• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN BLASTOSIS PADA EMBRIO SAPI YANG

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua ... 31 2. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari

Kedua pada Zigot yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan

Simmental ... 31 3. Jumlah Pembentukan Morula pada Hari Kelima ... 32 4. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Morula pada Hari Kelima

pada Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan

Simmental ... 32 5. Jumlah Pembentukan Blastosis pada Hari Keenam ... 33 6. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Blastosis Hari Keenam pada

Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan Simmental ... 33 7. Jumlah Pembentukan Blastosis pada Hari Ketujuh ... 34 8. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Blastosis Hari Ketujuh pada

Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan Simmental ... 34 9. Jumlah Pembentukan Blastosis pada Hari Kedelapan ... 35 10. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Blastosis Hari Kedelapan

pada Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan

Simmental ... 35 11. Jumlah Pembentukan Blastosis pada Hari Kesembilan ... 36 12. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Blastosis Hari Kesembilan

pada Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan

Simmental ... 36 13. Jumlah Pembentukan Blastosis Total ... 37 14. Uji Khi-Kuadrat Jumlah Pembentukan Blastosis Total pada

Embrio yang Difertilisasi dengan Semen Sapi Bali dan Simmental . 37 15. Jumlah Ovary yang Diperoleh, Betina yang Dipotong, Oosit yang

13 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini permintaan kebutuhan daging sapi di Indonesia terus meningkat.Sampai saat ini kekurangan pemenuhan kebutuhan daging masih penuhi dari luar negeri baik berupa impor ternak hidup maupun daging beku.Melihat fenomena tersebut pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK).Program tersebut dilakukan salah satunya dengan mengangkat eksistensi ternak lokal dan meningkatkan kualitas serta kuantitas dari ternak lokal tersebut.Peningkatan dan percepatan jumlah populasi dimasyarakat telah banyak dilakukan dengan teknologi inseminasi buatan (IB), tetapi hal tersebut ternyata belum cukup.Salah satu upaya untuk membantu percepatan populasi sapi dalam negeri adalah dengan memanfaatkan teknologi reproduksi transfer Embrio (TE), dengan program transfer embrio populasi ternak dapat ditingkatkan dengan kelahiran ganda melalui sinergi IB dan TE maupun dengan TE 2 embrio.

Produksi embrio secara in vivo telah banyak dilaporkan, akan tetapi aplikasi teknologi ini masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan harga hormon untuk superovulasi cukup mahal dan membutuhkan ketrampilan khusus dalam melakukannya.Selain itu tingginya tingkat perbedaan dan respon yang tidak dapat diduga dari masing-masing donor menjadi faktor pembatas yang penting terhadap efisisnsi dan profitabilitas teknologi ini (Durocher, 2006).

Fertilisasi in vitro merupakan salah satu pengembangan bioteknologi reproduksi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan populasi, produktifitas, dan mutu ternak sapi di Indonesia.Pemanfaatan teknologi fertilisasi in vitro ini dapat dihasilkan embrio pada berbagai tahap perkembangan dalam jumlah yang besar dan waktu yang singkat, serta berguna untuk meningkatkan daya reproduksi sapi betina produktif maupun setelah masa produksinya habis, yaitu dengan memanfaatkan ovarium dari sapi betina tersebut setelah dipotong.Sapi betina produktif yang terlanjur dipotong maupun sapi betina yang sudah tidak produktif dapat dimanfaatkan ovariumnya untuk teknologi produksi embrio secara in vitro.

