• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

1. Rataan Konsumsi Pakan (dalam bahan kering) ... 42 2. Input Data Program SAS Rancangan Acak Kelompok ... 42 3. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Konsumsi Pakan ... 43 4. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Konsumsi Pakan .. 43 5. Rataan Pertambahan bobot badan (mg/ekor) ... 43 6. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Pertambahan Bobot Badan ... 44 7. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Pertambahan Bobot

Badan ... 44 8. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Konversi Pakan ... 44 9. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Konversi

Pakan ... 44 10. Rataan Angka Mortalitas (%) ... 45 11. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Mortalitas ... 45 12. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Mortalitas ... 45 13. Rataan Rendemen Pemeliharaan Instar V ... 46 14. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rendemen Pemeliharaan Instar V ... 46 15. Rataan Bobot Kokon Segar (mg/butir), Bobot Kulit Kokon

(mg/butir), dan Rasio Kulit Kokon (%) ... 47 16. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kokon Segar ... 47 17. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kokon Segar ... 48 18. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Bobot

Kokon Segar ... 48 19. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kulit Kokon ... 48 20. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kulit Kokon ... 48 21. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Bobot Kulit

x 22. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rasio Kulit Kokon ... 49 23. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rasio Kulit Kokon ... 49 24. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Rasio Kulit

Kokon ... 49 25. Rataan Bobot Pupa ... 50 26. Rataan Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 51 27. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 52 28. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 52 29. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Persentase

Kokon Cacat Berlapis ... 52 30. Temperatur dan Pemberian Pakan Selama Pemeliharaan ... 53

2 sebanyak 60% memberikan hasil panen kokon yang lebih tinggi daripada rasio pemberian pakan pagi dan siang hari sebanyak 60% dengan sore dan malam hari sebanyak 40%, dapat disimpulkankan bahwa pemberian pakan dengan rasio pakan di malam hari yang lebih sedikit yaitu 60%:40% tidak memberikan hasil panen kokon yang lebih baik dari pemberian pakan dengan rasio pakan 40:60%.

Perumusan Masalah

Pemberian pakan dengan rasio pakan di malam hari yang lebih sedikit yaitu 60%:40% tidak memberikan hasil panen yang lebih baik dari pemberian pakan dengan rasio pakan 40:60%, hal ini terjadi karena pakan yang diberikan di siang hari menjadi cepat layu sehingga tidak termakan seluruhnya oleh larva. Kecukupan air dalam daun akan mempengaruhi pemilihan pakan bagi larva, larva kurang menyukai daun yang sudah layu. Selain itu, pemberian pakan dengan rasio pakan 60:40% menyebabkan larva kekurangan pakan di malam hari. Pada dasarnya selama larva masih aktif, larva akan terus memakan daun murbei baik saat pagi, siang, sore, dan malam hari.

Jika pemberian pakan dengan rasio pakan saat malam hari yang lebih banyak yaitu lebih dari 50%, maka ada kemungkinan bahwa daun tersebut akan tetap segar sepanjang malam sehingga larva pun tetap menyukai. Hal ini terjadi karena kesegaran daun murbei terjaga pada kondisi temperatur saat malam hari. Pemberian pakan dengan rasio saat malam hari yang lebih banyak ini dilakukan tanpa menambahkan jumlah pemberian pakan setiap satu harinya. Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai pemberian pakan dengan rasio pakan malam hari yang lebih banyak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan rasio pemberian pakan yang terbaik berdasarkan pengaruh pemberian pakan dengan beberapa rasio pakan di malam hari yang lebih banyak (55%, 60%, 65%, dan 70%) terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon yang dihasilkan.

4 Berdasarkan pergantian kulit terdapat :

a. Three molters, yaitu jenis yang mengalami tiga kali pergantian kulit semasa berbentuk larva.

b. Four molters, yaitu jenis yang mengalami empat kali pergantian kulit dan dianggap sebagai penghasil sutera terbaik sehingga paling banyak dipelihara. c. Five molters, yaitu jenis yang selama menjadi larva mengalami lima kali

pergantian kulit.

