BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
3. Dampak Ibu Bekerja terhadap Aspek Sosial Anak
107
Budaya adalah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimiliki bersama oleh manusia dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti pada bab 2 (h. 54). Berikut akan diuraikan hasil penelitian di lapangan:
a) Kondisi Budaya“BP”
Informan “BP” ketika ibu “SP” dan ayah “SM” bekerja “BP”
diasuh oleh kakaknya “L”. “BP” dalam melakukan interaksi sosial tidak pernah ditemani oleh ibunya, namun ia mengalami penolakan oleh teman- temannya karena sifat “BP” yang suka memukul.. Seperti yang diutarakan oleh ibu “SP”, berikut penuturannya:
“Engga pernah minta ditemenin, paling kalo ngajak maen (pergi jalan-jalan) minta temenin gitu. Kalau dia ngajak main temennya terus temennya engga mau dia kadang suka pukul. Udah dibilangin jangan mukul tetep aja diulangin lagi.”108 Perilaku agresif “BP” seperti suka memukul merupakan dampak
dari pola pengasuhan yang menerapkan hukuman fisik kepada anak ketika ibu bekerja. Perilaku “BP” yang suka memukul ternyata juga dilakukan Ibu “SP” dan kakaknya “L”, di mana mereka akan memukul “BP” jika
melakukan suatu kesalahan. Sehingga ketika sedang bertengkar dengan temannya, “BP” akan memukul dan banyak teman sebayanya menolak
untuk bermain dengannya. Hal ini berdampak pada perkembangan sosial “BP” di mana kurangnya interaksi sosial dengan teman sebaya. Hal ini berkaitan dengan aspek budaya karena anak meniru perilaku dan mencotohnya dari apa yang mereka terima di lingkungan sosialnya.
108
b) Kondisi Budaya“AD”
Begitupun dengan informan “AD”, ketika ibu “S” dan ayahnya
“D” sibuk bekerja “AD” dan adiknya diasuh oleh tetangganya yang biasa
dipanggil bule. Kakek, nenek, dan kerabat “AD” pun tinggal berjauhan,
sehingga ibu “S” memilih untuk menitipkan anaknya kepada bule. Walaupun terpisah jarak yang cukup jauh dengan ibu “S” namun “AD”
selalu melakukan komunikasi setiap hari baik untuk menanyakan kondisi maupun pelajaran. “AD” lebih dekat dengan adiknya “AF” di mana dalam
kesehariannya ia akan menghabiskan waktu bersama adiknya. “AD” jarang menceritakan permasalahannya kepada anak yang lain sesekali ia bercerita kepada ibunya, namun jika ada masalah ia hanya berdo’a
berharap agar masalah bisa teratasi. Seperti yang diucapkan oleh “AD”: “Paling sama mama aja (curhat), sama adek juga, sama bule kalo sama temen jarang. Kalo di sekolah main sendiri mulu, soalnya disono pikirannya tinggi terlalu dewasa. Jadi engga
boleh main sama yang terlalu dewasa engga bagus.”109
“AD” menarik diri dari teman-teman sekolahnya di karenakan pola pikir temannya yang sudah dewasa dan membuatnya tidak nyaman, selain itu ia ingat akan pesan ibunya untuk selalu belajar dan mengurangi main. Begitupun dengan lingkungan rumahnya, “AD” jarang bermain dengan temannya sebaya di lingkungan tempat tinggalnya dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Di lingkungan tempat
tinggalnya “AD” hanya bermain dengan adiknya “AF” dan teman dekatnya “L”. Budaya yang terkait dengan prilaku “AD” terjadi ketika ibu
109
selalu menasihatinya untuk belajar agar memperoleh nilai akademis yang baik tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sosial anak.
