scanning laser adalah jauhnya perbedaan harga dan kerumitannya. Hasil scanning dari 3D scanning laser terlihat sangat menarik, tetapi untuk sistem real-time tidak memungkinkan. Untuk melakukan scan pada resolusi 8000 piksel membutuhkan waktu 80 detik. Kekurangan yang lain dari sensor ini adalah harganya per unit yang mahal. Beberapa 3D scanning laser dengan spesifikasi yang sama harganya bisa mencapai $150,000.00. Harga yang sangat mahal jika digunakan pada kendaraan pertanian meskipun kecepatan scanning nya real-time. Gambar 4 memperlihatkan 3D laser finder pada robot otomatis yang melakukan scanning pada rintangan berupa manusia pada lintasan kerjanya.

Gambar 4 Gambaran visual dari: (a) 3D Scanning laser, (b) objek sebagai rintangan, dan (c) hasil pembacaan scanning (Surmann 2001)

9 Tabel 1 Perbedaan lima sensor yang digunakan untuk mendeteksi rintangan (Gray

2010) Operasi dalam berbagai cuaca Operasi dalam berbagai pencahayaan Minimal jarak deteksi 15 m Kecepatan waktu respon Harga relatif murah CCD Camera √ √ √ Ultrasonik √ √ √ Scanning laser √ √ √ √ 3D Scanning laser √ √ Milimeter Wave Radar √ √ √ √

Teknik Pengolahan Citra Digital

Menurut Ahmad (2005) pengolahan citra (image processing) merupakan suatu sistem visual yang mengolah data citra dengan hasil pengolahan berbentuk citra lain yang mengandung atau memperkuat informasi khusus pada citra hasil pengolahan sesuai dengan tujuan pengolahannya. Pengertian pengolahan citra (image processing) sedikit berbeda dengan pengertian mesin visual (machine vision), meskipun keduanya seolah-olah dapat digunakan dengan maksud yang sama. Sedangkan terminologi mesin visual digunakan bila data hasil pengolahan citra langsung diterjemahkan dalam bentuk lain, misalnya grafik yang siap diinterpretasikan untuk tujuan tertentu, gerak peralatan atau bagian dari peralatan mekanis, atau aksi lainnya yang berarti bukan merupakan citra lain.

Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem penangkap citra digital (digital image acquisition system atau digitizen) yang melakukan penjelajahan citra dan membentuk suatu matriks dimana elemen-elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya pada suatu himpunan diskrit dari titik-titik. Sistem tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolah citra. Sistem penangkap citra digital sendiri terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu: sensor citra yang bekerja sebagai pengukur intensitas cahaya, perangkat penjelajah yang bertugas merekam hasil pengukuran intensitas pada seluruh bagian citra, dan pengubah analog-ke-digital yang mengubah harga kontinu menjadi harga diskrit sehingga dapat diproses dengan komputer (Arymurti dan Setiawan 1992).

Ada beberapa perangkat keras yang diperlukan terutama untuk melakukan proses digitasi yaitu sensor citra (image sensor), yang digunakan untuk menangkap pantulan cahaya dari objek yang kemudian akan disimpan dalam bentuk nilai intensitas di dalam memori komputer. Salah satu sensor citra yang paling banyak digunakan saat ini adalah solid-state image sensor karena mempunyai banyak kelebihan seperti konsumsi daya listrik yang kecil, ukurannya kecil dan kompak, dan tahan guncangan. Sensor jenis ini sangat diperlukan bila untuk diintegrasikan ke dalam suatu mesin atau sistem robotik agar bentuknya kompak dan padat (Ahmad 2005).

10

Solid-state image sensor mempunyai sebuah larik elemen foto-elektrik yang dapat membangkitkan tegangan listrik dari photon ketika menerima sejumlah energi cahaya. Sensor jenis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan caranya melakukan scanning, yang umumnya dibedakan menjadi dua yaitu jenis charge-couple device (CCD) dan complementary metal-oxide semi conductor (CMOS). Jenis CCD mempunyai kelebihan pada resolusi yang tinggi dan kompensasi dari ketersediaan cahaya yang lemah, sedangkan jenis CMOS mempunyai kelebihan pada bentuk yang kecil dan ringan dengan tetap memberikan hasil citra yang tajam.

Sebuah kamera TV umumnya terdiri dari satu atau lebih sensor citra. Sebuah lensa, dan rangkaian komponen lain seperti pembangkit scanning, penguat (amplifier) dan rangkaian pemroses sinyal. Sebuah kamera warna mungkin mempunyai tiga sensor citra, masing-masing untuk warna merah (red), hijau (green), dan biru (blue), atau mempunyai satu sensor yang dilengkapi dengan filter warna RGB. Untuk pengoperasian di luar ruangan dimana tingkat iluminasi sangat bervariasi dan tergantung pada keadaan lingkungan, sebuah kontrol otomatik untuk diafragma pembukaan lensa mungkin menjadi suatu kelengkapan yang diperlukan, agar citra yang dihasilkan tidak terlalu tinggi variasinya bila terjadi perubahan tingkat iluminasi (Ahmad 2005). Gambar 7 menunjukkan skema perangkat keras pengolahan citra beserta alirannya.

Gambar 5 Perangkat keras untuk pengolahan citra beserta aliran datanya (Ahmad 2005)

Sinyal yang dihasilkan oleh kamera TV adalah sebuah sinyal citra yang dapat digambarkan sebagai sinyal analog dari bentuk gelombang listrik yang tidak dapat langsung dipetakan ke dalam memori komputer untuk membentuk suatu citra. Sinyal analog ini kemudian dikonversi menjadi sinyal digital oleh sebuah

Dokumen terkait