Simbol Keterangan Satuan
a Percepatan m dtk-2
c Kecepatan gelombang m dtk-1
f Gaya persatuan luas pada paralelepipida Kg m dtk-2 k Konstanta Boltzman 1. 3503x 10-23 kJ K-1
m Massa kg
A Tekanan amplitudo di dalam bahan Volt Ao Tekanan amplitudo di dalam media acuan Volt
B Modulus bulk MPa
CL Kecepatan gelombang longitudinal m dtk-2 CT Kecepatan gelombang transversal m dtk-2 E Modulus elastisitas, modulus Young MPa
F Gaya N
G Modulus geser Kg m-2
K Modulus kekakuan (stiffness) MPa
Ka Kadar air % (b/b)
K3 Kadar karet kering % (b/b)
Kkot Kadar kotoran % (b/b)
Ix, Io Intensitas gelombang suara - I, αI Koefisien attenuasi gelombang suara dB m-1
N Jumlah jaringan molekul per unit volume kmol m-3 R Koefisien refleksi gelombang akustik -
•S Perubahan entropi kJ K-1
T Suhu internal karet oC
TR Koefisien transmisi gelombang akustik -
Vr Fraksi volume karet cm3 cm-3
Vw Fraksi volume air cm3 cm-3
Lanjutan
Simbol Keterangan Satuan
W Energi yang disimpan kJ
Z Impedansi akustik kg m-2 dtk-1
αP Koefisien attenuasi gelombang suara Np m-1
åij Rasio perpanjangan (regangan) arah ij cm cm-1
θ, u Gangguan yang menjalar di dalam medium -
η, γ Koefisien viskositas kg m- dtk-1
λ , µ Konstanta Lame Kg m-2
ρ Densiti kg m-3
θp Fraksi volume partikel padat cm3 cm-3
τij , σij Tegangan (stress) arah ij Kg m-2
ν Perbandingan Poisson -
λ Panjang gelombang m
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet alam (natural rubber, Hevea braziliensis), merupakan komoditas perkebunan tradisional sekaligus komoditas ekspor yang berperan penting sebagai penghasil devisa negara dari sub-sektor perkebunan, dan menjadi tumpuan pencaharian bagi banyak keluarga petani. Luas areal tanaman karet pada tahun 2003 sekitar 3.3 juta hektar, dengan produksi 1.79 juta ton atau 22% produksi karet alam dunia (7.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2003). Pada tahun 1996, peran komoditas ini pernah mencapai puncaknya dengan pangsa pasar 36.7% dari total pangsa pasar komoditas pertanian yang menyumbang devisa lebih dari 5100 juta US$ (Bank Indonesia, 2001 ).
Hingga saat ini sebagian besar perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Pada tahun 2003, luas arealnya mencapai tidak kurang dari 85%, sisanya merupakan perkebunan Negara dan Swasta. Dari total produksi, hampir 76% nya berasal dari perkebunan rakyat. Pada Tabel 1 ditampilkan perkembangan luas areal perkebunan dan produksi karet alam berdasarkan jenis pengusahaannya. Tabel 1 Perkembangan luas areal perkebunan karet (ribuan ha) dan produksi karet
alam Indonesia (ribuan ton) Jenis Pengusahaan
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Tahun
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
1998 3082 1243 230 192 295 227 1999 2856 1295 234 196 297 224 2000 2883 1215 213 170 276 206 2001 2855 1210 213 181 277 216 2002 2828 1223 213 189 277 218 2003 2800 1365 213 195 277 230
Sumber : Ditjenbun, Departemen Pertanian (2003)
Pada awalnya karet alam Indonesia diperdagangkan dalam bentuk karet lembaran yakni karet sit asap (RSS = ribbed smoked sheet). Namun sejak masuknya teknologi karet remah (crumb rubber) pada tahun 1968, produksi karet
sit menurun beralih ke karet remah, kini sekitar 90% produksi karet alam nasional merupakan karet remah. Pada Tabel 2 ditampilkan perkembangan volume ekspor karet alam selama beberapa tahun terakhir. Tampak bahwa karet remah terutama jenis SIR 20 senantiasa mendominasi jenis karet mentah yang diproduksi, lebih dari 85% adalah SIR 20, sisanya kurang dari 15% adalah jenis lainnya.