c) Kondisi Budaya“KK”
“KK” ketika ditinggal ibunya bekerja ia diasuh oleh kedua kakaknya. Ayahnya “B” juga menjaganya ketika siang hari dan ketika ibu
“I” sudah pulang bekerja pada sore harinya, ayah “B” akan pergi bekerja
sebagai tukang ojek. “KK” paling dekat dengan kedua orang tuanya selain
itu “KK” juga termasuk pribadi yang introvert, jarang menceritakan permasalahan pribadinya terhadap orang-orang terdekatnya. Walaupun memiliki kepribadian yang introvert dan tomboy, “KK” mampu
bersosialisasi dengan baik. Berikut penuturan ibu “I” :
“Aku juga bingung ya, kalo main sama anak perempuan atau anak laki yang segini-gini (anak kecil) harusnya kan malu yaa, dia engga malu sama bapak-bapak aja engga malu hahaha. Dia sama uwa adeng atau sama siapa aja nyambung aja kalo diajak ngobrol hahaha haduh, pokoknya dia tuh anak tomboy, engga merasa cewek banget ataupun cowok banget.”110
“KK” dalam melakukan interaksi sosial tidak pilih-pilih, ia akan
menyapa terlebih dahulu kepada orang-orang yang lebih tua darinya. Perlu diketahui bahwa ketika usianya ± 3 tahun ia pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan tetangganya sendiri. Namun hal tersebut tidak
110
membuat “KK” menarik diri dari lingkungannya.Begitupun jika nilai-nilai budayanya dilanggar “KK” akan marah, berikut penuturan ibu “I”:
“Pernah mba waktu itu lagi bulan puasaRamadhan. Tetangga saya itu orangnya emang engga sopan makan di depan pintu pas orang pada puasa. Itu “KK” sampe pernah negor dia “Mba Yanti kalo orang lagi pada puasa jangan makan di depan dong engga sopan”. Memang tetangga saya itu berbeda agama, tapi kan kita harus saling menghormati toh.”111
Ketika nilai-nilai budaya yang diyakini “KK” dilanggar, ia cenderung bersikap emosional. Karena orang tua “KK” selalu mengajarkan untuk
menghormati dan menghargai orang lain dalam situasi dan kondisi apapun. Dari data diatas diketahui bahwa budaya yang diterapkan oleh keluarga berpengaruh terhadap nilai yang diyakini anak.
d) Kondisi Budaya“RMR”
Berbeda halnya dengan “RMR” ketika ditinggal orangtuanya
bekerja, ia diasuh oleh pengasuh “B”. Walaupun kakek dan nenek “RMR”
berada di Jakarta namun kedua orang tua “RMR” memilih untuk menyewa
pengasuh agar tidak merepotkan kedua orang tuanya. Sebelum “RMR”
diasuh oleh pengasuh “B” ia terlebih dahulu diasuh oleh “P” yang
merupakan sepupu dari ibu “IM”. Ketika diasuh oleh pengasuh
pertamanya “RMR” jarang melakukan komunikasi karena pengasuhnya
hanya memberikan makan dan memandikan anaknya sehingga sampai “RMR” berusia 4 tahun ia mengalami keterlambatan bicara. Padahal
pemberian stimulus merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh
111
kembang anak. “RMR” sendiri jarang dibiasakan melakukan interaksi dengan tetangga dilingkungan apartemennya, berikut penuturan ibu “IM” :
“Engga juga, dia kalo main yaa main aja. Saya kan juga tinggalnya di apartemen, jadi anak jarang main keluar lebih banyak di dalem rumah. Juga disini ada kolam renang jadi komunikasi sama temen-temennya di kolam renang. Tiap sabtu sama minggu kalo saya ada di rumah, saya ajak dia”.112
“RMR” lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam
apartemennya dan jarang berkomunikasi juga menyebabkan “RMR” mengalami speech delay. Jarang bersosialisasi sehingga ia takut untuk bertemu dengan orang baru. Seperti hasil observasi yang peneliti dapatkan: “RMR” merupakan anak yang takut bila bertemu orang baru. “RMR” takut dengan orang yang baru ditemuinya. Peneliti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkomunikasi, sehingga peneliti menggunakan metode bermain seperti main games di hp bersama dan menggambar bersama.”113
Memang “RMR” membutuhkan penyesuaian terhadap orang baru
sebelum melakukan interaksi karena “RMR” tidak seperti anak normal lainnya. Dari data diatas terlihat bahwa ketika orang tua tidak membiasakan anaknya untuk melakukan interaksi sosial membuat “RMR” takut terhadap orang baru dan mengalami keterlambatan bicara dimana akan mempengaruhi tumbuh kembang intelegensi nya.
