• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perceraian Orangtua pada Anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

7. Dampak Perceraian Orangtua pada Anak

Perceraian orangtua memberikan dampak yang sangat merugikan bagi anak. Dampak perceraian orangtua bagi anak bisa bervariasi, tergantung dari bagaimana orang tua dan anak mengatasi masalah yang timbul karena perceraian (Stahl, 2004). Perceraian orangtua akan menimbulkan banyak perubahan baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga.

Menurut Dagun (1990) anak yang mengalami perceraian orangtua cenderung mulai memiliki rasa takut akan perubahan situasi keluarga dan memiliki rasa cemas ditinggal oleh salah satu orangtuanya. Setiap anak yang orangtuanya bercerai memiliki respons yang berbeda dalam merespons terjadinya perceraian. Ada anak yang merespons perceraian orangtuanya dengan cara yang positif seperti memiliki rasa percaya diri, hubungan dengan teman sebaya yang positif, menjadi motivasi untuk berprestasi, atau menyalurkan emosi kepada hobi yang positif. Stahl (2004) mengatakan bahwa anak dan orangtuanya yang telah bercerai dapat saling berkomunikasi mengenai tujuan hidupnya, sehingga anak mulai merencanakan masa depan baik pendidikan dan kariernya. Namun, adapula anak yang merespons perceraian orangtuanya dengan cara yang negatif seperti menjadi nakal, sering berkelahi, kegagalan akademis,

ketidakteraturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri, penyalahgunaan narkoba, merasa ikut bertanggung jawab, merasa bersalah, dan marah.

Respons positif dan negatif dari anak korban perceraian tergantung daya tahan anak terhadap situasi perceraian. Apabila anak tangguh atau resilien, anak dapat mengatasi masalah tanpa mengalami dampak negatif dari perceraian orangtuanya. Tetapi, bila anak tidak memiliki resiliensi maka anak tidak mampu menghadapi, meminimalkan atau menghilangkan dampak-dampak perceraian orangtuanya.

Berikut ini diuraikan berbagai dampak perceraian yang peneliti simpulkan dari berbagai sumber (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014); (Meiriana, 2016); (Ningrum, 2013):

a. Perasaan tidak aman

Perasaan tidak aman pada anak yang orangtuanya bercerai, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) menyimpulkan bahwa perasaan tidak aman pada anak menyangkut finansial dan masa depannya. Seorang anak berpikiran bahwa masa depannya akan suram karena sudah tidak dapat perhatian lagi dari orangtuanya secara materi.

Maslow (1984) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan mendasar pada manusia adalah kebutuhan akan rasa aman. Namun, apabila yang terjadi orangtua bercerai, anak akan kehilangan rasa aman. Menurut Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) biasanya anak cenderung introvert

22

(menutup diri) terhadap lingkungan sosialnya, sebab anak tidak merasa aman saat berada di lingkungan sosial dan dia menganggap lingkungannya adalah hal-hal yang negatif serta dapat mengancam kehidupannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarbini, Wasil & Kusuma Wulandari (2014) tentang kondisi anak dari keluarga yang bercerai menghasilkan kesimpulan bahwa anak dari keluarga bercerai merasa dirinya kurang diperhatikan orangtuanya, merasa rendah diri terhadap lingkungannya, temperamental (mudah marah), serta perasaan kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya. Anak juga akan lebih mudah frustrasi, bingung, dan masalah bertambah bila lingkungan yang seharusnya membantunya mengatasi masalahnya justru membebani mereka dengan masalah-masalah perceraian orang tuanya. Sehingga, anak merasa dikhianati orangtuanya dan memunculkan persepsi bahwa hal-hal yang lain di luar dirinya adalah membahayakan (negative).

b. Perasaan penolakan dari keluarga

Berdasarkan penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) anak korban dari keluarga bercerai merasakan penolakan dari keluarganya sendiri, sebab sikap orangtuanya berubah. Perubahan sikap orangtuanya karena sudah memiliki pasangan yang baru (bapak tiri / ibu tiri), sehingga anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya. Penelitian yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) diperoleh bahwa informan merasakan rasa penolakan dari keluarga (pihak ayah

maupun ibu) yang tidak lagi menganggap kehadirannya (eksistensinya), sehingga anak sering mengalami skeptis terhadap dirinya dan

memungkinkan anak untuk mengalami personality disorder

(ketidakstabilan citra diri).

Seperti yang dikemukan oleh Papalia, Olds & Feldman (dalam Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) perceraian bukanlah suatu kejadian tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan berpotensi menjadi pengalaman stres dan menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi anak.

c. Perasaan marah

Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) mengatakan bahwa perceraian orangtua seringkali menyebabkan emosi marah pada anak tidak terkontrol, sehingga banyak teman dekatnya yang menjadi sasaran amarahnya. Penyebab dari emosi marah yang tidak terkontrol pada anak karena pengalamannya melihat ayah dan ibunya bertengkar pada proses perceraian.

Berdasarkan hasil penelitian Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) rata-rata informan mengalami gangguan psikologis akibat dari orangtua yang selalu marah di depan anak. Mereka akan terganggu secara psikis dan perilakunya, seperti anak suka mengamuk, anak bertindak agresif, anak menjadi pendiam, anak tidak ceria lagi, anak suka murung dan tidak suka bergaul dengan teman sebayanya.