Tabel 2 Perkembangan ekspor karet alam Indonesia (ribuan ton) Tahun Jenis mutu 1998 1999 2000 2001 2002 Rataan Proporsi (%) Lateks Pekat 15.2 12.5 9.5 10.3 8.6 11.2 0.7 RSS 45.1 56.9 42.5 32.7 44.2 44.3 2.9 SIR 1576.5 1420.2 1322.3 1411.4 1436.0 1433.3 95.4 SIR 5 29.1 43.4 41.4 32.0 32.0 35.6 2.4 SIR 10 60.3 68.9 62.9 59.7 61.5 62.7 4,2 SIR 20 1457.7 1290.9 1210,9 1283.2 1317.3 1312.0 87.3 SIR lain 29.4 17.0 7.1 36.5 25.2 23.0 1.5 Lain-lain 4.4 5.0 5.3 42.5 13.4 14.1 0.9 Total 1641.2 1494.6 1379.6 1496.9 1502.2 1502.9 100.0
Sumber: IRSG (2003), diolah
Mutu karet remah dinilai berdasarkan sifat fisiko-kimia seperti kadar zat menguap, kadar kotoran, kadar nitrogen dan viskositas Mooney. Karet remah produksi Indonesia dikenal dengan nama SIR (Standard Indonesian Rubber), SMR untuk karet remah Malaysia, dan TSR untuk yang dihasilkan Thailand. SIR 5, 10 dan SIR 20 memiliki persyaratan mutu yang berbeda satu dengan lainnya. Sebagai contoh, SIR 10 berkadar kotoran tidak boleh lebih dari 0.1%, dan di atas 0.1% hingga 0.2% digolongkan sebagai SIR 20.
Teknologi karet remah terlahir untuk mengimbangi perkembangan karet sintetik yang mutunya dinilai berdasarkan sifat fisiko-kimia dan umumnya juga berbentuk butiran atau remahan. Tujuan lain adalah agar mampu memenuhi permintaan yang tinggi terhadap karet alam sebagai bahan baku ban kendaraan bermotor, seiring dengan pesatnya perkembangan sektor transportasi. Kondisi demikian sukar dipenuhi oleh karet sit, karena waktu pengeringannya cukup lama yakni 5-7 hari, sedangkan untuk karet remah hanya sekitar 2-3 jam.
Karet sit sesungguhnya memiliki mutu yang relatip baik dibanding karet remah, karena dibuat langsung dari lateks dengan prosedur yang ketat, antara lain
penggumpalan harus sesegera mungkin, karena jika lateksnya kurang segar akan dihasilkan karet sit mutu rendah. Ketebalan lembarannya harus cukup tipis (1-3 mm), sehingga mengurangi peluang timbulnya kesengajaan memasukan kotoran agar beratnya meningkat. Suhu pengeringan maksimum 55-60 oC, karena suhu yang tinggi akan menyebabkan permukaan karet bergelembung dan lengket.
Berbeda dengan karet sit, karet remah dapat dibuat dari lateks yang telah menggumpal (koagulum) dengan sembarang bentuk dan ukuran, sehingga. membuka peluang timbulnya kesengajaan memasukkan kotoran agar beratnya meningkat. Suhu pengeringan yang tinggi (110-130 oC), ditambah bentuknya yang butiran atau remahan menyebabkan waktu pengeringan karet remah jauh lebih singkat dibanding karet sit. Suhu yang tinggi tersebut sesungguhnya menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap mutu karet, antara lain dapat menurunpan plastisitasnya.
