• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi

(Suhartono 1989)... Konsentrasi akrilamida yang dibutuhkan untuk mencapai kisaran pemisahan tertentu... Ciri fisik sponge dan Spikula... Konsentrasi protein serupa silicatein... Jumlah TEOS terpolimerisasi per menit... Jumlah TEOS terpolimerisasi per partikel protein...

17 20 31 36 42 42

x DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14.

Struktur tubuh sponge

(http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/porog.html)... Pembentukan spikula oleh sel schlerocytes

(Kozlof 1990)... Tipe spikula Megascleres (A) dan Microsleres (B)

(Kozlof 1990)... SEM dari spikula (Aizenberg 2004)... Bentuk nano sphere dari lapisan spikula silika sebelum dan sesudah pelarutan dengan HF (Weaver et. al.

2003)... SEM dari proses sekresi spikula silika dan filamen

protein (Aizenberg 2004)... Susunan filamen protein dalam spikula silika

(Croce 2004)... Model tiga dimensi Silicatein (Shimizu et. al. 1998) ... Jaringan Tiga Dimensi silikon dioksida dalam spikula silika

(http://www.batnet.co/enigmatics/semiconductor_process ing/CVD_Fundamental/flims/SiO2_properties.html... Mekanisme korosi silicon berpori oleh katalis metal komplek

(http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)... Mekanisme korosi silicon berpori melalui deteksi molekuler dari antibody ya ng dilabel enzim

(http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)...

Sponge N6 (a), spikula silika dari sponge N6 pada perbesaran 4x (b) dan spikula T.aurentia (Weaver et.al. 2003)... Sponge N20 spikula silika dari sponge N20 pada perbesaran 200x (b)... Sponge MT5 dibawah permukaan air laut (A) dan MT5 diatas permukaan air laut (B)...

4 7 7 8 9 9 10 11 15 16 26 27 28

Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Gambar 30.

Bentuk spikula silika MT5 perbesaran 200X... Sponge MT36 Sponge MT36 (A) dan bentuk spikula silika sponge MT36 dengan perbesaran 200X (B)... Sponge MT37 (A) dan bentuk spikula silika MT5

perbesaran 200X (B)... Perbandingan rendemen spikula silika dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, ST1 (Nurjanah 2006) dan

T.aurentia (Shimizu et.al. 1998)...

Agregat protein sponge T.aurentia (Shimizu et.al. 1998) (a), N6 (b), N20 (c), MT5 (d), MT36 (e), MT37 (f) pada perbesaran 400x... Grafik perbandingan jumlah agregat protein dari Sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, dan ST1 (Nurjanah 2006)...

Perbandingan konsentrasi protein N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan T.aurentia (Shimizu et.al.1998)...

Hasil SDS-PAGE Silicatein T.aAurentia (Shimizu et.al. 1998) Marker LMW, protein serupa silicatein N6, MT5 dan MT37... Grafik pembentukan polimer silika oleh protein serupa silicatein dari MT5 dan MT37... Mekanisme reaksi Silicatein terhadap substrat TEOS (Cha et al. 1999)... Hubungan antara konsentrasi substrat dan kecepatan reaksi polimerisasi... Grafik Linier hasil transformasi reaksi protein serupa silicatein MT37 dengan TEOS... Hasil SEM nuklei polimer silika pada tahap 1 (A) dan agregat nuklei polimer silika (B)... Tahapan pengaruh protein terhadap polimerisasi silika... Struktur kimia PMSF... Grafik penurunan aktivitas protein serupa Silicatein sponge MT5 dan MT37... 29 29 30 32 34 35 36 37 39 41 43 44 46 47 49 49

xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.

Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sponge... Pereaksi Bradford, Pereaksi untuk SDS-PAGE dan

Pereaksi untuk Colorimetric Molybdate Assay...

