BAB III : MANAJEMEN DAKWAH UMAR BIN KHATTAB
DAKWAH UMAR BIN KHATTAB
3.1 Biografi Umar bin Khattab .1 Umar Sebelum Islam
3.1.4 Dalil Tentang Kemuliaan Umar
Umar Bin Khattab tergolong sebagai ulama terkemuka dan hakim yang adil. Ia menjadi rujukan para sahabat sepeninggalan Rasulullag SAW, tak heran hal ini dikarenakan Umar belajar secara langsung dari madrasah. Rasulullah SAW sendiri mengakui tentang hal itu.
Imam Bukhari dan Muslim Meriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tatkala saya tidur, saya bemimpi minum susu hingga saya melihat dalam mimpiku air mengalir dari kuku-kukuku, lalu saya meminumkan air itu kepada Umar”(As-Suyuti, 2000: 131).
49 Mendengar cerita itu, para sahabat bertanya, “Bagaimana engkau mentakwilkan mimpi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ilmu”.
Imam Nawawi menjelaskan, susu ditafsirkan dengan ilmu karena keduanya sama-sama memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan. Susu adalah makanan bagi bayi yang bias membuat mereka sehat, badan menjadi kuat. Sedangkan ilmu merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat. Ibnu Hajar mengatakan hal yang senada dengan pendapat Imam Nawawi, ia juga menyamakan susu dengan ilmu dalam banyaknya manfaat, serta keduanya yang merupakan sebab kebaikan bagi seseorang. Susu adalah makanan untuk badan, sedangkan ilmu adalah makanan untuk jiwa (Al-Quraibi, 2012: 334).
Umar bin Kahttab adalah sahabat yang dicintai oleh Rasulullah saw. Dalam suatu riwayat hadits dijelaskan:
وُرْمَع ِنَِرَ بْخَأ َناَمْثُع ِبَِأ ْنَع ٍدِلاَخ ْنَع ِهَّللا ِدْبَع ُنْب ُدِلاَخ اَنَرَ بْخَأ َيََْيَ ُنْب َيََْيَ اَنَ ثَّدَح
ِصاَعْلا ُنْب
ِتاَذ ِشْيَج ىَلَع ُهَثَعَ ب َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا َلوُسَر َّنَأ
ِساَّنلا ُّيَأ ُتْلُقَ ف ُهُتْيَ تَأَف ِلِس َلََّسلا
ًلاَجِر َّدَعَ ف ُرَمُع َلاَق ْنَم َُّثُ ُتْلُ ق اَهوُبَأ َلاَق ِلاَجِّرلا ْنِم ُتْلُ ق ُةَشِئاَع َلاَق َكْيَلِإ ُّبَحَأ
.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya Telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Khalid dari Abu Utsman, Telah mengabarkan kepadaku Amru bin Al Ash bahwa Rasulullah pernah mengutusnya untuk memimpin pasukan kaum muslimin dalam perang Dzatus Salasil. Amru bin Al Ash berkata; Aku menemui Rasulullah seraya bertanya; Ya Rasulullah, siapakah orang yang engkau cintai? Rasulullah menjawab; 'Aisyah.' Lalu saya tanyakan lagi; Kalau dari kaum laki-laki, siapakah orang yang paling engkau cintai? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ayah Aisyah (Abu Bakr).' saya bertanya lagi; lalu siapa? Rasulullah menjawab: 'Umar bin Khaththab.' Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang sahabat lainnya (An-Naisaburi, Juz 4, 1992: 1974).
50 3.1.5 Kebijakan-Kebijakan Umar bin Khattab
1. Membentuk Majlis Permusyawaratan
Majlis ini diwakili oleh kaum Muhajirin dan Anshar yang terdiri atas suku KhazrajdanAus, diantaranya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka‟ab dan lainnya. Majlis ini dimanfaatkan untuk melakukan pertemuan penting untuk membahas permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu contohnya ketika akan melakukan penaklukan. Umar bin Khattabmelakukan rapat terlebih dahulu dengan para wakil rakyat untuk membahas masalah rampasan perang, pemungutanjizyah dan sebagainya (Sulasman dan Suparman, 2013: 91).
Majlis permusyawaratan dibentuk guna menyelesaikan seputar permasalahan baik mengenai rakyat maupun masalah negara, sejak zaman Rasulullah saw kegiatan musyawarah sudah menjadi tradisi dalam suatu penyelesaian masalah, dengan dasar firman Allah SWT “…dan persoalan
mereka dimusyawarahkan diantara sesama mereka”(Q.S Asy-Syura: 43).
Dengan musyawarah kekuasaan tetap di tangan khalifah, dia bertanggung jawab kepada Allah SWT, kepada dirinya sendiri juga umatnya. Musyawarah dilaksanakan guna mencegah adanya kesalahan dalam menentukan sebuah kebijakan hal ini sama halnya dengan nahi mungkar yang hal tersebut merupakan bagian dari dakwah (Haekal, 2013: 646). 2. Menyusun Administrasi Negara
Sesuai dengan kebutuhan, khalifah Umar bin Khattab menyusun administrasi negara menjadi beberapa diwan (departemen) untuk
51 memudahkan pengaturan dalam urusan administrasi yang lebih terarah. Langkah-langkah strategis yang dilakukan Umar bin Khattab diantaranya adalah sebagai berikut: membentuk Diwan Al Harby(Badan pertahanan keamanan), Diwan Al Kharaj (Departemen keuangan), Diwan Al Qudhat (Departemen kehakiman)(Sulasman dan Suparman, 2013: 93).
Berbagai diwan dibentuk guna mempermudah jalannya pengaturan dakwah dalam berbagai bidang misalkan saja DiwanAl Kharaj digunakan sebagai badan yang membantu mengurus berbagai kegiatan keuangan negara yang nantinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat dan negara.