Pada saat karet sit masih mendominasi produksi karet alam, petani berperan sebagai penghasil bahan olah karet (bokar) berupa lateks, dan banyak juga yang berperan sekaligus sebagai pengolahnya untuk dijadikan karet sit. Namun kini petani umumnya hanya sebagai penyedia bokar dalam bentuk koagulum. Bokar tersebut dijual ke pabrik karet remah untuk diolah menjadi karet remah SIR 10 dan terutama jenis SIR 20.
Teknologi karet remah disatu sisi berdampak positif dalam meningkatkan produksi agar mampu mengimbangi permintaan dunia untuk karet alam, sekaligus meningkatkan devisa negara, namun disisi lain ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas bokar terutama yang dihasilkan dari perkebunan rakyat. Tuntutan kapasitas pabrik karet remah yang besar dan persaingan diantara pabrik itu sendiri, mendorong petani karet untuk segera menghasilkan bokar dengan target kuantitas yang jauh melebihi perhatian terhadap kualitasnya, berakibat mutu bokar secara umum tergolong rendah, antara lain sering bercampur dengan berbagai jenis kotoran.
Perumusan Masalah
Standar mutu yang kini berlaku untuk bahan olah karet (SNI 06-2047-2002) merupakan hasil revisi dari standar-standar mutu sebelumnya yang pernah dicoba
diterapkan dalam upaya meningkatkan mutu bokar. SNI 06-2047-2002 sesungguhnya lebih lunak dibandingkan dengan standar mutu sebelumnya yang mengharuskan hanya asam semut sebagai bahan penggumpal, serta ada batas maksimum ketebalan dan batas minimum kadar karet kering. Dalam standar mutu sekarang, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4 (Bab Tinjauan Pustaka), untuk bokar berupa koagulum diberi kebebasan dalam ketebalan dan kadar karet kering serta tidak perlu penggunaan asam semut sebagai koagulan asalkan tidak bersifat merusak karet.
Walaupun persyaratannya cukup longgar, namun secara umum masih sukar diimplementasikan di tingkat petani karet. Keharusan tidak boleh ada kotoran dan koagulan harus aman terhadap karet merupakan permasalahan lama yang secara teknis masih sukar dipenuhi. Prosedur penyiapan bahan olah karet oleh para petani belum sepenuhnya dilaksanakan secara baik. Lateks setelah disadap langsung digumpalkan dengan sembarang koagulan seperti asam semut, asam sulfat, tawas, cuka dan air perasan gadung di tempat yang kotor bercampur dengan berbagai jenis kotoran seperti tanah, pasir, kerikil, tatal bekas sadapan, serat goni, tali dan plastik bekas. Penambahan kotoranpun seringkali dilakukan dengan sengaja untuk meningkatkan bobot agar harga penjualan meningkat.
Selain jenis, komposisi dan distribusi kotorannya bervariasi, umur, bentuk dan ukuran koagulum juga beragam, mulai dari bentuk serpihan atau mangkok, lembaran/slab 1 hingga 10 cm sampai yang berbentuk balok 50cmx50cm, tebal sekitar 20-30 cm, gabungan dari bagian-bagian kecil bercampur lateks atau dibentuk langsung dari lateks yang sama (masif).
Disebabkan sangat bervariasinya kondisi karet remah, maka hingga saat ini belum ada metode yang cepat dan akurat untuk penentuan kemurnian kadar karet yang biasanya dinyatakan sebagai kadar karet kering (K3 atau KKK). Prosedur penentuan K3 yang pernah dicoba di lapangan adalah secara penggilingan dan pencacahan untuk mengeluarkan kotoran selanjutnya menimbang berat karet keringnya. Namun cara demikian kurang praktis karena memerlukan waktu yang lama untuk pencacahan maupun pengeringannya. Selain itu agar sampel ujinya cukup mewakili, diperlukan kondisi bokar dengan keseragaman yang cukup tinggi baik jenis, komposisi maupun distribusi kotorannya.