Pembagian berdasarkan asal negara induk dikenal :

a. Ras Jepang, dengan ciri umur larva panjang, rentan terhadap serangan penyakit, produksi kokon tinggi, kokon berwarna putih, bentuk kokon seperti kacang tanah dan ukurannya medium.

b. Ras Cina, dengan ciri umur larva pendek, daya tahan terhadap serangan penyakit baik, produksi kokon rendah, kokon oval berwarna putih dan kuning kehijauan. c. Ras Eropa, dengan ciri umur larva panjang, kokon besar dan tidak tahan

terhadap iklim panas dan lembab.

d. Ras Tropika, dengan ciri hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas, pertumbuhan sangat cepat, kokon berukuran kecil, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokonnya tipis sehingga produksi rendah.

Lingkungan

Ulat sutera merupakan hewan berdarah dingin (poikilotermik) yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh klimat lingkungan antara lain suhu, cahaya, kelembaban dan angin (sirkulasi udara). Pencahayaan yang paling baik untuk larva adalah penerangan selama sekitar 16 jam dan delapan jam dalam keadaan gelap. Suhu, kelembaban dan sirkulasi udara juga berpengaruh selama pengokonan. Apabila terjadi perubahan lingkungan seperti suhu dan kelembaban tinggi, serta sirkulasi udara tidak lancar, larva akan berhenti membuat kokon sehingga mengakibatkan daya pintal kokon menjadi rendah (Atmosoedarjo et al., 2000). Suhu yang semakin meningkat menyebabkan nafsu makan dan pertumbuhan hidup larva menjadi lebih pesat (Katsumata, 1964; Samsijah dan Kusumaputra, 1975).

Selama masa hidupnya, Bombyx mori L. membutuhkan suhu dan kelembaban optimum yang berbeda-beda setiap fasenya. Pada Tabel 1 disajikan suhu dan kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh ulat sutera untuk setiap fasenya.

5 Tabel 1. Kebutuhan Suhu dan Kelembaban Udara untuk Setiap Fase

Fase Suhu (0C) Kelembaban (%)

Telur 24-25 80-85

Larva instar I 27-28 85-90

Larva Instar II 26-27 80-85

Larva instar III 26-27 80-85

Larva instar IV 24-25 70-75

Larva instar V 23-24 65-70

Larva istirahat 24-25 66-70

Larva sedang mengokon 23-25 60-70

Sumber : Samsijah dan Andadari (1992a)

Kebutuhan ulat sutera akan suhu dan kelembaban adalah berbeda-beda setiap fasenya, tergantung pada kondisi fisiologisnya. Seperti tampak pada Tabel 1 yaitu suhu kelembaban optimum untuk ulat sutera kecil (larva instar I-III) lebih tinggi daripada ulat sutera besar (larva instar IV-V). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa larva-larva muda pada umumnya lebih tahan terhadap suhu yang tinggi, nafsu makan dan pertumbuhannya akan didorong oleh suhu dan kelembaban yang tinggi. Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah bagi ulat sutera kecil akan menyebabkan larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit. Suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi bagi ulat sutera besar, nafsu makannya akan berkurang dan kesehatannya terganggu. Selain itu pengokonan menjadi kurang baik yaitu menghasilkan kokon kecil dan kadar sutera berkurang.

Siklus Hidup dan Pertumbuhan

Ulat sutera adalah serangga holometabola, serangga yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (ngengat). Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et al., 2000).

Telur yang berasal dari ngengat dalam perkembangannya mengalami dua macam kondisi, yaitu hibernasi (diapause) dan non hibernasi (non diapause). Larva akan keluar dari telur non hibernasi pada hari kesepuluh sampai dengan hari kedua belas setelah telur dikeluarkan oleh ngengat. Perkembangan embrio telur hibernasi (diapause) mengalami masa istirahat. Pada saat istirahat telur tidak mengalami banyak perubahan sampai periode hibernasinya selesai (Krishnaswami et al., 1973). Telur hibernasi dapat diubah menjadi telur non hibernasi melalui perlakuan khusus

6 yaitu dengan penyimpanan pada kondisi lingkungan tertentu kemudian dilakukan penetasan buatan (Brasla dan Matei, 1997).

