• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hukum Azl dan Pandangan Ulama Terhadap Praktiknya

2. Dalil-Dalil tentang ‘Azl

Dalam praktiknya, ‘Azl tidak untuk dilakukan dengan sewenang-wenang namun memiliki dasar hukum yang di ambil dari sumber hukum Islam yang disepakati, baik itu di dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi SAW.

beberapa dalil yang digunakan sebagai dasar hukum ‘Azl diantaranya:

1) Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir.

هيلع الله ىهلص الله لوسر ىدهع ىلع لزعن اهنك :لاق رباج ن ءاطع نع جيرج نبا نع

51

)يراخبلا هاور( .مهلسو

Dari Ibnu Juraij, dari Jabir, dia berkata, “Kami biasa melakukan ‘azl di masa Rasulullah SAW. (HR. Bukhari)

2) Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.

يْبهزلا بيأ نع غلبف مهلسو هيلع الله ىهلص الله لوسر دهع ىلع لزعن اهنك :لاق رباج نع

52

)ملسم هاور( .انهني ملف مهلسو هيلع الله ىهلص الله هبين كلذ

Dari Abi Zubair, dari Jabir ra. Berkata, “kami pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah SAW., kemudian sampailah hal itu kepadanya tetapi ia tidak mencegah kami.” (HR. Muslim)

3) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri. Ada satu peristiwa ketika seorang lelaki datang kepada Nabi saw. lalu berkata kepadanya;

50 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pergaulan..., hlm. 256.

51 Abu Abdullah Muhammad bin ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mesir: Al-Kubra Al-Ameera, 1311 H), Juz 7, hlm. 33.

52 Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushairi al- Naisaburi, Shahih al- Imam Muslim, Juz. 4, (Turki: Dar Al-Ameera, 1334 H), hlm. 160.

ىسوم انثدح ؛ليعاسمإ نب

ح ثدح ؛نبِأ انثد دبع نب دممُ هنأ يىيح ان

نبِوث نب نحمهرلا

ثهدح هنأ ه عافر نع هثهدح ة هيردلخا ديعس بيأ

،ةيراج لي نإ ،الله لوسر يا :لاق لاجر هنأ :

:ثهدتح دوهيلا هنإو ،لاجرلا ديري ام ديرأ نَّاو لمتح نأ هركأ نَّاو ،اهنع لزعأ نَّأ و .هفرصت نأ تعطتسا ام هقليخ نأ الله دارأ ول ،دوهي بذك :لاق ،يرغصلا ةدوءو هنأ لما لزعلا

53

)دواد وبأ هاور(

Musa bin Ismail memberitahu kami, Aban memberitahu kami, Yahya memberitahu kami bahwa Muhammad bin Abdu ar-Rahman bin Tsawban memberitahu dia bahwa Rifa’ah memberitahu dia Dari Abu Sa’id al-Khudri, seorang laki-laki berkata, “Hai Rasulullah!

Sesungguhnya aku memiliki seorang jariah (sahaya perempuan), dan aku sering melakukan ‘azl kepadanya, karena aku tidak suka dia hamil (dari perhubungan dengannya), tetapi aku menginginkannya sebagaimana biasa laki-laki menginginkan perempuan. Dan aku dengar kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl itu termasuk pembunuhan yang kecil! Maka Rasulullah menjawab: Telah berdusta kaum Yahudi itu. Karena sekiranya Allah mahu menjadikan benih itu, niscaya engkau tidak akan dapat menghalanginya. (HR. Abu Daud)”

Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan dibolehkannya ‘azl, tetapi bertentangan dengan hadis dari Jadzamah binti Wahab al-Asadiyyah terhadap penegasan Rasulullah SAW. bahwa ‘azl adalah pembunuhan yang samar.

Terkait dengan perkataan “‘azl merupakan pembunuhan kecil”, Umar dan Ali bersepakat bahwa hal itu bukan termasuk mengubur anak hidup-hidup.

Diriwayatkan oleh Qadhi Abu Ya’la dengan sanadnya dari Abid bin Rif’ah dari ayahnya bahwa Ali, Zubair, dan Sa’ad duduk di samping Umar. Di tengah-tengah mereka, ada sejumlah sahabat Nabi SAW. lainnya, lalu mereka membahas tentang ‘azl. Dan mereka berkata, “Itu tidak apa-apa.” Seseorang lalu bertanya, “Sebagian ada yang menganggap hal itu bagaikan mengubur anak hidup-hidup”. Ali kemudian berkata, “Hal itu bukan termasuk mengubur anak hidup-hidup, selama belum melewati tujuh tingkatan yaitu saripati, kemudian segumpal darah, kemudian daging yang menggantung, kemudian segumpal

53 Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Dar al-Fikr, t.t), Jilid 2, hlm. 222.

daging, kemudian tulang, kemudian dibungkus daging, kemudian terakhir menjadi makhluk lain yang berbentuk.” Umar lalu mengomentari, “Engkau benar wahai Ali, semoga Allah memanjangkan usiamu”.54

Beberapa hadis di atas bertentangan dengan hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Judzamah binti Wahab al-Asadiyyah, bahwa dia berkata:

ديزي نب الله دبع انثهد ح ديعس انثهدح ،

نيعي بويأ بيأ نبا

:لاق ، وبأ نيثهدح

،داوسلأا اع نع ،ةورع نع و تنب ةمادج نع ،ةشئ

تلاق ،ةشاكع تخأ به ترضح :

ﷺ الله لوسر

لوقي وهو ،سنَّ في :

ةليغلا نع ىنهأ نأ تمهم دقل موهرلا في ترظنف ،

سرافو لاقف .لزعلا نع هولأس هثم ،ائيش كلذ مهدلاوأ هرضي لاو مهدلاوأ نوليغي مه اذإف ،

55

) ت ل ئ س ة دو ءو لما ذ إ و( :وه و هيفلخا دأولا كاذ :ﷺ الله لوسر

“Abdullah bin Yazid menceritakan kepada kami, Sa’id -yakni Ibnu Abi Ayyub- menceritakan kepada kami, dia berkata: Abu al-Aswad menceritakan kepadaku dari Urwah, dari Aisyah, dari Judzamah binti Wahb, saudara perempuan Ukasyah, dia berkata: Aku pernah hadir menyaksikan Rasulullah SAW sedang berada di hadapan orang-orang seraya bersabda, ‘Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk melarang ghilah (menggauli istri yang masih dalam masa menyusui anaknya). Aku kemudian mengamati orang-orang Persia dan Romawi, ternyata mereka pun melakukan ghilah, tetapi hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sama sekali.” Para sahabat kemudian bertanya tentang ‘azl.

Rasulullah SAW kemudian menjawab, “‘azl adalah pembunuhan yang samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah, “Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya.”

Hadis di atas mencakup dua masalah;

a. Al-Ghilah, yaitu hubungan badan suami istri ketika sang istri tengah menyusui, ada pula yang mengatakan ghilah berarti tindakan seorang wanita menyusui anaknya sedangkan dia dalam keadaan hamil. Dan berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal itu tidak berbahaya, karena

54 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, (Bandung: Hilal, 2016), hlm. 703.

55 Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), jilid, 22, hlm. 820-821.

bangsa Romawi dan Persi suka melakukan hal tersebut dan tidak menimbulkan bahaya terhadap anak-anak mereka.

b. ‘Azl, yaitu seorang suami mencabut zakar dari faraj istri pada saat akan orgasme agar air maninya keluar di luar kemaluan istrinya, baik dilakukan terhadap budak dengan tujuan agar tidak hamil dan melahirkan atau terhadap wanita merdeka karena khawatir terhadap istri yang masih menyusui, atau karena tidak menghendaki kehamilan terlebih dahulu.

Sabda Rasulullah SAW dalam memberikan jawaban kepada sahabat,

“yang demikian itu merupakan pembunuhan yang samar”, menunggu kepada pengharaman terhadap tindakan tersebut. Karena, al-wa’du berarti mengubur anak dalam keadaan hidup. Ibnu Hazm mengharamkan ‘azl dengan berpegang pada hadis tersebut. Namun, pendapat Ibnu Hazm disanggah dengan sebab, diharamkannya penguburan anak karena hal itu merupakan penghilangan nyawa seseorang. Sedangkan ‘azl, hanya merupakan sesuatu yang sifatnya belum konkret, meskipun Rasulullah SAW menyerupakan dengan pembunuhan.

Karena pada dasarnya ‘azl merupakan tindakan pencegahan terhadap sebab yang dapat menimbulkan kehidupan. Yang jelas ‘azl bukan al-wa’du, dan ‘azl disebut al-wa’du karena adanya tujuan menghalangi kehamilan.56

Penganut Mazhab Zhahiriyah berpendapat bahwa pencegahan kehamilan itu hukumnya haram. Mereka berdalil dengan hadis di atas yang diriwayatkan dari Judzamah bin Wahab bahwa sebagian orang bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang ‘azl? Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “ Itu merupakan penguburan anak hidup-hidup secara samar”. Hadis ini bertentangan dengan hadis sebelumnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri.57

56 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 171-173.

57 Ibid.

Dalam menanggapi persoalan tersebut, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat yang shahih yang menunjukkan bahwa ‘azl itu boleh. Adapun sabda Nabi yang mengatakan “Itu merupakan penguburan anak hidup-hidup secara samar”, sama seperti sabda Nabi yang lain yang mengatakan

“Syirik yang samar”. Yang mana perkataan itu menunjukkan hukum makruh dan haram. Makruh disini adalah meninggalkan yang utama, seperti di makruhkannya bagi orang yang duduk di masjid dengan tidak menyibukkan diri dengan zikir dan shalat. Sebagian Imam dari kalangan mazhab Hanafi membolehkan ‘azl apabila diizinkan oleh istri dan di makruhkan apabila tidak mendapat izin istri.58

Sayyid Sabiq menerangkan dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah, bahwa diperbolehkan membatasi keturunan jika keadaan suami mempunyai banyak anggota keluarga sehingga di khawatirkan tidak mampu memberikan pendidikan kepada anak-anaknya secara baik. Demikian pula jika istri dalam keadaan lemah atau hamil secara terus menerus, sementara suami dalam keadaan miskin. Pada kondisi seperti ini pembatasan kelahiran diperbolehkan. Bahkan sebagian ulama berpendapat pada kondisi seperti ini pembatasan keturunan disunnahkan.59

Dokumen terkait