Belum diperolehnya metode evaluasi mutu yang obyektif, menyebabkan hingga saat ini penentuan K3 masih bersifat subyektif yakni secara visual melalui pembelahan koagulum dan selanjutnya mengamati tingkat kekotorannya untuk memperkirakan kemurnian kadar karet kering. Koagulum yang basah dan banyak mengandung kotoran biasanya ditaksir berkadar karet kering yang rendah. Besarnya nilai K3 praktis ditentukan secara kompromistik yang tidak jarang bersifat sepihak dengan resiko menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak pembeli maupun penjual.
Makin besar penyimpangan terhadap K3, akan makin besar kerugian yang ditimbulkan. Sebagai contoh untuk pabrik karet remah yang berkapasitas 50 ton/hari, pada saat harga karet remah Rp 10.000,-/kg, maka kesalahan perhitungan yang hanya 1% dapat mendatangkan kerugian sekitar Rp 5.000.000,- setiap harinya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, agar hasil pengujian dapat diterima oleh berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli bokar, diperlukan suatu metode penentuan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak lagi mengandalkan cara perkiraan dan taksiran. Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu untuk berbagai komoditas pertanian, metode ultrasonik diharapkan dapat dikembangkan untuk keperluan evaluasi mutu koagulum karet. Keunggulan metode ultrasonik adalah tidak bersifat merusak (NDT = non destructive testing) dan relatip cepat sehingga memungkinkan untuk diterapkan secara on line langsung ke bahan yang akan diproses.
Disebabkan beragamnya bentuk, umur, maupun jenis, komposisi dan distribusi kotoran yang terdapat di dalam koagulum, ditambah pula dengan bervariasinya cara-cara penggumpalan, maka penelitian yang komprehensif akan memerlukan waktu yang lama. Penelitian yang telah dilaksanakan ini masih bersifat pemodelan, yakni sampel uji koagulum dibuat sendiri dan jenis kotoran dibatasi hanya pasir dan tatal, berdasarkan pertimbangan bahwa kedua jenis kotoran tersebut termasuk yang paling sering ditemukan di dalam koagulum dari perkebunan rakyat.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan mutu koagulum karet alam dengan metode ultrasonik. Secara spesifik penelitian bertujuan mengkaji hubungan mutu
koagulum terhadap elastisitas karet dan sifat-sifat gelombang ultrasonik sebagai berikut,
1 mempelajari hubungan kadar air dan kadar kotoran koagulum dengan sifat fisik (densiti dan elastisitas) dan sifat akustik (atenuasi dan kecepatan gelombang ultrasonik) ,
2 menyusun model matematik hubungan kadar air, kadar karet kering dan kadar kotoran dengan sifat fisik dan sifat akustik,
3 melakukan uji validasi terhadap model matematik pada butir 2 di atas, dan 4 mengkaji aplikasi program JST (Jaringan Syaraf Tiruan) untuk menentukan
kadar karet kering koagulum.
Manfaat Penelitian
1 Berdasarkan informasi adanya korelasi yang nyata antara mutu koagulum dan sifat-sifat gelombang ultrasonik, diharapkan menjadi dasar pengembangan penelitian selanjutnya yang lebih komprehensif, dimana sampel uji koagulum tidak lagi bersifat pemodelan namun sudah berupa contoh uji koagulum lapangan. Metode ultrasonik diharapkan kelak dapat menjadi metode yang efisien dan efektif untuk penilaian mutu koagulum yang akan diolah menjadi karet remah. Karena penentuan kadar air, kadar karet dan kadar kotoran dengan metode ultrasonik bersifat obyektif maka berpotensi diterima secara umum oleh pelaku bisnis bahan olah karet
2 Mengingat metode ultrasonik bersifat NDT, dan relatif cepat, maka hasil-hasil penelitian ini dapat membuka pemikiran baru untuk aplikasi ultrasonik pada analisis mutu karet selain koagulum, antara lain untuk penentuan kadar air, kadar kotoran dan kadar abu di dalam karet remah, serta untuk penentuan parameter mutu lateks pekat, seperti kadar total padatan, alkalinitas dan viskositas. Di bidang teknologi barang jadi karet (rubber goods), metode ultrasonik pun kemungkinan dapat digunakan untuk inspeksi cacat-cacat mutu ban vulkanisir, seperti timbulnya keretakan struktur, lepasnya rekatan ban dengan casing dan adanya udara terjebak.
