• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan BBN yang dihasilkan dari pengembangan tanaman jarak pagar di Nusa Penida sebagai substitusi solar untuk bahan bakar PLTD, juga dapat menurunkan beban lingkungan dari emisi yang ditimbulkan dalam proses pembangkitan energi listrik. Hasil pengukuran emisi gas buang penggunaan minyak jarak menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu dalam emisi gas buang lebih rendah dibandingkan konsentrasi kontaminan tersebut pada penggunaan solar (Tabel 7.6.). Penurunan konsentrasi tertinggi terjadi pada gas NO2 (70,65%) dan terendah pada gas CO (25%). Hasil pengukuran emisi gas buang selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 7.6 Hasil pengukuran emisi gas buang penggunaan bahan bakar solar dan minyak jarak

Emisi Bahan Bakar

Parameter Solar BBN Selisih (%)

Nitrogen dioksida, NO2 (mg/m3) 34,72 10,19 70,65 Sulfur dioksida, SO2 (mg/m3) 0,02 0,01 50,00 Karbon monoksida, CO (ppm) 800 600 25,00

Partikel debu (mg/m3) 7,50 4,82 35,73 Sumber : Data primer, 2008

Pengembangan tanaman jarak pagar seluas 1000 ha dengan potensi produksi minyak jarak 600.000 l/th akan mampu mensubstitusi penggunaan solar 28,16%. Jadi sebagai akibat pemanfaatan bahan bakar nabati secara aktual berdampak kepada penurunan emisi gas NO2, SO2, CO, dan partikel debu masing-masing sebesar 19,90%, 14,08%, 7,04%, dan 10,06%. Namun demikian emisi akibat penggunaan bahan bakar nabati dapat diabaikan, karena bahan bakar nabati dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesa yang didalamnya terjadi penyerapan unsur-unsur nitrogen (N), sulfur (S),

dan karbon (C). Tanaman juga berperan dalam siklus ketiga unsur tersebut yang berjalan secara seimbang di alam. Berdasarkan 2006 IPCC Guidelines maka penggunaan BBN tidak dihitung emisi CO2 tetapi dicantumkan dalam bagian sendiri karena biomasa yang digunakan untuk BBN ini sudah dihitung emisinya dalam sektor

Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU). Emisi gas rumah kaca (GRK) dari penggunaan BBN dianggap nol bila berasal dari perkebunan yang dikelola secara berkesinambungan.

Menurut Hanafiah (2007), siklus N dimulai dari fiksasi N2-atmosfir secara fisik/kimiawi yang menyuplai tanah bersama presipitasi (hujan), dan oleh mikrobia baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik yang menyuplai tanah baik lewat tanaman inangnya maupun setelah mati. Fiksasi N terjadi secara fisik melalui pelepasan energi listrik pada saat terjadinya kilat dan secara kimia melalui proses ionisasi di atmosfir paling atas, kemudian turun ke tanah lewat presipitasi. Fiksasi N juga terjaddi secara biologis lewat simbiosis mutualistik tanaman legum dan nonsimbiotik oleh mikrobia tanah. Sumber N dalam proses fiksasi N secara biologis meliputi N2, NH4, NO3, NO2, dan Urea serta N-organik. Di dalam tanah, 99% N terdapat dalam bentuk organik, hanya 2-4% yang dimineralisasikan menjadi N-anorganik (NH3) oleh berbagai mikrobia heterotrof, kemudian sebagian mengalami nitrifikasi. Sebagian besar NH3 tersebut di dalam tanah segera berubah menjadi NH4+ (ion amonium) akibat adanya proses ikatan elektron yang kuat dengan ion-ion H+. Ion NH4+ tersedia bagi tanaman dan dapat terikat pada permukaan koloidal tanah yang bermuatan negatif atau bertukar kedudukan dengan ion K+. Ion amonium dan amoniak (NH3) dihasilkan dalam sel tanaman melalui proses fotorespirasi dalam siklus oksidasi karbon atau proses degradasi metabolik terhadap cadangan protein selama perkecambahan biji. Asimilasi amonia ini terjadi dengan cepat dan hasilnya segera digunakan untuk proses metabolisme lain. Setelah proses fiksasi, siklus N dilanjutkan dengan proses denitrifikasi yang merupakan reaksi reduksi nitrat menjadi gas N yang kemudian mengalami volatilisasi (penguapan) ke atmosfer. Proses ini pada ekosistem alami berlangsung secara berkesinambungan dan selaras dengan proses fiksasi N, sehingga jumlah N dalam tanah tetap stabil.