Sapi Bali (Bos javanicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang harus dilestarikan, karena sapi bali merupakan salah satu sapi penghasil daging yang cukup baik dan mudah beradaptasi dengan lingkungan, bahkan masih mempunyai

14 kemampuan adaptasi yang baik pada wilayah beriklim kering dengan tingkat cekaman iklim dan lingkungan pakan yang berat. Sapi Bali juga merupakan sapi asli Indonesia yang memiliki tingkat fertilitas yang baik.Melihat keunggulan-keunggulan tersebut sapi Bali sangat baik dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Peningkatan populasi sapi Bali dapat dilakukan dengan produksi embrio secara in vitro, untuk itu perlu dipelajari tentang kemampuan sperma sapi Bali dalam melakukan fertilisasi secara in vitro, dan kemampuan perkembangan embrio yang dihasilkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sperma sapi Bali (Bos javanicus) dibandingkan dengan sapi Simmental (Bos taurus)dalam melakukan fertilisasi secara in vitro dan pengaruhnya terhadap pembelahan sel sampai pada tahap blastosis.

15 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Bali (Bos javanicus)

Sapi Bali (Bos javanicus) diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia. Nozawa (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali.

Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng).Warna sapi betina dan anak atau sapi muda biasanya cokelat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah cokelat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Payne dan Rollinson, 1973; Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Kemampuan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).Pubertas sapi Bali dicapai pada kisaran umur 20–24 bulan untuk sapi betina sedangkan pada sapi jantan dicapai pada umur 24–28 bulan (Pane,1991).Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik, walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang baik sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini. Menurut Pane (1991) tingkat kebuntingan (conception rate) sapi Bali mencapai 85,9%, persentase beranak berkisar antara 70%-81%,meskipun tidak jelas namun terdapat bulan-bulan dimana banyak terjadi perkawinan. Pane (1991) melaporkan bahwa terdapat kenaikan perkawinan

16 pada bulan Agustus sampai Januari dan tertinggi pada bulan Oktober dan Nopember, sementara itu bulan Pebruari sampai dengan Juni merupakan bulan-bulan dengan perkawinan lebih rendah dan bulan dimana perkawinan paling rendah yaitu pada bulan Mei.

Spermatogenesis

Menurut Russell (1990) proses spermatogenesis merupakan proses yang kompleks dan berlangsung terus menerus untuk menghasilkan spermatozoa yang haploid dari suatu sel spermatogonia yang diploid. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap proliferasi (spermatositogenesis), tahap miosis dan fase diferensiasi (spermiogenesis). Proses proliferasi sel induk spermatogonia tipe A yang belum berdeferensiasi akan mengalami mitosis untuk menghasilkan dua spermatogonia tipe A yang sama. Bagian penting dari fase ini adalah fase ketika spermatogonia akan didaur ulang, karena ada beberapa spermatogonia hasil pembelahan yang tidak berkembang dan mengalami degenerasi dan terjadi apoptosis sel, sehinggamemberi tempat bagi spermatogonia yang lain yang tidak mengalami degenerasi (Senger, 2003).

Proses meiosis dihasilkan spermatosit sekunder dari spermatosit primer. Selama fase ini, keragaman genetic yang akan dibawa oleh spermatozoa matang nantinya bergantung pada replikasi DNA dan crossing over, sehingga tidak ada dua sperma yang memiliki sifat identik. Pada fase ini, dihasilkan spermatid yang bersifat haploid (n). Pada proses diferensiasi atau spermiogenesis, spermatid yang semula berbentuk bulat akan mengalami transformasi bentuk dengan keberadaan kepala yang mengandung materi genetik, ekor dan midpiece yang mengandung mitochondrial helix. Keseluruhan germ-cell yang belum dewasa akan berada pada membrane basal tubuli seminiferi (Senger, 2003).

Spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor-faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi hormonal, psikologis, dan genetik. Faktor eksogen dapat berupa bahan kimia dan obat-obatan, suhu, radiasi sinar-X, getaran ultrasonic, vitamin, gizi, trauma dan peradangan. Berlangsungnya spermatogenesis pada tubulus seminiferus melibatkan hipotalamus, hipofisis dan testis. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk mensekresikan Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).