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Kimia Karet Alam
Karet merupakan polimer yang bersifat elastik, sehingga sering juga disebut sebagai elastomer. Di dalam dunia perdagangan dikenal istilah karet alam dan karet sintetik. Karet alam diperoleh dengan cara menyadap lateks yakni getah pohon karet (Hevea brasiliensis M.), sedangkan karet sintetik umumnya dibuat secara polimerisasi monomer-monomer yang berasal dari fraksi minyak bumi.
Lateks merupakan cairan berwarna putih atau putih kekuningan, yang terdiri atas partikel-partikel karet dan bahan bukan karet yang terdispersi di dalam serum. Komposisi kimia lateks hevea ditunjukkan pada Tabel 3. Partikel karet berbentuk bulat berukuran antara 5 nm – 3 µm, mengandung beberapa ratus molekul cis -poliisoprena. Bahan-bahan lain seperti protein dan lipid yang membentuk senyawa fosfolipoprotein, berupa membran bermuatan negatif yang melapisi partikel karet. Membran sejenis ini menyebabkan partikel-partikel karet terdispersi secara stabil di dalam serum lateks.
Tabel 3 Komposisi kimia lateks kebun
Komponen % berat
Karet (cis-1,4-poliisopren) 30 - 35
Resin 0.5 - 1.5
Protein 1.5 - 2
Abu 0.3 - 0.7
Gula 0.3 - 0.5
Air 55 - 60
Sumber : Archer, et al. (1963)
Untuk memperoleh karet, partikel-partikel karet yang terdapat di dalam lateks dipisahkan dari cairannya dengan cara penggumpalan baik secara sengaja maupun penggumpalan secara alami. Pada prinsipnya, penggumpalan terjadi akibat terganggunya faktor penunjang kestabilan sistem koloid lateks, misalnya penurunan pH. Penggumpalan sengaja yang lazim dilakukan saat ini adalah dengan penambahan asam, seperti asam format dan asetat untuk menurunkan pH
lateks. Sedangkan lateks dapat menggumpal secara alami akibat terbentuknya senyawa-senyawa asam hasil perombakan karbohidrat dan lipid yang terdapat di dalam lateks oleh mikroorganisme (Archer, et al.,1963).
Molekul karet merupakan untaian berulang isopren yang sangat panjang. Rumus molekul karet cis-1,4 poliisopren dengan unit pembentuknya isopren dapat dilihat pada pada Gambar 1. Kekuatan atau keliatan karet makin besar dengan semakin panjangnya rantai molekul poliisopren. Rantai molekul karet ini dapat putus menjadi rantai molekul yang lebih pendek akibat reaksi oksidasi, sehingga kekuatannya berkurang.
Gambar 1 Monomer cis-poliisopren pembentuk molekul karet alam
Bahan-bahan selain karet yang terdapat di dalam lateks, seperti lipid dapat berperan sebagai antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Bahan-bahan tersebut cenderung rusak dan terbuang pada penggumpalan yang berlangsung secara alami (Gazeley, et al., 1988).
Klasifikasi Mutu Bahan Olah Karet
Berdasarkan standar mutu bokar yang berlaku saat ini (SNI 06-2047-2002) sebagaimana disajikan pada Tabel 4, terdapat 4 jenis bahan olah karet yakni lateks kebun, dan koagulumnya dalam bentuk sit, lump dan slab.