Komposisi Gel Penahan dan Pemisah SDS-PAGE……… Kurva Standar BSA dan TEOS………... Susunan dan perbandingan Silicatein a dengan

Cathepsin-L manusia. ………... 55 56 59 58 60

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini pemakaian alat-alat dan bahan yang memanfaatkan struktur nano semakin banyak. Salah satu bahan berstruktur nano yang banyak penggunaannya adalah silika yang sering disebut juga sebagai nanosilika atau silika nanosphere. Struktur seperti inilah yang saat ini terus berkembang pemakaiannya di industri pangan, kosmetik, medis maupun elektronik.

Khusus dalam industri pangan, silika yang berstruktur nano dimanfaatkan untuk menghasilkan kemasan aktif, penjernih/filter, antikoagulan, dan bahan dasar

chip untuk biosensor. Data dari Helmut Keiser menyebutkan penjualan produk kemasan makanan dan minuman berstruktur nano melonjak pada tahun 2004 sebesar US $860m dari US $ 150m pada tahun 2002. Lux Research mencatat bahwa perusahaan raksasa seperti Kraft, Altria dan Unilever juga mengaplikasikan smart packaging berbahan silika karena lebih bersifat inert (tidak mudah bereaksi), tahan terhadap suhu tinggi dan oksigen, tahan terhadap bakteri dan virus serta berpenampilan menarik (El Amin 2005).

Beberapa kendala selama proses pembuatan silika yang berstruktur nano saat ini adalah proses yang harus menggunakan kondisi ekstrim yaitu kondisi yang sangat asam atau basa, memerlukan suhu dan tekanan yang tinggi serta menggunakan surfaktan yang dapat mencemari lingkungan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu diantaranya adalah eksplorasi pembuatan biosilika.

Biosilika merupakan struktur nano silika yang dibuat oleh organisme secara alamiah, diantaranya oleh biota laut seperti sponge (Phylum porifera) dan diatom (Bacillariophyta). Sponge laut mampu membentuk struktur padat silika mulai dari skala kecil (nano) dengan morfologi yang teratur dan spesifik yang merupakan hasil pengontrolan secara genetik. Pembentukan struktur silika pada sponge dapat terjadi pada kondisi suhu dan tekanan yang ambient dan pH netral.

Pada sponge, pembentukan struktur silika ini melibatkan suatu protein yang dikenal dengan protein silicatein yang pertama kali diisolasi dari sponge

2 dari striated shell spikula silika yang terdiri dari lapisan- lapisan silika (Aizenberg 2004). Saat terjadinya pengumpulan silika di dalam sel sklerosit, filamen protein yang tidak bersilika dan bersilika terdapat di sel yang sama. Oleh karena itu filamen protein ini diduga berperan dalam pengumpulan silika (Shimizu et al. 1998). Penelitian yang telah dilakukan Nurjanah (2006) menunjukkan bahwa protein serupa silicatein yang diisolasi dari sponge ST1 memiliki potensi yang tinggi sebagai katalis biologis untuk polimerisasi silika. Aktivitas tertinggi dari sponge ST1 adalah sebesar 22.4µmol/ml TEOS dengan lama inkubasi selama 12 jam.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi dan karakterisasi protein serupa silicatein dari sponge N6 dan N20 dari perairan Nias dan sponge MT5, MT36, MT37 dari perairan Lombok.

TINJAUAN PUSTAKA

Sponge

Sponge merupakan hewan multiseluler dari Phylum porifera. Hewan ini tidak bergerak, sebagian besar hidup di laut dan mampu menyaring air melalui suatu matrik untuk memperoleh partikel makanan dan substansi terlarut lainnya. Sponge ini tidak mempunyai jaringan yang sebenarnya (parazoa), tidak memiliki otot, urat syaraf, dan organ internal lainnya. Kemiripan koloni sponge dengan

choanoflagellata membuat sponge berevolusi dari organisme uniseluler ke multiseluler. Lebih dari 5000 spesies sponge moderen yang diketahui yang hidup menempel pada permukaan dari zona intertidal hingga pada kedalaman laut 8500 m (29000 feet) atau lebih.

