• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

DAFTAR PUSTAKA

Adijuwana H, Anwar Nur M. 1989. Teknik Pemisahan dan Analisis Biologi. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.

[BSN]. 1999. SNI 03-5010.1-1999 / Revisi SNI 03-3528-1994 tentang Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Jakarta : BSN.

Barry KM, Mihara R, Davies NW. 2005. Polyphenols in Acacia mangium and

Acacia auriculiformis heartwood with reference to heart rot susceptibility. J Wood Sci 615-621.

Chang ST, Cheng SS. 2002. Antitermitic activity of leaf essential oils and components from Cinnamomum osmophleum. J Agric Food Chem 50: 1389- 1392.

Chen K, Ohmura W, Doi S, Aoyama M. 2004. Termite feeding deterrent from

Japanese larch wood. Bioresource Tech 95:129-134.

Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood : Decay, Pests and Protection. London : Chapman and Hall.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardjono S., Penerjemah, Soenardi P, Penyunting. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr.

Findlay WPK. 1978. Timber Properties and Uses. London : Granada, Publishing. Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung

: Penerbit ITB.

Hanum IF, Van Der Maesen LJG (Editor). 1997. Plant Resources of South East Asia. No.11. Bogor : PROSEA.

Hasan T. 1983. Rayap dan Pemberantasannya (Pencegahan dan

Penanggulangannya). Jakarta : Yayasan Pembinaan Watak dan Bangsa. Hashimoto K, Ohtani Y, Sameshima K. 1997. The termicidal and its distribution

in champor (Cinnamomum champora) Wood. Jurnal of the Japan Wood Research Society. Vol 43 No. 7.

Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin : Springer-Verlag.

Joker. 2001. Informasi Singkat Benih Acacia auriculiformis A. Cunn ex. Benth.http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Acacia_auriculifor mis_Cunn.pdf. [29Juni 2007].

Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

VII (3) : 96-100.

Mihara R, Barry KM, Mohammed CL, Mitsunaga T. 2005. Comparison of antifungal and antioxidant activities of Acacia mangium and A. auriculiformis heartwood extracts. J Chem Eco. Vol 31. No. 4. April 2005. Mitsunaga T. 2007. Phytochemistry of physiological and biological active

compounds from plant resources. Bogor: Departemen Kimia FMIPA-IPB dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB. [Makalah]. Seminar Sehari Senyawa Aktif Biologis untuk Farmasetika dan Nutrasetika. 12 April 2007.

Nandika D. 1991. Rayap dan ancamannya terhadap bangunan. Jakarta : Makalah Diskusi Pencegahan dan Penanggulangan Tata Bangunan. Kerjasama Direktorat Tata Bangunan dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta : Muhammadiyah Univ Pr.

New Forests Project : Acacia auriculiformis. www.newforestsproject.org. [11 September 2007].

Ohashi H, Asai T, Kawai S. 1994. Screening of main Japanese conifers for fungal leaf component. Sesquiterpenes of Juniperus chinensis var pyramidalis. Holzforschung. Vol. 48 No. 3. Berlin : Walter de Gruyter.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu : Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Park IK, Shin SC. 2005. Fumigant activity of plant essential oils and components from garlic (Allium sativum) and clove bud (Eugenia caryophyllata) oils against the Japanese Termite (Reticulitermes speratus Kolbe). J Agric Food Chem 53: 4388-4392.

Pilotti CA, Kondo R, Shimizu K, Sakai K. 1995. An Examination of the anti fungal components in the heartwood extract of Pterocarpus indicus. Journal of the Japan Wood Research Society. Vol. 4.(6) : 593 – 597.

Prijono D. 1998. Insecticidal activity of meliaceous seed extracts againts

Crocidolomia binotalis Zeller. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 10 (1) : 1-7

Rinawati, Darusman LK, Purnawantiningsih. 1996. Efisiensi Ekstraksi Senyawa Isoflavon dari Akar Kedelai (Glycine max (L.) Merr). Buletin Kimia Jurusan Kimia FMIPA-IPB (11): 35-48.

Rowell RM. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington : American Chemical Society.