B. Kelekatan
112
Wawancara dengan ibu “IM” dari orang tua “RMR”, Cilandak,19 Juli 2016.
113
Tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan kepada anak tapi juga pada ibu. Bentuk tingkah laku lekat rasa aman pada ibu berupa sikap yang ingin mempertahankan kontak dengan anak dan memperlihatkan ketanggapan terhadap kebutuhan anak. seperti yang dijelaskan dalam bab 2 (h.56). Ketika ibu memilih untuk bekerja otomatis waktu untuk anak menjadi berkurang. Secara tidak langsung akan memberikan pengaruh pada hubungan kelekatan antara ibu dan anaknya.
a) Kelekatan “BP” dengan Ibu
“BP” ketika ditinggal ibunya bekerja waktu itu usianya masih 5
tahun, diasuh oleh kakaknya sendiri “L”. “BP” akan senang jika ibunya
bekerja karena jika ibunya bekerja ia akan diberikan uang jajan sepuluh ribu rupiah dalam sehari bahkan bisa lebih. Jika tidak diberi uang sepuluh ribu maka ia akan mengamuk dan tidak memperbolehkan ibunya bekerja. dari sini terlihat kelekatan antara “BP” dan ibunya “SP” dimana ia
menangis karena ditinggal ibunya bekerja. Namun dalam hasil observasi yang dilakukan peneliti, “BP” bersikap kasar dan tidak menuruti perkataan
ibunya. Berikut hasil observasi peneliti:
“Saat itu ibu “SP” yang sedang menjawab pertanyaan peneliti dan tiba-tiba langsung menarik “BP” dan menyuruhnya untuk tidak meminum teh gelas milik kakaknya “N” karena jika diminum kakaknya akan marah dan menangis. Lalu ibu “SP” mengeluarkan uang dan menyuruh “BP” untuk membeli sendiri minuman di warung. Pada saat itu sikap “BP” langsung berubah dan langsung berkata “diem!” kepada ibu “SP” dengan nada suara yang tinggi, dan tetap meminum teh gelas. Lalu “BP” berjalan keluar pintu dan ternyata ada kakaknya “N” di luar bersama teman-temannya, “N” yang melihat “BP” meminum teh gelas miliknya kesal sampai akhirnya mereka
bertengkar. Lalu “BP” berkata kasar kepada kakaknya “N” dengan mengucapkan “setan luh!” dan membanting pintu rumahnya”114
Dari data diatas dapat diketahui bahwa ibu “SP” selalu
memberikan materi kepada anaknya “BP” agar menuruti perkataannya.
Interaksi yang dilakukan ibu “SP” dengan “BP” biasanya terjadi ketika ibu sudah pulang bekerja. Berikut penuturan ibu “SP”:
“Kalo waktu kerja paling abis saya pulang kerja sekitar jam tujuh malem. Dia mah anaknya begitu kalo saya ajak ngomong suka kabur-kaburan maunya maen aja, makanya kalo ngomong sama dia engga pernah lama.”115
Dari data diatas diketahui juga bahwa “BP” hanya menunjukkan sedikit kepedulian kepada ibunya jika ditinggal bekerja. Bahkan “BP”
menghindar saat ibunya mencoba untuk mengajaknya berinteraksi, ia lebih suka melawan ibunya saat diberi nasihat.Ibu “SP” juga selalu memberikan materi untuk anaknya agar “BP” menuruti perkataannya. Selain itu Orang
tua “BP” juga menerapkan pola pengasuhan otoritarian dimana mereka
memberikan hukuman kepada anak dengan hukuman fisik sehingga “BP” berprilaku agresif
Dari hasil temuan lapangan diatas dapat diketahui bahwa kelekatan antara ibu “SP” dan “BP” termasuk dalam tipe anak-anak dengan
kelekatan insecure ambivalent yaitu anak-anak yang cemas dengan kepergian ibunya, anak akan menangis dengan keras, namun ketika bertemu kembali anak akan menolak ketika diajak untuk berinteraksi.