unit monomer isopren
Tabel 4 Persyaratan mutu bokar (SNI 06-2047-2002)
Koagulum
No. Jenis Uji Lateks
kebun Sit Slab Lump
1 Kadar karet kering (K3) Mutu I, % Mutu II, % ≥ 28 ≥20 -<28 - - - - - - 2 Ketebalan Mutu I, mm Mutu II, mm Mutu III, mm Mutu IV, mm - - - - 3 5 10 - •50 >50 - 100 >100-150 >150 •50 >50 - 100 >100-150 >150
3 Kebersihan - Tidak terdapat
kotoran
Tidak terdapat kotoran
Tidak terdapat kotoran
4 Koagulan - Asam semut
atau bahan lain yang tidak merusak mutu
karet *)
Asam semut atau bahan lain yang
tidak merusak mutu karet atau
penggumpalan alami *)
Asam semut atau bahan lain yang
tidak merusak mutu karet atau
penggumpalan alami *) *) Bahan yang direkomendasikan oleh Lembaga Penelitian yang kredibel
Lateks kebun
Lateks kebun merupakan getah yang berwarna putih dan berbau segar. Umumnya lateks kebun hasil penyadapan mempunyai kadar karet kering (K3) antara 20-35%, serta bersifat kurang mantap sehingga harus segera diolah secepat mungkin. Cara penyadapan dan penanganan lateks kebun sangat berpengaruh terhadap sifat koagulum sekaligus tingkat kebersihannya.
Lateks kebun umumnya hanya digunakan untuk pembuatan SIR jenis khusus atau high grade yakni SIR 3CV, 3WF atau SIR 3L. Mutu lateks kebun yang akan dijadikan bahan olah karet remah hanya dinilai atas kadar keringnya saja, yakni mutu I jika kadar karetnya minimal 28% dan mutu II jika kadar karetnya minimal 20% sampai dbawah 28%.
Menurut RRIM (1973), penentuan kadar karet di dalam lateks dapat dilakukan menggunakan alat metrolaks dan dengan cara penimbangan kering dan penimbangan basah. Metrolaks berbentuk silider yang terbuat dari gelas. Alat ini bekerja berdasarkan perbedaan berat jenis, dimana berat jenis lateks akan meningkat dengan kenaikan kadar air. Dalam praktek pengukuran, metrolaks
dicelupkan ke dalam lateks dan dibiarkan mengambang/setimbang pada skala tertentu yang menunjukkan langsung kadar karet atau kadar air. Pada saat ini pengukuran kadar karet dengan metrolaks sudah jarang digunakan, karena dinilai harga alat cukup mahal, mudah pecah dan harus sering dikalibrasi.
Pengukuran kadar karet dengan cara penimbangan kering dilakukan dengan terlebih dulu menggumpalkan sekitar 10 g contoh lateks, lalu digiling tipis dan dikeringkan dengan oven pada 105 oC selama 24 jam. Cara ini sesungguhnya paling teliti, namun hanya sesuai untuk di laboratorium. Dalam praktek di lapangan, cara penimbangan kering hampir tidak pernah dilakukan karena kurang praktis serta hasil pengukurannya baru bisa diketahui pada keesokan harinya.
Pengukuran dengan cara penimbangan basah paling umum diterapkan. Pada cara ini, lateks setelah digumpalkan digiling tipis. Lembaran tipis karet basahnya setelah dilap dengan kain bersih kemudian ditimbang. Dengan menggunakan tabel koreksi, dicari nilai berat basah yang paling dekat dengan nilai berat keringnya. Walaupun cara penimbangan basah masih memiliki beberapa kelemahan, namun karena prosedurnya praktis, sederhana, cepat, dan hasilnya bisa diketahui dengan segera, maka cara tersebut saat ini yang paling banyak diterapkan di lapangan.
Cara pengukuran kadar karet di dalam lateks yang mutakhir diperkenalkan oleh Khalid, et al. (1994), yakni dengan mengukur konstanta dielektrik lateks. Diperoleh informasi konstanta dielektrik pada 2.45 sampai 18 GHz berkorelasi erat dengan kadar air dengan penyimpangan pengukuran hanya berkisar 3-5%. Koagulum tipis (sit)
Bahan olah dalam bentuk koagulum sit jarang digunakan karena fungsinya hanya sebagai pencampur untuk pembuatan SIR 5. Untuk pembuatan karet remah jenis umum yakni SIR 10 dan 20, biasanya digunakan lump dan slab.
