• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

Latar Belakang

Satu dari empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus (DM), khususnya DM tipe-2 adalah terapi medikamentosa, termasuk terapi herbal. Obat antidiabetes oral (OAD) termasuk herbal, sebaiknya tidak hanya diketahui manfaat dalam kendali glikemiknya saja, tetapi sangat penting diketahui target organ serta mekanisme kerja obat tersebut. Anjuran ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua OAD bersifat hipoglikemik, hanya golongan insulin sekretagog saja yang dikenal sebagai bahan yang bersifat hipoglikemik. Suatu bahan yang bermanfaat sebagai antidiabetes haruslah bersifat paling tidak salah satu dari mekanisme atau termasuk dalam salah satu kategori di bawah ini:

1. Insulin sekretagog, yaitu bersifat insulinotropik atau dapat memicu sekresi insulin terutama fase cepat, seperti yang dimiliki oleh semua jenis sulfonilurea dan glinid. Obat golongan ini terutama memperbaiki hiperglikemia prandial, dan sesuai dengan sifatnya yang memperbaiki sekresi insulin, maka golongan ini, terutama yang termasuk dalam masa kerja menengah, potensial mencetuskan kejadian hipoglikemia.

2. Menekan produksi glukosa oleh hati (Hepatic Glucose Production) seperti yang dimiliki oleh biguanid. Golongan ini tidak memperbaiki sekresi insulin, tetapi lebih bersifat menghambat produksi glukosa hati, sehingga manfaat yang terlihat adalah perbaikan profil glukosa darah puasa, dan tidak potensial mencetuskan hipoglikemia. Dengan perbaikan glukosa darah puasa tentunya akan diikuti perbaikan glukosa prandial, dengan asumsi bahwa defek sekresi insulin fase cepat masih mampu mengatasi lonjakan beban glukosa.

3. Menghambat enzim glukosidase α. Aktivitas obat golongan ini menghambat enzim yang memecah polisakarida menjadi di- dan mono-sakarida dalam lumen usus, sehingga dapat memperlambat absorbsi glukosa dari saluran cerna. Dengan demikian dapat mengurangi lonjakan kadar glukosa darah prandial. Sudah tentu obat golongan ini tidak akan bermanfaat sama sekali bila komponen makanan yang dikonsumsi sudah dalam bentuk mono atau

disakarida seperti glukosa, fruktosa ataupun sukrosa. Sampai saat ini baru ada satu jenis OAD dalam golongan ini yaitu akarbose. Sebetulnya secara alamiah, kandungan yang tinggi dari serat tidak larut dalam air di dalam makanan juga mempunyai sifat yang sama dalam menghambat absorbsi glukosa, tetapi tidak berhubungan dengan mekanisme kerja enzim glukosidase α.

4. Insulin sensitizer. Golongan ini merupakan golongan OAD terbaru yang dapat memperbaiki resistensi insulin, terutama di jaringan otot, lemak dan juga di hati seperti yang dimiliki golongan tiazolidindion. Golongan ini tidak secara langsung menurunkan gukosa darah seperti yang dimiliki oleh sulfonilurea, tetapi melalui beberapa alur antara lain:

a. Menurunkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid=FFA) dalam sirkulasi darah, sehingga memperbaiki kinerja insulin pada organ target.

b. Menurunkan berbagai sitokin inflamasi sekunder, terutama TNFα, akibat penurunan FFA dalam sirkulasi, yang juga berdampak pada perbaikan kinerja insulin pada organ target, khususnya pada proses autofosforilasi reseptor insulin. Dengan demikian terjadilah perbaikan proses translokasi transporter glukosa isoform 4 (GLUT-4) yang terganggu pada DM tipe-2.

c. Agonis PPAR γ yang dapat memperbaiki transkripsi GLUT-4 di jaringan otot dan lemak, sehingga dapat memperbaiki gangguan transport glukosa ke dalam sel yang terjadi pada DM tipe-2.

