• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pasca Panen

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Satuan

2a diameter mayor buah salak cm

2b diameter minor buah salak cm

2c tinggi buah salak saat diasumsikan berbentuk

spheroid cm

a jari - jari mayor buah salak cm

b jari - jari minor buah salak cm

A panjang kemasan cm

B lebar kemasan cm

C tinggi kemasan cm

d diameter spot memar berbentuk lingkaran cm

F beban tekan kg

h tinggi buah salak cm

i ulangan perlakuan percobaan

K kelompok perlakuan (lapisan buah, posisi kemasan)

KA jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu x buah

KB jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu y buah

KC jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu z buah

L panjang bentangan cm

MOE Modulus of Elasticity kg/ cm2

MOR Modulus of Rupture kg/ cm2

N jumlah buah salak dalam satu jenis bobot kemasan buah

P gaya pembebanan maksimum kg

p diameter mayor spot memar berbentuk elips cm q Diameter minor spot memar berbentuk elips cm

Simbol Keterangan Satuan

R jari – jari contoh uji pelepah salak cm

r jari – jari buah salak cm

S densitas (kepadatan kemasan) %

s panjang sisi selimut kerucut cm

V volume kemasan m3

Vk volume buah dalam satu jenis bobot kemasan m3 Yi nilai pengamatan percobaan

faktor perlakuan satu

ε galat nilai pengamatan percobaan µ nilai tengah pengamatan percobaan

∆P selisih beban pada batas proporsional kg ∆x selang antar buah dalam baris sejajar sumbu x cm ∆y selang antar buah dalam baris sejajar sumbu y cm ∆z selang antar buah dalam baris sejajar sumbu z cm

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR SIMBOL ... i DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN Latar belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan panen dan pasca panen (segar) buah salak ... 3 Pengemasan buah-buahan ... 6 PENDEKATAN MASALAH

Pendekatan geometri buah salak ... 21 Perancangan kemasan ... 22 Pengujian (simulasi) transportasi ... 22 BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 24 Tempat dan Waktu... 24 Metode Penelitian ... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi buah salak... 34 Sifat mekanis buah salak... 35 Sifat fisik dan mekanis pelepah salak ... 36 Perancangan kemasan ... 39 Pembuatan kemasan hasil rancangan... 40 Pengujian beban... 44 Simulasi transportasi... 45 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 59 Saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA ... 60

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Penggolongan (grading) buah salak bali berdasarkan kelas mutu ... 5 2 Kelas mutu salak berdasarkan SNI 01–3167–1992 ... 19 3 Formulir hasil uji kekerasan buah salak ... 27 4 Formulir hasil uji transportasi... 30 5 Formulir analisis kehilangan secara ekonomi... 32 6 Hasil pengukuran bobot dan dimensi 3 (tiga) varietas buah salak... 34 7 Kekerasan buah salak ... 35 8 Sifat fisik pelepah salak... 36 9 Sifat mekanis pelepah salak... 37 10Hasil perancangan dimensi dalam kemasan hasil rancangan ... 39 11Dimensi dan berat kemasan hasil rancangan... 42 12Hasil uji beban kemasan rancangan ... 44 13 Jumlah spot memar pada tiap buah salak setelah simulasi... 55 14Analisis ekonomi... 58