Sit adalah lembaran tipis yang berasal dari koagulum lateks kebun. Lembaran dibentuk dengan menggunakan gilingan tangan, selanjutnya lembaran dikeringkan dengan cara dianginkan, sehingga disebut pula sebagai sit angin. Pengolahan sit angin yang baik dimulai dengan tahap pengenceran lateks menjadi sekitar 15% , kemudian lateks kebun yang telah diencerkan disaring dengan saringan lateks 20 mesh, selanjutnya dilakukan penggumpalan dimana lateks yang telah disaring dibubuhi larutan asam semut 10%, menghasilkan koagulum.
Lembaran koagulum digiling menggunakan gilingan tangan polos sebanyak 4 kali, setiap kali menggiling jarak rol diatur agar setelah penggilingan ketiga tebal lembaran karet ± 5 mm. Setelah itu lembaran karet digiling menggunakan gilingan beralur 1 kali sehingga tebal sit sekitar 3 mm. Lembaran sit dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan asam semut yang tertinggal. Lembaran sit yang diperoleh digantung di atas rak untuk dikering-anginkan di udara terbuka kira-kira 10 hari, dan diusahakan agar tidak terkena sinar matahari langsung. Lump dan slab
Lump merupakan koagulum yang terbentuk pada mangkok penampung lateks kebun beberapa saat setelah penyadapan. Menurut Standar Mutu yang kini berlaku, proses penggumpalan harus terjadi secara alami atau dengan koagulan yang baik. Mutu I diberlakukan untuk ketebalan tidak lebih dari 50 mm, mutu II diatas 50 sampai 100 mm, mutu III lebih dari 100 hingga 150 mm, ketebalan di atas 150 mm digolongkan sebagai mutu IV.
Slab tipis adalah koagulum yang berasal dari lateks kebun yang sengaja digumpalkan dengan asam semut dan dari lump mangkok segar yang direkatkan dengan atau tanpa lateks. Slab tipis tidak boleh dikotori oleh tatal sadap, kayu, daun, pasir dan benda asing lain. Jenis-jenis kotoran tersebut merupakan bentuk utama dari limbah padat yang dihasilkan di pabrik karet remah.
Untuk menghasilkan slab tipis bermutu baik, terlebih dulu lump segar harian hasil penyadapan ditata berjajar satu lapis dalam kotak kayu atau bak penggumpalan lain dengan tebal tidak lebih dari 50 mm. Lateks kebun langsung ditambahkan larutan asam semut 10% sebanyak 10 ml per liter lateks, kemudian segera dituangkan secara merata ke dalam bak penggumpalan yang telah berisi lump segar, sehingga terbungkus oleh lapisan lateks. Koagulum yang diperoleh berbentuk slab tipis yang tebalnya kurang dari 50 mm. Slab ini selanjutnya dapat dipipihkan dengan tangan atau kayu di atas alas yang bersih. Slab tipis ditiriskan dan dianginkan di atas rak atau digantung seperti menggantung sit angin di udara terbuka selama 1 - 2 minggu dan tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Slab tipis yang telah dikering-anginkan disimpan dalam bangsal penyimpanan.
Teori Elastisitas Karet
Elastisitas merupakan sifat suatu bahan yang menyerupai pegas, jika setelah dikenai gaya berupa pampatan atau regangan, bahan akan kembali ke bentuk semula.. Elastisitas karet lebih baik dibanding elastisitas plastik atau logam. Karet mampu kembali ke ukuran semula setelah diregang hingga 4-5 kali panjang awalnya, namun logam hanya mampu sampai perpanjangan sekitar 0.5% yang jika dipaksakan akan patah atau retak (failure).
Pembahasan teori elastisitas, termasuk hubungan tegangan dan regangan melibatkan pengertian modulus Young, modulus geser dan perbandingan Poisson