Hanafiah (2007) juga menyatakan bahwa sulfur merupakan unsur hara makro esensial yang diserap tanaman dalam jumlah yang hampir sama dengan unsur P (0,1-0,3%) dalam bentuk SO42- dan gas belerang (SO2) melalui daun dari atmosfir. Di dalam

tanah sulfur berasal dari pelapukan mineral tanah dan dekomposisi bahan organik. Sulfur berperan penting sebagai komponen asam-asam amino esensial penyusun protein tanaman dan dalam pembentukan polipeptida.

Dengan asumsi bahwa siklus unsur-unsur tersebut berjalan secara seimbang, maka jumlah unsur yang diemisikan dalam penggunaan BBN sebagai bahan bakar PLTD sama dengan jumlah yang diserap oleh tanaman dari alam melalui proses metabolisme tanaman. Jadi pengurangan beban lingkungan sebagai akibat penggunaan BBN didekati berdasarkan substitusi BBN terhadap solar sebagai bahan bakar PLTD, dalam kasus ini mencapai 28,16%.

Selain memberi manfaat dalam penurunan beban lingkungan dari pengurangan emisi, pengusahaan tanaman jarak pagar juga memberikan manfaat dari hasil samping pengolahan minyaknya. Kulit buah jarak pagar dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan ampas pengolahan minyak jarak dapat dibuat biogas dan briket. Proporsi bagian tanaman jarak pagar yang dapat dimanfaatkan disajikan pada Gambar 7.1 (Pranowo, 2008: komunikasi pribadi).

Buah Jarak Biji Basah 30 % Kulit Buah 70 % Biji Kering 55 % Ampas 68-70 % Briket Crude Oil 30-32 % Biodiesel 80-90 % Biogas Pupuk Organik

Pupuk Cair Pupuk Padat Gas Metan Gambar 7.1 Pohon industri buah jarak pagar.

Kondisi obyektif pengelolaan energi di Nusa Penida dapat dikemukakan berdasarkan tahapan pengelolaan yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.

• Pada tahap perencanaan : sentralistik, sosialisasi program kepada masyarakat kurang komprehensif.

• Pada tahap pelaksanaan : (1) anggaran untuk pembangunan pembangkit listrik sumber energi terbarukan dialokasikan pada anggaran pemerintah pusat (APBN), (2) pelaksanaan pembangunan pembangkit oleh pemerintah pusat dan perwakilan di daerah, (3) serah terima pembangkit dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten, (4) penunjukan operator oleh pemerintah kabupaten, (5) penetapan harga beli listrik hasil PLTB dan PLTS oleh PLN mengacu kepada biaya pokok penyediaan listrik oleh PLN di wilayah Jawa-Bali.

• Pada tahap pengendalian : monitoring dan evaluasi tidak ada pendelegasian wewenang kepada pemerintah setempat (Kecamatan Nusa Penida).

Berdasarkan hasil observasi terhadap infrastruktur pada unit jaringan listrik dan kajian terhadap informasi mengenai kebijakan pengembangan sumber energi di Nusa Penida, tercermin bahwa orientasi pengelolaan energi di Nusa Penida sejauh ini adalah (1) meningkatkan jaminan pemenuhan kebutuhan listrik bagi industri pariwisata, dan (2) mengembangkan Desa Wisata Energi. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam jangka panjang telah diwacanakan pengembangan pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batubara, dengan kapasitas sekitar 600 MW yang nantinya diharapkan selain memenuhi kebutuhan listrik di Nusa Penida, juga menyuplai daya ke jaringan listrik Jawa-Bali. Kelembagaan pengelolaan energi di Nusa Penida belum terbentuk secara sistematis. Secara garis besar kelembagaan yang ada dapat digambarkan seperti pada Lampiran 12. Untuk memperoleh elemen kunci pengelolaan energi di Nusa Penida, telah dilakukan kajian mengenai keterkaitan antar elemen tujuan dan kendala pengelolaan energi.