Secara garis besar taksonomi sponge pada filum porifera terbagi menjadi 4 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, Demospongiae dan Sclerospongiae dari sponge coralline (Kozloff 1990; Brusca and Brusca 1990). Keempat kelas ini dibedakan berdasarkan bentuk dari skeleton internal (spikula) dan masing- masing kelas mempunyai ciri-ciri tersendiri. Kelas Calcarea mempunyai spikula yang terdiri dari kalsium karbonat, bentuk spongenya relatif kecil dan sederhana, contoh kelas ini adalah Sycon dan Grantia. Kelas Sclerospongiae mempunyai spikula yang mengandung kalsium karbonat, calcite atau aragonite, mempunyai tekstur yang kuat dan umumnya hidup pada palung yang dalam. Kelas

Hexactinellida atau dikenal dengan glass sponge mempunyai spikula yang terdiri dari silika dengan bentuk silindris yang simetrik dengan 6 sudut, hidup pada kedalaman lebih dari 50 m (Brusca and Brusca 1990). Kelas Demospongiae

merupakan kelas yang terbesar, meliputi 95% dari semua spesies sponge, spikulanya terdiri dari silika, umumnya tidak mempunyai bentuk yang teratur atau asimetrikal, termasuk dalam kelas ini adalah bath sponges, fresh water sponges

dan boring sponges. Umumnya sponge yang masuk dalam klas ini banyak memproduksi silika dan telah diisolasi proteinnya, termasuk dalam kelas ini adalah Tethya aurentia dan Suberitus dumuncula.

Sponge dapat berreproduksi secara seksual maupun aseksual. Reproduksi secara seksual diawali dengan pengeluaran semen dari tubuh sponge menyebar di

4 dalam air dimana terdapat telur sponge. Selanjutnya akan terjadi fertilisasi internal yang akan menghasilkan larva sponge yang bersifat motil. Reproduksi aseksual terjadi melalui tunas (budding), dimana potongan kecil sponge jatuh ke sponge utama dan tumbuh berkembang menjadi satu sponge baru. Pada lingkungan yang kurang sesuai, sponge dapat membentuk struktur kecil yang disebut gemmule

yang mirip dengan endospora bakteri. Gemmule terbentuk dari amoebocyte yang dikelilingi oleh suatu lapisan spikula dan dapat bertahan hidup pada kondisi buruk. Ketika kondisi lingkungan berangsur baik, maka gemmule mulai tumbuh berkembang menjadi sponge dewasa.

Struktur Sponge

Gambar 1. Struktur tubuh sponge

(http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/pororg.html) Sp ikula Se l Arc hae o c y te Se l Sc le ro c y te Ja ring a n Me so hy l Se l Pinac o c y te Se l Cho ano c y te Se l Po ro c y te Alira n a ir Po ri- pori Sa lura n a ir Fla g e la Ta b ung Ba g ia n d a la m Ba g ia n lua r

Sponge tidak mempunyai struktur tubuh yang jelas, karena tidak mempunyai batas jaringan yang nyata (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997). Sponge juga mempunyai warna dan ukuran yang beragam. Warna sponge ada yang putih, abu-abu, kuning, orange, merah atau hijau. Sponge yang berwarna hijau umumnya disebabkan oleh adanya alga yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge. Sponge berukuran mulai dari sebesar kepala jarum pentul sampai berukuran diameter 0,9 m dan tebal 30,5 cm.

Bagian tubuh sponge terdiri dari sistem saluran (canal), sistem kerangka dan sel somatik (Gambar 1). Sistem saluran ini bertindak seperti halnya sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini merupakan jalan untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk saluran pembuangan. Ada tiga macam sistem, yaitu askon, sikon dan ragon.

Sel-sel sponge mempunyai fungsi-fungsi khusus dan pembagian kerja yang jelas. Sel-sel ini dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu sel yang menyusun lapisan kulit, sel yang membentuk organ skeleton, dan sel yang terletak di dalam jaringan mesohyl (sel amoeboid), yang berdiferensiasi dan mempunyai fungsi tertentu (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997).