24

marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya, karena perilaku orangtuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.

d. Perasaan sedih

Hubungan orangtua yang harmonis akan membuat anak merasa nyaman. Namun sebaliknya, hubungan orangtua yang telah bercerai membuat anak merasa sedih, karena anak merasa kehilangan orang yang dia sayangi.

Perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) kesedihan yang muncul bagi anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya, yaitu orangtua sudah tidak menghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut diasuh oleh kakek / nenek dari pihak ayah atau ibu.

Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi sosialnya di masa depan anaknya, seperti malu (minder) dengan teman sebayanya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan teori yang dikemukakan oleh Bird dan Melville (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dan sedih, karena anak merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi tersebut dapat merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih yang berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri,

dan menjadi tidak patuh serta cenderung agresif terhadap lingkungan sosialnya.

e. Perasaan kesepian

Anak yang orangtuanya bercerai akan merasa kesepian tanpa ada kasih sayang dan bimbingan dari kedua orangtuanya. Meskipun anak diasuh oleh pihak yang dipercayai oleh ayah atau ibu. Bahkan diasuh oleh salah satu pihak antara ayah atau ibu sebagai single parent. Misalnya, seorang anak yang hanya tinggal bersama ibunya, karena orangtuanya telah bercerai. Ibunya bekerja penuh waktu, dan anaknya saat pulang sekolah lebih sering sendirian di rumah.

Berdasarkan hasil penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) informan merasa kesepian karena orangtuanya tidak pernah memerhatikannya meskipun dia mendapat perhatian dari saudara yang mengasuhnya, dan dia merasa perhatian saudaranya tidak berpengaruh bagi kebaikan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds & Feldman (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) kesepian (loneliness) bagi anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orangtuanya karena beberapa faktor, antara lain:

1) Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan anaknya, sebab mereka lebih mementingkan egonya dalam mencari pasangan hidup selanjutnya.

2) Tidak ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena masing- masing pihak (ayah / ibu) lebih memerdulikan egoismenya masing-

26

masing untuk segera melakukan perceraian.

3) Banyak orangtua menganggap remeh dan mengesampingkan anak dari hasil hubungannya dengan mantan pasangannya, sehingga dia berpikir bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru (selanjutnya).

f. Menyalahkan diri sendiri

Akibat dari pola asuh yang salah, remaja menjadi menyalahkan diri sendiri yang biasa disebut gejala personality disorder. Faktor remaja yang menyalahkan diri sendiri dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari keluarga, mudah marah / temperamen, sedih yang berkepanjangan dan merasa kesepian.

Pola asuh yang sangat menentukan karakter anak yaitu significant others. Significant others artinya orang tua dan saudara yang menjadi faktor utama dalam pola pengasuhan anak. Apabila orangtua menggunakan pola asuh significant others dan salah dalam mengasuh anak yang belum menginjak dewasa, maka akan berdampak pada psikologi anak seperti murung dan sering berpikir, banyak diam, melamun, jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas sosialnya.

Dengan demikian, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan dirinya sendiri akan berdampak buruk terhadap psikologisnya, seperti bipolar (kepribadian ganda), schizophrenia, phobia, dan sebagainya. Hal senada juga diungkapkan oleh Taylor (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada

gangguan psikologisnya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly image) merupakan awal mula gangguan psikologis yang berbahaya.

g. Gejala stres

Berdasarkan hasil penelitian Rahmayati (Meiriana, 2016) ada tiga gejala stres yang muncul pada masa perceraian orangtua. Pertama, gejala emosi yaitu anak merasakan kecemasan perubahan sikap teman-temannya, kurangnya intensitas pertemuan dengan ayah atau ibunya, kecemasan untuk mendapatkan ayah baru atau ibu baru. Kedua, gejala kognitif yaitu anak merasa kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu hal, seperti adanya penurunan prestasi informan pasca perceraian orangtuanya, hilangnya konsentrasi dalam mengerjakan tugas di sekolah, perasaan takut dan khawatir ketika memiliki ayah baru atau ibu baru. Ketiga, gejala fisik seperti pusing, membuat tubuh lemas dan kurang tenaga, insomnia (sulit tidur) dan kehilangan nafsu makan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2016) menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki cara-caranya sendiri untuk mengurangi beban stres, seperti ada remaja yang memilih untuk bepergian, berkumpul dengan teman-temannya sampai minum-minuman beralkohol, ada yang memakai obat-obatan terlarang dan berkelahi.

Namun, tidak semua anak yang orangtuanya bercerai mengalami keterpurukkan. Ada juga anak melakukan strategi untuk mengurangi stres dengan cara positif seperti tetap berprestasi dalam hal pendidikan dan lebih mandiri.

28

h. Traumatis

Menurut Dariyo (Ningrum, 2013) orangtua yang telah melakukan perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negatif bagi anak, seperti trauma. Trauma yang dirasakan akibat perceraian orangtua, yaitu anak mempunyai pandangan yang negatif terhadap pernikahan, dan anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya suatu hari nanti, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran jika perceraian juga terjadi pada dirinya suatu hari nanti.

Setelah perceraian terjadi pada orangtuanya, anak merasakan gangguan psikologis yang ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis anak tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam belajar, sehingga menggagu kehidupan sekolahnya.

Dokumen terkait