8.1. Orientasi Pengelolaan Energi di Nusa Penida

Hasil identifikasi elemen tujuan dalam sistem pengelolaan energi di Nusa Penida sebagai berikut :(1) desa wisata energi, (2) peningkatan pendapatan daerah,

(3) perluasan lapangan kerja, (4) pengembangan energi ramah lingkungan, (5) meningkatkan jaminan pemenuhan energi.

Berdasarkan hasil penelaahan pakar tentang keterkaitan antar elemen tujuan disusun matrik hubungan kontekstual seperti pada Tabel 8.1.

Tabel 8.1. Hubungan kontekstual tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida

Tujuan 1 2 3 4 5 Driver Power

1 1 1 0 1 0 3 2 0 1 0 0 0 1 3 1 1 1 1 0 4 4 1 1 0 1 0 3 5 1 1 1 1 1 5 Dependency 4 5 2 4 1

Matrik hubungan kontekstual antar elemen pada Tabel 8.1. menunjukkan bahwa elemen tujuan meningkatkan jaminan pasokan energi (T5) memiliki kekuatan menggerakkan empat elemen tujuan lainnya dan tingkat ketergantungannya paling rendah dibandingkan emapt elemen lainnya. Kekuaan penggerak yang relatif kuat juga dimiliki elemen tujuan perluasan lapangan kerja (T3) dan tingkat ketergantungannya juga relatif rendah dibanding tiga elemen lainnya.

Berdasarkan hubungan kontekstual antar elemen tersebut dapat digambarkan plot kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing elemen tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida seperti pada Gambar 8.1.

Dari Gambar 8.1 terlihat bahwa koordinat elemen tujuan meningkatkan jaminan pemenuhan energi (T5) dan perluasan lapangan kerja (T3) berada pada sektor 4 (independent), mencerminkan bahwa pencapaian kedua tujuan tersebut akan menimbulkan multiflier effect terhadap tercapainya tiga tujuan lainnya. Elemen tujuan peningkatan pendapatan daerah berada pada sektor 2 (dependent), menunjukkan bahwa pencapaian tujuan tersebut sangat tergantung kepada pencapaian empat tujuan lainnya, terutama tujuan meningkatkan jaminan pemenuhan energi dan perluasan lapangan kerja. Elemen tujuan desa wisata energi (T1) dan pengembangan energi ramah lingkungan (T4) berada pada batas sektor 2 dan 3, mencerminkan bahwa disamping memiliki ketergantungan yang relatif tinggi, juga memiliki keterkaitan (linkage) dengan tujuan lainnya.

1, 4 2 3 5 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 Independent Linkage D r i v e r P o w e r Autonomous Dependent Dependence

Gambar 8.1. Plot driver power – dependence tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida

Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing elemen tujuan, dapat disusun struktur hirarki tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida seperti pada Gambar 8.2.

2

1 4

3

5

Gambar 8.2 Struktur hirarki tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida.

Dari Gambar 8.2. terlihat bahwa terdapat 4 hirarki tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida. Berdasarkan peringkat kekuatan penggerak (driver power) maka tujuan meningkatkan jaminan pemenuhan energi (T5) merupakan elemen kunci yang perlu dijadikan orientasi dalam pengelolaan energi di Nusa Penida. Tujuan perluasan lapangan kerja juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan tiga elemen tujuan lainnya.

8.2. Kendala Pengelolaan Energi di Nusa Penida

Hasil identifikasi elemen kendala dalam sistem pengelolaan energi di Nusa Penida sebagai berikut : (1) aksesibilitas rendah, (2) tingkat pendidikan masyarakat rendah, (3) daya beli masyarakat rendah, (4) infrastruktur terbatas, (5) teknologi mahal, dan (6) biaya transportasi mahal.