114
Hasil observasi peneliti dengan informan BP 115
b) Kelekatan “AD” dengan Ibu
Berbeda dengan “BP” yang senang jika ibunya bekerja “AD” justru
sedih karena tidak memiliki teman untuk diajak sharing dan bertukar pendapat. Ibu “S” sendiri memilih komunikasi sebagai cara untuk
memberikan perhatiannya dan untuk menjaga hubungan dengan kedua anaknya selama bekerja di Singapura. Berikut hasil observasi peneliti:
“Setelah melakukan wawancara “AD” dan peneliti sama- sama menonton tv serta belajar bersama mengerjakan PR dari sekolahnya. Sesekali “AD” mengetik di hp nya lalu peneliti bertanya “apakah kamu kesulitan dalam menjawab soal?” lalu “AD” menjawab “engga kok ini mama, soalnya tadi pagi mamah engga sempet telpon karena sibuk disana”.116
Saat ibunya bekerja “AD” pernah menangis bahkan sampai
sekarang karena merasa rindu dengan ibunya “S”. Seperti yang diucapkan
“AD” berikut ini:
“Dulu awalnya sih iya nangis apalagi kalo pulangnya lama suka kangen. Tapi sekarang jarang sih karena udah biasa, paling kalo kangen sama mamah aja.”117
Jika “AD” atau “AF” menangis biasanya ibu “S” akan
menjanjikannya pergi berenang jika liburan, namun karena sekarang ibu bekerja di Singapura dan hanya pulang setiap 3 bulan sekali jika rindu dengan ibu “S” baik “AD” ataupun adiknya hanya telponan danvideo call
lewat Line. Biasanya mereka akan mengobrol apa saja termasuk kegiatan dan aktivitas sehari-hari. Bahkan ketika ibu bekerja “AD” bersikap lebih mandiri berikut penuturan bule:
116
Hasil Observasi dengan informan AD 117
“AD anaknya lebih mandiri. Kalo lauknya kurang saya bilang ke dia terus dia bilang “yaudah lek biarin nanti saya aja yang goreng telor sendiri” jadi dia sama adiknya udah bisa masak telor sendiri. AD dan adiknya juga rajin bersih- bersih rumah, pinter bagi tugasnya. Pernah AD dan AF bikin kue bolu, pertama kali dia bisa terus yang kedua kali bantat AD buat sendiri terus kalo berantakan juga diberesin, nanti aku yang nyuci.”
Dari data diatas dapat diperoleh informasi bahwa ibu “S” dan
“AD” memiliki kelekatan kuat yakni ketika ditinggal ibunya bekerja “AD”
akan merasa sedih menangis jika merasa rindu dengan ibunya, namun kepergian ibunya bekerja justru membuat AD lebih mandiri. Begitupun dengan ibu “S” dimana tetap melakukan komunikasi dengaan anak-
anaknya melalui media sosial sebagai bentuk kepeduliaanya dan rasa kasih sayangnya kepada anak.
c) Kelekatan “KK” dengan Ibu
“KK” saat ibunya bekerja waktu itu usianya masih kecil ±3 tahun.
Dalam proses wawancara terlihat kelekatan antara “KK” dan ibu “I”
dimana mereka saling memberikan tanggapan dan tertawa satusama lain, mencium tangan ibunya dan “KK” selalu menuruti perkataan ibunya tanpa
membantah. Berikut hasil observasi peneliti:
“Ketika peneliti melakukan wawancara baik ibu “I” dan “KK” selalu tertawa satu sama lain. “KK” juga menuruti ibu “I” untuk sholat lalu belajar. “KK” pun mau mendengarkan ibu “I” tanpa membantahnya sampai akhirnya melakukan sholat, setelah sholat pun “KK” menghampiri ibunya untuk mencium tangannya dan mengambil bukunya untuk belajar”.118
118
“KK” akan merasa senang jika ibunya bekerja ia juga jarang
menangis sewaktu ditinggal ibunya bekerja. Walaupun terkadang ia merasa kangen jika sehari tidak bertemu. Seperti yang diucapkan “KK”:
“Engga lah, kalo dulu waktu masih kecil iya tapi jarang. Saya sih seneng aja paling nih kalo mama kerja nanyain “kapan mama pulang?”. Kadang kangen aja sih sebenernya kalo sehari engga ada.”119
Saat ibu “I” bekerja ia selalu menyempatkan waktu untuk
berkomunikasi dengan anaknya. Dengan menanyakan kondisi dan menunjukkan perhatiannya seperti sudah makan atau belum kepada anak- anaknya. “KK” ketika ditinggal ibunya bekerja juga memiliki nilai
kemandirian, segala sesuatu yang “KK” butuhkan dia bisa menyiapkannya
sendiri.