Semua hal tersebut di atas bersifat memperbaiki kerja insulin, baik di jaringan lemak, otot dan hati serta pada sel β pankreas itu sendiri. Dengan demikian obat golongan ini bekerja tanpa meningkatkan sekresi insulin, tetapi memperbaiki kinerja insulin pada organ target seperti otot, lemak dan hati. Obat golongan ini tidak potensial mencetuskan hipoglikemia, tetapi karena mekanisme kerjanya secara tidak langsung, maka efek terapetik penurunan glukosa darah biasanya baru terlihat setelah sekitar 14 hari. Di samping efek tersebut di atas, ada penelitian yang menunjukkan bahwa

tiasolidindion dapat memperbaiki kapasitas kandungan granul insulin dalam sel β pankreas, dan efek ini tidak terjadi pada pemberian sulfonilurea maupun metformin.

Sampai saat ini, golongan OAD terbanyak yang beredar di seluruh dunia adalah golongan insulin sekretagog yang sangat bermanfaat dalam memperbaiki defek sekresi insulin fase cepat pada DM tipe-2, seperti sulfonilurea turunan dari sulfonamid. Sifat hipoglikemik dari senyawa ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Janbon dan kawan-kawan di Sekolah Kedokteran Montpelier, Perancis. Pemberian sulafonamid pada pengobatan demam tifoid secara oral menimbulkan kematian dan setelah diteliti lebih jauh kematian tersebut diakibatkan oleh penurunan gula darah yang sangat cepat. Dari situ lahirlah generasi pertama obat oral antidiabetes turunan sulfanilamid yakni tolbutamid, disusul oleh glibenklamid dan sampai sekarang masih turunan sulfonilurea akan tetapi lebih canggih dalam mekanisme penanganan penurunan gula darah seperti glimeperid. Sulfonilurea bertahan sampai sekarang sejak diketemukannya pada tahun 1942 (Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). Sebelum diketemukannya antidiabetes turunan sulfonilurea, pengobatan menggunakan herbal juga telah banyak dilakukan. Pengobatan herbal banyak yang berkhasiat akan tetapi banyak juga yang hanya berupa mitologi, oleh karena itu penelitian mekanisme kerja antidiabetes herbal perlu dilakukan.

Memahami mekanisme kerja antidiabetes memerlukan pengetahuan tentang penggolongan OAD, tetapi sangat disayangkan pengetahuan penggolongan OAD tersebut tidak banyak diketahui oleh tenaga medis, khususnya yang tidak mendalami diabetes. Ketidaktahuan tentang golongan OAD atau herbal tersebut, potensial menyebabkan kekurangtepatan dalam perencanaan terapi kombinasi. Penggunaan kombinasi OAD dan/atau herbal yang mempunyai organ target yang sama, khususnya golongan insulin sekretagog sudah tentu akan lebih cepat menurunkan kadar glukosa darah, tetapi juga potensial terjadi hipoglikemia yang berkepanjangan. Di samping itu, penggunaan golongan insulin sekretagog secara bersamaan dalam penggunaan kombinasi OAD, tanpa disadari akan meningkatkan beban sel β pankreas, sehingga diperkirakan dapat mempercepat kondisi gagal sekunder. Penggunaan kombinasi OAD yang tepat akan menghasilkan kendali

glukosa darah yang optimal, tanpa harus terjadi peningkatan sekresi insulin secara berlebihan, sehingga beban sel β pankreas dapat dikurangi. Agar terhindar dari pemberian dua atau lebih OAD dan/atau herbal yang memiliki mekanisme kerja serta target organ yang sama, perlu diketahui betul mekanisme kerja dan organ target dari berbagai OAD dan herbal tersebut.