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Produksi buah salak di Indonesia... 1 2 Karung anyaman pandan (sumpit) ... 6 3 Keranjang bambu ... 13 4 Keranjang bambu yang diberi penahan pada bagian atas... 14 5 Pengaturan posisi buah di dalam kemasan bantalan ... 15 6 Pola penyusunan buah jeruk dalam kemasan ... 17 7 Ilustrasi pola penyusunan fcc... 18 8 Ilustrasi asumsi bentuk spheroid buah salak... 21 9 Diagram alir penelitian... 25 10Pengukuran dimensi buah salak... 26 11Ilustrasi luas memar buah salak ... 31 12Ketiga kapasitas kemasan rancangan dalam berbagai sudut pandang .... 41 13Pelepah – pelepah salak yang dijepit dengan kawat ... 41 14Susunan fcc buah salak dan pengisian kertas dalam kemasan... 43 15 Kerusakan kemasan saat diberi uji beban... 45 16Susunan kemasan sebelum simulasi transportasi... 45 17Berbagai kondisi tumpukan setelah simulasi... 46 18Kondisi kemasan setelah simulasi... 46 19Susunan buah sebelum dan setelah simulasi ... 47 20Berbagai kerusakan buah salak setelah simulasi ... 48 21Persentase kerusakan fisik buah salak setelah simulasi ... 50 22Persentase luas memar dan jumlah spot memarbuah salak ... 54 23Kekerasan buah salak setelah simulasi transportasi... 56 24Total padatan terlarut buah salak setelah simulasi transportasi... 56

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perhitungan pilihan – pilihan KA, KB, KC pada metode fcc... 63

2 Rumus penghitungan nilai MOE dan MOR pelepah salak ... 64 3 Contoh penghitungan sifat mekanis buah salak... 65 4 Penghitungan sifat fisik dan mekanis pelepah salak ... 66 5 Contoh penghitungan dimensi kemasan hasil rancangan... 67 6 Dimensi kemasan hasil rancangan ... 68 7 Berat kemasan hasil rancangan... 69 8 Hasil uji beban (tekan), ansira dan uji BNT kemasan hasil rancangan... 70 9 Perhitungan kesetaraan jarak tempuh simulasi transportasi kemasan

hasil rancangan menggunakan truk pada jalan luar kota ... 72 10Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik total buah salak ... 74 11Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik memar buah salak ... 75 12Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik busuk buah salak ... 76 13Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik pecah kulit buah salak ... 77 14Hasil uji lanjut Duncan persentase luas memar buah salak... 78 15Hasil uji lanjut Duncan jumlah spot memar buah salak... 79 16Hasil uji lanjut Duncan kekerasan buah salak ... 80 17Hasil uji lanjut Duncan TPT buah salak... 81 18Analisis ekonomi kemasan hasil rancangan ... 82

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buah salak (Salacca edulis), sebagaimana mangga, pepaya dan manggis, termasuk buah tropik yang eksotik dan memiliki rasa khas yang menjadi kelebihannya dibandingkan dengan buah-buahan lainnya. Buah asli Nusantara ini juga termasuk buah yang populer di masyarakat Indonesia dan cukup banyak pula varietas yang telah dikembangkan, di antaranya salak pondoh (Sleman, Yogyakarta), manonjaya (Tasikmalaya), condet (Jakarta), bali (Bali), dan sidimpuan (Sumatera Utara). Tingkat harga eceran buah salak yang relatif terjangkau konsumen dari semua golongan dan ketersediaannya sepanjang tahun (Gambar 1) menempatkan buah salak sebagai salah satu mata dagangan yang berprospek baik. 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 1000000 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003tahun produksi ju m la h p ro d u k si ( to n )

Gambar 1. Produksi buah salak di Indonesia (Deptan, 2006).

Dalam penanganan pasca panen pada tahap transportasi, buah salak biasanya dikemas dalam keranjang bambu, peti kayu, kardus (kotak karton gelombang) atau kemasan tradisional khas sentra produksi, seperti salak sidimpuan yang dikemas dalam karung anyaman pandan (sumpit). Penggunaan kemasan – kemasan tersebut mempengaruhi tingkat kerusakan pasca panen yang terjadi selama proses transportasi, khususnya kerusakan fisik. Sebagaimana yang