17 LH memberikan rangsangan untuk perkembangan sel Leydig yang akan memproduksi hormon testosteron, sedangkan FSH berpengaruh langsung terhadap perkembangan sel sertoli dalam tubulus seminiferus dan meningkatkan sintesis protein pengikat hormon androgen atau Androgen Binding Protein (ABP). ABP merupakan glikoprotein yang mengikat testosteron.Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig diangkut dengan konsentrasi yang tinggi ke tubulus seminiferus (Lachland et al., 1996).

Gambar 1. Proses Spermatogenesis.

Sumber : Cummings (2008)

Sperma

Diferensiasi (Sel Sertoli menyediakan Nutrisi Spermatosit Sekunder Pembelahan Meiosis I Pembelahan Meiosis II Spermatid awal Spermatosit Primer Pembelahan Mitosis Pembelahan Mitosis

Sel Tunas Primordia pada Embrio

Pembelahan Mitosis Sel Batang

Spermatogonia

18 Proses Perkembangan Folikel (Folikulogenesis) dalam Ovarium

Perkembangan folikel atau folikulogenesis terjadi pada masa prenatal dan postnatal. Proses awal perkembanganfolikel terjadi pada masa prenatal. Proses awal perkembangan folikel terjadi pada masa prenatal (Wandji et al., 1996). Folikulogenesis dimulai dengan perekrutan folikel primordial pada folikel yang sedang tumbuh dan berakhir dengan ovulasi atau mati karena atresia. Folikulogenesis dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, disebut fase preantral atau gonadotropinindependen, ditandai oleh pertumbuhan dan diferensiasi oosit. Tahap kedua, disebut fase antral atau gonadotropin-dependent, ditandai dengan peningkatan yang luar biasa dari ukuran folikel itu sendiri (sampai kira-kira 25-30 mm). Tahap preantral dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal melalui mekanisme autokrin / parakrin. Tahap kedua diatur oleh FSH dan LH serta oleh faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan memberikan pengaruh yang besar karena dapat merangsang proliferasi sel dan memodulasi aksi gonadotropin (Williams dan Erickson, 2012).

Gambar 2.Proses Folikulogenesis.

Sumber : (Picton et al., 1998)

Proses folikulogenesis terjadi dalam korteks ovarium. Folikulogenesis dapat dianggap sebagai proses untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari organisasi melalui proliferasi sel dan cytodiferensiasi. Proses ini mencakup empat peristiwa perkembangan utama: 1) perekrutan folikel primordial, 2) perkembangan folikel preantral, 3) seleksi dan pertumbuhan folikel antral, dan 4) atresia folikel (Williams dan Erickson, 2012). 1 Pembentukan folikel primordia (35 µm) 2 Pengerahan dan pertumbuhan folikel (46-200 µm) 3 Pembentukan rongga antral (200-500 µm) 4 Pertumbuhan dan Pematangan folikel de Graaf

(>6000 µm) Pengembangan antrum Perkembangan Folikel 1 PGC 2 Oogonia 3 Permulaan Meiosis 4 Oosit diploid (2n4C) Perkembangan Oosit 5

Pertumbuhan oosit secara meiosis : Replikasi dan redistribusiorganel sitoplasma Transkripsi, translasi, dan Pentimpanan mRNA

Sintesis zona pellucida

6 Oosit Matang

(2n4C) Blokade Meiosis

19 Folikel primordial mengandung oosit yang berada dalam tahap profase I, tetapi belum menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya sampai mencapai masa pubertas. Folikel yang mengandung oosit akan mengalami perkembangan ketika hewan mencapai masa pubertas. Sel epitel yang mengelilingi oosit berubah menjadi epitel kubus sebaris dan disebut dengan folikel primer (Wandji et al., 1996).Folikel primer berkembang menjadi folikel sekunder dengan karakteristik telah bertambahnya sel epitel yang mengelilingi oosit sampai dengan 5 lapis sel. Zona pelusida mulai terbentuk pada folikel sekunder, sebagai suatu lapisan tipis di sekeliling oosit (Rachmawati, 2011).