Berbagai tanaman yang berkhasiat obat, khususnya sebagai antidiabetes telah banyak dipergunakan orang dan diteliti efek hipoglikemiknya (Grover et al, 2002, Yaniv et al, 1987). Pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian klinis dengan mengamati pengaruh berbagai bahan tradisional terhadap penurunan kadar glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi Streptozotosin (Gray & Flatt, 1998c, Gray & Flatt, 1998a, Babu & Stanely Mainzen Prince, 2004, Bhattacharya et al, 1997), aloksan (Kar et al, 2003, Noor & Ashcroft, 1989, Noor et al, 1989), tikus Wistar normal ataupun tikus diabetes Goto-Kakizaki (Hoa et al, 2004), kelinci DM yang diberi aloksan (Andayani YWR, 2002, Hasan, 1993) ataupun langsung pada penderita DM tipe-2 (Shekhar et al, 2002). Ada pula penelitian yang menilai pengaruh protektif biji klabet, terhadap kerusakan sel β pankreas akibat pemberian aloksan (Widowati et al, 2005). Minimnya informasi mekanisme kerja herbal antidiabetes terlihat pada banyaknya kombinasi herbal antidiabetes yang beredar di pasaran yang hanya mengemukakan kekuatan kombinasi herbal tersebut sebagai agen hipoglikemik tanpa berpikir pengaruh jangka panjangnya, seperti potensial hipoglikemia, ataupun beban sel β pankreas yang diperkirakan dapat menimbulkan gagal sekunder yang lebih dini.

Bratawali (Tinospora crispa) telah terbukti bersifat insulinotropik (Noor & Ashcroft, 1989, Noor & Ashcroft, 1998, Noor et al, 1989, Kiranadi, 1990). Kiranadi (1990) mendapatkan bahwa bratawali tidak menimbulkan aktivitas elektrik pada sel β pankreas, sehingga diambil kesimpulan bahwa bratawali tidak bekerja pada kanal K+ATP, tetapi melalui alur yang lain (Kiranadi, 1990). Noor

(1998) pada penelitiannya secara in vitro dengan menggunakan sel lestari penghasil insulin HIT-T15, memang mendapatkan bahwa selama inkubasi 60 menit, bratawali bersifat insulin sekretagog, tetapi tidak terlihat adanya aktivitas kanal K+ATP, yang ditunjukkan oleh tidak adanya efluks 86Rb. Pada penelitian

bratawali. Dengan demikian sangat mungkin bratawali memang bersifat meningkatkan efisiensi ion kalsium intraselular dalam proses sekresi insulin. Penelitian klinis di Thailand juga menunjukkan kegagalan terapi bratawali pada penderita DM tipe-2 yang sudah tidak respons terhadap obat antidiabetes oral yang menolak suntik insulin, bahkan efek samping perburukan fungsi hati dalam kurun waktu 6 bulan (Sangsuwan et al, 2004). Ini tidak serta merta menunjukkan bahwa bratawali tidak bermanfaat sebagai antidiabetes, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa bratawali tidak bermanfaat bagi DM dalam fase gagal sekunder, mengingat pemilihan sampel adalah kelompok gagal sekunder, yang tentunya tidak akan terlihat respon perbaikan glukosa darah, bila herbal tersebut bekerja sebagai insulin sekretagog, jadi tergantung pada ketepatan pemilihan sampelnya (Darmansyah, 2002). Kegagalan serupa juga beberapa kali terjadi dalam penelitian klinis herbal antidiabetes di Indonesia, seperti penggunaan serbuk sambiloto dan pare (unpublished).

Penelitian di Departemen Nutrisi Manusia, Institut Pertanian, Peshawar, Pakistan (Departmen of Human Nutrition, NWFP Agricultural University) menunjukkan penurunan glukosa puasa, trigliserida, kolesterol total dan kolesterol LDL pada penderita DM tipe-2 bila diberi 1, 3 dan 6 gr serbuk kayu manis (Cinnamomum casia) selama 20 sampai 40 hari (Khan et al, 2003).

Jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), dan Viscum album (mistletoe) (Gray & Flatt, 1999) juga terbukti bersifat insulinotropik pada sel lestari penghasil insulin BRIN-BD11, yang serupa dengan mekanisme kerja sulfonilurea sehingga kedua herbal tersebut bisa digolongkan ke dalam insulin sekretagog, karena mampu meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 20 menit. Pada penelitian ini sangat mungkin kedua jenis herbal tersebut bekerja pada kanal K+ATP, karena efek insulinotropik yang terjadi terhambat oleh pemberian 0,5 mM

diazoxide sebagai antagonis kanal K+ATP.