Sel yang menyusun kulit terdiri dari sel pinacocytes, porocytes, dan

coanocyte. Sel pinacocyte merupakan sel penyusun lapisan permukaan sponge (seperti sel epitel pada hewan) yang membentuk pinacoderm. Sel ini berbentuk datar dan saling bertindihan, yang diselingi juga sel pinacocyte berbentuk T.

Porocytes merupakan sel yang berbentuk silinder seperti tabung yang menjadi tempat masuknya air yang membawa makanan. Makanan disimpan dalam vakuola makanan dan dikirim ke sel disampingnya (sel amoeboid) tempat mencerna makanan (Brusca dan Brusca 1990)

Sel yang membentuk organ skeleton terdiri dari sel sclerocytes,

collencytes, lophocytes dan spongocytes. Sel sclerocytes bertanggung jawab memproduksi spikula silika atau spikula karbonat (Brusca dan Brusca 1990). Sel yang terdiri dari mitokondria, mikrofilamen sitoplasma dan vakuola kecil ini dapat menyimpan kalsium karbonat atau silika dan menyusunnya menjadi spikule atau silica spicule. Satu sel sclerocytes dapat menghasilkan 1 silika atau beberapa sel bekerja sama untuk menghasilkan 1 spikula (Gb. 2).

6 Gambar 2. Pembentukan spikula oleh sel sclerocytes (Kozloff 1990)

Sel collencytes dan lophocytes bentuknya hampir sama dengan

pinacocytes, berfungsi untuk menghasilkan kolagen, sedangkan sel spongocytes

memproduksi serat seperti kolagen yang disebut spongin. Spongin adalah senyawa kimia yang menyerupai struktur sutera, yang dihasilkan oleh sel berbentuk toples yang disebut spongoblast. Sel yang terletak di jaringan mesohyl

adalah myocytes, archaeocytes dan rhabdiferous. Sel myocytes merupakan sel kontraktil. Sel archaeocytes berukuran besar, sangat motil dan mempunyai peranan penting dalam mencerna dan mentransport makanan. Sel ini mempunyai sejumlah enzim pencernaan (seperti acid phospatase, amilase, protease, lipase) dan menerima bahan phagocyt dari choanocytes. Sel rhabdiferous merupakan sel dalam mesohyl yang berukuran paling besar mengandung mucopolisakarida (Brusca and Brusca 1990).

Semua sponge, kecuali yang termasuk ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat dan silika dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat yang menyatu. Sponge tidak dapat berdiri tegak jika tidak ada spikula atau spongin menopang tubuh sponge dan mencegah rontok yang memungkinkan adanya saluran dan ruang- ruang bercambuk. Spikula silikon tersusun dari opal, suatu bentuk silika terhidrasi seperti kuarsa dalam struktur kimianya.

Spikula Sel penebal Nukleus peripheral Nukleus pusat Sel pendiri

Berdasarkan ukurannya spikula dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu megascleres (Gb3a) dan mikroscleres (Gb. 3b). Pada sponge kelas Hexactinellida

umumnya kedua tipe ini ada, dengan bentuk hexactinal. Pada sponge kelas

Demospongiae tipe megacleres ada dan terkadang bersamaan dengan tipe microscleres (Brusca and Brusca 1990).

Gambar 3. Tipe spikula. A. Megascleres dan B. Mikroscleres (Kozloff 1990)

Nanosphere ini tersusun secara berlapis (Streated shell) dengan tebal sekitar 20 µm dan di tengah terdapat pusat silinder. Pada pusat silinder inilah protein silicatein berada dengan ukuran diameter sekitar 0,5 µm (Gb.4) (Aizenberg 2004). Pada pusat silinder ini tersimpan kandungan silika yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian di luarnya. Ukuran silika spikula yang dijumpai pada T. aurantia mempunyai diameter sekitar 30 µm (Shimizu 1998).