Folikel tersier merupakan folikel antral yang akan berkembang menjadi folikel de Graaf. Folikel ini memiliki karakteristik telah terbentuknya antrum folikuli, yaitu ruangan yang terbentuk akibat perkembangan sel-sel folikuler.Antrum folikuli pada awalnya terpisah, tetapi kemudian bersatu menjadi suatu ruangan berbentuk bulan sabit. Antrum folikuler terus membesar hingga mendesak sel telur menuju tepian folikel hingga akhirnya terjadi proses ovulasi (Rachmawati, 2011).

Fertilisasi In vitro Maturasi Oosit

Maturasi oosit merupakan proses biologi yang kompleks dimana oosit primer menjadi oosit sekunder yang siap difertilisasi. Proses ini merupakan peristiwa pembelahan meiosis dari profase pada meiosis I ke metaphase pada meiosis II (Tornell

et al., 1991).Beberapa faktor yang sangat berkompeten dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel, stimulasi ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai inkubasi dan lamanya oosit diinkubasi (Sirard dan Blondin, 1996). Menurut Chian et al. (1994) oosit yang matang akan ditandai dengan keadaan oosit yang sulit dipisahkan secara individu dan pengebangan sel-sel kumulus yang melebar dan cerah serta adanya badan kutub I. Fungsi sel kumulus sangat penting pada proses maturasi sel telur secara in vitro.Sel telur yang tanpa kumulus, setelah proses maturasi akan banyak kehilangan protein, sedangkan pada sel telur dengan sel kumulus intact protein akan tertahan. Penghilangan sel-sel kumulus pada awal maturasi In vitro akan menurunkan potensi perkembangan oosit (Maedomari et al., 2007). Kualitas oosit sangat mempengaruhi hasil akhir produksi embrio in vitro, oosit dengan kualitas A dan B saja yang dipilih

20 untuk proses maturasi in vitro. Menurut Saito(1995), oosit yang dikoleksi dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu :Kategori A,adalah oosit yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang banyak (lebih dari 3 lapis) dan kompak dengan ooplasma yang homogeny; Kategori B,adalah oosit yang hanya sebagian permukaan oosit yang dilapisi oleh sel-sel kumulus atau hanya dikelilingi oleh kurang dari 3 lapis sel-sel kumulus dengan ooplasma yang homogeny; dan Kategori C,adalah oosit yang tidak dilapisi oleh sel-sel kumulus (denuded oocyte) atau oosit yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang sangat sedikit.

Suhu yang ideal untuk maturasi In vitroadalah 38,5°C (NLBC, 2005). Sirard dan Blodin (1996) yang menyatakan bahwa maturasi sel telur secara In vitroberlangsung antara 18-24 jam. Menurut Chian et al.(1994) waktu maturasi yang terlalu lama dapat menghasilkan oosit yang terlalu tua dan mengakibatkan terganggunya proses fertilisasi in vitrodan akan mempengaruhi perkembangan embrio selanjutnya.

Media maturasi yang dikenal memiliki kemampuan baik untuk pematangan oosit secara In vitro adalah TCM-199 dengan berbagai modifikasinya. TCM-199 diperkaya dengan garam earl, sodium bicarbonate, hepes, pyruvate, laktat, asam amino dan vitamin adalah salah satu standar medium untuk pematangan oosit sapi dan domba (Rutledge et al., 1997).Penambahan 5% CO2 perlu dilakukan untuk menjaga media tetap stabil, serta perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah kontaminasi jasad renik dan pertumbuhan mikroorganisme di dalam medium yang dapat mengganggu perkembangan oosit.

Kapasitasi Sperma

Kapasitasi sperma adalah rangkaian proses biokimia dan reaksi fisiologis pada spermatozoa (Gordon, 1994). Sedangkan menurut Furuya et al.(1992), kapasitasi adalah perubahan biokimia yang menyebabkan reaksi akrosom (acrosome reaction/AR) pada sperma sebagai respon dari zona pelusida oosit.Menurut Kato dan Iritani (1991) kapasitasi sperma sebelum dilakukan fertilisasi in vitrobertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan pergerakan sperma serta untuk menghilangkan sifat stabil dari membran plasma tersebut.