Dari data diatas diketahui bahwa kelekatan yang dimiliki oleh “KK” dan ibu “I” merupakan tipe kelekatan secure dimana anak merasa cemas dengan kepergian ibunya dan ketika ibu kembali anak akan membangun interaksi positif dengan ibu, tidak takut terhadap dan anak dengan kelekatan kuat memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku bermasalah.
d) Kelekatan “RMR” dengan Ibu
“RMR” ketika ditinggal ibunya bekerja waktu itu usianya masih 10
bulan. Menurut penuturan ibu “IM” anaknya “RMR” saat ditinggal bekerja
ia tidak menangis, baik ibu dan “RMR” sendiri ketika melakukan interaksi saat ibu “IM” sudah pulang bekerja dengan bermain game atau
119
menggambar.Quality timeibu “IM” dan “RMR” memang hanya pada hari Sabtu dan Minggu seperti mengajaknya pergi ke McD karena “RMR” sangat menyukai makanan junkfood. Selain dari hari itu “RMR” selalu menghabiskan waktu bersama pengasuhnya “B”. Dari sini terlihat bahwa ibu merasa bersalah dengan kepada anaknya karena terlalu sibuk dalam pekerjaannya. Ibu akan menuruti dan membelikan apa yang menjadi keinginan anaknya. “RMR” memang lebih dekat dengan pengasuhnya dibandingkan dengan kedua orangtuanya. Berikut penuturan pengasuh “B”:
“RMR” sudah saya anggep saudara saya sendiri, deket banget kalo sama saya anaknya nurut kalo dibilangin. Mamahnya juga jarang nelpon kalo lagi kerja paling kalo “RMR” sakit aja mamahnya sering telepon. “Biah dede “R” lagi nagapain? Sakitnya gimana? Udah sembuh apa belom”. Jadi kalo lagi sehat mah jarang banget, tapi yaudah lah mungkin udah percaya sama saya. Pokoknya taunya semua udah beres aja udah makan kerjaan beres.”120
Kurangya komunikasi antara ibu “IM” dan “RMR” juga menjadi salah satu alasan anak menjadi lebih dekat dengan pengasuhnya dibandingkan dengan ibu “IM”. Kedekatan antara pengasuh “B” dan
“RMR” bisa dilihat dari hasil observasi:
“RMR” selalu mengajak pengasuhnya untuk bermain, bahkan beberapa kali “RMR” mencium dan memeluk pengasuhnya. Ketika sedang menonton tv, ibu “IM” pulang dari kantor lalu “RMR” mengatakan “mamah sudah pulang?” lalu ibu “IM” menjawab “iya mamah sudah pulang” lalu kemudian “RMR” melanjutkan nonton tv. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh peneliti “RMR” lebih dekat dengan pengasuhnya dibanding dengan ibu “IM”. Dimana selama peneliti disana
120
“RMR” lebih banyak melakukan komunikasi dan berinteraksi dengan pengasuh “B” saat ibu “IM” sudah pulang bekerja”.121 Berdasarkan hasil temuan analisa di lapangan diketahui bahwa “RMR” lebih banyak melakukan interaksi dengan pengasuhnya “B”
bahkan “RMR” berinisiatif menciumnya beberapa kali. Ketika orang tuanya berangkat bekerja “RMR” tidak pernah menangis. Dari informasi
di atas dapat terlihat bahwa memang “RMR” lebih dekat dengan pengasuhnya “B” dibandingkan dengan kedua orangtuanya. “RMR” dan
ibu “IM” memiliki tipe kelekatan insecure avoidant dimana anak hanya sedikit menunjukkan rasa kepeduliannya atas kepergian ibunya dan mengabaikan ajakan-ajakn ibu untuk berinteraksi.