dilaporkan Suharjo et al. (1995), salak bali yang dikemas dengan peti kayu berdimensi 50 x 30 x 30 cm dan disusun dalam bentuk butiran mengalami kerusakan mekanis sebesar 11.8% setelah diangkut melalui jalan darat dari Bali ke Malang. Pada salak pondoh, kerusakan mekanis yang terjadi sebesar 6.5% setelah diangkut dari Yogyakarta ke Malang. Napitupulu et al. (2001) juga memaparkan bahwa pada salak sidimpuan yang dikemas dalam karung anyaman pandan (sumpit) berkapasitas 35 – 50 kg/ karung, kehilangan pasca panen yang terjadi sebesar 26.3 – 29.8% setelah diangkut selama 18 jam (Padang Sidimpuan – Medan) dan disimpan selama 1 (satu) hari. Dengan kondisi transportasi dan penyimpanan yang sama, kehilangan pasca panen menjadi 14.3% bila salak sidimpuan dikemas dengan kardus (kotak karton gelombang) berukuran 40 x 30 x 20 cm dan kapasitas 10 – 11 kg. Sedangkan jika salak sidimpuan dikemas menggunakan kemasan berbentuk kotak dari bingkai kayu sebagai kerangka kemasan dan pelepah salak segar sebagai dinding kemasan yang dirancang oleh Dalimunthe (2002), kehilangan pasca panen yang terjadi sebesar 8.3 – 9.2% setelah diangkut dan disimpan dengan kondisi yang sama.

Untuk menekan kehilangan pasca panen yang cukup besar ini, salah satu solusi adalah merancang kemasan baru yang berprinsip kepada teknologi tepat guna. Pemilihan teknologi tepat guna didasarkan pada upaya mereduksi biaya kemasan dan kemudahan penerapannya di lapangan. Prinsip teknologi tepat guna tersebut menjadi pedoman dalam penelitian ini. Kemasan yang dirancang dalam penelitian ini adalah kemasan dengan bahan baku pelepah salak yang dikeringkan dengan penjemuran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif kemasan yang aplikatif dan ekonomis sebab pelepah salak sebagai bahan baku kemasan relatif selalu tersedia di lapangan dan pembuatannya relatif mudah sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh produsen/ petani.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Merancang kemasan transportasi buah salak berbahan baku pelepah salak. 2. Menganalisis pengaruh kemasan pelepah salak hasil rancangan terhadap

TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan panen dan pasca panen (segar) buah salak

Panen

Buah salak dipanen dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit, pisau yang tajam atau gergaji. Buah salak termasuk buah non klimaterik sehingga hanya dapat dipanen jika benar-benar telah matang di pohon, yang ditandai dengan sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, bulu-bulu di kulit telah hilang, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai dan beraroma salak.

Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari (pukul 9 – 10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada malam hari (Sabari, 1983, diacu dalam Mohamad, 1990).

Salak dipanen saat berumur 5 – 6 bulan umur bunga. Untuk salak pondoh, panen raya terjadi pada periode November – Januari, masa panen sedang terjadi pada Mei – Juli, masa panen kecil pada periode Februari – April, dan masa istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus – Oktober. Buah yang masih dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah slandren (Arief, 2003). Buah salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (umur bunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk optimal (Suhardjo et al., 1995).

Pada salak bali panen raya berlangsung dari bulan Desember hingga Maret, masa panen kecil yang disebut Gadu terjadi pada periode Juli – Agustus (Damayanti, 1999). Salak bali disarankan untuk dipanen pada umur 5 bulan (umur bunga) karena bila dipanen melebihi umur tersebut terdapat bercak kebiru- biruan pada daging buah salak bali (Suhardjo et al., 1995).

Salak sidimpuan biasanya dipanen pada umur bunga 5.5 bulan. Salak diangkut menggunakan kereta sorong (beko) maupun kuda menuju tempat pengumpulan (Napitupulu et al., 2001). Salak condet dipanen mulai umur bunga 5 bulan karena pada umur tersebut salak condet memiliki kadar gula tertinggi. Kadar gula ini akan menurun pada umur 6 bulan dan disertai dengan penurunan kadar asam dan kadar tanin (Suhardjo et al., 1995).