Sari RK, Syafii W. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Volume XIV, Nomor 1.

Sajap AS, Lardizabal ML. 1998. Major protozoan fauna in the tropical subterranean termite Coptotermes curvignathus Holmgren. Sociobiology. Vol. 32 No. 1.

Sastrodihardjo S. 1999. Arah pengembangan dan strategi penggunaan pestisida nabati. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati; Bogor, 9 – 10 Nopember 1999. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Shieh JC, Sumimoto M. 1992. Antifungal wood components of Cunninghamia lanceolata. Journal of the Japan Wood Research Society. Vol. 38. (5) : 482 – 489.

Sjostrom E. 1993. Kimia Kayu, Dasar-dasar Penggunaan. Edisi 2. Penerjemah H. Sastrohamidjojo. Penyunting S. Prawirohatmodjo. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr.

Syafii W, Yoshimoto T, Samejima M. 1985. Neolignan from the heartwood of ulin wood (Eusideroxylon zwageri). Journal of The Japan Wood Research Society, Vol. 31. No. 11

Syafii W, Samejima M, Yoshimoto T. 1987. The role of extractives in resistance of ulin wood (Eusideroxylon zwageri). Bulletin of Tokyo University Forest No. 77.

Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their Influences on The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical Agricultural. Volume 4, Number 2.

Syafii W. 2000a. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu lebar tropis. Buletin Kehutanan. Yogyakarta : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (42) : 2 – 13.

Syafii W. 2000b. Antitermitic compound from the heartwood of sonokeling wood

(Dalbergia latifolia Roxb). Indonesian Journal of Tropical Agriculture. Bogor : Lembaga Penelitian IPB. Volume 9. Nomor 3.

Syafii W. 2001. Eksplorasi dan Identifikasi Komponen Bio-Aktif Beberapa Jenis Kayu Tropis dan Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Pengawet Alami. Laporan Akhir Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi VIII Tahun Anggaran 1999/2000 – 2000/2001. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Tambunan B, Nandika D. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.

TAPPI Test Methods. 1991. Solvent Extractives of Wood and Pulp T 204 om-88. Vol.1. Atlanta : TAPPI Pr.

Tarumingkeng RC. 1993. Biologi dan Perilaku Rayap. (Tidak Dipublikasikan). Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood : Structure, Properties,

Utilization. New York : Van Nostrand Reinhold.

Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London : The Macmillan Pr.

Walker JCF. 1993. Primary Wood Processing. Principles and Practice. London : Chapman and Hall.

Yaga S, Kingo K, Fernandez E, Zerrudo JV, Castillo SA. 1991. The termite resistance of okinawa timbers X termicidal substances from Bruguiera gymnorrhiza. Journal of the Japan Wood Research Society, Vol. 37. No. 4. Zabel RA, Morrell JJ. 1992. Wood Microbiology, Decay and Its Prevention.

Lampiran 1 Mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus Holmgren setelah diumpankan selama 4 minggu

% Mortalitas

Jenis Fraksi Konsentrasi Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Aseton 0% 0,00 2,00 11,33 19,33 2% 0,00 3,33 29,33 44,00 4% 0,00 0,67 48,00 59,33 6% 0,00 2,00 49,33 65,33 8% 0,00 4,00 74,00 79,33 10% 2,00 43,33 100,00 - n-heksan 0% 1,33 4,00 12,67 19,33 2% 1,33 6,00 40,67 42,67 4% 1,33 8,67 44,00 67,33 6% 3,33 9,33 41,33 74,00 8% 3,33 10,67 78,00 85,33 10% 3,33 14,00 100,00 - Etil Eter 0% 0,67 2,00 11,33 17,33 2% 0,67 2,00 84,00 91,33 4% 2,67 68,00 100,00 - 6% 2,67 84,67 100,00 - 8% 4,67 86,67 100,00 - 10% 4,67 87,33 100,00 - Etil Asetat 0% 1,33 6,00 14,00 20,00 2% 1,33 4,00 28,67 48,67 4% 3,33 8,00 72,00 88,00 6% 4,67 13,33 90,00 100,00 8% 9,33 26,67 99,33 100,00 10% 10,67 30,00 98,67 100,00 Residu 0% 2,00 7,33 14,67 19,33 2% 1,33 4,00 26,00 36,00 4% 2,00 10,00 32,00 46,00 6% 10,67 32,67 58,67 65,33 8% 4,67 32,67 65,33 83,33 10% 5,33 12,67 66,67 100,00 Kontrol 0,00 0,00 1,33 4,00

Lampiran 2 Kehilangan berat contoh uji kertas rata-rata setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus selama 4 minggu.