Buncis juga sudah terbukti mempunyai pengaruh menurunkan glukosa darah pada kelinci DM aloksan, tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerjanya (Andayani YWR, 2002). Perlu diperhatikan penggunaan aloksan sebagai zat diabetogenik, karena ada laporan yang mengatakan bahwa aloksan bersifat reversibel, tetapi tidak dengan streptozotosin.

Sambiloto (Andrographis paniculata) sudah terbukti dapat menurunkan glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi streptozotosin (Mafauzy et al, 2002, Niki et al, 2003, Nunemaker et al, 2004, Zhang & Tan, 2000) maupun pada kelinci DM yang diberi Streptozotosin (Borhanuddin et al, 1994), akan tetapi pada penelitian tersebut belum dipelajari lebih lanjut bagaimana mekanisme kerja dari sambiloto tersebut dalam menurunkan glukosa darah.

Dari penelitian tersebut di atas, ada beberapa dugaan mekanisme kerja sambiloto sebagai antidiabetes, antara lain:

1. Hambatan absorbsi glukosa dari usus. Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang mengamati pencegahan hiperglikemia pada kelinci nondiabetik yang diberi beban glukosa 2 mg/kgBB secara oral dan diberi minum ekstrak air sambiloto dengan dosis 10 mg/kgBB, tetapi pencegahan hiperglikemia tidak terjadi pada kelinci yang diberi adrenalin (Borhanuddin et al, 1994).

2. Perbaikan metabolisme glukosa. Kesimpulan ini diambil dari penelitian yang mendapatkan penurunan glukosa darah pada tikus diabetes yang diberi STZ dengan pemberian ekstrak alkohol sambiloto 0,1 sampai 0,4 g/kgBB. Penurunan glukosa darah puasa terlihat setelah hari ke 14 dan hal ini serupa dengan pemberian metformin sebagai pembanding positif. Efek penurunan glukosa darah tidak terlihat pada tikus normal. Pada penelitian ini juga tidak menunjukkan perbedaan kadar insulin di antara tikus normal dan DM STZ yang diberi sambiloto maupun metformin. Di samping itu terlihat penurunan kadar trigliserida puasa sebesar 49,8% pada tikus yang diberi sambiloto, dibanding 27,7% pada tikus yang diberi metformin (Zhang & Tan, 2000)

3. Perbaikan resistensi insulin. Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang mengamati penurunan glukosa darah pada tikus diabetik STZ dengan pemberian sambiloto secara oral. Berbeda dengan penelitian Zhang (2000), penelitian ini menunjukkan hambatan peningkatan glukosa darah pada test toleransi glukosa intravena pada tikus normal yang diberi 1,5 mg/kgBB sambiloto. Di samping itu terlihat peningkatan ambilan glukosa pada otot soleus tikus setelah mendapat sambiloto intravena berulang selama 3 hari

dan peningkatan mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al, 2003).

Sampai saat ini belum ada penelitian pengaruh sambiloto pada sel β pankreas sebagai herbal antidiabetes. Dengan mengetahui lebih jauh pengaruh sambiloto pada sel β pankreas, maka penggolongan sambiloto sebagai antidiabetes akan lebih jelas dan memudahkan para dokter apabila merencanakan terapi kombinasi multifarmasi, termasuk kombinasi dengan herbal, tanpa menambah beban sel β pankreas, sehingga dapat meminimalisasi kejadian hipoglikemia dan diharapkan dapat menunda terjadinya gagal sekunder yang terjadi secara dini.

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:

1. Pengaruh insulinotropik sambiloto pada sel β pankreas, dan bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan

2. Mempelajari pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase akut, dan bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan

3. Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi pengetahuan kepada kalangan medis dan awam tentang cara penggunaan sambiloto yang tepat dan aman sebagai herbal antidiabetes yang murah, mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat luas, untuk mencapai kendali glukosa darah sekaligus konservasi sel β pankreas.