Inkubasi telur yaitu penyimpanan telur pada kondisi lingkungan yang diatur sampai saat penetasan. Kaomini (2002) menyatakan bahwa saat inkubasi, telur disimpan dalam ruang yang bersuhu 24-25o C, kelembaban 75-85 % dan pemberian cahaya 18 jam per hari. Inkubasi telur bertujuan agar pertumbuhan embrio sempurna dan penetasan telur serentak. Sekitar dua hari sebelum menetas, terlihat bintik gelap (head pigmentasian stage) dan sehari sebelum menetas bintik gelap berubah menjadi bintik biru yang disebut body pigmentation stage.

Telur-telur yang sudah menetas akan mengalami perkembangan menjadi larva, pupa kemudian ngengat. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera

(JICA, 1985)

Perkembangan ulat sutera dibedakan dalam tiga fase, yaitu fase ulat sutera kecil, fase ulat sutera besar, dan fase pengokonan. Ulat sutera kecil adalah larva yang berumur 1 hingga 11 atau 12 hari dan pada fase ulat sutera kecil dapat dibagi lagi menjadi tiga instar, yaitu instar I (larva berumur 1-4 hari), instar II (larva berumur 5-7 hari), dan instar III (larva berumur 8-11 hari). Ulat sutera besar adalah

Ganti Kulit 3 Ganti Kulit 2

N

NoonnHHiibbeerrnnaassii

Ngengat kopulasi Larva mengokon

Larva Instar II Ngengat betina bertelur Larva instar I P Puuppaa N Nggeennggaatt I InnssttaarrII I InnssttaarrIIII I InnssttaarrIIIIII I InnssttaarrVV M Meennggookkoonn B Beerrtteelluurr P Peerrkkaawwiinnaann 3 3--44HHaarrii 2 2--44HHaarrii 3 3--44HHaarrii 4 4--55HHaarrii 6 6HHaarrii Ganti Kulit 4 7 7--99HHaarrii 9 9--1122HHaarrii 3 3--44HHaarrii Larva Instar V I InnssttaarrIIVV Ganti Kulit 1

7 larva yang sudah mencapai instar IV dan V (stadium akhir), yaitu mulai umur 12 atau 13 hari hingga umur sekitar 22-25 hari, sedangkan fase pengokonan adalah fase larva akan berubah bentuk menjadi pupa (Guntoro, 1994).

Larva yang baru menetas mempunyai panjang tubuh sekitar 3 mm dan bobot tubuh sekitar 0,5 mg (Kaomini, 2002). Pertambahan berat tubuh sangat pesat pada masa larva. Larva mencapai berat maksimum pada tahap instar V sekitar 1 atau 1,5 hari sebelum mengokon, menjadi sekitar 10.000-12.000 kali berat larva yang baru menetas (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Ekastuti et al. (1995) bahwa rataan pertambahan bobot badan larva yang mengkonsumsi daun murbei jenis Morus cathayana setiap instarnya adalah 6,26 mg/ekor untuk instar I, 38,42 mg/ekor untuk instar II, 167,85 mg/ekor untuk instar III, 775,26 mg/ekor untuk instar IV, dan 2745,61 mg/ekor untuk instar V. Larva instar V yang sudah matang akan membentuk kokon sebagai tempat metamorfosis dari larva menjadi pupa.

Ciri-ciri Larva akan Mengokon

Menurut Kaomini (2002), tanda-tanda larva matang yaitu (a) tubuh memendek dan terlihat gemuk, (b) segmen dada tembus cahaya, (c) kotoran berwarna hijau dan lembek, (d) bergerak mengelilingi rak ulat, (e) mengangkat kepala dan dadanya, dan (f) telah mengeluarkan banyak serat dari mulutnya.