Jenis Fraksi Konsentrasi Kehilangan Berat (%)

Aseton 0% 63,84 2% 44,82 4% 36,15 6% 33,11 8% 23,38 10% 8,77 n-heksan 0% 60,85 2% 48,07 4% 38,02 6% 21,89 8% 16,14 10% 10,45 Etil Eter 0% 61,82 2% 35,50 4% 27,66 6% 16,57 8% 10,97 10% 4,57 Etil Asetat 0% 65,02 2% 38,56 4% 29,66 6% 17,00 8% 10,35 10% 7,02 Residu 0% 61,50 2% 47,10 4% 37,45 6% 26,62 8% 15,41 10% 9,87 Kontrol 76,72

Lampiran 4. Gambar Spektrum Carbon NMR Senyawa PE-2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seperti diketahui bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (sekitar 80 – 85 persen) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu, misalnya jamur dan rayap. Organisme perusak kayu tersebut dapat menyerang pohon, log, papan, maupun barang-barang yang terbuat dari bahan kayu. Dari segi efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan, penyerangan kayu dan produk kayu oleh organisme tersebut sangat merugikan karena dapat memperpendek masa pakai kayu yang bersangkutan. Dalam rangka peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kayu, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperpanjang masa pakai kayu, misalnya melalui proses pengawetan dengan bahan kimia (Syafii 2000a).

Untuk meningkatkan umur pakai dan mengefisienkan penggunaan kayu, berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dengan melakukan proses pengawetan menggunakan bahan pengawet sintetis. Namun demikian penggunaan bahan pengawet tersebut seringkali menimbulkan masalah terhadap lingkungan karena pada umumnya bersifat sukar terurai di alam (non biodegaradable). Seiring dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, bahan pengawet sintetis ini mulai dibatasi penggunaannya.

Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari bahan pengawet alternatif yang lebih aman terhadap lingkungan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang bersifat bio degradable dan renewable misalnya zat ekstraktif.

Syafii dan Yoshimoto (1993) melaporkan bahwa zat ekstraktif kayu teras lebih beracun dibandingkan dengan kayu gubal pada pohon yang sama dan keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila kayu tersebut di ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik. Harun dan Labosky (1985) dalam

Sari dan Syafii (2001), menyatakan bahwa diduga zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu awet juga terdapat dalam kulitnya, mengingat pembentukan jaringan kayu teras dan kulit kayu dimulai dari meristem sekunder yang sama dan diharapkan terdapat jenis senyawa dan diharapkan terdapat jenis senyawa yang

hampir sama dari kedua jaringan tersebut. Doi dan Kurimoto (1998) dalam Sari dan Syafii (2001) membuktikan bahwa ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol kayu teras sugi (Cryptomeria japonica) memiliki karakteristik resistensi terhadap rayap tanah Reticulitermes speratus yang lebih tinggi dari kulit dan kayu gubalnya.

Penelitian mengenai sifat anti rayap komponen bioaktif kayu sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Menurut Syafii (2000)a, ekstrak aseton kayu damar laut (Hopea spp.) menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghambat perkembangan rayap Cryptotermes cynocephalus. Latifolin dan noeflavanoid yang diisolasi dari kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) juga dilaporkan mempunyai sifat bio-aktif terhadap perkembangan C. curvignathus (Syafii 2000)b. Penelitian sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis L.F.) juga telah dilakukan oleh Sari dan Syafii (2001). Dilaporkan bahwa zat ekstraktif yang terdapat pada kulit kayu jati terutama pada fraksi n-heksan mempunyai sifat anti rayap yang relatif tinggi terhadap rayap tanah C. curvignathus.