Diwan Al Qadhi digunakansebagai badan kehakiman yang bertugas
mengurus masalah hukum, menegakkan hukum merupakan kegiatan dakwah yang bertujuan menyeru dan menegakkan keadilan.
3. Ijtihad-ijtihad Umar
Dalam menerapkan syar‟iat Islam, Umar sangat mempedulikan nash-nash keagamaan dan bahkan tidak mungkin melanggarnya. Bahkan dia berusaha untuk memakainya dan Umar sangat disiplin dalam mengimplementasikan teks-teks keagamaan. Berikut hasil ijtihad Umar: a) Kasus Tanah Rampasan Perang
Al-Qur‟an menjelaskan tentang pembagian harta rampasan perang menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dalam surat Al-Anfal ayat 41:
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah
52 perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."
Dalam ayat tersebut bahwa 1/5 (seperlima) dari harta rampasan perang haruslah dibagi kepada enam macam, yaitu: Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, maka pemahamannya 4/5 (empat perlima) selebihnya dibagikan di antara para tentara yang ikut berperang.
Atas dasar ayat Al-Qur‟an tersebut, maka suatu ketika seusai peperangan, para tentara yang ikut berperang datang kepada Umar dan meminta harta rampasan perang di Irak dan Syam 1/5 (seperlima) daripadanya segera dikeluarkan untuk enam komponen yang tersebut dalam ayat dan selebihnya dibagikan kepada tentara yang iktu berperang.
Terhadap permintaan itu, Umar menolak untuk membagikan tanah rampasan. Sebaliknya Umar menetapkan agar tanah tersebut tetap berada pada pemilik dan penggarapnya, hanya saja kepada mereka diwajibkan membayar pajak dan pajak itulah yang kemudian untuk
baitul mal, yang selanjutnya diapakai untuk kepentingan dan
kemaslahatan kaum muslimin (Sirry, 1995: 40-41).
Pertimbangan Umar ini, bahwa setelah tanah-tanah itu berada di tangan dan kekuasaan kaum mislimin, selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan tentara guna pengamanan yang tentu juga perlu diberi tanah untuk tempat tinggal mereka, juga penghidupan mereka. Seandainya tanah itu dibagi maka tujuan pemeliharaan tersebut tidak tercapai. Apabila tanah itu dibagikan kepada para tentara yang
53 ikut berperang, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin (Hasan, 1984: 109-110).
b) Al-Mu’allaf Qulubuhum(orang yang dibujuk hatinya menerima islam) Umar mengeluarkan satu kebijakan hukum, bahwa Al-Mu’allaf
Qulubuhum tidak mendapat bagian zakat, yang tidak ada satupun dari
sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan apa yang dilakukan Umar tersebut.
Umar mencegah pemberian bagian zakat kepada para mu’allafdi masa pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar dan masa kekhalifahan sang khalifah kedua ini sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut Al-Muallaf Qulubuhum (orang-orang yang ditaklukan hatinya). Ini persis seperti manakala pada suatu masa, di suatu tempat tertentu tidak ditemukan adanya orang fakir dan miskin. Tentu kita tidak mengamalkan apa yang tersurat dalam Al-Qur‟an tentang bagian mereka, sampai ditemukan kembali orang-orang fakir dan miskin di tempat tersebut (Hasan, 1984: 107).
c) Masalah Hukuman Potong Tangan
Allah menjelaskan dalam Al-Qur‟an bahwa hukuman (pidana) tindakan pencurian adalah potong tangan. Hukuman ini tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 38:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
54 Atas dasar ayat inilah, pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar setiap pelaku pencurian yang mencapai satu nisab dikenai hukuman potong tangan. Dalam suatu hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim dari „Aisyah ditegaskan “Tidaklah dipotong tangan pencuri yang kurang dari delapan majni” (An-Naisabury, Juz 2, 1992: 1182)
Pada waktu pemerintahan Umar, hukuman potong tangan bagi pencuri tidak dilaksanakan karena pada waktu itu sedang musim kelaparan, sehingga orang yang melakukan pencurian belum tentu didorong oleh kejahatan jiwanya tetapi mungkin karena didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mempertahankan hidup. Demi kepentingan dan kemaslahatan umat muslimin, hukuman potong tangan ditiadakan untuk sementara dan suatu kondisi tertentu.
Diceritakan dalam sebuah kisah bahwa terdapat pemuda-pemuda pembantu Hatib bin Abi Balta‟ah telah mencuri seekor unta milik orang Muzainah, kemudian kasus tersebut dihadapkan kepada Umar, lalu Umar bertanya mengapa mereka mencuri dan pemuda tersebut menjelaskan alasan ia mencuri unta adalah karena sang majikan tidak memberi mereka makan, Umar pun mengambil kebijakan untuk tidak menjatuhi hukuman potong tangan bagi para pemuda tersebut (Haekal, 2013: 758).
Sebagai seorang penyeru agama Islam hendaklah seorang da‟i mengambil tindakan yang bijak dan hal inilah yang dilakukan oleh Umar, karena pada peristiwa tersebut pencuri mencuri bukan atas dasar ingin mengambil atau menimbun harta orang untuk kepentingan diri
55 melainkan untuk bertahan hidup yaitu mendapat makanan. Hikmah adanya peniadaan hukum potong tangan dalam suatu kondisi tertentu pada masa Khalifah Umar bin Khattab adalah menghukum seseorang yang bersalah hendaklah diselidiki dahulu penyebab terdakwa melakukan kesalahan dan tidak menjatuhi hukum kepada seseorang secara semena-mena adalah tindakan yang ma’ruf.