Pembentukan Kokon

Menurut Krishnaswami et al. (1972), setelah berada pada alat pengokonan ulat sutera mula-mula akan berputar-putar untuk mencari tempat pengokonan yang baik. Jika sudah mendapat tempat yang cocok untuk mengokon, larva akan menggerakkan kepalanya seperti angka delapan dan mengulurkan filamennya. Beberapa waktu kemudian larva akan membuat lapisan kokon tipis-tipis. Selanjutnya larva akan menurunkan bagian ekornya keluar kokon untuk membuang kotoran dan urin yang terakhir kalinya, setelah itu larva mulai memasuki tingkat pengokonan utama sampai proses pembuatan kokon selesai.

Cadangan pakan yang telah diperoleh akan digunakan sebagai bahan pembuat serat sutera (Rangaswami et al., 1976), jika memperoleh pakan dalam jumlah yang cukup maka larva akan membentuk jalinan kokon dengan baik. Pada Gambar 2 tampak perkembangan larva menjadi pupa ulat sutera.

8 Gambar 2. Perkembangan Larva Menjadi Pupa Ulat Sutera

(Atmosoedarjo et al., 2000)

Larva akan berhenti mengeluarkan serat sutera kurang lebih dua hari setelah mulai mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah menjadi pupa (Tajima, 1978). Setelah terjadi ekdisis (ganti kulit) dari larva menjadi pupa, kulit pupa masih lunak dan berwarna kuning muda. Namun 2-3 jam kemudian kulit pupa menjadi keras dan berwarna coklat seperti tampak pada Gambar 2 (Atmosoedarjo et al., 2000). Selama proses perkembangan larva menjadi pupa ini berlangsung, kokon tidak boleh terguncang karena dapat menyebabkan pupa mati di dalam kokon dan memberikan noda pada kokon bagian dalam.

Panen Kokon

Kokon merupakan produk akhir dari budidaya ulat sutera, yang kemudian dapat diolah menjadi benang dan kain sutera. Waktu panen kokon dapat mempengaruhi kualitas kokon. Panen kokon dilakukan pada waktu yang tepat, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika terlalu cepat maka pupa yang belum keras akan mudah hancur (terluka) bila tertekan dan menyebabkan kokon kotor di dalam. Apabila lebih lambat dipanen maka pupa di dalam kokon akan berubah menjadi ngengat, yaitu 12 hari sesudah mulai mengokon.

Pemanenan yang tepat yaitu pada saat pupa telah terbentuk, badannya sudah menjadi coklat dan kulitnya sudah cukup keras. Apabila suhu lingkungan berada diantara 24-27oC, maka waktu panen yang tepat yaitu pada hari ke enam dan ke tujuh sesudah mulai mengokon (Atmosoedarjo et al., 2000).

9 Kualitas Kokon

Kualitas kokon ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutera dan keadaan luar seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain. Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih, kuning bersih atau warna-warna lainnya), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon (lapisan serat-serat suteranya) keras dan kalau ditekan sedikit berat (Samsijah dan Andadari, 1992b).

Kokon cacat harus dipisahkan dari kokon normal karena merupakan kokon yang berkualitas rendah. Kokon cacat misalnya kokon yang rangkap, kokon berlubang, kokon kotor pada bagian dalamnya, kokon kotor bagian luar, kokon kulit tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis, kokon tergencet dan bentuk kokon yang abnormal (Samsijah dan Andadari, 1992b; Atmosoedarjo et al., 2000).

Apabila tempat pengokonan tidak baik atau cara-cara pengokonan kurang hati-hati , ataupun pengurusan selama pengokonan itu kurang, maka biasanya kokon-kokon yang dihasilkannya pun kualitasnya tidak baik (Katsumata, 1964). Dijelaskan pula bahwa walaupun pemeliharaan baik dan larva-larva sehat tapi apabila pekerjaan pengokonan tidak baik atau keadaan iklim saat larva-larva itu mengokon tidak baik, maka mungkin juga larva-larva itu tidak dapat membuat kokon dan dengan demikian maka pemeliharaannya tidak dapat menghasilkan kokon-kokon yang baik.

