• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Profil vertikal temperatur ... 63 2 Profil vertikal temperatur yang diperbesar sampai kedalaman

500 m ... 66 3 Profil vertikal salinitas... 69 4 Profil vertikal salinitas yang diperbesar sampai kedalaman

500 m ... 72 5 Profil vertikal densitas (sigma theta) ... 75 6 Profil vertikal densitas (sigma theta)yang diperbesar sampai

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirkulasi termohalin yang lebih dikenal dengan the Great Conveyor Belt (GCB) merupakan sirkulasi skala global yang mensirkulasikan semua massa air lautan di dunia. Salah satu komponen penting dari GCB adalah Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang mentransfer massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo mempengaruhi transfer bahang dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan posisi daerah konveksi atmosfer sehingga Arlindo berperan penting dalam mempengaruhi iklim global secara umum dan iklim tropis secara khusus (Schneider, 1998; Koch-Larrouy et al., 2010). Variabilitas massa air yang ditransfer Arlindo menunjukkan adanya korelasi yang kuat dengan anomali iklim seperti ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan sistem muson (Webster et al., 1999; Koch-Larrouy et al., 2010).

Hasil observasi dan pemodelan sirkulasi samudera menunjukkan terdapat dua lintasan Arlindo. Lintasan pertama (lintasan barat) merupakan lintasan utama yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 106 m3 s-1) massa air Samudera Pasifik Utara yaitu dari lapisan termoklin (North Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan bawah termoklin (North Pacific Intermediete Water, NPIW). Massa air lintasan barat masuk melalui Selat Mindanao kemudian ke Laut Sulawesi dan mengalir ke Selat Makassar. Sebagian kecil massa air lintasan barat (sekitar 2,6 Sv) keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Laut Timur (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Gordon et al., 2008; Sprintall et al., 2009). Lintasan timur merupakan lintasan sekunder yang masih belum diteliti secara intensif. Hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di Lifamatola menunjukkan bahwa lintasan timur Arlindo membawa sekitar 2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Namun jumlah massa air yang dibawa oleh lintasan timur ini belum terestimasi dengan baik. Hal ini disebabkan adanya masukan massa air lain pada lintasan timur, yaitu melalui Laut Halmahera (Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005) yang belum pernah diestimasi. Massa air dari lintasan barat dan timur yang bergabung di Laut

2

Banda, kemudian keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Laut Timor sebanyak 7,5 Sv (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Sprintall et al., 2009).

Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo mengalami perubahan karakter. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yaitu salinitas massa air NPSW dari 34,90 psu menjadi 34,54 psu dan massa air NPIW dari 34,35 psu menjadi 34,47 psu. Perubahan salinitas ini mengindikasikan bahwa di perairan Indonesia terjadi proses percampuran vertikal yang sangat kuat (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Selain merubah karakteristik massa air, proses percampuran vertikal juga mampu mensuplai nutrien di lapisan atas karena adanya pergerakan massa air dari lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan atas sehingga akan mempengaruhi distribusi dan fluks nutrien secara vertikal (Horne et al., 1996; Law et al., 2003).

Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar (misalnya awang), selat, dan gelombang internal. Berbagai hasil pemodelan 2 dimensi dan 3 dimensi menunjukkan perairan Indonesia merupakan wilayah yang dicirikan dengan nilai pasang surut (pasut) internal yang kuat. Hasil pemodelan menunjukkan energi yang ditransfer dari pasut barotropik ke pasut baroklinik di perairan Indonesia sebesar 0,11 TW (Terawatt = 1012 Watt) atau sekitar 10 % dari jumlah transfer di seluruh lautan (1,1 TW) (Carrere dan Lyard, 2003). Pasut internal yang kuat ini merupakan energi utama dan proses inti untuk mentransformasi massa air Arlindo yang menuju Samudera Hindia.