Gambar 4. SEM dari spikula, SS= Streated shell, CC=Cylinder Core (Aizenberg 2004)

8 Gambar 5. Bentuk nanosphere dari lapisan spikula silika dengan AFM (A) dan spikula silika setelah dilarutkan dengan HF dengan SEM (B) (Weaver et al. 2003)

Masing- masing lapisan spikula silika terdiri dari polimer silikon dioksida (SiO2) yang membentuk silika nanosphere setebal 0,8-1,0 µm. Gambar 5a.

merupakan hasil pengamatan kumpulan annular silika pada sisi spikula silika secara longotudinal menggunakan Atomic Forces Micrograph (AFM). Tanda panah menunjukkan bahwa ketebalan satu lapisan merupakan monopartikel (A). Sedangkan gambar 5b. memperlihatkan hasil SEM nanopartikel silika penyusun spikula silika setelah dilarutkan dengan HF.

Protein Silicatein

Protein silicatein merupakan protein yang menjadi katalis reaksi pembentukan biosilika dari sponge T. aurantia (Shimizu et al. 1998). Protein ini diproduksi di dalam sel sclerocytes yang kemudian disekresikan ke membran vakuola tempat terdepositnya asam silikat. Di dalam vakuola, protein terus memanjang dan dilapisi dengan silika yang terkondensasi dan terpolimerisasi olehnya. Setelah membentuk spikula dengan panjang yang cukup, protein dan spikula ini disekresikan ke luar sel. Sekresi protein ini dibuktikan dari foto mikroskop electron pada Gambar 6 (Aizenberg 2004). Pada Gambar 6f terlihat proses pemanjangan sel seiring dengan tumbuhnya protein dan silika spikula. Pada Gambar 6g, spikula 1 (s1) telah dikeluarkan dan sel siap membuat protein dan spikula berikutnya (s2). Dalam sel ini banyak ditemukan mitokondria yang mengindikasikan bahwa pembentukan protein ini memerlukan banyak energi.

Gambar 6. SEM dari proses sekresi silika spikula dengan protein filamen s1= spikula, s2= spikula2, n= lisosome (Aizenberg 2004)

Pada gambar 7a. terlihat gambar dua dimensi susunan filamen protein yang berbentuk hexagonal, sedangkan gambar 7c. memperlihatkan susunan filament protein pada spikula sponge G. cydonium dari kelas Demospongiae dan gambar 7c. menunjukkan susunan filamen protein pada spikula sponge Suberitas joubini dari kelas Hexactinellida dengan me nggunakan X-ray fiber diffraction dengan SAXS bemline dari radiasi ELETRA synchrotron.

Gambar 7. Gambar 2D susunan filamen protein (a), susunan filamen protein dari sponge Demospongiae (b) dan susunan filamen protein dalam spikula silika

Hexactinellida (Croce 2004)

Hasil analisa SDS-PAGE, protein silicatein dari sponge T. aurentia

mempunyai tiga pita protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α,β dan γ karena susunan asam amino ketiga

10 protein hampir sama (Shimizu et al. 1998). Peneliti lain menyebutnya sebagai 3 protein isomer, karena satu subunit saja mampu melakukan reaksi katalisis sendiri terlepas dari sub unit lainnya. Ketiganya tersusun secara berulang membentuk protein filamen, diduga melalui ikatan nonionik dan nonkovalen, karena ikatan antar subunit mudah putus oleh penambahan SDS atau urea. Hasil analisis densitomer silicatein α merupakan bagian terbesar sekitar 70% dengan perbandingan silikatein α,β dan γ =12:6:1 (Shimizu et al. 1998).