Pengumpulan dan pembersihan

Buah salak yang dipanen dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau peti kayu yang diberi alas daun-daunan. Beberapa petani maju menggunakan peti plastik jenis HDPE (high density polyethylene) untuk membawa salak dari kebun ke kios atau toko yang sekaligus sebagai tempat pengumpulan dan pengemasan. Buah salak diletakkan di tempat yang teduh, seperti di bawah pohon atau naungan, untuk melindungi dari sengatan matahari yang dapat meningkatkan suhu buah salak sehingga mempercepat kerusakan (Suhardjo et al., 1995).

Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak. Tandan salak sering diletakkan dekat dengan permukaan tanah sehingga kotoran dapat menempel pada buah salak dan menyebabkan binatang-binatang kecil yang menyukai tempat lembab sering bersembunyi di antara buah dalam tandan. Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik (Suhardjo et al., 1995) sehingga buah salak bersih dari kotoran dan sisa-sisa duri. Bersamaan dengan pembersihan dapat dilakukan sortasi dan penggolongan (grading).

Sortasi dan Penggolongan

Sortasi bertujuan memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari buah yang busuk, pecah, tergores atau tertusuk. Juga berguna untuk membersihkan buah salak dari kotoran, sisa – sisa duri, tangkai dan ranting. Khusus pada salak bali dengan tujuan pasar lokal tidak dilakukan sortasi (Damayanti, 1999).

Penggolongan bertujuan menyeragamkan ukuran dan mutu buah sehingga mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Sebelum dikemas dalam karung

anyaman pandan, buah salak sidimpuan digolongkan secara manual ke dalam 2 (dua) kelas yaitu kelas ukuran besar dan kelas ukuran sedang yang dicampur dengan ukuran kecil (Napitupulu et al., 2001). Penggolongan buah salak bali didasarkan kepada besar, bentuk, penampilan, warna, corak, bebas penyakit dan tidak cacat atau luka (Tabel 1)

Tabel 1. Penggolongan buah salak bali (Suhardjo et al., 1995)

Kelas Mutu Ciri – ciri

AA (super) 12 buah/ kg, sehat, warna kulit kekuningan AB (sedang) 15 – 19 buah/ kg, sehat

C (kecil) 25 – 30 buah/ kg, bahan baku manisan BS (tidak diperdagangkan) Busuk, pecah

Untuk pasar ekspor, persyaratan mutu lebih tinggi dengan mengikuti persyaratan yang ditetapkan pembeli luar negeri. Pasar Eropa menetapkan persyaratan keutuhan buah, kesegaran, kehalusan permukaan kulit buah, bebas dari kerusakan fisik, mikrobiologis ataupun bau asing, derajat ketuaan yang tepat dan keadaan yang baik sampai tujuan (Suhardjo et al., 1995).

Penyimpanan

Penyimpanan yang dilakukan petani atau pedagang hanya bersifat sementara dan dilakukan di lapangan. Petani/ pedagang belum melakukan kegiatan penyimpanan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah salak sebelum dipasarkan. Buah yang telah disortasi dan digolongkan dikemas ke dalam karung anyaman pandan atau keranjang menunggu dimuat ke sarana pengangkutan.

Pengangkutan (transportasi) dan pengemasan

Biasanya buah salak dikemas dalam keranjang bambu (besek) berkapasitas 5, 10, dan 20 kilogram. Pada kemasan salak pondoh, buah salak yang masih utuh pada tandan diletakkan di tengah dan di sekelilingnya diletakkan butiran salak yang sudah lepas dari tandan. Salak bali biasanya dikemas dalam peti kayu yang dialasi tikar pandan untuk bantalan. Salak sidimpuan biasanya

dikemas dalam karung anyaman pandan yang disebut sumpit dengan kapasitas yang bervariasi sekitar 35 sampai 50 kg/ karung menggunakan kemasan pengisi (bantalan) berupa serat pelepah kering tanaman salak (Gambar 2).