Salah satu perairan Indonesia yang memiliki nilai pasut baroklinik (internal) yang tinggi adalah Selat Ombai, dimana kecepatan arus pasut internalnya paling kuat di perairan Indonesia yaitu lebih dari 0,5 m s-1 (Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007). Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui besarnya nilai percampuran tubulen yang terjadi. Percampuran tubulen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan naiknya nutrien ke lapisan atas yang sangat penting untuk kehidupan biota. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji nilai percampuran turbulen, terutama keterkaitan antara

3

besarnya percampuran turbulen yang dikarakterisasi oleh nilai vertikal difusivitas eddy dengan fluks nutrien yang terjadi pada kolom perairan.

1.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang percampuran di perairan Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia, baik menggunakan data satelit maupun data hasil pengukuran langsung. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk menduga nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Nilai percampuran tersebut hampir sama dengan hasil simulasi percampuran pasut 3D yang dilakukan Koch-Larrouy et al. (2007) yaitu 1,5 x 10-4 m2 s-1. Pendekatan lain dilakukan juga oleh Hatayama (2004) dengan menggunakan pemodelan numerik yang menghasilkan nilai maksimum vertikal difusifitas sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di Ambang (Sill) Dewakang.

Beberapa pendekatan di atas menghasilkan nilai percampuran yang bervariasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan lain untuk mengestimasi percampuran turbulen sehingga lebih menggambarkan kondisi di alam. Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan menggunakan metode skala Thorpe yang melakukan estimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity Temperature Depth). Pemilihan penggunaan data CTD ini dilakukan berdasarkan Ffield dan Gordon (1996) yang menegaskan bahwa percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia disebabkan oleh adanya pasut internal, dimana salah satu cara untuk mengetahui adanya pasut internal ini adalah melalui pengukuran data CTD secara deret waktu (minimal satu siklus pasut).

Pengambilan data CTD di Selat Ombai dilakukan bersama dengan kegiatan pelayaran Indonesian Mixing (INDOMIX) 2010. Pada kegiatan pelayaran ini dilakukan penurunan yo-yo CTD selama 24 jam di Selat Ombai sehingga memberikan kesempatan untuk memperoleh data CTD secara deret waktu. Data yo-yo CTD yang diperoleh dalam pelayaran memenuhi kriteria dilakukannya perhitungan estimasi nilai percampuran turbulen yang lebih akurat dan sinyal gelombang internal yang menyebabkan terjadinya percampuran turbulen juga dapat diperoleh dengan lebih jelas. Pada kegiatan pelayaran

4

INDOMIX 2010 dilakukan juga pengukuran profil vertikal nutrien dari sampel air pada tekanan tertentu yang diambil dengan botol rosette yang diturunkan bersama CTD. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukannya estimasi dampak percampuran turbulen terhadap fluks nutrien di Selat Ombai. Secara skematik, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :

a. Berapa besar nilai percampuran turbulen (vertikal eddy diffusivitas) di Selat Ombai

b. Bagaimana efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) Nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia 1,0 x 10-4 m2s-1 (Ffield dan Gordon, 1992) Nilai percampuran perairan Indonesia 1,5 x 10-4 m2s-1 (Koch-Larrouy, 2007) Nilai percampuran Ambang Dewakan 6,0 x 10-3 m2s-1 (Hatayama, 2004)

Nilai percampuran yang bervariasi

Metode Lain : pendekatan skala Thorpe

Data yo-yo CTD selama 24 jam Pelayaran INDOMIX 2010 Profil vertikal Massa air Profil vertikal nutrien Nilai percampuran turbulen Fluks Nutrien

5

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai menggunakan pendekatan skala Thorpe

b. Mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

a. Parameterisasi model sehingga tingkat akurasi model menjadi lebih baik b. Informasi tentang efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien dapat

digunakan untuk mengetahui produktivitas perairan Selat Ombai sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketersedian sumberdaya alam yang ada terutama sumber daya perikanan.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Turbulensi (Olakan)

Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007).

Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :

a. Turbulensi skala meso

Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak antara 10–100 km.

b. Turbulensi skala mikro

Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,001–1 m serta terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta mengontrol interaksi udara-laut.

Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov, 1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ):

dimana adalah tipikal velositas aliran (m s-1), adalah tipikal panjang (m) yang menggambarkan aliran dan adalah kinematik molekuler viskositas (nilai untuk

8

air adalah 10-6 m2 s-1). Jika nilai kurang dari 10-3 maka dikatakan aliran bersifat laminar dan jika lebih dari 105 maka aliran bersifat turbulen.