Sekuens dari silikatein α ini mempunyai homologi yang tinggi dengan famili cathepsin- L dari grup cystein protease. Persamaan ini pertama terletak pada residu asam amino pada sisi aktif yaitu His dan Asn, dan yang kedua terdapat mekanisme pemotongan proprotein menjadi protein matang, masing- masing mengandung 6 sistein yang membentuk jembatan disulfida (Shimizu et a.l 1998). Berdasarkan kesamaan struktur ini diduga model tiga dimensi dari protein ini seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Model 3 dimensi silicatein disulfida (Shimizu et a.l. 1998)

Krasko et al. (2000) berhasil mengisolasi silicatein dari sponge Suberites domuncula dan menemukan bahwa ekspresi gen penyandi silikatein dikontrol secara positif oleh kehadiran substrat asam silikat. Protein ini mempunyai 79% homologi dengan silicatein dari T. aurantia dan tersusun dari 331 asam amino dengan berat molekul proprotein 36306 dan 23125 untuk protein matang.

Kecepatan sponge dalam membentuk spikula dari silika sangat tinggi, sekitar 5

µm per jam.

Mekanisme pembentukan biosilika oleh protein ini belum banyak dimengerti. Diduga banyaknya asam amino hidroksil (serine, tirosin, dan treonin) pada silicatein berpengaruh besar pada proses biosilifikasi. Hal ini didasarkan pada penelitian Perry dan Lu (1992) yang meneliti pembentukan silikon cathecolat pada tanaman, yang melibatkan protein yang banyak mengandung gugus hydroxil. Begitu pula protein yang diduga pembentuk silika pada diatom mengandung sejumlah besar asam amino hidroksil (Kroger, 1994; Kroger, 1997). Pembentukan biosilika pada sponge bersifat spesifik untuk setiap spesies diduga melibatkan protein sebagai katalis yang berbeda pula. Demikian pula lingkungan yang berbeda diduga berpengaruh terhadap karakteristik proses katalisis dari protein tersebut.

Polimerisasi Silika

Sponge dan diatom serta beberapa organisme mensintesis gigaton silika pertahun dari asam silikat. Struktur biosilika yang dibuat mempunyai beragam struktur dengan ketepatan pengontrolan nanoarchitektur yang melebihi kemampuan manusia. Dalam sponge, biosilika ini terkumpul pada bagian yang bernama spikula. Spikula merupakan organ skeleton dari sel sponge yang menopang struktur jaringan dan tubuh sponge. Pada sponge, spikula ini tersusun atas calsium carbonat (calcareous spicule) atau silica (silica spicule) dan sebagian kecil kolagen. Walaupun pada beberapa sponge, skeleton hanya terdiri dari kolagen saja.

Gambar 9. Jaringan tiga dimensi dari silikon dioksida dalam silika spikula (http://www.batnet.com/enigmatics/semiconductor_processing/CVD_Fundamenta

12 Ikatan atom silikon dan oksigen yang membentuk struktur "ring" (Gambar 6) dalam membentuk struktur tiga dimensi silicon dioksida membuat molekul ini sangat fleksibel (Aizenberg 2004), tidak rigid seperti struktur kristalin (ikatan Si- Si). Struktur seperti ini dikenal dengan amorphous, dan struktur ini membuat beberapa ion anorganik penting, seperti Na+ dapat melewati lapisan silika.

Pembentukan biosilika dalam sponge dan diatom sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam silikat, garam natrium dan adanya protein transporter. Krasko (2000) mencoba melihat ekspresi gen silicatein dengan meningkatkan konsentrasi asam silikat dari 1 µM menjadi sekitar 60 µM, menghasilkan ekspresi gen yang sangat meningkat. Tidak adanya penambahan asam silikat dalam media, menyebabkan ekspresi gen yang sangat kecil. Begitupun halnya dengan ekspresi gen kolagen, gen yang sering dihubungkan dengan silicatein, meningkat dengan penambahan asam silikat tersebut. Konsentrasi asam silikat di lautan sekitar mikromolar per ml, sedangkan yang terdeposit dalam vakuola sponge terdapat 1000 kali lebih besar. Oleh karena itu, keberadaan protein transporter sangat diperlukan untuk proses ini. Hal ini mendorong Schroder et al pada tahun 2004 untuk mempelajari protein transporter yang mengangkut asam silikat ke dalam sponge Suberites domuncula, protein ini mirip dengan Na+ /HCO3–

cotransporters. Karena silika transporter ini sangat tergantung pada keberadaan natrium, dengan perbandingan optimal Si(OH)4 : Na+ = 1:1 (Coradin dan Lopez 2003).