Gambar 2. Karung anyaman pandan (sumpit).

Pengangkutan salak sidimpuan dari kebun ke tempat pengumpulan berjarak sekitar 1 km. Untuk penjualan ke pasar lokal setempat, buah salak diangkut menggunakan sarana angkutan mobil pickup dan biaya transportasi ditanggung oleh petani. Untuk pemasaran di luar daerah Padang Sidimpuan, digunakan truk Fuso dan Colt Diesel yang dilengkapi dengan penutup terpal. Kapasitas Truk Fuso sekitar 7 ton (± 300 karung anyaman pandan). Untuk pasar ekspor, buah salak dikemas dengan karton bergelombang yang berkapasitas 10 – 11 kg. Dalam kemasan ini, digunakan daun pisang kering maupun potongan kertas koran sebagai kemasan pengisi.

Pengemasan buah-buahan

Tujuan dan fungsi pengemasan

Pengemasan dilakukan untuk meningkatkan keamanan produk selama transportasi, dan melindungi produk dari pencemaran, susut mutu dan susut bobot, serta memudahkan dalam penggunaan produk yang dikemas. Secara umum, pengemasan berfungsi untuk pemuatan produk pada suatu wadah (containment),

perlindungan produk, kegunaan (utility), dan informasi. Untuk keperluan transportasi, fungsi pengemasan lebih diutamakan untuk pemuatan dan perlindungan. Sedangkan pengemasan eceran (retail) lebih dititik – beratkan pada fungsi kegunaan dan informasi produk (Peleg, 1985).

Buah yang akan diangkut dapat dikemas menggunakan berbagai jenis kemasan, seperti karung goni, kardus, keranjang plastik atau bambu, tray dari stirofoam dan plastik film, dan peti kayu. Disamping itu, terdapat juga jenis kemasan yang khas sentra produksi buah, misalnya kemasan karung anyaman bambu (sumpit) pada transportasi buah salak sidimpuan.

Kerusakan buah dan kemasan selama transportasi

Selama transportasi, buah-buahan yang dikemas mengalami kerusakan, dapat berupa kerusakan kimiawi, fisik dan mikrobiologis. Kerusakan kimiawi ditandai dengan adanya perubahan warna buah (discoloration) dan busuk (karat) pada buah akibat terinfeksi mikroorganisme. Kerusakan fisik ditandai dengan adanya pecah (kulit terkelupas), memar dan luka pada buah (Waluyo, 1991). Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan (shock) dan getaran (vibration) selama transportasi (Maezawa, 1990), beban tekanan yang dialami buah (stress), varietas, tingkat kematangan, bobot dan ukuran buah, karakteristik kulit buah serta kondisi lingkungan di sekitar buah (Kays, 1991).

Kerusakan fisik dapat juga disebabkan oleh isi kemasan terlalu penuh (over packing) ataupun terlalu kurang (underpacking) dan penumpukan kemasan yang terlalu tinggi. Isi kemasan yang terlalu penuh mengakibatkan bertambahnya tekanan (compression) pada buah, sedangkan isi kemasan yang terlalu kurang akan menyebabkan buah yang terletak pada bagian atas saling berbenturan dan terlempar karena getaran maupun benturan yang berlangsung selama transportasi. Penumpukan kemasan yang terlalu tinggi menyebabkan buah pada lapisan dasar dalam kemasan yang paling bawah dari tumpukan akan mengalami kerusakan tekan akibat penambahan tekanan dari tumpukan kemasan (Darmawati, 1994).