Menurut Thorpe (2007), pergerakan air yang bersifat turbulen merupakan pergerakan air yang memiliki nilai energi kinetik yang berasal dari pecahnya gelombang baik gelombang internal maupun gelombang permukaan. Energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang nantinya berfungsi untuk mentransfer bahang atau energi ke media yang lain. Contoh proses transfer energi ke media yang lain misalnya proses turbulen dapat mengikis sedimen yang ada di dasar perairan, membawa sedimen ini ke kolom perairan, dll. Menurut Ozmidov (1965) in Park et al., (2008) besarnya energi kinetik yang mengalami proses disipasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

dimana adalah skala panjang Ozmidov (m), adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisala (s-1). persamaan ini sangat penting karena menggambarkan besar energi kinetik yang hilang dan bersifat irrevesible di lautan.

Salah satu metode untuk mengukur besarnya nilai turbulensi adalah dengan melakukan kalkulasi terhadap persamaan gerak, konduksi temperatur dan proses diffusi (Monin dan Ozmidov, 1985). Menurut Thorpe (2007) proses turbulensi merupakan konsekuensi dari adanya dispersi suatu partikel material melalui difusi, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya turbulensi vertikal suatu fluida (air dan atmosfer), dapat dilakukan dengan menghitung nilai difusivitas eddy dengan persamaan:

dimana adalah konstanta efisiensi mixing yang memiliki nilai 0,2 dan adalah frekuensi Brunt Vaisala (s-1).

2.2 Ketidakstabilan Massa Air

Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dari berbagai parameter oseanografi yang ada. Parameter ini meliputi temperatur, salinitas, densitas, tekanan, cahaya, nutrien, dll yang memiliki nilai yang

berbeda-9

beda tergantung dari tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983).

Densitas suatu perairan akan sangat mempengaruhi kestabilan perairan yang ada. Densitas akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan. Pada kondisi ideal atau dalam kondisi tidak ada ganguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Namun pada kondisi nyata densitas tidak selalu tersusun seperti kondisi tersebut. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan massa air karena massa air ini akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990).

Pengujian gradien temperatur (untuk air tawar) dan densitas (untuk air laut) secara vertikal merupakan teknik yang umum digunakan untuk melihat apakah suatu lapisan perairan dalam kondisi stabil atau tidak. Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983).

Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas ( ) (Pond dan Pickard, 1983; Stewart, 2002; Emery et al., 2007):

dimana adalah densitas perairan (kg m-3) dan adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika > 0, netral jika = 0 dan tidak stabil jika < 0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil.

Menurut Stewart (2002) kondisi perairan laut yang berkaitan dengan stabil tidaknya suatu massa perairan dapat dikatagorikan menjadi 4 jenis:

a. Air yang hangat dan kurang asin berada di atas air dingin dan asin. Air dalam kondisi ini selalu bersifat stabil

b. Air yang dingin dan asin berada di atas air yang hangat dan kurang asin. Air dalam kondisi ini selalu tidak stabil

c. Air yang hangat dan asin berada di atas air yang dingin dan kurang asin. Proses ini biasa disebut salt fingering. Kondisi ini terjadi pada pusat

10

daerah sub-tropical gyre, tropis barat Atlantik Utara, dan barat laut Atlantik.

d. Air yang dingin dan kurang asin berada di atas air yang hangat dan asin. Proses ini disebut konveksi difusi. Kondisi ini tidak sebanyak proses salt finger dan biasanya terjadi pada daerah lintang tinggi.

2.3 Percampuran (Mixing)

Kondisi fluida yang tidak stabil di laut akan menyebabkan fluida mengalami proses percampuran (Stewart, 2002). Menurut Pond dan Pickard (1983) pada saat fluida berdensitas tinggi berada di atas fluida berdensitas rendah, maka akan terjadi pergerakan secara vertikal untuk mencari posisi stabil. Fluida yang berdensitas tinggi akan tenggelam akibat adanya gaya gravitasi sedangkan yang berdensitas rendah akan naik karena adanya daya apung. Gerakan naik turun fluida untuk mencari posisi stabil dikenal dengan bouyancy frequency atau frekuensi Brunt Vaisala ( ) yang secara matematik ditulis dengan :

dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,8 m s-2), adalah background density yaitu densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg m-3).