Silikon dan Senyawanya

Silikon merupakan unsur yang melimpah di alam kedua setelah oksigen, dan merupakan unsur utama pembentuk bumi. Atom silikon mempunyai empat elektron pada orbit terluar. Konfigurasi elektron ini menyebabkan unsur ini tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam bentuk senyawa dengan mengikat empat gugus oksigen. Sebagian besar berada dalam bentuk senyawa silicon oksida Si(OR)4 dan

asam silikat Si(OH)4 seperti pasir, kuarsa dan batu kristal. Silikon juga ditemukan

dalam bentuk mineral seperti asbestos, clay dan mika (Winter 1993). Silikon juga terdapat di lautan dalam jumlah yang melimpah, dalam bentuk asam silikat dan sekitar 5% dalam bentuk ion silikates Si(OH)3O-. Beberapa organisme laut seperti

diatom, sponge, molluska, alga, radiolaria dan silikoflagellata memerlukan silikon untuk kehidupannya, mereka mengambil dalam bentuk asam silikat ataupun silikates. Diatom mengekstrak asam silikat dari air untuk digunakan sebagai pembentuk dinding sel, sedangkan sponge menggunakannya untuk membentuk organ internalnya, yaitu spikula (Farley 2003). Asam silikat dapat berkondensasi melepas atom H dan membentuk dimmer dengan membentuk ikatan Si-O-Si dengan asam silikat lainnya. Kondensasi lebih lanjut menyebabkan terbentuknya trimer, kuarter, sehingga terbentuk struktur tiga dimensi (Gambar 1.) yang dikena l dengan silika (Coradin and Lopez 2003). Silika terdapat di alam dalam bentuk amorphous dan beberapa dalam bentuk kristalin (Sturrock 1998).

Iler (1979) telah mempelajari pembentukan silika secara invitro. Pembentukan polimer silika yang dilakukan pada pH netral dan suhu kamar hanya dapat membentuk polimer sampai ukuran 5-10 nm. Penambahan asam silikat selanjutnya dapat menurunkan pH medium sehingga terjadi pelarutan silika dan kembali membentuk monomer. Pembentukan polimer silika sampai ukuran diatas 150 nm dapat terjadi pada suhu reaksi 350oC Iler (1979). Pembentukan amorpous silika memerlukan suhu 500oC, sedangkan pembentukan silika kristalin memerlukan suhu lebih tinggi lagi (Sturrock 1998).

Polimer lain adalah silicones, yang tidak terdapat secara natural di alam tetapi disintetis secara kimia. Polimer ini mempunyai struktur linier, dengan Si- O-Si sebagai tulang punggung polimer. Grup R yang terikat pada dua sisi silikon mencegah terbentuknya struktur tiga dimensi seperti yang terjadi pada silika. Terdapat beberapa bentuk silicones, yaitu fluida (oils), gel dan elastomer yang dibedakan oleh ada tidaknya cross-lingking antara tulang punggung Si-O-Si (Sturrock 1998).

Silika bersifat inert dan dapat menahan oksigen, mikroba dan cahaya sehingga dapat diaplikasikan untuk kemasan aktif. Silika ini mempunyai daya serap yang tinggi terhadap bahan-bahan pengotor minuman dan mengendapkannya, sifat ini menjadikan silika dapat digunakan sebagai clarifier

pada pembuatan minuman untuk menghasilkan minuman yang jernih. Silika juga mempunyai sifat dapat menyerap air sehingga dapat digunakan untuk antikoagulan pada makanan instan, bahan baku tepung, gula, dan lain- lain. Silika

Dokumen terkait