Kualitas kokon yang dihasilkan merupakan sumbangan dari cadangan makanan yang berhasil ditimbun larva selama periode makan (Ekastuti et al., 1995). Tabel 2 berikut ini merupakan persyaratan mutu kokon normal menurut Standar Nasional Indonesia (2002).

Tabel 2. Persyaratan Kelas Mutu Kokon Normal

Parameter yang diuji Dalam bentuk A B C D Bobot Kokon Gram/ butir ≥ 2,0 1,7 - 1,9 1,3 - 1,6 < 1,3 Rasio kulit kokon % ≥ 23,0 20,0 - 22,9 17,0 - 19,9 <17,0 Kokon cacat % ≤ 2,0 2,0 - 5,0 5,1 - 8,0 > 8,0

Sumber : Standar Nasional Indonesia (2002)

Tampak pada Tabel 2 bahwa semakin tinggi bobot kokon dan rasio kulit kokon serta semakin rendah jumlah kokon yang cacat maka mutu kokon tersebut semakin baik.

10 Perbedaan Jantan dan Betina

Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), larva jantan mempunyai satu titik dari kelenjar Herold pada abdomen perbatasan antara segmen ke-11 dan 12, sedangkan larva betina mempunyai sepasang bintik kecil pada bagian abdomen segmen ke-11 dan ke-12. Bintik-bintik tersebut disebut kelenjar Ishiwata depan dan kelenjar

Ishiwata belakang.

Secara morphologi, antara pupa betina dan jantan nampak jelas perbedaannya. Pada betina terdapat garis vertikal yang memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8 , sedang alat kelamin nampak di segmen ke-9. Pada jantan, alat kelamin hanya ada di segmen ke-9. Kecuali itu pupa betina biasanya lebih besr daripada pupa jantan.

Daun Murbei (Morus sp.)

Daun murbei merupakan pakan tunggal dengan tingkat palatabilitas tinggi bagi Bombyx mori L. Pada daun murbei terdapat suatu zat perangsang yaitu glukosida dan penolakan memakan daun tumbuhan lain karena tidak adanya zat perangsang tersebut (Sunanto, 1997). Menurut Sangaku (1975) bahwa ulat sutera menggunakan indera penciumnya dalam memilih-milih daun untuk dikonsumsi.

Klasifikasi tanaman murbei menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) adalah sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae Ordo : Urticalis Familia : Moraceae Genus : Morus Species : Morus sp.

Tanaman murbei berbentuk semak (perdu) yang tingginya sekitar 5-6 m, dapat juga berbentuk pohon yang tingginya mencapai 20-25 m. Tanaman murbei yang dipangkas dan dipelihara dengan baik akan tumbuh tunas-tunas baru (muda) yang berjumlah banyak. Batang dari tanaman ini memiliki warna bermacam-macam tergantung pada spesiesnya dan memiliki percabangan banyak yang arahnya dapat

11 tegak, mendatar dan menggantung. Bentuk dan ukuran daun bermacam-macam tergantung pada jenis atau varietasnya (Rustini, 2002).

Kini dikenal ratusan jenis murbei, namun hanya beberapa jenis saja yang digunakan sebagai makanan ulat sutera. Atmosoedarjo et al., (2000) menyatakan bahwa beberapa jenis murbei di Indonesia adalah Morus nigra, Morus multicaulis,

Morus australis, Morus alba, Morus bombycis, dan Morus cathayana. Gambar 3 merupakan gambar daun murbei jenis Morus cathayana.

Gambar 3. Daun Murbei Jenis Morus cathayana

(Sericulum, 2003)

Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa ciri-ciri fisik yang membedakan tanaman murbei jenis Morus cathayana dengan tanaman murbei jenis lainnya adalah batang berwarna coklat tua, pucuk berwarna kuning kemerahan, daun berwarna hijau (tidak gelap), bentuknya berlekuk dengan tepi bergerigi.

Morus cathayana memiliki produksi daun yang baik (Atmosoedarjo et al., 2000; Ekastuti et al., 1995) dan baik digunakan sebagai pakan ulat sutera karena daun ini lunak, lemas, dan tidak berbulu (Samsijah dan Kusumaputra 1975).