Acacia auriculiformis merupakan tanaman perdu berukuran besar atau sedang yang berfungsi sebagai tanaman yang mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap tanah yang tidak subur, asam, basa ber-garam atau tergenang, musim kering, dan sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Hanum and Van Der Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoid dalam

jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne (1974) dalam Rinawati et al. (1996) menyatakan bahwa senyawa yang tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu, kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap serangga perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami kayu.

Identifikasi Masalah

Permasalahan yang ingin dijawab melalui pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif apa dari kulit kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren).

2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu

A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren) dengan cara isolasi.

2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu

A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.

Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap maka diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengawet alami kayu.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah kandungan ekstraktif yang terdapat di dalam kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. diduga bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren).

TINJAUAN PUSTAKA

Keawetan Alami Kayu

Keawetan alami kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan serangan terhadap mikroorganisme (Eaton dan Hale 1993). Keawetan kayu secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone dan damar (Tsoumis 1991). Keawetan alami ini akan bervariasi sesuai dengan banyaknya serta jenis ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan keawetan alami kayu berbeda-beda dalam menghadapi resiko pelapukan menurut jenis kayu, baik dalam jenis yang sama maupun dalam pohon yang sama.

Sejumlah metabolit sekunder berperan sebagai fungisida atau antibiotik, melindungi tanaman dari jamur dan bakteri seperti pterocarpan, pisatin, sesquiterpenoid dan phytoalexin. Sedangkan metabolit sekunder lain bersifat toksik terhadap serangga antara lain alkaloid dan cyanogenik glikogen yang mencegah kerusakan tanaman dengan membunuh predator tersebut (Vickery dan Vickery 1981).

Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat di dalam kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan dalam mencegah serangan serangga.

Pada umumnya jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut. Namun daya tahannya terhadap organisme sangat ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang bersifat racun meskipun kandungannya sedikit.

Faktor utama yang menyebabkan keawetan alami kayu adalah adanya zat ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu teras yang terbentuk selama proses pembentukan kayu teras tersebut (Syafii 2001). Pada umumnya kayu teras lebih awet daripada kayu gubalnya, terutama disebabkan oleh

pengendapan unsur-unsur kimia tertentu yang terdapat di dalam kayu selama peralihan kayu gubal menjadi kayu teras (Pandit dan Ramdan 2002). Senyawa polifenol pinosilvin bertanggung jawab terhadap ketahanan kayu teras pinus dibandingkan dengan kayu gubalnya (Walker 1993). Sejumlah senyawa aromatik seperti fenol, stilbena, flavonoid, tanin, kuinon, tropolon, lignan dan substansi lainnya terdapat pada kayu teras dan kulit. Tidak ada jenis kayu yang awet yang berasal dari kayu gubal. Pada akhirnya penggolongan kayu akan didasarkan pada keawetan alami dari kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu tersebut (Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu

Kelas Awet Kayu Tingkat Keawetan

I II III IV V Sangat awet Awet Kurang awet Tidak awet Sangat tidak awet Sumber : [BSN] (1999)

Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi pula oleh jumlah dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992). Lignin kayu daun lebar disusun oleh tipe siringil dan guaiasil, sedangkan kayu daun jarum disusun oleh tipe guaiasil. Kayu yang ligninnya didominasi oleh tipe guaiasil cenderung lebih tahan terhadap pelapukan dibandingkan tipe siringil. Syafii et al. (1987) menyatakan bahwa kayu ulin, kayu bengkirai, kayu kohi, dan kayu malas memiliki laju pelapukan oleh

Coriolus versicolor yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lainnya. Kayu tersebut memiliki lignin dengan tipe guaiasil yang lebih dominan dibandingkan dengan tipe siringil.

Keawetan alami pada pohon beragam, khususnya pada jenis yang keawetannya tinggi. Keragaman terjadi di antara jenis yang berbeda maupun di antara individu pohon jenis yang sama. Pada sebagian besar jenis, keawetan alami bagian terdalam kayu teras lebih rendah dibandingkan bagian terluar. Bagian terluar kayu teras semakin kurang awet dari bagian pangkal ke bagian ujung

pohon. Sedangkan pada kayu teras bagian terdalam akan semakin awet dari bagian pangkal ke bagian ujung pohon (Eaton dan Hale 1993).