Menurut Gordon (1994) kapasitasi spermatozoa in vitrodapat dilakukan antara lain dengan cara menginkubasi sperma pada medium yang kadar ionik dan pH sesuai,

21 menambah kalsium ionophore atau dilaurylfosfatidylcholine liposome, prainkubasi sperma dengan glycosaminoglycans dan heparin. Konsentrasi sperma lxl06/ml yang telah dikapasitasi dalam BO medium yang ditambahkan 10 µ l/ml heparin menyebabkan sperma dapat menembus 85%-95% sel telur (Kato dan Iritani, 1991).

Hasil penelitian Im et al. (1995) menyatakan bahwa pada BO medium digunakan Heparin 0,1 IU/mL dan kafein 5mM sebagai agen kapasitasi, sedangkan pada TALP medium digunakan Heparin 0,1 IU/mL, hypotaurine 10 µM, epinephrine 1 µM dan penicillamine 20 µM sebagai agen kapasitasi sperma. Oosit yang diinseminasi dengan sperma yang dikapasitasi dengan medium fertilisasi yang menggunakan BO medium menghasilkan persentase yang terfertilisasi sebesar 67,4% dan yang membelah 23,3%.

Fertilisasi

Fertilisasi adalah suatu proses yang komplek dimana terjadi penggabungan dua gamet, perubahan jumlah kromosom somatic (n menjadi 2n) dan awal dari pertumbuhan individu baru (Gordon, 1994). Hafez dan Hafez (2000) mendefinisikan fertilisasi sebagai penyatuan materi DNA paternal dan maternal pada embrio. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses fertilisasi secara in vivo maupun in vitropada mamalia prinsipnya hampir sama yaitu melalui rangkaian tiga proses yang terdidri dari migrasi sperma pada sel-sel kumulus, penempelan sperma dan migrasi melalui zona pellucida, dan penempelan dan penetrasi sperma pada zona pellucida serta penyatuan garnet. Menurut McGeady et al. (2006) fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan proses reproduksi seksual. Penetrasi spermatozoa ke dalam membrane vitelin mengaktifasi sel telur untuk melengkapi proses miosisnya dan mengeluarkan badan kutub kedua. Kromosom yang terkandung dalam pronukleus jantan haploid bersatu dengan kromosom dalam pronukleus betina. Proses penyatuan kedua kromososm tersebut disebut dengan singami. Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah kromosom kembali menjadi diploid, jenis kelamin suatu individu ditentukan, dan variasi biologis dihasilkan dari integrasi karakteristik herediter paternal dan maternal.

22 Menurut Sumantri et al. (1997) lama waktu fertilisasi yang baik adalah 5 jam. Semakin lama waktu fertilisasi akan menurunkan persentase pembentukan blastosis yang dihasilkan dan meningkatkan persentase polyspermia. Lama fertilisasi yang tepat akan menghasilkan jumlah oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga perkembangan embrio dapat berjalan dengan baik (Chian et al., 1994). Menurut Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro

dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang diperoleh dan pemilihan medium (medium maturasi, fertilisasi dan kultur), volume mikro drop yang yang digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta kondisi peralatan dan medium yang benar-benar aseptik untuk menghindari terjadinya kontaminasi.

Kultur Embrio

Embrio berkembang lebih lambat dalam medium kimiawi pada kultur in vitro

dibandingkan dengan in vivo, hal ini menunjukkan bahwa saluran reproduksi menjadi faktor spesifik yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan optimal pada sel telur (Pratt, 1987). Kemampuan sel telur untuk bertahan dalam kultur in vitro

tergantung pada spesies, tahap perkembangan sel telur, kandungan fisik dan biokimia pada media, suhu penyimpanan, tingkat pendinginan dan penghangatan sel telur, serta teknik penyimpanan dan transfer sel telur.