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes melitus tipe-2, merupakan sindroma yang disebabkan oleh resistensi insulin atau terganggunya sensitivitas insulin pada jaringan otot, lemak dan hati, serta defek sekresi insulin, terutama defek sekresi insulin fase cepat oleh sel β pankreas. Dari gangguan tersebut di atas, defek sekresi insulin merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia yang berkepanjangan. Gangguan sensitivitas insulin, atau yang dikenal sebagai resistensi insulin sudah terjadi 1 – 2 dekade sebelum terjadinya hiperglikemia (DeFronzo et al, 1992, Gerich, 2003). Defek sekresi insulin sel β pankreas yang dicetuskan oleh asupan glukosa ke dalam sel β pankreas, diduga kuat disebabkan oleh terganggunya fungsi mitokondria sebagai sumber produksi ATP (Lowell & Shulman, 2005, Maassen et al, 2004)

Sekresi insulin fase lambat Sekresi insulin fase cepat

Waktu (jam) Insulin (n g /mL/ is let ) 11.1 mM glukosa

Gambar 1 Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang diinkubasi dalam larutan glukosa 11 mM (Grodsky 2000).

Pada penelitian in vitro, sel β pankreas normal yang diinkubasi dalam media yang mengandung glukosa dengan konsentrasi 11 mM selama 24 jam secara terus menerus, menunjukkan pola sekresi insulin bifasik (gambar 1), yaitu diawali dengan sekresi fase cepat yang terjadi pada 5-10 menit pertama setelah terpapar glukosa dengan konsentrasi 11 mM, yang selanjutnya diikuti oleh sekresi fase lambat, dengan puncak sekresi insulin sekitar jam ke 2-4, dan selanjutnya terjadi

penurunan sekresi insulin hingga mencapai sekresi minimal, yang dikenal sebagai sekresi basal (Grodsky, 1989, Rorsman et al., 2000, Grodsky, 2000).

Fenomena ini sangat erat hubungannya dengan interaksi yang sangat kompleks dari beberapa komponen sel, antara lain:

1. Kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP), yang berperan dalam

proses depolarisasi membran sel β pankreas secara fisiologis (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999).

2. Kanal ion kalsium (Ca2+channel), khususnya VDCC (Voltage Dependent Calcium Channels) tipe-L, yang berperan dalam proses influks ion kalsium ke dalam sel β pankreas, sebagai pencetus sekresi insulin, (Nunemaker et al, 2004, Schulla et al, 2003, Garcia-Barrado et al, 1996).

3. Ultra-struktur granul insulin yang menggambarkan distribusi granul insulin di dalam sitosol, yang berperan dalam terjadinya sekresi insulin dengan pola bifasik (Daniel et al, 1999, Rorsman & Renstrom, 2003).

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP)

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP), merupakan alat yang sangat

penting dalam proses sekresi insulin, karena merupakan penghubung utama antara proses metabolik dan sekresi insulin, melalui aktivitas elektrik membran, atau terjadinya depolarisasi membran sel β pankreas (Bryan & Aguilar-Bryan, 1997). Peran K+ATP ini sangat penting dalam proses sekresi insulin, dan bisa dianggap

sebagai inisiator fisiologis dalam rangkaian proses sekresi atau eksositosis granul insulin, karena proses fisiologis sekresi insulin yang dicetuskan oleh glukosa selalu diawali inhibisi kanal K+ATP ini. Besarnya peran K+ATP ini juga terlihat dari

begitu besarnya jumlah kanal K+ATP pada sel β pankreas, yaitu sekitar 103 sampai

104 dalam satu sel. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut di atas, K+ATPterletak

pada daerah granul insulin (Geng et al, 2003), bahkan K+ATP sebagai sensor ATP

terletak dalam satu tempat dengan kanal ion kalsium (VDCC), sensor cAMP dan sensor ion kalsium (Ca2+) (Shibasaki et al, 2004).