Zat Ekstraktif Batasan dan Ruang Lingkup

Dinding sel kayu tersusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang semuanya merupakan polimer. Selain ketiga komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah unsur atau bahan yang disebut ekstraktif.

Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam bahan yang tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu. Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat ekstraktif ini antara lain dengan uap (dihasilkan kelompok dari hidrokarbon, asam-asam aldehid dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak, asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan alkohol panas (dihasilkan tannin, zat-zat warna, fenol dan bahan-bahan larut air) dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida, dengan berat molekul rendah, garam-garam).

Sjostrom (1993) menyatakan bahwa kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu pun dapat berbeda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Eaton dan Hale (1993) bahwa substansi yang bersifat racun beragam di antara jenis dan marga dan beragam dalam sifat kimianya sehingga berbagai pelarut akan mengekstrak berbagai bahan toksik yang berbeda pada berbagai jenis.

Kandungan ektraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada jenis tetapi juga pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi, yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Ekstrak alkali

maupun ekstrak etanol mengandung polimer flavonoid yang lebih tinggi meliputi asam-asam polifenolat (Fengel dan Wegener 1995).

Menurut Sjostrom (1993), kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan akar, yang jumlahnya sekitar 10 – 15% dari berat pohon. Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10 – 20% dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan (Fengel dan Wegener 1995).

Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi penggunaannya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas sedikit lebih rendah, dan jauh lebih lunak dalam semua sifat mekanik kayu (Martin 1969; Cassens 1974 dalam Fengel dan Wegener 1995).

Penggolongan Zat Ekstraktif

Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam ekstraktif terdapat beberapa senyawa-senyawa organik seperti terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi. Sjostrom (1993) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu :

1. Komponen-komponen alifatik

Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin.

2. Terpena dan terpenoid

Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut

jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8).

Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sedangkan di dalam kayu daun lebar mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada beberapa kayu tropis saja (Fengel dan Wegener 1995). Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika.

3. Senyawaan fenolat

Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas, yaitu :

3.1 Tanin terhidrolisis : produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama.

3.2 Tanin terkondensasi (flavonoid) : polifenol yang mempunyai rantai karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin.

3.3 Lignan : dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3), contoh konidendrin,

pinoresinol, dan asam plikatat.

3.4 Stilbena (1,2-difeniletilena) : mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin.

3.5 Tropolon : mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contoh α,β, dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja plicata.

Meskipun fenolat terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolat ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Selain itu juga meningkatkan pewarnaan pada kayu. Harborne (1974) dalam Rinawati et al. (1996) mengemukakan bahwa flavanoid merupakan kelompok fenol yang tersebar di alam. Hampir semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah, dan biji dapat mengandung flavanoid. Senyawa yang

tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurun tekanan darah tinggi.

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif

Findlay (1978) menjelaskan bahwa zat ekstraktif memberikan karakteristik warna tersendiri dalam memberikan ketahanan alami pada kayu. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap menyebabkan iritasi atau menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Hillis (1987) menyatakan bahwa zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai bentuk ketahanan pohon hidup terhadap agen perusak meskipun sangat bervariasi pada berbagai habitat. Rowell (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan senyawa-senyawa organik yang meliputi lemak, lilin, alkaloid, protein, senyawa fenolik sederhana dan kompleks, gula sederhana, pektin, gum, resin, tepena, pati, glikosida, saponin dan minyak esensial. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai cadangan energi atau sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Zat ekstraktif juga berperan terhadap sifat kayu seperti warna, bau dan ketahanan terhadap pelapukan.

Sjostrom (1993) menyatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit dan juga yang terdapat pada xilem, bersifat racun atau anti jamur. Oleh karenanya dapat melindungi pohon dari gangguan organisme perusak kayu.

Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai anti rayap dan anti

Dokumen terkait