CR1aa mengandung media minimum dasar penting yang merupakan campuran dari asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, ribonucleosides dan deoxyribonucleosides. Komponen utama yang lain dari CR1aa adalah medium basal eagle, yang merupakan campuran suplemen asam amino tambahan, vitamin dan garam-garam anorganik (Rosenkrans et al., 1993; Sagirkaya et al., 2004). Situmorang et al. (1998) melaporkan bahwa perbandingan ko-cultur BOEC (Bovine Oviduct Epithelial Cells) dan CRlaa, mengasilkan angka blastosis pada hari ketujuh dan delapan adalah 10% dan 8,8% untuk zigot yang dikultur dengan BOEC, dibandingkan dengan yang dikultur dalam CRlaa adalah 22% dan 18% masing-masing pada hari ketujuh dan kedelapan.

23 Perkembangan dan Pembelahan Embrio

Proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbantuk zigot. Zigot merupakan bentuk paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satusel menjadi dua sel, masing-masing anak hasil pembelahan disebut blastomer. Masing-masing blastomer selanjutnya akan membelah menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya (McGeady, 2006).

Gambar 3.Perkembangan Embrio Sapi.

Sumber :Lechniak et al. (2008).

Sel telur yang telah diovulasi akan mengalami beberapa tahapan setelah diaktifasi maupun difertilisasi oleh sel sperma. Sel telur akan berkembang menjadi zigot kemudian melakukan pembelahan awal menjadi 2, 4, dan 8 sel hingga mengalami kompaksi dan disebut dengan morula,kemudian morula berkembang menjadi blastosis yang memiliki stuktur terdiri atas blastosul, Inner Cell Mass (ICM), trofoblast, dan zona pelusida. Selanjutnya blastosis akan keluar dari zona pelusida

Oosit matang Embrio 2 sel Embrio 3-4 sel

24 (hatching) untuk kemudian berimplantasi pada dinding uterus (Hogan, 1994).

Kecepatan pembelahan embrio sangat bervariasi pada spesies hewan. Pada mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya, namun secara umum akan menghabiskan waktu 3,5 hari untuk perkembangan dari mulai tahap pembelahan sel (cleavage)sampai dengan tahap blastosis (Kispert dan Gossler, 2004).

Pada mamalia, pembelahan awal terjadi selama 24 jam kemudian pembelahan selanjutnya terjadi pada interval setiap 12 jam hingga hari ketiga. Berbeda dengan pembelahan in vivo, proses pembelahan pada in vitro mengalami pelambatan sehingga membutuhkan waktu 48 jam setelah fertilisasi. Sinkronisasi pembagian blastomer pun terjadi pada tahap awal sehingga dapat ditemukan tahapan tiga, lima, enam, atau tujuh blastomer pada proses secara in vitro (McGeady et al., 2006).

Pengaruh Persilangan dan Heterosis

Persilangan ada 2 macam yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar. Silang dalam (inbreeding) adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibandingkan dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat ternak tersebut berada. Hubungan kekerabatan tersebut bisa hubungan langsung maupun hubungan kolateral. Silang dalam mengakibatkan adanya peningkatan derajat homozigositas dan menurunkan derajat heterozigositas. Laju peningkatan homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari seberapa dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya(Noor, 2008).

Silang luar merupakan persilangan antarternak yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh dari rataan hubungan kekerabatan kelompok asal ternak. Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen heterozigot dan menurunkan proporsi gen homozigot. Pada umumnya heterozigositas akan meningkatkan daya hidup embrio yang akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran. Pada babi, peningkatan litter size dapat meningkat 0,5-1 anak per kelahiran. Peningkatan ini disebabkan oleh heterosis pada ternak hasil persilangan yang tetuanya adalah ternak murni. Pada sapi dan domba perhitungan berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan

Dokumen terkait