Samsijah (1992) menyatakan bahwa kadar air dari daun murbei jenis ini adalah 79,55%. Selain itu mengandung 12,89% protein kasar, 18,53% serat kasar, 14,84% lemak kasar, 3,69% abu, 11,62% karbohidrat, 38,43% kalsium, dan 0,36% fosfor. Kadar air dalam pakan merupakan faktor penting dalam kehidupan serangga, rendahnya kadar air pakan menyebabkan pertumbuhan larva terhambat, karena larva perlu membentuk air baru untuk mencukupi kebutuhan air dengan melakukan katabolisme (Martin dan Van’t Hof, 1988). Rendahnya kadar air pakan dalam daun akan menurunkan laju pertumbuhan (Ekastuti, 2005). Menurut Ekastuti et al. (1995) bahwa daun murbei yang memberikan pertumbuhan terbaik dan kualitas kokon

12 tertinggi adalah daun murbei jenis Morus cathayana. Hasil analisa proksimat daun jenis ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisa Proksimat Daun Murbei Jenis Morus cathayana

(dalam bahan kering)

Nutrisi Daun Muda Daun Tua

Kadar air (%) 73,90 70,78 Bahan kering (%) 26,31 29,22 Protein kasar (%) 19,09 16,39 Lemak kasar (%) 3,71 5,16 Serat kasar (%) 8,45 16,80 BETN (%) 59,53 47,61 Abu (%) 9,22 14,03 Energi (kal/g) 4.406,00 4.246,00 Vitamin A (mg%) 5.671,31 5.736,85 Vitamin C (mg%) 11,70 13,37 Calcium (%) 1,53 2,99 Fosfor (%) 0,36 0,33 Aspartat (%) 0,41 0,59 Threonin (%) 0,32 0,32 Serin (%) 0,14 0,23 Glutamat (%) 0,58 0,76 Glisin (%) 0,17 0,25 Alanin (%) 0,28 0,35 Valin (%) 0,22 0,31 Methionin (%) 0,05 0,07 Isoleusin (%) 0,16 0,22 Leusin (%) 0,30 0,41 Titosin (%) 0,18 0,24 Fenilalanin (%) 0,20 0,28 Histidin (%) 0,09 0,12 Lisin (%) 0,24 0,27 Arginin (%) 0,20 0,22

Sumber : Ekastuti et al. (1995)

Tampak pada Tabel 3 bahwa kadar air pada daun muda lebih tinggi daripada daun tua. Terdapat 15 macam asam amino, asam amino yang terbanyak terdapat di daun murbei ini adalah glutamat; setelah itu aspartat, dan lain-lainnya.

Konsumsi Pakan

Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa pakan yang paling baik adalah daun murbei yang sudah berumur 2,5-3 bulan setelah pangkas. Kebutuhan pakan untuk larva instar I-III adalah 5-8 % dari kebutuhan, sedangkan untuk larva instar IV-V adalah 92-95 % dengan pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari yaitu

13 pagi, siang, sore dan malam (Guntoro, 1994). Pada instar V hari ke-3 dan selanjutnya, kelenjar sutera di dalam tubuh berkembang sehingga harus diberi daun murbei yang cukup banyak (Kaomini, 2002). Samsijah dan Kusumaputra (1979) menyatakan bahwa jumlah daun yang diberikan serta ketepatan waktunya mempengaruhi mutu kokon yang dihasilkan.

Daun-daun pucuk sebaiknya tidak dipakai pada pemeliharaan larva. Pengambilan daun untuk larva instar I dengan cara memetik 4-5 lembar daun dari pucuk, untuk instar II dipetik 6-7 lembar daun dari pucuk dan untuk instar III bisa sampai 7-8 lembar daun dari pucuk. Daun tersebut kemudian dirajang untuk memudahkan larva makan. Untuk instar IV dan V (ulat sutera besar) dapat diberikan semua daun yang ada pada tanaman murbei, kecuali daun-daun yang terkena hama/ penyakit, kotoran tanah, kering atau kuning (Samsijah dan Kusumaputra, 1975).