Berdasarkan hasil penelaahan pakar tentang keterkaitan antar elemen kendala disusun matrik hubungan kontekstual seperti pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2. Hubungan kontekstual tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida

Tujuan 1 2 3 4 5 6 Driver Power

1 1 1 0 0 1 1 4 2 0 1 0 0 0 0 1 3 0 1 1 0 1 0 3 4 1 1 0 1 1 1 5 5 0 0 0 0 1 0 1 6 0 0 0 0 1 1 2 Dependency 2 4 1 1 5 3

Matrik hubungan kontekstual antar elemen pada Tabel 8.2. menunjukkan bahwa elemen kendala infrastruktur terbatas (K4) memiliki kekuatan menggerakkan elemen kendala lainnya kecuali elemen kendala daya beli masyarakat rendah (K3). dan tingkat ketergantungannya paling rendah dibandingkan elemen lainnya. Kekuaan penggerak yang relatif kuat juga dimiliki elemen kendala aksesibilitas rendah (K1).

Berdasarkan hubungan kontekstual antar elemen tersebut dapat digambarkan plot kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing elemen kendala pengelolaan energi di Nusa Penida seperti pada Gambar 8.3.

Dari Gambar 8.3 terlihat bahwa koordinat elemen kendala infrastruktur terbatas (K4) dan aksesibilitas rendah (K1) berada pada sektor 4 (independent), mencerminkan bahwa dengan mengatasi kedua kendala tersebut akan mendorong kemampuan mengatasi kendala lainnya. Elemen kendala tingkat pendidikan masyarakat rendah (K2), dan teknologi mahal (K5) berada pada sektor 2 (dependent), menunjukkan bahwa untuk mengatasi kendala tersebut sangat tergantung kepada keberhasilan mengatasi empat kendala lainnya, terutama kendala infrastruktur terbatas (K4) dan aksesibilitas rendah (K1). Elemen kendala daya beli masyarakat rendah (K3) berada pada batas sektor 1 dan 4 mencerminkan bahwa meskipun

ketergantungannya terhadap elemen lain relatif kecil, tetapi kekuatan penggeraknya tidak cukup kuat. Elemen biaya transportasi mahal (K6) berada pada batas sektor 1 dan 2 mencerminkan bahwa disamping kekuatan penggeraknya kecil, tingkat ketergantungannya juga relatif tinggi.

1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 Independent Linkage D r i v e r P o w e r Dependent Autonomous Dependence

Gambar 8.3. Plot driver power – dependence kendala pengelolaan energi di Nusa Penida

Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing elemen kendala, dapat disusun struktur hirarki tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida seperti pada Gambar 8.4.

2 5

3 6

1

4

Gambar 8.4 Struktur hirarki kendala pengelolaan energi di Nusa Penida.

Dari Gambar 8.4. terlihat bahwa terdapat 4 hirarki kendala pengelolaan energi di Nusa Penida. Berdasarkan peringkat kekuatan penggerak dan ketergantungan, maka kendala infrastruktur terbatas (K4) merupakan elemen kunci yang perlu dijadikan prioritas dalam pengelolaan energi di Nusa Penida. Kendala

aksesibilitas rendah (K1) juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan empat elemen kendala lainnya.

8.3. Rancangan Kelembagaan Pengelolaan Energi

Berdasarkan hasil kajian mengenai keterkaitan antar elemen tujuan dalam pengelolaan energi, maka perlu dilakukan reorientasi tujuan pengelolaan energi di Nusa Penida menjadi : (1) meningkatkan jaminan pemenuhan kebutuhan listrik di wilayah Nusa Penida, dan (2) memperluas penyediaan lapangan kerja. Berdasarkan tujuan tersebut, serta memperhatikan belum terbentuknya pola kemitraan antar pelaku, maka performa kelembagaan pengelolaan energi di Nusa Penida perlu ditingkatkan melalui pengaturan pola kemitraan seperti pada Lampiran 13.

Dokumen terkait