Membran plasma

Gambar 2 Ilustrasi ATP-dependent K+ channel (K+ATP)(Bryan & Aguilar-Bryan, 2000).

K+ATP adalah sebuah kompleks protein berbentuk tetramer dari 4 unit, di

mana masing masing unit terdiri atas 2 subunit, yaitu reseptor sulfonilurea (SUR- X), sebuah protein yang termasuk dalam superfamili ATP-binding cassette (ABC) dan kanal ion kalium KIR6.x (Potassium inward rectifier) (Aguilar-Bryan et al, 1995, Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Aguilar-Bryan et al, 2001, Aguilar-Bryan et al, 1998) (gambar 2). Subunit SUR-X mempunyai isoform SUR1 dan SUR2 yang dibedakan dari afinitasnya terhadap sulfonilurea, sedangkan SUR2A dan SUR2B dibedakan dari afinitasnya terhadap diazoxide (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Babenko et al, 1998, Inagaki et al, 1995, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). K+ATP

ini tidak hanya terdapat pada sel β pankreas saja, tetapi juga tersebar di berbagai jenis sel, dengan perbedaan komponen SUR, termasuk di sel α pankreas dan berfungsi sebagai regulator sekresi glukagon (Gromada et al, 2004).

K+ATP dengan komponen SUR1 dan KIR6.2, mempunyai afinitas tinggi terhadap sulfonilurea, terutama diketemukan pada sel β pankreas. K+ATP dengan

SUR2A dan KIR6.2, mempunyai afinitas lebih rendah terhadap sulfonilurea, banyak diketemukan di jaringan otot jantung, sedangkan K+ATP dengan komponen

SUR2B dan KIR6.1 atau KIR6.2 banyak diketemukan di jaringan otot polos (Babenko et al, 1998, Aguilar-Bryan et al, 2001, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000).

Reseptor ATP terletak pada subunit KIR6.2,sedangkan reseptor sulfonilurea dan diazoxide terletak pada subunit SUR-1 (gambar 3). Dalam kondisi istirahat, kanal K+ATP pada sel β pankreas selalu dalam keadaan terbuka, yang

memungkinkan ion kalium keluar menuju ekstraselular untuk mempertahankan konsentrasi kalium intraselular sekitar 130 mM dan konsentrasi ekstraselular 4 – 5 mM. Berbeda dengan sel otot, khususnya otot jantung, K+ATP dengan komponen

SUR2A dan KIR6.2 selalu dalam keadaan tertutup, dan terbuka bila dalam kondisi iskemia.

Gambar 3 Ilustrasi kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP)

(MacDonald & Wheeler, 2003)).

glibenklamid glibenklamid

Dalam keadaan istirahat, atau tanpa adanya peningkatan glukosa, pergeseran ion kalium menuju kompartemen ekstraselular akan menimbulkan potensial membran (resting membrane potential) sekitar -70 sampai -60 mV. Bila kadar glukosa dalam media inkubasi ditingkatkan sampai sekitar 7 mM, maka sudah akan terlihat peningkatan tegangan listrik membran atau sudah mulai terjadi depolarisasi, tetapi belum mencapai ambang untuk mencetuskan aktivitas elektrik membran. Aktivitas elektrik sel β pankreas baru terlihat bila glukosa ditingkatkan lebih tinggi sampai konsentrasi 11 mM, di mana terjadi depolarisasi yang lebih besar sehingga tegangan listrik atau potensial membran mencapai ambang elektrik,

yaitu sekitar –50 mV. Depolarisasi membran ini terjadi karena terhentinya pergeseran ion kalium dari intra-selular menuju ektra-selular, akibat tertutupnya kanal K+ATP (Mears & Atwater, 2000).