Ukuran baku dari potongan-potongan daun untuk metode rajang adalah instar I antara 0,5-1 cm, instar II antara 1,5-2 cm, dan instar III antara 3-4 cm sedangkan pemberian pakan pada larva instar IV dan V tergantung pada manajemen pemeliharaan, daun bisa diberikan secara utuh (tidak dirajang), dalam bentuk tunas, ataupun dengan potongan tunas kira-kira 10-20 cm (Atmosoedarjo et al., 2000).

Ditinjau dari tingkat makannya untuk setiap instar maka dapat dibedakan menjadi first feeding stage (masa makan pertama), sparse eating stage (masa kurang aktif makan), moderate eating stage, active eating stage (masa aktif makan),

premoulting stage (masa persiapan pergantian kulit), last feeding stage (masa makan akhir), dan moulting stage (masa pergantian kulit). Nafsu makannya baik sekali pada saat makan pertama dan berkurang pada sparse eating stage dan moderate eating stage. Kemudian meningkat lagi pada active eating stage sampai last feeding stage. Kemudian larva tidak makan lagi sampai berganti kulit (Samsijah dan Kusumaputra, 1975). Katsumata (1964) menyatakan bahwa pada setiap instar, mula-mula makannya sedikit lalu semakin bertambah sedangkan lamanya waktu yang digunakan larva-larva itu untuk makan berangsur-angsur menjadi panjang. Banyaknya daun yang dimakan ulat sutera berangsur-angsur bertambah sesuai dengan perkembangan hidupnya. Samsijah dan Kusumaputra (1978) menyatakan bahwa konsumsi pakan larva meningkat pesat dari instar IV ke instar V, hal ini dihubungkan dengan

14 pembentukan kelenjar sutera. sPada Tabel 4 disajikan jumlah daun murbei yang dikonsumsi oleh 1000 ekor ulat sutera jenis J.115 X C.180.

Tabel 4. Daun Murbei yang Dikonsumsi Ulat Sutera Jenis J.115 X C.180 (ras Jepang X ras Cina)

Instar Jumlah daun (%) Banyak daun yang (%) Persentase banyak yang diberikan dikonsumsi tiap instar daun yang dikonsumsi (gram/100 ekor) (gram/100 ekor) (%)

A B (B/A)*100 I 77,5 0,22 18,52 0,09 23,9 II 314,6 0,91 82,45 0,38 33,9 III 965,0 2,81 418,81 1,89 43,4 IV 4.183,0 12,19 2.250,45 9,97 53,8 V 28.800,0 83,87 18.023,75 87,67 62,5 Jumlah 34.339,1 100,00 20.793,38 100,00 60,5 Sumber : Katsumata (1964)

Tampak pada Tabel 4 bahwa baik jumlah daun yang diberikan, yang dikonsumsi, maupun persentase daun yang dikonsumsi adalah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama dari larva instar IV ke instar V.

Frekuensi pemberian pakan tergantung pada ketersediaan tenaga kerja, biasanya 3-4 kali sehari (Kaomini, 2002). Menurut Nurdin (1980), pemberian pakan empat kali dalam sehari akan menghasilkan rendemen dan mutu kokon yang baik. Pemberian pakan pada malam hari dimaksudkan supaya kebutuhan daun segar bagi larva selalu tersedia (Gitosewojo, 1995) serta dapat meningkatkan produksi kokon 20-25%. Pada dasarnya selama masih aktif, larva akan terus memakan daun murbei.

Berdasarkan hasil penelitian Maharani (2002) pemberian pakan 100% dari pemberian normal berdasarkan pemeliharaan ulat sutera semusim (25% pagi, 25% siang, dan 50% malam serta modifikasinya disesuaikan dengan umur larva) memberikan hasil yang lebih baik terhadap laju pertumbuhan larva dibandingkan dengan pemberian pakan 75% dan 125%. Selain itu penelitian Aryanti (2003) menyatakan bahwa pemberian pakan 75% dan 125% tidak dianjurkan karena pada

Dokumen terkait