Jarak perpindahan massa air dalam kondisi tidak stabil dapat diketahui dengan menggunakan skala panjang pada turbulen eddy (Dillon, 1982). Thorpe (1977) mengembangkan metode empirik untuk memperkirakan skala panjang turbulen eddy pada aliran horizontal yang bersifat homogen dan pembalikan densitas yang disebabkan oleh pengadukan turbulen. Dillon (1982) menambahkan skala panjang yang dikembangkan Thorpe lebih dikenal dengan skala Thorpe . Secara matematis, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

dimana adalah nilai Thorpe displacement (m) pada sample ke dan adalah jumlah sampel.

Daerah pycnocline merupakan daerah yang paling stabil diantara semua lapisan perairan, sehingga daerah ini membutuhkan energi yang lebih besar untuk terjadinya pemindahan (displacement) massa air. Umumnya proses

11

percampuran terjadi pada lapisan tercampur dan lapisan bawah yang hampir homogen (Pickard dan Emery, 1990). Proses percampuran dapat dibagi menjadi percampuran horizontal dan vertikal. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan percampuran vertikal jauh lebih besar dibandingkan dengan percampuran horizontal. Energi percampuran vertikal akan semakin besar dibutuhkan dengan semakin stabil pelapisan massa air (Stewart, 2002).

Komponen percampuran vertikal dan horizontal memiliki perbedaan dalam skala dan intensitas. Percampuran turbulen secara vertikal jauh lebih kecil dibandingkan percampuran turbulen horizontal. Perbedaan ini disebabkan oleh dimensi vertikal massa air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi horizontal sedangkan gradien (misalnya gradien temperatur, densitas, tekanan, dll) horizontal lebih kecil dibandingkan gradien vertikal. Secara horizontal temperatur air laut dapat berubah 10o C atau lebih pada jarak ribuan kilometer, namun secara vertikal perubahan ini terjadi pada selang hanya 1 km saja. Adanya lapisan-lapisan air karena perbedaan densitas secara vertikal merupakan faktor utama yang menghalangi proses percampuran vertikal (Brown et al., 1993).

Pergerakan fluida secara vertikal, mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan bawah ke lapisan yang lebih atas. Hal ini menyebabkan proses percampuran memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Horne et al., 1996; Law et al., 2003):

dimana merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman (m). Selain berperan dalam fluks nutrien, percampuran juga memiliki peranan penting dalam mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.

2.4 Pasang Surut Internal

Gelombang internal merupakan gelombang yang terbentuk di bawah permukaan perairan. Pada umumnya gelombang ini berada di lapisan interface

12

antara dua lapisan yang memiliki gradien densitas yang tinggi, seperti antara lapisan tercampur dengan lapisan termoklin. Bila lapisan interface mengalami gangguan (misalnya oleh arus menabrak/melintasi daerah ambang atau perairan dangkal) maka massa air menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan massa air desitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Adanya gravitasi bumi dan gaya apung mengakibatkan massa air akan bergerak vertikal menuju posisi stabil. Namun akibat adanya sifat kelembaman, maka massa air ini bergerak melewati posisi stabilnya. Proses ini terus berulang sehingga akan menghasilkan osilasi dalam kolom perairan. Pergerakan massa air secara terus menurus ini akan mengakibatkan terbentuknya gelombang internal. Gelombang internal yang memiliki periode sama dengan periode pasang surut dinamakan pasang surut (pasut) internal. Pasut internal merupakan salah satu energi utama proses percampurandi laut.

Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki energi pasut internal yang tinggi. Hampir sekitar 10% transfer energi global dari pasut barotropik ke pasut baroklinik ditemukan di perairan semi tertutup Indonesia. Nilai transfer energi di perairan Indonesia terutama tinggi pada basin semi tertutup, ambang (sill), dan selat (Gambar 2) (Carrere dan Lyard, 2003; Koch-Larrouy et al., 2007). Adanya gelombang internal yang terperangkap pada daerah ambang membuat daerah ambang merupakan daerah yang memiliki energi pasut internal yang tinggi, seperti yang terjadi di Ambang Dewakang. Semakin tinggi energi pasut internal maka proses percampuran vertikal akan semakin tinggi pula (Hatayama, 2004).

Pemodelan gelombang internal di perairan Indonesia yang menggunakan Regional Ocean Model System (ROMS) dengan data yang berasal dari mooring dan satelit TOPEX/Poseidon (T/P) menunjukkan energi terbesar untuk pasut internal terdapat pada perairan selat dan perairan yang memiliki topografi kasar. Selat Ombai dan Laut Seram memiliki energi pasut internal (M2) yang paling tinggi dengan kecepatan arus maksimum 50 cm s-1 (Robertson dan Ffield, 2005). Peningkatan kecepatan arus pada Selat Ombai disebabkan oleh penyempitan jalur aliran. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks energi barotropik dari pasut M2 di sekitar Selat Ombai mencapai 500 kW m-1 ( Ray et al., 2005).

13

Gambar 2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik (Carrere dan Lyard, 2003 in Koch-Larrouy et al., 2007).

2.5 Nutrien di Perairan

Nutrien merupakan unsur esensial selain cahaya yang sangat dibutuhkan mahluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Di daerah tropis, cahaya selalu tersedia sepanjang tahun sehingga nutrien menjadi faktor pembatas bagi perkembangan mahluk hidup di lapisan permukaan. Nutrien yang sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah nitrat dan fosfat, sedangkan silikat digunakan oleh mahluk hidup untuk membentuk cangkang (misalnya Radiolaria, Abalone, dll.) (Lalli dan Parsons, 2006). Sumber utama nutrien di lautan ada dua yaitu dari proses autotonus (berasal dari dalam sistem, misalnya upwelling) dan allotonus (berasal dari luar sistem, misalnya dari transport sungai) (Riley dan Chester, 1971).

Konsentrasi nutrien di perairan akan berbeda-beda baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, konsentrasi nutrien tinggi di daerah pantai dan rendah di laut lepas. Hal ini disebabkan suplai nutrien berasal dari daratan utama yang masuk ke daerah pantai melalui aliran sungai. Secara vertikal,

Skala Logaritmik (TW/m2)

14

konsentrasi nutrien rendah di bagian permukaan dan tinggi di lapisan dalam (Riley dan Chester, 1971). Hal yang sama didapatkan oleh Wetsteyn et al. (1990) bahwa secara verikal konsentrasi nitrat (NO3) pada musim kemarau di laut Banda dan Laut Arafura meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pada bagian permukaan nutrien banyak digunakan untuk proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan dalam fotosintesis tidak berlangsung karena ketidaktersediaan cahaya (Lalli dan Parsons, 2006).

Ketersediaan dan transport nutrien di kolom perairan sangat dipengaruhi oleh proses fisik seperti transport dari sungai, upwelling, dan percampuran vertikal (Gambar 4). Percampuran vertikal memegang peranan penting untuk mensuplai kebutuhan nutrien terutama pada daerah sill atau selat yang memiliki nilai percampuran yang tinggi (Liu et al., 2010). Law et al. (2003) menambahkan adanya korelasi linier antara nilai percampuran dengan tinggi rendahnya fluks nutrien pada kolom perairan.

2.6 Pelayaran INDOMIX 2010

Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN Prancis. Pelayaran ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dan diikuti oleh 43 peserta yaitu 20 orang peneliti Perancis dan 23 orang peneliti Indonesia.

Gambar 3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura (III) (Wetsteyn et al., 1990).

15

Gambar 4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan (Liu et al., 2010)

Tujuan utama dari penelitian ini adalah :

a. Mengkarakterisasi pasut internal dengan menggunakan CTD/LADCP b. Pengukuran langsung disipasi dan percampuran turbulent

c. Mengukur kontribusi pasut internal terhadap percampuran turbulen menggunakan data CTD/LADCP dan Mikrostruktur

Dokumen terkait