Pada pengemasan buah salak, kerusakan yang terjadi umumnya adalah kerusakan fisik (pememaran, goresan, retak/ pecah dan luka) dan kerusakan mikrobiologis. Mikroorganisme yang terbawa dari kebun, suasana yang lembab

dan hangat dalam kemasan selama pengangkutan mendorong pembusukan berlangsung lebih cepat. Buah yang mengalami luka fisik juga lebih cepat busuk, sehingga memberikan tampilan yang buruk untuk dijual.

Hasil – hasil penelitian terdahulu

Hasil penelitian Singh dan Xu (1993) menunjukkan bahwa kerusakan fisik pada buah apel Mc-Intosh dipengaruhi oleh jenis kemasan dan vibrasi kendaraan transportasi (truk). Dalam penelitian ini tingkat kerusakan fisik diuji dengan simulasi transportasi menggunakan meja getar elektrohidraulik. Uji mengacu pada Metode A, ASTM D4728-87 dan merefleksikan transportasi pada 2 (dua) jenis suspensi truk yaitu suspensi pegas daun (leaf spring suspension) dan suspensi bantalan udara (air-ride suspension) yang mensimulasikan perjalanan sejauh 88 km/jam (55 mph) pada jalan tol antar daerah selama 180 menit menggunakan truk bermuatan 8.172 kg (18,000 lb). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemasan FTHS (full telescopic half slotted) berkapasitas 96 buah apel dan menggunakan tray polistiren adalah kemasan yang terbaik dalam mengurangi kerusakan fisik dengan persentase kememaran sebesar 5.2% jika diangkut menggunakan truk dengan suspensi pegas daun dan sebesar 1.0% dengan suspensi bantalan udara. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan suspensi bantalan udara untuk truk (kendaraan transportasi) lebih optimal dalam mengurangi kerusakan fisik daripada penggunaan suspensi pegas daun.

Hasil dari penelitian Ög t et al. (1999) menunjukkan jenis kemasan bantalan berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas (P < 0.01) setelah transportasi pada buah peach (Golden Elberta cling). Tingkat perubahan terkecil (modulus elastisitas sebelum dan sesudah simulasi transportasi) terjadi pada bantalan papan kertas (paperboard) sedangkan tingkat perubahan modulus elastisitas terbesar terjadi pada bantalan kayu.

Studman (1999) meneliti pengaruh kemasan terhadap tingkat kerusakan fisik (memar) akibat transportasi dengan menggunakan metode finite element pada buah apel di Selandia Baru. Hasil percobaan menunjukkan bahwa persentase memar buah apel yang disusun dalam kardus berkapasitas 100 buah apel lebih

rendah daripada buah apel yang disusun dalam kardus berkapasitas 88 buah apel, masing – masing berkisar 15 – 73% dan 53 - 94%.

Hasil penelitian Waluyo (1990) menunjukkan bahwa kerusakan fisik buah- buahan selama proses transportasi dipengaruhi oleh varietas buah, jenis kemasan, pola susunan buah dalam kemasan dan lama transportasi. Penelitian dilakukan terhadap 3 (tiga) varietas buah jeruk (Citrus sinensis, C. nobilis, dan C. reticulata). Semakin lama transportasi maka kerusakan fisik yang terjadi juga makin besar, kerusakan fisik buah jeruk yang mengalami simulasi transportasi selama 8 (delapan) jam mencapai 4.40% sedangkan pada simulasi selama 4 (empat) jam mencapai 1.99%. Simulasi pengangkutan truk selama 4 (empat) dan 8 (delapan) jam masing – masing setara dengan perjalanan sepanjang 653 kilometer dan 1,307 km dengan amplitudo getaran 1.74 cm pada jalan luar kota.

CGS Noer (1998) memaparkan bahwa pada transportasi jarak dekat, jenis kemasan tidak berpengaruh nyata dalam mereduksi kerusakan fisik pada komoditi tomat segar. Dari hasil uji transportasi menggunakan truk selama 6 (enam) jam sejauh 230 kilometer (Brastagi – Tanjung Balai), dibuktikan bahwa perlakuan jenis kemasan dan cara penyusunan buah dalam kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan fisik, pH, total padatan terlarut dan derajat kematangan tomat segar. Namun cara penyusunan buah dalam kemasan berpengaruh nyata terhadap susut bobot dan kekerasan tomat segar.