Gambar 4 Aktivitas elektrik sel β pakreas. (Mears & Atwater, 2000)

Peningkatan rasio ATP/ADP akibat metabolisme glukosa akan menyebabkan terjadinya ikatan antara ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 dan terjadilah inhibisi atau penutupan kanal K+ATP. Inhibisi K+ATP ini

menyebabkan depolarisasi atau terjadinya perubahan potensial membran menjadi sekitar -30 mV sampai -40 mV yang berdampak pada terbukanya kanal ion kalsium VDCC (gambar 4). Proses yang sama juga bisa terjadi bila berbagai golongan sulfonilurea berikatan dengan reseptornya pada subunit SUR-1. Sebaliknya akan terjadi aktivasi kanal K+ATP bila diazoxide berikatan dengan

reseptornya pada subunit SUR-1 yang mengakibatkan kanal K+ATP tetap terbuka,

sehingga tidak terjadi depolarisasi membran, yang selanjutnya tidak terjadi aktivitas elektrik membran, dengan demikian tidak terjadi proses sekresi insulin, yang diinisiasi oleh kanal K+ATP (gambar 5).

gliburid

Gambar 5 Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea (gliburid) dan diazoxide (Mears & Atwater, 2000)

Kanal ion kalsium (Ca2+ channels)

Ion kalsium sebagai intracellular (2nd) messenger, sangat vital dalam berbagai fungsi sel, termasuk sekresi insulin oleh sel β pankreas. Untuk menjamin kestabilan konsentrasi ion kalsium intraselular, diperlukan kanal ion kalsium untuk masuk ke dalam sel, dan transporter ataupun penukar ion kalsium untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol ke kompartemen ekstraselular (Belkacemi et al, 2005). Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui 3 pintu, yaitu:

1. VDCC, Voltage-Dependent Calcium Channel.

2. Transient Receptor Potential (TRP)-related Ca2+ channel, dan 3. SOC, Store-operated Ca2+ channel.

Sedangkan untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol diperlukan bantuan: 1. PMCA (Plasma membrane Ca2+-ATPase), Kalsium-ATPase membran

plasma

VDCC (Voltage dependent calcium channels).

VDCC merupakan kanal influks kalsium yang paling banyak dipelajari, dan mempunyai peran sangat penting dari berbagai sel dengan berbagai fungsi, termasuk fungsi sekresi insulin sel β pankreas (Nunemaker et al, 2004).

Gambar 6 Ilustrasi kanal kalsium yang bergantung tegangan lsitrik membran tipe- L (VDCC=voltage-dependent calcium channel; DHP=letak reseptor dihidropiridin; +++ = voltage-sensor) (MacDonald & Wheeler, 2003))

Sampai saat ini, berdasarkan kekuatan arus listrik yang diperlukan untuk aktivasi kanal kalsium tersebut, dikenal 3 subfamili (Catterall et al, 2003), yaitu antara lain:

1. L-type high voltage-activated (HVA) Ca2+ channel, atau VDCC tipe-L, yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi kuat, dan aktivasinya cukup lama, serta dapat dihambat oleh antagonis Tipe-L seperti dihidropiridin, fenilalkilamin dan benzothiazepine. Tipe-L ini terdiri atas CaV1.1, 1.2, 1.3 dan 1.4, banyak terdapat di jaringan otot dalam fungsi kontraksi dan sel endokrin dalam fungsi sekresi hormon. Tipe-L, khususnya CaV1.2 inilah yang sangat berperan pada proses sekresi insulin fase cepat (Schulla et al, 2003). Kanal kalsium tipe ini akan terbuka atau teraktivasi bila ada peningkatan tegangan listrik membran (depolarisasi), hal ini dimungkinkan karena VDCC tipe-L mempunyai sensor tegangan listrik (voltage-sensor) (gambar 6). Depolarisasi yang diperlukan untuk terbukanya VDCC tipe-L

ini tidak hanya terjadi akibat penutupan kanal K+ATP semata, tetapi bisa juga

dicetuskan oleh kondisi lain, seperti asam amino L-arginina atau kondisi artifisial dengan menambahkan 25 meq kalium ke dalam media inkubasi. Asam amino L-arginina yang bermuatan positif dapat menembus membran sel, sekaligus menyebabkan terjadinya depolarisasi yang cukup kuat untuk

Dokumen terkait