Suatu program komputer perancangan kemasan karton gelombang untuk transportasi buah-buahan telah disusun Darmawati (1994). Buah yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk siam pontianak. Kemasan hasil rancangan diuji dengan simulasi transportasi meja getar selama 8 (delapan) jam setara dengan pengangkutan dengan truk dalam jarak tempuh 2,490 km panjang jalan beraspal baik atau 905 km panjang jalan buruk berbatu. Hasil percobaan menunjukkan tingkat kerusakan buah dalam kemasan yang dinyatakan sebagai persentase penurunan nilai kekerasan dan IKS (Indeks Kememaran Setara) dipengaruhi oleh tipe flute dan ketebalan karton gelombang.

Shahabasi et. all (1995) telah meneliti pendugaan ketinggian tumpukan buah apel varietas Jonathan yang disimpan secara curah (bulk). Hasil pendugaan menunjukkan bahwa apel Jonathan dapat ditumpuk secara curah setinggi 8 meter

pada umur petik 1 hari dan hanya dapat ditumpuk setinggi 3 meter pada umur simapn 45 hari dalam penyimpanan dingin.

Chen dan Yazdani (1991) meneliti pengaruh ketinggian benturan dan jenis bantalan terhadap tingkat kememaran apel varietas Golden Delicious. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apel Golden Delicious sangat rentan terhadap memar, karena itu sebaiknya apel tersebut tidak mendapat perlakuan jatuhan (dropping) bahkan dari ketinggian jatuh yang rendah. Untuk menghindari memar, yang terbaik adalah menggunakan bantalan setebal 6.35 mm, karena volume memar yang terjadi hanya berkisar 0 – 0.5 cm3 pada ketinggian jatuh 0 – 40 cm.

Abrar (2000) meneliti tentang pengukuran tingkat kememaran buah Salak Pondoh menggunakan pengolahan citra. Dari penelitian ini didapatkan persamaan laju kerusakan memar buah salak pada suhu 26 oC dan suhu penyimpanan 10 oC, masing – masing adalah M26 = 100e-0.0041t dan M10 = 100e-0.0016t. Kadar gula buah

salak yang memar mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu, dengan koefisien determinasi hubungan kadar gula dan luas memar untuk suhu 26 oC adalah 0.5624 dan 0.066 untuk suhu penyimpanan 10 oC. Kekerasan buah salak yang memar menurun dengan bertambahnya umur simpan dengan koefisien determinasi hubungan kekerasan dan luas memar untuk suhu 26 oC adalah 0.7289 dan 0.8991 untuk suhu penyimpanan 10 oC.

Suhardjo et al. (1995) memaparkan beberapa informasi mengenai kerusakan fisik buah salak akibat transportasi di Indonesia yang berkaitan dengan kondisi transportasi dan jenis kemasan. Pada salak manonjaya, buah salak dikemas dengan keranjang bambu (besek) yang berkapasitas 30 – 40 kg dan disusun secara acak. Salak pondoh juga dikemas dalam keranjang bambu berbobot 5, 10 dan 20 kg dan disusun dengan meletakkan buah salak yang masih melekat pada tandannya di tengah-tengah kemasan dan di sekelilingnya diletakkan buah salak yang berbentuk butiran. Buah salak bali disusun sama dengan cara susun salak pondoh, namun kemasan yang digunakan adalah peti kayu dengan berat kotor 10 kg (50 x 30 x 30 cm). Kerusakan fisik pada cara susun tersebut lebih kecil daripada cara susun butiran. Pada salak bali yang disusun dalam peti

Dokumen terkait